Satu Tahun Gempa Bumi di Aceh 2004 : Geologi Gempa
SATU TAHUN GEMPA BUMI DI
ACEH 2004
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa tektonik yang terjadi tanggal 26 Desember
2004, dengan kekuatan 8.9 Skala Richter dengan epicentrum (pusat gempa) 2.9 LU
dan 95.6 BT di selatan Meulaboh-Aceh disertai beberapa jam kemudian gelombang
tsunami yang merenggut lebih 200.000 korban jiwa tersebar di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika telah mengubah posisi garis pantai Aceh dan
Sumatera sejauh 14 meter dan ketinggian 12 centimeter.
Gambar : Pusat gempa 2004 di Pantai Barat
Sumatera dengan negara yang mendapat terjangan tsunami.[Sumber : wikipedia
bebas]
Gempa bumi yang terjadi di Aceh akibat bergesernya Lempeng Asia di Selatan dan Hindia
Australia di Utara, yang memanjang hingga ratusan kilometer yang menyebabkan
menjauhnya benua-benua dan meninggalkan retak-retak atau patahan. Dan didalam
patahan inilah yang memancarkan energi yang terkunci pada ruas batuan didalam
bumi, untuk kemudian keluar dan menghasilkan gempa bumi tektonik.
Gempa dan tsunami merupakan fenomena alam yang
ganas yang harus diwaspadai setiap saat. Karena perubahan alam telah
menyebabkan banyaknya korban jiwa, apalagi bila negara tidak mempunyai sistim
peringatan dini terhadap bencana gempa bumi dan tsunami seperti yang kita lihat
di Aceh. Fenomena bencana ini bisa hadir setiap detik. Kejadian yang terjadi
tahun lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia agar selalu
memperhatikan tanda-tanda alam.
Belajar memahami alam untuk mengurangi resiko
jumlah korban dari dampak keganasan pembunuh alami. Karena wilayah Aceh dan
Indonesia secara umum hidup berdampingan dengan petaka bencana alam setiap
tahun.
LETAK BUMI ACEH
Wilayah Nias dan NAD memang daerah yang paling
rawan di Sumatera dan Asia Tenggara. Posisi/letak bumi NAD di muka bumi terkenal sangat dinamis dan rentan
terhadap segala jenis bencana geologi. Baik dari segi oceanografis,
meteorologis dan geologis. Hampir sepanjang tahun, bumi NAD selalu mengalami
”goyangan maut” dengan intensitas rendah hingga menggoncang perut bumi, dan
dunia ikut juga merasakan ”kemarahan” bumi tanah rencong.
Dari segi wilayah geografis-oceanografis dan
meteorologis, wilayah NAD berbatasan langsung dengan Selat Malaka di sebelah
Timur, Samudera India terletak langsung disebelah Barat. Dan sebelah Utara
berbatasan dengan Laut Andaman-India.
Disebelah Selatan berbatasan langsung dengan
daratan Propinsi Sumatera Utara dengan kumpulan lembah-lembah/patahan lokal
sebagai ruas yang terkunci (dinding/segment) di Patahan Sumatera dari arah
Selatan Lampng dan Patahan Besar Tumur Batak di Danau Toba.
Tinjauan dari segi oceanografis dan meteorologis mencakup juga aspek perbedaan sensitif terhadap perubahan angin
musiman, gelombang pasang, arus pasang surut di sebalah Barat dan Timur yang
memiliki perbedaan sangat kontras. Bagian Barat Pantai Sumatera sampai ke Pulau
Jawa terdapat dua kutub Lautan Hindia (Indian Ocean Dipole/IOD). Satu Kutub
berada di kawasan Pantai Sumatera sampai Jawa. Sedangkan Kutub lain berada di
kawasan Pantai Timur Afrika.
Tidak mengherankan ketika terjadi tsunami, daerah
ini mengalami bencana dahsyat dan perubahan garis pantai akibat gelombang air
laut dan pengangkatan permukaan daratan dampak tumbukan lempeng Indo-Australia.
