Dec 4, 2017

Banjir Medan, Cerita Klasik Bersambung

Banjir Medan, Cerita Klasik Bersambung Tanpa Titik

Oleh M. Anwar Siregar



Pada 2015 dan 2016 lalu Medan me­ng­­alami banjir besar. Kondisi itu, mem­buat aktivitas masyarakat kota Me­dan mengalami gangguan. Ber­da­sarkan data analisis Badan Meteorologi, Kli­matologi dan Geofisika (BMKG) wi­layah Medan, diperkirakan Medan akan meng­alami siklus banjir tahunan akan ter­ulang kembali, sebab dalam dua ming­gu ini Medan terus di guyur hujan deras yang tidak menentu, kadang bisa siang, kadang bisa malam dan pagi hari dengan intensitas dapat mencapai dua jam.

Dan beberapa hari yang lalu, daerah kota sanggahan Medan, seperti kota Tan­jung Morawa dan Sunggal meng­alami curah hujan yang cukup tinggi sehingga meluberkan air ke wilayah Medan dan kota Medan sendiri meng­ala­mi banjir juga karena cuarah hujan se­lama dua hari (3-4 dan 6-7/11/17) selam dua jam, sungai-sungai kecil bermuncu­lan dima­na-mana, hambatan perjalanan trans­por­tasi mengalami gangguan. Gam­ba­ran siklus banjir ini sebenarnya meru­pa­kan ke­jadian lalu dan beberapa wilayah di Me­dan telah meng­alami banjir silih ber­ganti, lihat saja banjir di Medan Maimun

