Jun 23, 2014

Meminimalisasi Bencana banjir Kota Berbasis Geologis Air : Geologi Mitigasi

MEMINIMALISASI BENCANA BANJIR KOTA BERBASIS GEOLOGIS AIR
Oleh M. Anwar Siregar
Membangun kota berbasis banjir memerlukan perencanaan lahan, dan merupakan masalah klasik di perkotaan yang semakin kompleks, karena menyangkut berbagai aspek antara lain urbanisasi, lingkungan dan sosial masyarakat serta inkonsistensi dalam menegakkan kebijakan penataan ruang khusus lahan RTH, sehingga menimbulkan semrawutan dengan terbentuknya model tata ruang “lawan” yaitu tata ruang kumuh, terbentuknya kawasan pedagang kaki lima dan berakhir dengan kerumitan sistim drainase kota, sistim transportasi dan sistim kesehatan lingkungan.
BERBASIS EKOLOGI LAHAN DAS
Membangun kota berbasis geologis air dapat diupayakan salah satunya antara lain dengan belajar penataan ekologi lahan banjir model Ekologi RTH Belanda di daerah lahan DAS. Perkembangan pesat pembangunan sekarang dengan diiringi pertambahan penduduk disekitar bantaran sungai membawa dampak penurunan fungsi bantaran sungai di DAS secara alamiah sebagai retarding pond, sebagai stabilitas morfologi dan sebagai komponen retensi hidroulis yang dikenal sebagai retensi tebing, dasar sungai, alur sungai serta erosi sedimentasi dan banjir yang tidak akan dapat diminimalisir oleh sungai sendiri karena telah mengalami penurunan kualitas lingkungan sehingga ancaman bencana banjir dan longsoran selalu akan hadir setiap saat.
Model ekologi RTH di kota besar di Belanda memanfaatkan kelebihan dan kelimpahan air dengan memperbanyak daerah lahan hijau yang sempit sebagai keseimbangan dengan laju peningkatan bangunan disekitar bantaran DAS [daerah aliran sungai] sebagai daerah tangkapan air, daerah resapan, lalu disulap menjadi daerah space eco-tourisme, maka pendangkalan dan penurunan kekuatan tanah di DAS dapat diminimalisasi dampaknya bagi keberlanjutan tata ruang air di daerah kawasan padat, setiap bangunan harus menyediakan daerah resapan, baik di hulu maupun di hilir terutama daerah bantaran DAS dan pantai/laut sesuai dengan kondisi tatanan geologi topografinya.
Setiap lokasi bangunan pemerintahan, pemukiman dan kuliner serta lahan parkir harus menyisipkan ruang terbuka hijau apabila pembangunan itu di bangun di sekitar daerah ”kumpulan air”, daerah kumpulan air itu lalu di tata jenis tumbuhan yang sesuai dengan karakter pengakaran tanah di sekitar sungai, berfungsi sebagai penahan longsor alamiah dengan kombinasi penahan longsoran beton. Prinsipnya, harus ada RTH dalam RTH, atau berlapis-lapis, berguna untuk menyerap air jika kemampuan kapasitas sungai telah melebihi kapasitas debit. Model berlapis ini akan terdapat daerah rawa-rawa hijau, daerah sumur resapan berjarak 30-50 meter dari DAS, lalu sisipan jalan untuk pedestarian akan terdapat sumur biopori.
Refleksi pertahanan banjir bagi kota dalam ancaman penenggelaman akibat banjir bandang adalah pertahanan model serangan tsunami, dibuat berlapis-lapis dalam tata ruang, yang paling utama adalah pembangunan kawasan hijau di daerah sempit dan kumuh. Namun hal ini semakin berkurang, kalau kita identifikasi setiap kota yang berlangganan banjir hanya memiliki sekitar 12-15 persen daerah resapan hijau.
BERBASIS SEJUTA SUMUR RESAPAN
Idealnya, kota-kota di Indonesia memiliki daerah sejuta sumur resapan, ataupun minimal 30 persen sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Kota, sehingga curah hujan yang tinggi di kota besar dapat terserap dan mengendalikan sebagian banjir, sebagian gerakan geologis air menuju sumber-sumber penampungan air seperti Kanal dan Situ atau Danau air alamiah.
Kota dengan karakter geologi yang terbentuk oleh berbagai cekungan sungai, berada dipinggiran pembenturan lempeng [kota pantai berbatas dengan laut, yang kaya sumber air permukaan, topografi rendah dengan sejajar atau di bawah permukaan air laut] dan geomorfologi kawasan rendah perlu mengembangkan sejuta sumur resapan dengan melakukan kajian dan identifikasi geologis air sungai yang melingkupi kota-kota besar di Indonesia. Kita akan selalu menemukan fakta geohidrologis, berupa sungai yang membelah bawah permukaan kota besar, data informasinya selalu diabaikan sehingga daerah hijau yang berada diatas permukaan sering ’dihabisi’ walau lebarnya hanya 15 meter dengan panjang 100 meter sering berdiri bangunan beton.