Kondisi Bumi Aceh berbentuk segitigi, ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai perubahan iklim, terutama kondisi anomali negatif di
perairan Utara yaitu kondisi pergerakan lempeng di Palung Nikobar. Diwilayah
ini terdapat daerah bekas gunung api yang sekarang dikenal sebagai Kepulauan
Andaman dan Nikobar. Daerah ini merupakan pusat salah satu titik terlemah dari
lempeng kerak Samudera Hindia.
Gangguan (disturbance)
dari Kutub Samudera yang bersifat permanen, mengakibatkan perubahan iklim yang
tidak menentu di kawasan Sumatera. Seperti hujan salah musim yang pernah
terjadi sekitar tahun 1980-an yang dialami Sumatera termasuk Aceh. Pengaruh
anomali temperatur permukaan air laut yang mendingin di sepanjang Pantai Barat
Sumatera hingga ke Selatan Pulau Jawa dan perubahan angin yang berembus dari
Barat ke Timur di Equator.
Begitu angin tiba di Palung di Selatan Pulau Jawa,
tekanan udara di Selatan Pulau Jawa bersamaan penerobosan Lempeng
India-Australia ke jantung Benua Australia, angin secara tiba-tiba berbalik
arah dati Timur ke Barat.
Karena gangguan IOD bersifat permanen, maka ENSO (El Nino South Ossilation) tengah
mengalami disintegrasi, akibatnya akan terjadi arus balik penumpukan energi
dikawasan Indonesia. Disebabkan terjadinya tekanan rendah yang menimbulkan
depresiasi, dimana Ossilasi Selatan berbalik haluan di tengah jalan menimbulkan
fase puncak (peak fhase). Ketika
intenfisikasi itu terjadi di Pasifik Timur seperti Pantai Timur Chili dan
Ekuador atau juga di Samudera Hindia seperti Afrika Timur akan menyebabkan
banjir yang hebat dan sebaliknya kemarau panjang di Indonesia dan Australia.
Jadi, Aceh bukan saja terkenal dengan
”goyangannya” tetapi juga sangat terkenal dengan bahaya perubahan angin di
lautan, yang dapat membahayakan nelayan karena arus gelombang pasang dan
tsunami setiap saat mengancam nyawa.
Gambar : Sebaran gempa dan tsunami Aceh 2004
[Sumber : wikipedia bebas]
LEMBAH TEKTONIK ACEH
Dari segi kerentanan geologis, Wilayah NAD dalam
pembentukan daratan Aceh terdapat beberapa lembah patahan yang berada dibatas
Sumatera Utara-NAD hingga ke ujung Utara ke Palung Nikobar. Wilayah daratannya
terbentuk akibat pembenturan Lempeng India-Australia dalam peretakan Benua
Raksasa (Pangaea).
Pada perbatasan Aceh – Sumatera Utara adalah batas
dari tembok dari penekanan lempeng di daratan dari arah Selatan di Propinsi
Lampung ke Utara Propinsi NAD pada patahan Sumatera. Blok massa batuan yang
melingkupi Pegunungan Bukit Barisan ynga mengalami pematahan selalu bergerak secara
horizontal/ mendatar ke arah Utara menuju wilayah Aceh.
Akibat pergerakan ini, wilayah aceh selalu
mengalami pendesakan sehingga mematahkan setiap blok massa batuan yang menyusun
struktur platform lempeng dan membentuk sesar-sesar lokal baru pada Pulau
Sumatera. Bila blok massa batuan ini mengalami pematahan lagi akan membentuk
lembah-lembah tektonik yang rapuh dan merupakan zona yang berbahaya bagi
gelombang seismik karena daerah yang mengalami pematahan dapat mencapai puluhan
meter hingga ratusan kilometer. Di daerah ini akan mengalami perubahan geologis
terus menerus di masa mendatang.
