Banjir Medan, Cerita Klasik Bersambung
Banjir Medan, Cerita Klasik Bersambung Tanpa Titik
Oleh M. Anwar Siregar
Pada 2015 dan 2016 lalu Medan mengalami banjir
besar. Kondisi itu, membuat aktivitas masyarakat kota Medan mengalami
gangguan. Berdasarkan data analisis Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) wilayah Medan, diperkirakan Medan akan mengalami
siklus banjir tahunan akan terulang kembali, sebab dalam dua minggu
ini Medan terus di guyur hujan deras yang tidak menentu, kadang bisa
siang, kadang bisa malam dan pagi hari dengan intensitas dapat mencapai
dua jam.
Dan beberapa hari yang lalu, daerah kota sanggahan Medan, seperti
kota Tanjung Morawa dan Sunggal mengalami curah hujan yang cukup
tinggi sehingga meluberkan air ke wilayah Medan dan kota Medan sendiri
mengalami banjir juga karena cuarah hujan selama dua hari (3-4 dan
6-7/11/17) selam dua jam, sungai-sungai kecil bermunculan dimana-mana,
hambatan perjalanan transportasi mengalami gangguan. Gambaran
siklus banjir ini sebenarnya merupakan kejadian lalu dan beberapa
wilayah di Medan telah mengalami banjir silih berganti, lihat saja
banjir di Medan Maimun
Sering terjadinya banjir menyebabkan kemacetan lalu lintas dan terhambatnya mobilisasi logistik dan juga menghambat kecepatan waktu untuk mobilitas pelaku bisnis dan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dampak banjir yang akan terulang itu sebenarnya dapat diatasi jika pembangunan kanal dan parit busuk dapat di selaraskan jika tata ruang dapat dijaga. Karena bencana banjir kota Medan sudah termasuk yang sangat sulit diatasi masalah banjirnya, sehingga upaya untuk meminimalisasi secara total banjir di Medan selalu terkendala dan masalah banjir ini bisa kita lihat pada pembangunan saluran dan under pass dari wilayah Amplas hingga ke Medan Johor belum mampu mengatasi banjir, sebabnya, terlihat masih belum bersambungnya antar parbus yang besar ke lokasi kanal banjir Medan.
Tantangan Banjir
Masalah banjir di Medan sangat kompleks dan memerlukan kerjasama antar berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Terlebih, jumlah bangunan di Medan kini terus bertambah sehingga hanya ada sekitar 12 persen lahan daerah resapan yang mengendalikan curah air permukaan jika hujan deras melanda kota Medan. Ini berarti banjir masih akan berlanjut, karena percuma saja mendalamkan parbus atau drainage diperlebar jika daerah resapan air sangat terbatas, dan apakah kita akan menikmati cerita banjir selama hidup ini? Merupakan tantangan bagi para aktor di berbagai bidang yang berkepentingan dengan pembangunan Medan sebagai rumah kita yang (belum) layak di tempati.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Medan berdasarkan kondisi umum perlu dibuat solusi sesuai dengan lokasi daerah kawasan tumbuh maupun kawasan padat dan kawasan yang belum padat dengan hidromografik alam dan kepadatan penduduk, agar pembangunan kanal yang ada maupun belum dalam persiapan tahap perencanaan pembangunan untuk mengatasi masalah banjir dengan pembangunan kanal banjir yang berasal dari air hulu sungai Deli, air hujan dan air drainase perkotaan dapat ditampung dalam bangunan kanal banjir tersebut. Dan banjir yang selalu terjadi di kota Medan dapat diminimalisasi secara perlahan.
Namun, hingga saat ini parit busuk alias parbus yang terus diperdalam belum maksimal dan juga belum semua bermuara ke kanal banjir yang sudah ada, sehingga kita masih sering mengalami “sungai-sungai kecil” pada infrastruktur jalan raya serta kesadaran menjaga parbus alias drainage sangat buruk, banyak ditemukan sampah-sampah yang sangat mengganggu mobilisasi warga dan juga menyebabkan salah satu “cerita episode banjir”, sebab salah satu penyebab banjir dan diperparah semakin banyaknya pedagang membuka usaha diatas parbus yang baru di perdalam sehingga untuk mengendalikan lulusan air ke kanal juga mengalami kendala dan alhasilnya kita menikmati banjir bersama.