Sering terjadinya banjir menyebabkan kemacetan lalu lintas dan terhambatnya mobilisasi logistik dan juga meng­hambat kecepatan waktu untuk mobilitas pelaku bisnis dan pemerintah dalam memberi­kan pelayanan kepada masya­rakat, dampak banjir yang akan terulang itu sebenarnya dapat diatasi jika pembangu­nan kanal dan parit busuk dapat di sela­raskan jika tata ruang dapat dijaga. Ka­rena bencana banjir kota Medan sudah ter­masuk yang sangat sulit diatasi ma­salah banjirnya, sehingga upaya untuk me­minimalisasi secara total banjir di Me­dan selalu terkendala dan masalah banjir ini bisa kita lihat pada pem­ba­ngunan saluran dan under pass dari wi­layah Amplas hingga ke Medan Jo­hor be­lum mampu mengatasi banjir, se­bab­nya, terlihat masih belum bersam­bung­nya antar parbus yang besar ke lokasi ka­nal banjir Medan.
Tantangan Banjir
Masalah banjir di Medan sangat kom­pleks dan memer­lukan kerjasama antar ber­bagai pihak baik pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Terlebih, jumlah ba­ngu­nan di Medan kini terus bertambah se­hing­ga hanya ada sekitar 12 persen lahan daerah res­apan yang mengen­da­li­kan curah air per­mukaan jika hujan deras me­landa kota Me­dan. Ini berarti banjir ma­sih akan berlanjut, karena percuma saja menda­lamkan parbus atau drainage diperlebar jika daerah resapan air sangat terbatas, dan apakah kita akan menikmati cerita banjir selama hidup ini? Merupa­kan tantangan bagi para aktor di berbagai bidang yang berkepentingan dengan pem­­bangunan Medan sebagai rumah kita yang (belum) layak di tempati.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Medan berda­sarkan kondisi umum perlu dibuat solusi sesuai dengan lokasi daerah kawasan tumbuh maupun kawa­san padat dan kawasan yang belum padat dengan hidromografik alam dan kepadat­an penduduk, agar pembangunan kanal yang ada maupun belum dalam persiapan ta­hap perencanaan pemba­ngunan untuk mengatasi masalah banjir dengan pemba­ngunan kanal banjir yang berasal dari air hulu sungai Deli, air hujan dan air drai­nase perkotaan dapat ditampung dalam ba­ngunan kanal banjir tersebut. Dan banjir yang selalu terja­di di kota Me­dan dapat diminimalisasi secara perla­han.
Namun, hingga saat ini parit busuk alias parbus yang terus diperdalam belum mak­simal dan juga belum semua ber­muara ke kanal banjir yang sudah ada, sehingga kita masih sering mengalami “su­ngai-sungai kecil” pada infra­struktur jalan raya serta kesadaran menjaga par­bus alias drainage sangat buruk, banyak ditemukan sampah-sampah yang sangat mengganggu mobilisasi warga dan juga me­nyebabkan salah satu “cerita episode banjir”, sebab salah satu penyebab banjir dan diperparah semakin banyaknya pedagang membuka usaha diatas parbus yang baru di per­dalam sehingga untuk mengendalikan lulusan air ke kanal juga mengalami kendala dan alhasilnya kita menikmati banjir bersama.
Diperkirakan setidaknya setengah po­pulasi masyarakat kota Medan hidup di ka­wasan perkotaan dari inti hingga men­dekati pinggiran kota dan merupakan tan­tangan untuk mencari lokasi pembua­ngan limbah rumah tangga. Di Medan, jum­lah war­ganya yang hidup di inti kota men­capai 22,2 persen dan meningkat pesat menjadi 41,3 persen pada 2004 (data kom­pilasi). Dengan sebaran pen­du­duk ini, jelas membutuhkan ruang un­tuk tempat pembua­ngan air kotor dari ber­bagai rumah tangga, sedang luasan jalan juga mem­butuhkan pelebaran sehingga akan timbul penyempit­an drainage dan ujungnya tanah rumah war­ga terkena imbas pele­baran, dan kega­duhan berujung konflik. Membutuh­kan waktu yang lama lagi untuk mewujud­kan daerah aman banjir karena warga melaku­kan perlawanan dan etika pene­rapan kebija­kan juga mengalami kendala di lapangan, se­buah cerita konflik banjir bersambung lagi.
Kegiatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berpusat di kota besar seperti kota Medan menjadi daya tarik pengungkit pertambahan penduduk dan arus urbanisasi di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota dari ancaman banjir termasuk menekan penyerobotan atau mengokupasi lahan hijau seba­gai pengendali banjir semakin menyu­sut  yang lebih kom­prehensif dari berbagai sek­tor di Medan.
Gambaran ini juga berlaku juga untuk kota disekitar perbatasan kota Medan dalam mempersiapkan tata ruang akibat per­tum­buhan jumlah penduduk yang bermukim di ping­giran Kota Medan semakin padat dan meningkat terus menerus akibat arus urbanisasi, berkurangnya daerah resapan akan menyebabkan bencana ekologi seperti banjir, yang merupakan cerita klasik Medan yang belum bertanda “koma” alias cerita bersambung tanpa ada episode jeda, hampir seluruh wilayah Medan sangat mengganggu kenyamanan aktivitas warga, banjir telah banyak merugikan banyak hal di tengah masyarakat Medan.
Cerita tantangan banjir Medan telah ber­seri-seri, mulai dari aspek kerugian eko­nomi, aspek kerugian logistik, aspek keru­gia­n waktu, aspek kerugian transportasi lalu lintas di jalan, aspek kerugian barang ru­mah tangga dan aspek ketertinggalan SDM akibat libur banjir dan lain-lain yang harus ditanggung masyarakat.