Tidak mengherankan, banjir tahunan melanda Jakarta. Sebab, telah diidentifikasi bahwa Jakarta di lewati lebih 10 sungai, Medan di lewati 7 sungai besar, Semarang di lewati 6 sungai, Bandung, Manado dan Jambi dibelah 4 sungai besar, semua kota tersebut sebagian daratannya berhadapan langsung dengan batimetri/topografi laut atau pantai, sehingga limpasan air sungai hanya terserap di daratan sekitar 20-30 persen jika tatanan drainase buruk, kanal terbatas, ekologi DAS di bawah 12 persen, selebihnya mengalir menjadi limpasan air bandang sehingga menjadi masalah klasik tahunan yang sangat merugikan segala aktivitas kota dan manusia.
Sumur resapan merupakan salah satu solusi yang dapat mengurangi tingkat kebencanaan banjir dan sumur resapan bisa dibuat pada tiap bangunan yang telah terbangun, pemerintah wajib mensosialisasikan bagi pembangunan gedung baru, harus menyediakan sumur resapan minimal terdapat dua lokasi. Sumur resapan dapat sebagai bagian dari izin mendirikan bangunan baru di lokasi pemukiman dengan membuat taman sumur resapan dan sumur biopori. Air yang berlebihan ketika curah hujan tinggi dapat ditampung dan mengalir ke sumber-sumber air bawah permukaan atau cekungan air tanah [CAT], limpasan air dapat diminimalisasi menjadi nilai ekonomis sekaligus mengisi CAT yang tingkat produktivitasnya rendah dan dipergunakan sebagai cadangan air berkelanjutan.
BERBASIS KANAL BANJIR
Salah satu aspek pembangunan fisik kota yang selalu dilupakan atau diabaikan adalah fakta hidrologis dan manajemen air yang sangat berkaitan dengan terjadinya banjir di perkotaan dan erat hubungannya dengan kesatuan wilayah [CAT] dengan DAS. Dengan memahami sistim DAS yang merupakan sebidang lahan dalam menampung air hujan dan mengalir ke satu titik oulet maka perlu pengembangan jaringan kanal banjir dengan memperhatikan batas topologi hamparan wilayah aliran air yang sama di satu punggung bukit, apakah di sungai, danau atau laut sebagai daerah tangkapan air.
Kota yang memiliki keterbatasan lahan dan topografi rendah dapat membangun kanal-kanal banjir di perbatasan, karena umumnya bencana banjir datang dari daerah pinggiran punggung perbukitan sesuai karakteristik DAS, hal ini perlu dilakukan karena derasnya pembangunan fisik tidak sebanding dengan penyediaan tata guna lahan di kota baik dalam bentuk lahan rehabilitasi maupun lahan peruntukan fisik, setiap bulan selalu ada laju pembangunan gedung sebanyak 3- 4 gedung dalam jarak radius maksimal 200 meter, dan menyerap ruang ekologi hijau mencapai 400 meter. Setiap satu gedung telah mengurangi daerah resapan sekitar 8-10 persen dari luas persil yang ada di sekitar bangunan fisik diperkotaan. Ini salah satu penyebab banjir di kota besar di Indonesia.
BERBASIS DRAINASE BIOPORI
Buruknya sistim drainase berdampak pada kerugian, gambaran ini masih ada hubungan dengan sistim pengelolaan air dengan manejemen tata ruang kota. Dari beberapa literatur menyebutkan 80 persen atau 350 kota dari total 485 kota di Indonesia di bangun disekitar sumber-sumber air seperti sekitar DAS, danau, tepi pantai dan sungai besar yang tidak memperhatikan kualitas habitat sungai.
Solusi lainnya untuk mencegah banjir dengan nilai ekonomis adalah membuat drainase model baru yang selaras dan berhubungan dengan sumber-sumber air. Model drainase yang ada sekarang umumnya dibuat dalam bentuk drainase biasa dan tumpah tindih dengan drainase limbah dan air hujan, serta cukup untuk menampung air seperti kita lihat sekarang namun tidak menyerap dan menyimpan air.
Model drainase biopori yang penulis maksudkan adalah drainase yang dapat berfungsi menyerap, menyimpan dan mengalirkan air di bawah permukaan secara alamiah melalui sistim biopori yang di buat di dalam drainase dengan memperhitungkan kapasitas dan debit drainase ke lokasi sumber air bersih serta memperhatikan jenis stratigrafi tanah drainase agar penyerapan air lebih cepat ke sumber batuan induk aquifer melalui proses geologis airi dan hidrogeologis akan disalurkan secara merata dibawah permukaan bumi.
Model drainase biopori masih jarang dibuat di kota besar Indonesia, Medan bisa menjadi ujung tombak untuk memulai pembangunannya. Pasti bisa.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, 
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN

No comments:

Post a Comment

Related Posts :