Banjir, Penurunan Daya Dukung Lingkungan
BANJIR, PENURUNAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Banjir terjadi lagi disertai dengan bencana
longsor, merupakan fenomena dalam dua bulan di tahun ini, dampak dari
pembangunan yang mengabaikan dan melebihi daya dukung alam hanya akan membawa
kehancuran pada kehidupan manusia saat ini dan generasi mendatang. Terlihat
banjir di Sumatera Barat, yang memutuskan lintasan jalan ke Riau, selain itu
Ibukota Jakarta dan sekitarnya juga mengalami musibah banjir kiriman, Bogor dan
Bandung serta beberapa kota lainnya di Jawa dan Sumatera ”menikmati
musibah banjir”. Fenomena ini dampak dari pembangunan yang hanya
menitikberatkan pada ekonomi semata sudah ketinggalan zaman. Paradigma
pembangunan sekarang ini justru harus bergerak maju dengan mengutamakan
pembangunan sosial dan ekologi, sebab saat ini kondisi ekologi di hulu hutan di
pegunungan telah mengalami penurunan daya dukung lingkungan.
Analisa/ferdy. BAHAYA BANJIR: Hujan yang berkepanjangan pada pekan lalu
mengakibatkan banjir di sejumlah wilayah kabupaten dan kota di Sumut.
Tingginya curah hujan disertai angin kencang merupakan dampak dari
siklon tropis dahlia yang melanda Sumut dan Aceh.
Dalam kenyataannya, alam tempat makhluk hidup
manusia dan lingkungan yang seharusnya selaras ini justru ternoda. Pemanfaatan
sumber daya alam di hulu dengan mengacuhkan pelestarian seolah jadi kebiasaan
yang dilakukan semua pihak.
Pada akhir tahun lalu, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan membuktikan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan pemerintah daerah lebih memprioritaskan kenaikan pendapatan asli daerah daripada melestarikan lingkungan alamnya.
Pada akhir tahun lalu, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan membuktikan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan pemerintah daerah lebih memprioritaskan kenaikan pendapatan asli daerah daripada melestarikan lingkungan alamnya.
Hal itu mengingat banyak kepala daerah yang merusak
lingkungan melalui pemberian izin bagi perluasan perambahan di kawasan hutan
lindung, hutan produksi, dan kawasan perkebunan, serta kawasan permukiman, saat
ini terjadi kerusakan yang sangat signifikan pada sumber daya alam hutan,
lahan, air, pesisir, dan laut kita. Sekitar 43 juta hektar hutan yang tadinya
hijau telah berubah menjadi lahan kritis yang tidak dapat lagi menunjang
berbagai fungsi lingkungan termasuk di Pulau Sumatera yang telah diidentifikasi
luasan hutannya telah mendekati sakaratul maut karena kini tinggal sekitar 12
juta hektar akibat pembakaran dan perluasan perkebunan.
Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan
sedikitnya dua juta hektar per tahun. Di kawasan pesisir, hutan mangrove
mengalami kerusakan yang telah mencapai 5,3 juta hektar atau sekitar 60 % dari
seluruh hutan mangrove Indonesia.
Rusaknya hutan mengakibatkan menurunnya kualitas
lingkungan daerah aliran sungai (DAS), sehingga DAS kritis semakin meningkat
dari sekitar 22 DAS pada 1992 menjadi 62 DAS pada 2005 lalu meningkat lagi
menjadi 70 DAS tahun 2014. Sementara upaya konservasi alam berjalan lamban,
tidak sebanding dengan laju kecepatan kerusakan alam.
Tidak heran apabila alam yang terbatas daya
dukungnya itu pada akhirnya bisa murka juga. Bencana banjir dan longsor di Kab.
Limah Puluh Kota dan Jabodetabek memang tidak akan pernah lepas dari kehidupan
manusia. Bencana justru akan semakin parah jika manusia sendiri tak menjaga
alamnya.
Semua pihak menyadari bahwa ketika alam dirusak,
ketika lingkungan hidup diabaikan, berarti kehancuran di depan mata.
Masalahnya, mengapa bangsa ini tidak mau belajar dari pengalaman dan melakukan
pengelolaan risiko dengan baik? Mengapa yang dilakukan justru penanggulangan
bencana, bukannya mencegahnya
Bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan
silih berganti menjadi bencana yang melanda Nusantara ini akibat daya dukung
lingkungan yang tak mampu lagi menahannya. Bencana lingkungan yang terjadi
hingga saat ini bahkan dirasakan lebih sering dan parah, tidak serta-merta
terjadi begitu saja.
Lingkungan hidup yang diartikan luas yaitu tidak
hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial budaya.
