Kota Berbasis Ekologi Enerhi Hijau : Geologi Mitigasi
KOTA BERBASIS EKOLOGI ENERGI
HIJAU
Oleh M. Anwar Siregar
Faktor terpenting dalam permasalahan
lingkungan sebuah kota adalah besarnya populasi manusia atau kecepatan laju
pertambahan penduduk, sebab dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi,
kebutuhan pangan dan bahan bakar industri serta transportasi akan meningkat,
yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan kota.
Strategi yang diperlukan dalam pembangunan kota hemat energi adalah efisiensi,
intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan
pembangunan kembali kota (sustainable urban redevelopment movement). Beberapa
klaim bahwa kota berbasis energi akan mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi,
perlindungan pada daerah pori-pori dan daerah hijau, akses yang lebih baik kepada
fasilitas dan layanan kota dengan lokasi hunian yang berbasis ekologi.
ENERGI HIJAU
Sumber
daya geologi yang dimanfaatkan sebagai penghasil energi sebuah kota, terbentuk
di alam baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan
kemampuan sumber daya manusia dalam menciptakan teknologi agar dapat dirubah
dan dikonversikan menjadi energi kehidupan. Energi diperlukan bagi setiap kota
dan makhluk di bumi karena memiliki kemampuan melakukan usaha atau kerja.
Sumber daya geologi yang dapat digunakan sebagai energi yaitu minyak bumi, gas
alam, batubara, panas bumi, air, mineral radioaktif, angin, gelombang air laut,
dan radiasi matahari
Yang
perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perencanaan kota inti, satelit dan suburban
yang berbasis energi hijau adalah pencemaran udara, ada 9 jenis bahan pencemaran
udara dari bahan bakar energi yang dianggap penting, tiga diantaranya sangat
dominan dan banyak dilepaskan pada saat pembakaran bahan bakar fosil, yaitu : kelompok
Oksida carbon yang terdiri dari atas carbon monoksida [CO] dan karbon dioksida
[CO], kelompok Oksida sulfur yang terdiri atas sulfur dioksida [S] dan sulfur
trioksida [SO] serta kelompok Oksida nitrogen yang terdiri atas nitrogen oksida
[NO], dan dinitrogen oksida [N2O].
Energi
hijau diperlukan dalam upaya menekan laju CO2 di udara, Energi hijau adalah
energi bersih, ramah terhadap lingkungan, polutannya tidak menambah beban
lingkungan biosfer dan geosfer. Energi ini bisa berasal dari air, hydrotermal, hydropower, geothermal,
angin, matahari, sampah, biomassa, biofuel, hingga pemanfaatan gelombang panas
matahari dan air laut. Terbatasnya sumber energi fosil yang menyebabkan
perlunya pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi hijau [non-fosil]
yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui.
Dengan penggunaan energi hijau merupakan bagian
dari konsep kota hemat energi juga merupakan salah satu konsep perencanaan kota
hunian yang humanis, harus terintegrasi dengan stasiun transportasi dan
prasarana fasilitas publik agar dapat mencapai kota ramah lingkungan.
EKOLOGI HIJAU
Proses pemanasan bumi yang menimbulkan perubahan
iklim telah memberikan ancaman kehancuran bumi yang sebenarnya, ancaman itu
berasal dari konsentrasi yang makin bertambah dari karbon dioksida (CO2)
dan gas rumah kaca. Bahaya besar yang mengancam umat manusia dan biosfer adalah
pertambahan panas yang dipompa kedalam lingkungan lebih cepat dari yang dapat
dipancarkan kembali ke ruang angkasa, semakin tinggi peningkatan temperatur
bumi semakin besar perubahan karakteristik permukaan bumi yaitu lapisan es
kutub akan menyusut, kekeringan dan penenggelaman beberapa pulau, dan sangat
membahayakan bagi Pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pada tingkatan global, kota-kota yang ada dan
tumbuh berkembang sekarang, hampir semua indikator itu bersifat negatif, karena
tidak berbasis energi hijau dengan pola arsitekstur tata ruang hijau berupa
penataan lingkungan eko-geologi dan green construction sehingga akan ada
dampak. Sebagai contoh, misalnya sekitar 20 hingga 30 persen spesies
tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah di Indonesia jika temperatur meningkat
lagi naik 2,7 derajat Fahrenheit atau setara 1,5 derajat Celcius. Hal ini cukup
mengkhawatirkan karena wilayah Indonesia menyimpan potensi aneka hayati dan
flora sebagai keseimbangan utama paru-paru bumi di dunia.