Sepanjang daerah lembah-lembah tektonik hasil
peretakan Lempeng Sumatera di daerah Aceh diketahui melalui penelitian geologi
terdapat ruas-ruas yang terkunci. Pada wilayah Aceh terdapat beberapa lembah
yaitu Lembah Aceh menerus ke wilayah Tanah Merah-Kutacane-Laubaleng dan menerus
ke Karo (Sumut).
Pada Lembah Aceh dan Lembah Alas terdapat
ruas-ruas penguncian diperbatasan Aceh-Batu Redan (Dairi) yang mengalami
penekanan terus menerus ke Utara karena tak terdapat percabangan ruas dan
merupakan batas massa blok batuan yang memungkinkan di daratan wilayah Aceh dan
Sumatera Utara terdapat pengumpulan energi yang disalurkan melalui patahan yang
ada disetiap lembah.
Selain itu massa batuannya belum mengalami
pemadatan. Faktor salah satu penyebab mengapa wilayah Aceh yang berbatas dengan
Sumatera Utara selalu mengalami gempa daratan selain di lautan. Wilayah di
Kabupaten perbatasan ini memerlukan sebuah peta perencanaan pembangunan fisik
terutama peta kerentanan geologis.
PETA KERENTANAN GEOLOGIS
Dalam perencanaan dan pengembangan wilayah kota,
prediksi potensi bahaya bencana gempa pada kehidupan manusia, ahli bumi
(geologist) telah menyiapkan Peta Keretanan Geologis (PKG). Dalam Peta
Kerentanan Geologis akan terdapat gambaran semua informasi yang tersedia pada
daerah tertentu untuk memperkirakan karakteristik dan kekuatan bencana seperti
kekuatan bencana gerakan tanah (longsoran) dan banjir, kekuatan ledakan
gunungapi, perkiraan siklus/pengulangan kegempaan dan tsunami yang akan terjadi
pada daerah yang kritis.
Hukum geologi menyebutkan bahwa semua peristiwa
atau kejadian bencana dimasa sekarang terjadi pula pada waktu yang lampau. Maka
daerah yang sering mengalami bencana akan kembali mengalami bencana, karena
faktor perubahan geologis yang masih berlangsung terus menerus pada daerah
tersebut. Waktu terjadinya bencana alam ada yang dapat diprediksi dan ada yang
tidak dapat diprediksi. Maka Peta Kerentanan Geologis sangat diperlukan dalam
pembangunan fisik dengan bertumpuk pada informasi geologi setiap daerah dengan
ciri khas geologinya.
Sebagai contoh, pembangunan kota di daerah yang
terbentuk dari bahan letusan gunungapi purba pada tempat yang sama, dan
mengidentifikasi lembah mana yang akan menyalurkan lahar atau aliran
piroklastik. Dan dimana kemungkinan lahar atau piroklastik itu keluar.
Informasi yang dibuat dalam peta kegunungapian pada perencanaan ruang kota akan
menjelaskan bahwa proses bencana yang terjadi dimasa lalu masih cerminan masa
sekarang atau ancaman yang sama terjadi di tempat yang sama.
Untuk wilayah Aceh yang sering mengalami goncangan
gempa, peta bencana harus segera memperhitungkan jarak dan sesar gempa yang
mungkin terjadi dan karakteristik tanah dan batuan dibawah permukaan. Gerakan
tanah yang merusak bangunan jauh lebih buruk pada tanah yang goyah dan
mengalami reruntuhan dibandingkan pada batuan padat.
Sebagai informasi, bahwa tanah yang ada sekarang
merupakan tanah yang labil, yaitu tanah yang bersifat lembur (seperti bubur)
atau mudah mencair, misalnya lapisan pasirlanauan, atau juga jenis lapisan
pasir dapat mengalami goncangan dibawah permukaan menjadi cair sehingga lapisan
ini berkelakuan seperti pasir hisap, memicu penurunan permukaan yang tidak beraturan
dan meruntuhkan bangunan-bangunan.