Diperkirakan setidaknya setengah populasi masyarakat kota Medan hidup di kawasan perkotaan dari inti hingga mendekati pinggiran kota dan merupakan tantangan untuk mencari lokasi pembuangan limbah rumah tangga. Di Medan, jumlah warganya yang hidup di inti kota mencapai 22,2 persen dan meningkat pesat menjadi 41,3 persen pada 2004 (data kompilasi). Dengan sebaran penduduk ini, jelas membutuhkan ruang untuk tempat pembuangan air kotor dari berbagai rumah tangga, sedang luasan jalan juga membutuhkan pelebaran sehingga akan timbul penyempitan drainage dan ujungnya tanah rumah warga terkena imbas pelebaran, dan kegaduhan berujung konflik. Membutuhkan waktu yang lama lagi untuk mewujudkan daerah aman banjir karena warga melakukan perlawanan dan etika penerapan kebijakan juga mengalami kendala di lapangan, sebuah cerita konflik banjir bersambung lagi.
Kegiatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berpusat di kota besar seperti kota Medan menjadi daya tarik pengungkit pertambahan penduduk dan arus urbanisasi di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota dari ancaman banjir termasuk menekan penyerobotan atau mengokupasi lahan hijau sebagai pengendali banjir semakin menyusut yang lebih komprehensif dari berbagai sektor di Medan.
Gambaran ini juga berlaku juga untuk kota disekitar perbatasan kota Medan dalam mempersiapkan tata ruang akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang bermukim di pinggiran Kota Medan semakin padat dan meningkat terus menerus akibat arus urbanisasi, berkurangnya daerah resapan akan menyebabkan bencana ekologi seperti banjir, yang merupakan cerita klasik Medan yang belum bertanda “koma” alias cerita bersambung tanpa ada episode jeda, hampir seluruh wilayah Medan sangat mengganggu kenyamanan aktivitas warga, banjir telah banyak merugikan banyak hal di tengah masyarakat Medan.
Cerita tantangan banjir Medan telah berseri-seri, mulai dari aspek kerugian ekonomi, aspek kerugian logistik, aspek kerugian waktu, aspek kerugian transportasi lalu lintas di jalan, aspek kerugian barang rumah tangga dan aspek ketertinggalan SDM akibat libur banjir dan lain-lain yang harus ditanggung masyarakat.
Banjir Bersambung
Karena ini merupakan tantangan yang lebih membutuhkan daya kreasi untuk menata tata ruangan di pinggir perbatasan dan penegakan aturan pinggir jalan raya, maka Pemkot Medan perlu segera mencari solusi untuk mengantisipasi musibah banjir di kota Medan dengan memperhatikan aspek lingkungan PKL di perkotaan, tidak cukup mengurusi parbus sebelum dan sesudah musim hujan, perlu mencari solusi daerah resapan air, daerah perluasan Ruang Hijau Terbuka yang masih terbatas, melakukan konversi daerah rawa yang belum disentuh pembangunan hunian perumahan atau kompleks perumahan yang masih ada untuk mengendalikan lulusan air permukaan dan juga sebagai sarana penyimpanan air tanah dalam suatu cekungan air bawah tanah.
Selain kawasan peresapan alamiah, juga perlu membangun dan mendorong warga untuk mengelola sampah berbasis komunitas agar tidak membuang sampah seenaknya di parbus agar sampah dapat diberdayakan untuk kepentingan ekonomi dan energi serta juga memberdayakan PKL yang berdagang diatas parbus agar dapat mengendalikan cerita banjir bersambung akibat buangan dari hasil dagangan mereka, dan Pemkot Medan harus tegas dalam menindak atau mencabut izin usaha pengembangan Perumahan yang tidak memperhatikan lingkungan agar lebih memperioritaskan daerah resapan air dan parbus sebelum membangun perumahan karena selalu ada gambaran land cleaning sebelum fisik bangunan di bangun, sedangkan daerah hijau selalu dalam posisi “belakangan”, gundul dan babat semuanya baru banjir datang, menyesal sudah terlambat.