Banjir Bersambung
Karena ini merupakan tantangan yang le­bih membu­tuhkan daya kreasi untuk m­e­nata tata ruangan di pinggir perbatasan dan penegakan aturan pinggir jalan raya, maka Pemkot Medan perlu segera mencari solusi untuk meng­antisipasi musibah banjir di kota Medan dengan memper­hatikan aspek lingkungan PKL di perkotaan, tidak cukup mengurusi parbus sebelum dan sesudah musim hujan, perlu mencari solusi daerah resapan air, daerah perluasan Ruang Hijau Terbuka yang masih terbatas, melakukan konversi daerah rawa yang belum disentuh pembangunan hunian perumahan atau kompleks perumahan yang masih ada untuk mengendalikan lulusan air permukaan dan juga sebagai sarana penyimpanan air tanah dalam suatu cekungan air bawah tanah.
Selain kawasan peresapan alamiah, juga perlu mem­bangun dan mendorong warga untuk mengelola sampah berbasis komuni­tas agar tidak membuang sampah seenaknya di parbus agar sampah dapat diberdayakan untuk kepentingan ekonomi dan energi serta juga memberdayakan PKL yang berdagang diatas parbus agar dapat mengendalikan cerita banjir bersambung akibat buangan dari hasil dagangan mere­ka, dan Pemkot Medan harus tegas dalam menindak atau men­cabut izin usaha pengembangan Peru­mahan yang tidak memperhatikan lingku­ngan agar lebih mempe­rio­ritaskan daerah resapan air dan parbus sebelum membangun peru­mahan karena selalu ada gam­baran land cleaning sebe­lum fisik ba­ngunan di ba­ngun, sedangkan daerah hijau selalu da­lam posisi “belakangan”, gundul dan babat se­mua­nya baru banjir datang, me­nyesal sudah terlambat.
Setelah sempat surut selama sepekan lalu mendadak curah hujan belakangan me­ningkat karena iklim global sudah susah di “ramal”, banjir kembali menerjang sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Utara. Ribuan rumah terendam, pere­ko­no­mian lumpuh, sejumlah daerah terisolasi dan  sejumlah sekolahpun diliburkan. Me­lihat kondisi lingkungan dan tata ruang saat ini,  dengan intensitas hujan yang cukup ting­gi maka bencana banjir akan cepat da­tang ke Medan. Maka cerita klasik banjir tetap bersambung tanpa titik.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.
Dan beberapa hari yang lalu, daerah kota sanggahan Medan, seperti kota Tan­jung Morawa dan Sunggal meng­alami curah hujan yang cukup tinggi sehingga meluberkan air ke wilayah Medan dan kota Medan sendiri meng­ala­mi banjir juga karena cuarah hujan se­lama dua hari (3-4 dan 6-7/11/17) selam dua jam, sungai-sungai kecil bermuncu­lan dima­na-mana, hambatan perjalanan trans­por­tasi mengalami gangguan. Gam­ba­ran siklus banjir ini sebenarnya meru­pa­kan ke­jadian lalu dan beberapa wilayah di Me­dan telah meng­alami banjir silih ber­ganti, lihat saja banjir di Medan Maimun.
Sering terjadinya banjir menyebabkan kemacetan lalu lintas dan terhambatnya mobilisasi logistik dan juga meng­hambat kecepatan waktu untuk mobilitas pelaku bisnis dan pemerintah dalam memberi­kan pelayanan kepada masya­rakat, dampak banjir yang akan terulang itu sebenarnya dapat diatasi jika pembangu­nan kanal dan parit busuk dapat di sela­raskan jika tata ruang dapat dijaga. Ka­rena bencana banjir kota Medan sudah ter­masuk yang sangat sulit diatasi ma­salah banjirnya, sehingga upaya untuk me­minimalisasi secara total banjir di Me­dan selalu terkendala dan masalah banjir ini bisa kita lihat pada pem­ba­ngunan saluran dan under pass dari wi­layah Amplas hingga ke Medan Jo­hor be­lum mampu mengatasi banjir, se­bab­nya, terlihat masih belum bersam­bung­nya antar parbus yang besar ke lokasi ka­nal banjir Medan.
Tantangan Banjir
Masalah banjir di Medan sangat kom­pleks dan memer­lukan kerjasama antar ber­bagai pihak baik pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Terlebih, jumlah ba­ngu­nan di Medan kini terus bertambah se­hing­ga hanya ada sekitar 12 persen lahan daerah res­apan yang mengen­da­li­kan curah air per­mukaan jika hujan deras me­landa kota Me­dan. Ini berarti banjir ma­sih akan berlanjut, karena percuma saja menda­lamkan parbus atau drainage diperlebar jika daerah resapan air sangat terbatas, dan apakah kita akan menikmati cerita banjir selama hidup ini? Merupa­kan tantangan bagi para aktor di berbagai bidang yang berkepentingan dengan pem­­bangunan Medan sebagai rumah kita yang (belum) layak di tempati.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Medan berda­sarkan kondisi umum perlu dibuat solusi sesuai dengan lokasi daerah kawasan tumbuh maupun kawa­san padat dan kawasan yang belum padat dengan hidromografik alam dan kepadat­an penduduk, agar pembangunan kanal yang ada maupun belum dalam persiapan ta­hap perencanaan pemba­ngunan untuk mengatasi masalah banjir dengan pemba­ngunan kanal banjir yang berasal dari air hulu sungai Deli, air hujan dan air drai­nase perkotaan dapat ditampung dalam ba­ngunan kanal banjir tersebut. Dan banjir yang selalu terja­di di kota Me­dan dapat diminimalisasi secara perla­han.