Krisis ekologi perlu dimasukkan sebagai faktor
utama dalam pembangunan kota yang berbasis hijau dengan mengutamakan semua
lingkungan tata ruang harus terdapat dan berbasis ekologi hijau berupa taman
kompleks perumahan, halaman rumah yang hijau, taman paru-paru kota,
taman/koridor jalan, taman evakuasi, taman sanggahan bencana, taman pertanian
dan kehutanan abadi serta taman tata ruang air berkelanjutan. Dengan konsep
berbasis ekologi energi hijau disetiap wilayah kota yang berbentuk kota
Suburban maupun sebagai rangkaian kota Satelit akan memberikan efek pengurangan
energi ke lingkungan berupa penekanan pemakaian kendaraan pribadi, mendorong
penduduk untuk naik sepeda, berjalan kaki, mengurangi pemakaian pendingin buatan
seperti AC, rumah tanpa AC. Membatasi penggunaan AC mobil pribadi.
Pembangunan tata ruang ekologi harus juga
mempertimbangkan pembangunan hunian vertikal maupun horizontal sebagai sarana
kebutuhan sosial ekonomi terutama konsep fungsi lahan campur yaitu mendekatkan
lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak tempuh yang
hemat waktu yang memungkinkan kendaraan non motorisasi seperti berjalan kaki,
bersepeda dengan tatanan ruang hijau yang menyejukan serta dimudahkan dengan
sarana transportasi misalnya stasiun yang bersistem transit dengan lokasi
layanan fasilitas publik agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan dan mereduksi
dana transportasi.
TRANSPORTASI HEMAT
Penggunaan
energi alternatif bagi sarana transportasi dari energi hijau terbarukan dapat
memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi lingkungan di bumi dalam
menahan laju kerusakan lapisan ozon di geostrosfer, pengurangan efek rumah kaca
dan penurunan kerusakan degradasi ekologi lingkungan dan mencegah kerusakan
sumber-sumber daya hayati dan pengurangan tingkat keasaman air hujan dan
mengendalikan pola sirkulasi air bawah dan atas permukaan.
Kebijakan transportasi dan tata guna lahan yang
erat dengan ide kota kompak yang menunjukkan pentingnya melihat kondisi
perkembangan kota yaitu salah satu adalah pola pergerakan/transport, dan pola
tata guna lahan. Namun hal ini, belum terlihat jelas di berbagai kota di
Sumatera Utara, contoh yang paling dekat kota Mebidang-Karo [Medan, Binjai,
Deli Serdang, dan Karo] atau Juga Mebidang-Segisisi [Sergai, Tebing Tinggi,
Simalungun dan Pematang Siantar], wilayah diperbatasan kota ini harusnya
memiliki pengkoordinasian layanan publik terdekat, banyak ditemukan dan
dibangun rumah tumbuh. Memerlukan mobilitas transportasi yang tinggi, sebagai
contoh, perhatikan aktivitas masyarakat setiap hari jam kerja dari pinggir ke
inti kota yang berjarak ke tujuan sejauh 15-45 km, dengan waktu antara 20-60
menit dalam keadaan normal.
Mobilitas masyarakat modern ditandai dengan
semakin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan
antar wilayah. Kepadatan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak [BBM] perlu
diperhitungkan dalam mengendalikan dampaknya terhadap krisis lingkungan, yaitu
pola kenaikan emisi polutan sisa pembakatan BBM ke lingkungan. Dan kita sudah
tahu, situasi ketika memasuki daerah tujuan sering ditemukan antrian panjang
kendaraan yang banyak menghasilkan polutan dari pemanasan dan pemborosan bahan
bakar yang menjadi bentuk pencemaran udara ke lingkungan hidup, terdapat penggunaan
75 persen energi berasal dari sumber-sumber pemakaian BBM.
Kenaikan densitas penduduk ini perlu disertai
dengan usaha penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed
use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota
akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem unit transportasi. Sistem
transportasi umum yang intensif akan membantu dalam menyelesaikan masalah
kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi manusia, selain mendorong
berbagai kegiatan kota lebih aktif.
Besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Sebagai
pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk
memudahkan pengkoordinasian (smart urban management). Medan harusnya
menjadi pioner bagi kota disekitarnya, karena sebagian penduduknya bermukim
dikawasan pinggiran dan bekerja di inti kota dengan mendata akses mobilitas
para pekerja yang sesuai dengan kondisi tempat keberadaan waktu yang
diperlukan.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan
Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat Pada Bulan Januari 2014 di Harian ANALISA MEDAN
Boleh Copas tetapi tulis sumbernya jika untuk Penulisan Blog dan keperluan lainnya
Boleh Copas tetapi tulis sumbernya jika untuk Penulisan Blog dan keperluan lainnya
Komentar
Posting Komentar