Setelah sempat surut selama sepekan lalu mendadak curah hujan belakangan meningkat karena iklim global sudah susah di “ramal”, banjir kembali menerjang sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Utara. Ribuan rumah terendam, perekonomian lumpuh, sejumlah daerah terisolasi dan sejumlah sekolahpun diliburkan. Melihat kondisi lingkungan dan tata ruang saat ini, dengan intensitas hujan yang cukup tinggi maka bencana banjir akan cepat datang ke Medan. Maka cerita klasik banjir tetap bersambung tanpa titik.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.
Sering terjadinya banjir menyebabkan kemacetan lalu lintas dan terhambatnya mobilisasi logistik dan juga menghambat kecepatan waktu untuk mobilitas pelaku bisnis dan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dampak banjir yang akan terulang itu sebenarnya dapat diatasi jika pembangunan kanal dan parit busuk dapat di selaraskan jika tata ruang dapat dijaga. Karena bencana banjir kota Medan sudah termasuk yang sangat sulit diatasi masalah banjirnya, sehingga upaya untuk meminimalisasi secara total banjir di Medan selalu terkendala dan masalah banjir ini bisa kita lihat pada pembangunan saluran dan under pass dari wilayah Amplas hingga ke Medan Johor belum mampu mengatasi banjir, sebabnya, terlihat masih belum bersambungnya antar parbus yang besar ke lokasi kanal banjir Medan.
Tantangan Banjir
Masalah banjir di Medan sangat kompleks dan memerlukan kerjasama antar berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Terlebih, jumlah bangunan di Medan kini terus bertambah sehingga hanya ada sekitar 12 persen lahan daerah resapan yang mengendalikan curah air permukaan jika hujan deras melanda kota Medan. Ini berarti banjir masih akan berlanjut, karena percuma saja mendalamkan parbus atau drainage diperlebar jika daerah resapan air sangat terbatas, dan apakah kita akan menikmati cerita banjir selama hidup ini? Merupakan tantangan bagi para aktor di berbagai bidang yang berkepentingan dengan pembangunan Medan sebagai rumah kita yang (belum) layak di tempati.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Medan berdasarkan kondisi umum perlu dibuat solusi sesuai dengan lokasi daerah kawasan tumbuh maupun kawasan padat dan kawasan yang belum padat dengan hidromografik alam dan kepadatan penduduk, agar pembangunan kanal yang ada maupun belum dalam persiapan tahap perencanaan pembangunan untuk mengatasi masalah banjir dengan pembangunan kanal banjir yang berasal dari air hulu sungai Deli, air hujan dan air drainase perkotaan dapat ditampung dalam bangunan kanal banjir tersebut. Dan banjir yang selalu terjadi di kota Medan dapat diminimalisasi secara perlahan.
Namun, hingga saat ini parit busuk alias parbus yang terus diperdalam belum maksimal dan juga belum semua bermuara ke kanal banjir yang sudah ada, sehingga kita masih sering mengalami “sungai-sungai kecil” pada infrastruktur jalan raya serta kesadaran menjaga parbus alias drainage sangat buruk, banyak ditemukan sampah-sampah yang sangat mengganggu mobilisasi warga dan juga menyebabkan salah satu “cerita episode banjir”, sebab salah satu penyebab banjir dan diperparah semakin banyaknya pedagang membuka usaha diatas parbus yang baru di perdalam sehingga untuk mengendalikan lulusan air ke kanal juga mengalami kendala dan alhasilnya kita menikmati banjir bersama.
Diperkirakan setidaknya setengah populasi masyarakat kota Medan hidup di kawasan perkotaan dari inti hingga mendekati pinggiran kota dan merupakan tantangan untuk mencari lokasi pembuangan limbah rumah tangga. Di Medan, jumlah warganya yang hidup di inti kota mencapai 22,2 persen dan meningkat pesat menjadi 41,3 persen pada 2004 (data kompilasi). Dengan sebaran penduduk ini, jelas membutuhkan ruang untuk tempat pembuangan air kotor dari berbagai rumah tangga, sedang luasan jalan juga membutuhkan pelebaran sehingga akan timbul penyempitan drainage dan ujungnya tanah rumah warga terkena imbas pelebaran, dan kegaduhan berujung konflik. Membutuhkan waktu yang lama lagi untuk mewujudkan daerah aman banjir karena warga melakukan perlawanan dan etika penerapan kebijakan juga mengalami kendala di lapangan, sebuah cerita konflik banjir bersambung lagi.
Kegiatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berpusat di kota besar seperti kota Medan menjadi daya tarik pengungkit pertambahan penduduk dan arus urbanisasi di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan penataan kota dari ancaman banjir termasuk menekan penyerobotan atau mengokupasi lahan hijau sebagai pengendali banjir semakin menyusut yang lebih komprehensif dari berbagai sektor di Medan.
Gambaran ini juga berlaku juga untuk kota disekitar perbatasan kota Medan dalam mempersiapkan tata ruang akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang bermukim di pinggiran Kota Medan semakin padat dan meningkat terus menerus akibat arus urbanisasi, berkurangnya daerah resapan akan menyebabkan bencana ekologi seperti banjir, yang merupakan cerita klasik Medan yang belum bertanda “koma” alias cerita bersambung tanpa ada episode jeda, hampir seluruh wilayah Medan sangat mengganggu kenyamanan aktivitas warga, banjir telah banyak merugikan banyak hal di tengah masyarakat Medan.
Cerita tantangan banjir Medan telah berseri-seri, mulai dari aspek kerugian ekonomi, aspek kerugian logistik, aspek kerugian waktu, aspek kerugian transportasi lalu lintas di jalan, aspek kerugian barang rumah tangga dan aspek ketertinggalan SDM akibat libur banjir dan lain-lain yang harus ditanggung masyarakat.
Banjir Bersambung
Karena ini merupakan tantangan yang lebih membutuhkan daya kreasi untuk menata tata ruangan di pinggir perbatasan dan penegakan aturan pinggir jalan raya, maka Pemkot Medan perlu segera mencari solusi untuk mengantisipasi musibah banjir di kota Medan dengan memperhatikan aspek lingkungan PKL di perkotaan, tidak cukup mengurusi parbus sebelum dan sesudah musim hujan, perlu mencari solusi daerah resapan air, daerah perluasan Ruang Hijau Terbuka yang masih terbatas, melakukan konversi daerah rawa yang belum disentuh pembangunan hunian perumahan atau kompleks perumahan yang masih ada untuk mengendalikan lulusan air permukaan dan juga sebagai sarana penyimpanan air tanah dalam suatu cekungan air bawah tanah.
Selain kawasan peresapan alamiah, juga perlu membangun dan mendorong warga untuk mengelola sampah berbasis komunitas agar tidak membuang sampah seenaknya di parbus agar sampah dapat diberdayakan untuk kepentingan ekonomi dan energi serta juga memberdayakan PKL yang berdagang diatas parbus agar dapat mengendalikan cerita banjir bersambung akibat buangan dari hasil dagangan mereka, dan Pemkot Medan harus tegas dalam menindak atau mencabut izin usaha pengembangan Perumahan yang tidak memperhatikan lingkungan agar lebih memperioritaskan daerah resapan air dan parbus sebelum membangun perumahan karena selalu ada gambaran land cleaning sebelum fisik bangunan di bangun, sedangkan daerah hijau selalu dalam posisi “belakangan”, gundul dan babat semuanya baru banjir datang, menyesal sudah terlambat.
Setelah sempat surut selama sepekan lalu mendadak curah hujan belakangan meningkat karena iklim global sudah susah di “ramal”, banjir kembali menerjang sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Utara. Ribuan rumah terendam, perekonomian lumpuh, sejumlah daerah terisolasi dan sejumlah sekolahpun diliburkan. Melihat kondisi lingkungan dan tata ruang saat ini, dengan intensitas hujan yang cukup tinggi maka bencana banjir akan cepat datang ke Medan. Maka cerita klasik banjir tetap bersambung tanpa titik.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.
Dan beberapa hari yang lalu, daerah kota sanggahan Medan, seperti
kota Tanjung Morawa dan Sunggal mengalami curah hujan yang cukup
tinggi sehingga meluberkan air ke wilayah Medan dan kota Medan sendiri
mengalami banjir juga karena cuarah hujan selama dua hari (3-4 dan
6-7/11/17) selam dua jam, sungai-sungai kecil bermunculan dimana-mana,
hambatan perjalanan transportasi mengalami gangguan. Gambaran
siklus banjir ini sebenarnya merupakan kejadian lalu dan beberapa
wilayah di Medan telah mengalami banjir silih berganti, lihat saja
banjir di Medan Maimun.