Namun, hingga saat ini parit busuk alias parbus yang terus diperdalam belum mak­simal dan juga belum semua ber­muara ke kanal banjir yang sudah ada, sehingga kita masih sering mengalami “su­ngai-sungai kecil” pada infra­struktur jalan raya serta kesadaran menjaga par­bus alias drainage sangat buruk, banyak ditemukan sampah-sampah yang sangat mengganggu mobilisasi warga dan juga me­nyebabkan salah satu “cerita episode banjir”, sebab salah satu penyebab banjir dan diperparah semakin banyaknya pedagang membuka usaha diatas parbus yang baru di per­dalam sehingga untuk mengendalikan lulusan air ke kanal juga mengalami kendala dan alhasilnya kita menikmati banjir bersama.
Diperkirakan setidaknya setengah po­pulasi masyarakat kota Medan hidup di ka­wasan perkotaan dari inti hingga men­dekati pinggiran kota dan merupakan tan­tangan untuk mencari lokasi pembua­ngan limbah rumah tangga. Di Medan, jum­lah war­ganya yang hidup di inti kota men­capai 22,2 persen dan meningkat pesat menjadi 41,3 persen pada 2004 (data kom­pilasi). Dengan sebaran pen­du­duk ini, jelas membutuhkan ruang un­tuk tempat pembua­ngan air kotor dari ber­bagai rumah tangga, sedang luasan jalan juga mem­butuhkan pelebaran sehingga akan timbul penyempit­an drainage dan ujungnya tanah rumah war­ga terkena imbas pele­baran, dan kega­duhan berujung konflik. Membutuh­kan waktu yang lama lagi untuk mewujud­kan daerah aman banjir karena warga melaku­kan perlawanan dan etika pene­rapan kebija­kan juga mengalami kendala di lapangan, se­buah cerita konflik banjir bersambung lagi.
Kegiatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berpusat di kota besar seperti kota Medan menjadi daya tarik pengungkit pertambahan penduduk dan arus urbanisasi di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota dari ancaman banjir termasuk menekan penyerobotan atau mengokupasi lahan hijau seba­gai pengendali banjir semakin menyu­sut  yang lebih kom­prehensif dari berbagai sek­tor di Medan.
Gambaran ini juga berlaku juga untuk kota disekitar perbatasan kota Medan dalam mempersiapkan tata ruang akibat per­tum­buhan jumlah penduduk yang bermukim di ping­giran Kota Medan semakin padat dan meningkat terus menerus akibat arus urbanisasi, berkurangnya daerah resapan akan menyebabkan bencana ekologi seperti banjir, yang merupakan cerita klasik Medan yang belum bertanda “koma” alias cerita bersambung tanpa ada episode jeda, hampir seluruh wilayah Medan sangat mengganggu kenyamanan aktivitas warga, banjir telah banyak merugikan banyak hal di tengah masyarakat Medan.
Cerita tantangan banjir Medan telah ber­seri-seri, mulai dari aspek kerugian eko­nomi, aspek kerugian logistik, aspek keru­gia­n waktu, aspek kerugian transportasi lalu lintas di jalan, aspek kerugian barang ru­mah tangga dan aspek ketertinggalan SDM akibat libur banjir dan lain-lain yang harus ditanggung masyarakat.
Banjir Bersambung
Karena ini merupakan tantangan yang le­bih membu­tuhkan daya kreasi untuk m­e­nata tata ruangan di pinggir perbatasan dan penegakan aturan pinggir jalan raya, maka Pemkot Medan perlu segera mencari solusi untuk meng­antisipasi musibah banjir di kota Medan dengan memper­hatikan aspek lingkungan PKL di perkotaan, tidak cukup mengurusi parbus sebelum dan sesudah musim hujan, perlu mencari solusi daerah resapan air, daerah perluasan Ruang Hijau Terbuka yang masih terbatas, melakukan konversi daerah rawa yang belum disentuh pembangunan hunian perumahan atau kompleks perumahan yang masih ada untuk mengendalikan lulusan air permukaan dan juga sebagai sarana penyimpanan air tanah dalam suatu cekungan air bawah tanah.
Selain kawasan peresapan alamiah, juga perlu mem­bangun dan mendorong warga untuk mengelola sampah berbasis komuni­tas agar tidak membuang sampah seenaknya di parbus agar sampah dapat diberdayakan untuk kepentingan ekonomi dan energi serta juga memberdayakan PKL yang berdagang diatas parbus agar dapat mengendalikan cerita banjir bersambung akibat buangan dari hasil dagangan mere­ka, dan Pemkot Medan harus tegas dalam menindak atau men­cabut izin usaha pengembangan Peru­mahan yang tidak memperhatikan lingku­ngan agar lebih mempe­rio­ritaskan daerah resapan air dan parbus sebelum membangun peru­mahan karena selalu ada gam­baran land cleaning sebe­lum fisik ba­ngunan di ba­ngun, sedangkan daerah hijau selalu da­lam posisi “belakangan”, gundul dan babat se­mua­nya baru banjir datang, me­nyesal sudah terlambat.
Setelah sempat surut selama sepekan lalu mendadak curah hujan belakangan me­ningkat karena iklim global sudah susah di “ramal”, banjir kembali menerjang sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Utara. Ribuan rumah terendam, pere­ko­no­mian lumpuh, sejumlah daerah terisolasi dan  sejumlah sekolahpun diliburkan. Me­lihat kondisi lingkungan dan tata ruang saat ini,  dengan intensitas hujan yang cukup ting­gi maka bencana banjir akan cepat da­tang ke Medan. Maka cerita klasik banjir tetap bersambung tanpa titik.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.
Dipublikasi HARIAN ANALISA MEDAN. 14 November 2017

No comments:

Post a Comment

Related Posts :