Ini sangat memelukan perhatian dalam pembangunan
fisik untuk hunian karena wilayah Aceh dan Sumatera secara umum memiliki
perlapisan tanah seperti bubur dan bila terjadi goncangan akan menghasilkan
efek berganda yaitu goncangan lebih keras lagi dan sekaligus juga merusak
bangunan walau dengan intensitas gempa berskala sedang.
MEMBANGUN KEMBALI ACEH
Dengan melihat kejadan yang menimbulkan kerusakan
hebat di Meulaboh, Banda Aceh dan Nias,pembangunan infastruktur sangat penting
denga berbasis kegempaan (bangunan anti gempa), seperti pembangunan pelabuhan
laut seharusnya tidak lagi di didirikan ditempat daerah yang sama.
Setelah satu tahun gempa bumi Aceh berlalu, perlu
perenungan pembangunan infastruktur yang berbasis kegempaan. Untuk pembangunan
kembali Aceh, tidak perlu membangun kota yang baru kaena membutuhkan biaya yag
berlipat-lipat. Cukp merekonstruksikan ulang wilayah yang lama dengan
mempertimbangkan sistem pertahanan terhadap bencana, peletakan kawasan pemukiman
yang tepat dengan meminimalisasi bencana jumlah korban dengan mengintegrasikan
penduduk tidak jauh dari wilayah yang lama (bukan untuk dihuni lagi).
Intergasi pendekatan wilayah yang lama karena
berhubungan dengan faktor ikatan emosional yaitu kenangan dan kekerabatan yang
merupakan urat nadi atau budaya yang membentuk wilayah koa dimasa lalu sebelum
terjadinya bencana.
Pembangunan rekontruksi Aceh memerlukan
perencanaan yang komprenhensif, diawali oleh pemetaan awal zona kerentanan
geologi seperti gempa dan tsunami.
Analisis kerusakan yang terjadi akibat bencana dengan merancang kota
kembali yang lebih lengkap dengan zona pengamanan seperti magrove untuk pemecah
gelombang maka Pemerintah daerah NAD harus mengubah tata ruang daerah yang
kawasannya dilanda tsunami hingga sejauh 5 km dari garis pantai, dengan menanam
hutan bakau dan pengawasan pertumbuhan terumbu karang yang mengalami penurunan
akibat gerak tektonik.
Daerah yang terkena tsunami dijadikan sebagai
daerah “sabuk hijau” dan tidak dihuni sebagai kota. Sedangkan daerah pemukiman
sebaiknya dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi dan aman dari abrasi pantai
maupun gerakan tanah pada sisi tebing.
Wilayah dengan topografi miring landai ke pantai
sebaiknya dijadikan juga sebagai pembatas dari “greenbelt”, agar `ada wilayah
digunakan untuk penahan dan pemecah gelombang tsunami kedua setelah melewati
daerah garis yang terletak tepat dibibir pantai dengan menanam budidaya yang
memiliki daya serap akar yang tinggi agar dapat memecah gelombang tsunami.
Sedangkan untuk stuktur bangunan gedung dan rumah
sebaiknya diselaraskan dengan bangunan/arsitektur di atas peredam karet untuk
meredam goncangan yang paling buruk. Model rumah ada baiknya bergaya arsitektur
tradisional yang berkerangka kayu serta pengurangan jumlah penduduk dikawasan
rawan bencana, dan yang terakhir pemasangan sistem peringatan dini terhadap
bencana untuk memberi kesempatan bagi penduduk dengan waktu yang cukup dalam
menyelamatkan diri ke daerah aman.
Bencana geologi harus dijadikan cermin pelajaran
yang berharga untuk merencanakan pembangunan Aceh dan wilayah Indonesia lainnya
yang berbasis informasi geologi dalam mengurani dampak kerusakan yang akan
terjadi karena siklus bencana selalu kembali dengan intensitas kerusakan yang
berbeda.
Diterbitkan Surat Kabar
Harian “ANALISA” Medan, Tanggal 24 Desember 2005
Dipublikasi Ulang, tulisan ini sudah jiplak tanpa menulis nama penulis sebenarnya
Komentar
Posting Komentar