Sering terjadinya banjir menyebabkan kemacetan lalu lintas dan
terhambatnya mobilisasi logistik dan juga menghambat kecepatan waktu
untuk mobilitas pelaku bisnis dan pemerintah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, dampak banjir yang akan terulang itu sebenarnya
dapat diatasi jika pembangunan kanal dan parit busuk dapat di
selaraskan jika tata ruang dapat dijaga. Karena bencana banjir kota
Medan sudah termasuk yang sangat sulit diatasi masalah banjirnya,
sehingga upaya untuk meminimalisasi secara total banjir di Medan
selalu terkendala dan masalah banjir ini bisa kita lihat pada
pembangunan saluran dan under pass dari wilayah Amplas hingga ke
Medan Johor belum mampu mengatasi banjir, sebabnya, terlihat masih
belum bersambungnya antar parbus yang besar ke lokasi kanal banjir
Medan.
Tantangan Banjir
Masalah banjir di Medan sangat kompleks dan memerlukan kerjasama
antar berbagai pihak baik pemerintah, dunia usaha serta masyarakat.
Terlebih, jumlah bangunan di Medan kini terus bertambah sehingga
hanya ada sekitar 12 persen lahan daerah resapan yang mengendalikan
curah air permukaan jika hujan deras melanda kota Medan. Ini berarti
banjir masih akan berlanjut, karena percuma saja mendalamkan parbus
atau drainage diperlebar jika daerah resapan air sangat terbatas, dan
apakah kita akan menikmati cerita banjir selama hidup ini? Merupakan
tantangan bagi para aktor di berbagai bidang yang berkepentingan dengan
pembangunan Medan sebagai rumah kita yang (belum) layak di tempati.
Penanggulangan bencana banjir di Kota Medan berdasarkan kondisi umum
perlu dibuat solusi sesuai dengan lokasi daerah kawasan tumbuh maupun
kawasan padat dan kawasan yang belum padat dengan hidromografik alam
dan kepadatan penduduk, agar pembangunan kanal yang ada maupun belum
dalam persiapan tahap perencanaan pembangunan untuk mengatasi masalah
banjir dengan pembangunan kanal banjir yang berasal dari air hulu
sungai Deli, air hujan dan air drainase perkotaan dapat ditampung dalam
bangunan kanal banjir tersebut. Dan banjir yang selalu terjadi di
kota Medan dapat diminimalisasi secara perlahan.
Namun, hingga saat ini parit busuk alias parbus yang terus diperdalam
belum maksimal dan juga belum semua bermuara ke kanal banjir yang
sudah ada, sehingga kita masih sering mengalami “sungai-sungai kecil”
pada infrastruktur jalan raya serta kesadaran menjaga parbus alias
drainage sangat buruk, banyak ditemukan sampah-sampah yang sangat
mengganggu mobilisasi warga dan juga menyebabkan salah satu “cerita
episode banjir”, sebab salah satu penyebab banjir dan diperparah semakin
banyaknya pedagang membuka usaha diatas parbus yang baru di perdalam
sehingga untuk mengendalikan lulusan air ke kanal juga mengalami kendala
dan alhasilnya kita menikmati banjir bersama.
Diperkirakan setidaknya setengah populasi masyarakat kota Medan
hidup di kawasan perkotaan dari inti hingga mendekati pinggiran kota
dan merupakan tantangan untuk mencari lokasi pembuangan limbah rumah
tangga. Di Medan, jumlah warganya yang hidup di inti kota mencapai
22,2 persen dan meningkat pesat menjadi 41,3 persen pada 2004 (data
kompilasi). Dengan sebaran penduduk ini, jelas membutuhkan ruang
untuk tempat pembuangan air kotor dari berbagai rumah tangga, sedang
luasan jalan juga membutuhkan pelebaran sehingga akan timbul
penyempitan drainage dan ujungnya tanah rumah warga terkena imbas
pelebaran, dan kegaduhan berujung konflik. Membutuhkan waktu yang
lama lagi untuk mewujudkan daerah aman banjir karena warga melakukan
perlawanan dan etika penerapan kebijakan juga mengalami kendala di
lapangan, sebuah cerita konflik banjir bersambung lagi.
Kegiatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berpusat di kota besar
seperti kota Medan menjadi daya tarik pengungkit pertambahan penduduk
dan arus urbanisasi di kawasan perkotaan sekaligus menjadi tantangan
untuk mewujudkan penataan kota dari ancaman banjir termasuk menekan
penyerobotan atau mengokupasi lahan hijau sebagai pengendali banjir
semakin menyusut yang lebih komprehensif dari berbagai sektor di
Medan.
Gambaran ini juga berlaku juga untuk kota disekitar perbatasan kota
Medan dalam mempersiapkan tata ruang akibat pertumbuhan jumlah
penduduk yang bermukim di pinggiran Kota Medan semakin padat dan
meningkat terus menerus akibat arus urbanisasi, berkurangnya daerah
resapan akan menyebabkan bencana ekologi seperti banjir, yang merupakan
cerita klasik Medan yang belum bertanda “koma” alias cerita bersambung
tanpa ada episode jeda, hampir seluruh wilayah Medan sangat mengganggu
kenyamanan aktivitas warga, banjir telah banyak merugikan banyak hal di
tengah masyarakat Medan.
Cerita tantangan banjir Medan telah berseri-seri, mulai dari aspek
kerugian ekonomi, aspek kerugian logistik, aspek kerugian waktu,
aspek kerugian transportasi lalu lintas di jalan, aspek kerugian barang
rumah tangga dan aspek ketertinggalan SDM akibat libur banjir dan
lain-lain yang harus ditanggung masyarakat.
Banjir Bersambung
Karena ini merupakan tantangan yang lebih membutuhkan daya kreasi
untuk menata tata ruangan di pinggir perbatasan dan penegakan aturan
pinggir jalan raya, maka Pemkot Medan perlu segera mencari solusi untuk
mengantisipasi musibah banjir di kota Medan dengan memperhatikan aspek
lingkungan PKL di perkotaan, tidak cukup mengurusi parbus sebelum dan
sesudah musim hujan, perlu mencari solusi daerah resapan air, daerah
perluasan Ruang Hijau Terbuka yang masih terbatas, melakukan konversi
daerah rawa yang belum disentuh pembangunan hunian perumahan atau
kompleks perumahan yang masih ada untuk mengendalikan lulusan air
permukaan dan juga sebagai sarana penyimpanan air tanah dalam suatu
cekungan air bawah tanah.
Selain kawasan peresapan alamiah, juga perlu membangun dan mendorong
warga untuk mengelola sampah berbasis komunitas agar tidak membuang
sampah seenaknya di parbus agar sampah dapat diberdayakan untuk
kepentingan ekonomi dan energi serta juga memberdayakan PKL yang
berdagang diatas parbus agar dapat mengendalikan cerita banjir
bersambung akibat buangan dari hasil dagangan mereka, dan Pemkot Medan
harus tegas dalam menindak atau mencabut izin usaha pengembangan
Perumahan yang tidak memperhatikan lingkungan agar lebih
memperioritaskan daerah resapan air dan parbus sebelum membangun
perumahan karena selalu ada gambaran land cleaning sebelum fisik
bangunan di bangun, sedangkan daerah hijau selalu dalam posisi
“belakangan”, gundul dan babat semuanya baru banjir datang, menyesal
sudah terlambat.
Setelah sempat surut selama sepekan lalu mendadak curah hujan
belakangan meningkat karena iklim global sudah susah di “ramal”, banjir
kembali menerjang sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Utara. Ribuan
rumah terendam, perekonomian lumpuh, sejumlah daerah terisolasi dan
sejumlah sekolahpun diliburkan. Melihat kondisi lingkungan dan tata
ruang saat ini, dengan intensitas hujan yang cukup tinggi maka bencana
banjir akan cepat datang ke Medan. Maka cerita klasik banjir tetap
bersambung tanpa titik.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer.Dipublikasi HARIAN ANALISA MEDAN. 14 November 2017
Komentar
Posting Komentar