Sedangkan lingkungan secara umum meminjam istilah Emil Salim diartikan sebagai
tempat yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang
hidup termasuk kehidupan manusia.
Hubungan timbal balik antara manusia dengan
komponen-kompenen alam harus berlangsung dalam batas keseimbangan (Zein, 1985).
Apabila hubungan timbal balik tersebut terlaksana tidak seimbang, maka akan
mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
Jika kita melihat pada satu masalah lingkungan
hidup yaitu disektor kehutanan, maka akan banyak problematika yang
ditemukan. Permasalahan deforestasi penggundulan) hutan, seperti penebangan
liar (illegal logging) memiliki dampak sangat mengerikan. Dapat mengakibatkan
erosi lahan, terancamnya berbagai aneka satwa didalamnya, hingga mengakibatkan
global warming atau pemanasan global. Bahkan jika tidak dihentikan, tidak
menutup kemungkinan dapat menghilangkan hutan di masa depan dan menyisakan
kenangan. Menurut data Kementerian Kehutanan, pada tahun 2009, luas kawasan
hutan Indonesia mencapai 138 juta hektare. Dengan laju deforestasi hutan pada
periode 2005-2009 mencapai 5,4 juta hektare, yang secara finansial juga
menyebabkan timbulnya kerugian. Data ini sudah meningkat hingga ke tahun 2016
sekarang semakin berkurang akibat fenomena kabut asap dari pembakaran
hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Dampak dari perubahan iklim tersebut saat ini dan
mendatang dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan kita semua terutama bagi
negara pantai seperti wilayah Indonesia yang banyak memiliki pulau-pulau yang
dikelilingi lautan dengan topografi rendah. Di lain pihak juga sangat
berpengaruh pada sektor pertanian. Karena itu, perlu dilakukan upaya mitigasi
melalui pengendalian berbagai aktivitas yang dapat menurunkan Emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) yang ditargetkan sebesar 26 % di tahun 2020. Sedangkan adaptasi
dilakukan antara lain melalui upaya kita untuk menyesuaikan dengan pola
perubahan yang terjadi.
Salah satu dampak dari perubahan iklim berupa
naiknya suhu permukaan bumi yang berakibat pada terjadinya kekeringan di
beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu, dengan terus berkurangnya tutupan
lahan, padatnya kegiatan pembangunan dan penduduk semakin memberikan tekanan
terhadap ekologi daya dukung lingkungan hidup yang pada akhirnya menimbulkan
masalah semakin tingginya tingkat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Kemerosotan kualitas Lingkungan Hidup (LH) tersebut
tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. la memerlukan instrumen
pengelolaan LH yang memungkinkan penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang
(dari pusat ke daerah), lintas wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial
sifatnya. Selain pentingnya instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas,
hal penting lain yang harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas LH terkait
erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan
yang tidak ramah lingkungan.
Upaya mitigasi bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas penyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) ke
atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisan ozon. Untuk itu, upaya mitigasi
terutama difokuskan untuk 5 (lima) sektor yakni:
Upaya adaptasi merupakan tindakan penyesuaian
sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari Perubahan Iklim.
Namun upaya tersebut akan sulit memberikan manfaat secara efektif apabila laju
Perubahan Iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuan untuk: (1)
mengurangi resiko bencana atau kerentanan sosialekonomi dan lingkungan yang
diakibatkan dari Perubahan Iklim, (2) meningkatkan daya tahan (resilience)
masyarakat dan ekosistem, sekaligus (3) meningkatkan keberlanjutan pembangunan
nasional dan daerah.
Indonesia dalam adaptasi Perubahan Iklim ini memiliki
tantangan yang sangat besar, terutama karena wilayah Nusantara merupakan negara
kepulauan, berada di daerah tropis, dan memiliki posisi strategis di antara dua
benua besar dan dua samudera yang sangat besar. Kondisi ini menyebabkan
Indonesia sangat rentan terhadap Perubahan Iklim. Beberapa fakta yang sangat
mungkin dipengaruhi oleh Perubahan Iklim, antara lain adalah ancaman ketahanan
pangan akibat kekeringan dan banjir, ancaman wabah penyakit, ancaman kerusakan
infrastruktur dan prasarana perkotaan di pesisir, serta ancaman kerusakan
permukiman dan perumahan akibat bencana yang semakin tinggi frekuensinya.
Maukah anda hidup terus menghadapi bencana?
M. Anwar Siregar
Enviroment Geologist.
Dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN, Tanggal 10 Desember 2017
Dipublikasi di Harian ANALISA MEDAN, Tanggal 10 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar