MENCEGAH BENCANA ENERGI 
Oleh M. Anwar Siregar
Harga minyak bumi dunia masih tinggi hingga akhir tahun 2012, menembus  95 dollar US/barel, yang telah memberikan dampak besar bagi perekonomian Indonesia . Dampak ini telah kita lihat dengan meningkatnya antrian panjang di beberapa SPBU, bagian dari kelemahan kebijakan energi pemerintah yang belum juga mau membangun infrastruktur energi yang lebih baik dari yang ada sekarang.
Infrastruktur energi dan diverifikasi serta konservasi energi baru terbarukan merupakan titik lemah bagian dari penyediaan sumber-sumber energi baru bagi kemaslahatan umat yang menjadi sorotan bagi keberlanjutan pembangunan sektor ekonomi energi dan merupakan bagian dari bom waktu jika tidak diupayakan pembangunan infrastruktur energi yang lebih baik.
EFEK BENCANA
Bayang-bayang kehancuran pondasi energi mulai terlihat kentara dari sejak orde reformasi dengan puncaknya adalah dengan lahirnya UU Migas tahun 2001 yang merupakan puncak awal kehancuran pondasi energi Indonesia, dengan telah terjadinya penguasaan sumber-sumber daya alam energi, pertambangan migas dan kehutanan serta kelautan di Indonesia baik di hulu maupun di hilir oleh pihak asing.
Kebijakan pemerintah yang patuh pada intervensi asing itu telah menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di dalam negeri, antara lain gonjang-ganjing politik yang berdampak luas pada kehidupan riil rakyat Indonesia, karena kondisi ini memperparah kondisi ekonomi maupun yang lainnya, salah satunya adalah privatisasi BUMN, lepasnya berbagai BUMN ke pihak asing akibat dampak tindakan dari salah satu point LoI IMF yang berisikan 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah di dalam berbagai bidang maupun tekanan Negara pendonor keuangan seperti Bank Dunia, efek domino liberalisasi dapat dirasakan oleh peningkatan kenaikkan penambahan utang luar negeri dalam jumlah besar mencapai 35 miliar dollar AS hingga ke tahun 2009, utang Negara terus bertambah tanpa surut waktu hingga mencapai 1.000 triliun rupiah akhir tahun 2010, tidak secara langsung Indonesia terjajah secara fisik.
Dalam periode penghancuran pondasi ekonomi energi akibat tekanan liberalisasi migas dari tahun 2001 hingga ke tahun 2007, maka sejak itu Indonesia harus membayar utang Rp 150-170 triliun yang difungsikan untuk pembangkrutan keuangan ekonomi sehingga pembangunan infrastruktur fisik dan SDM mengalami kendala yang sangat signifikan dengan lemahnya kemampuan pemerintah dalam membangun jaringan infrastruktur energi, kemiskinan yang semakin tinggi berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang semakin terpinggirkan dan kualitas daya saing rendah di dunia kerja global.
Kenaikkan harga BBM-TDL serta efek dari kenaikkan tersebut merupakan bencana energi tahap ke dua mulai terasa sejak tahun 2008 ke lima tahun depan ini setelah penguasaan saham-saham BUMN, sumber daya migas, air dan hutan yang telah mencapai 80 persen oleh pihak asing dengan munculnya peningkatan kemiskinan, pengangguran, penurunan kualitas infrastruktur fisik dan utang Negara telah menembus diatas 1.100 triliun rupiah [data tahun 2012].
Gejala malapetaka ini akan terus berlanjut dengan hilangnya kemampuan negeri ini dalam “merecovery” sumber-sumber energi terbarukan serta dalam membangun jaringan infrastruktur akibat dampak liberalisasi penguasaan sumber daya alam oleh invasi asing menguasai konsesi hingga mencapai 80 persen, kehancuran lingkungan sangat berbanding terbalik dari keuntungan yang di dapat oleh Pemerintah dan Rakyat Indonesia. Bukti ini dapat dilihat di Papua, Riau maupun di Aceh dan Kaltara.
Jaringan infrstruktur energi di Indonesia sangat kontras dan tidak menunjukkan identitas sebagai Negara yang memiliki potensi energi yang berlimpah, perbandingan yang tidak seimbang antara lain : 1] jumlah sebaran potensi energi dengan panjang jaringan penyaluran atau pipa ke pusat-pusat distribusi energi migas ke lokasi industri. 2]. Gas bumi dan panas bumi merupakan bahan bakar energi yang terbesar cadangannya dibanding energi dari bahan bakar fosil lainnya seperti batubara dan minyak bumi masih tertinggal dalam pembangunan jaringan infrastruktur energi.
3]. Selain itu, hilangnya kemampuan Negara sebagai pengekspor migas dunia akibat dampak tahapan pertama sejak mulai tahun 2007 dengan terjadinya penurunan produksi migas, puncaknya memasuki tahun 2011 Pertamina terus terdesak untuk melakukan kebijakan impor migas akibat over kuota. Over kuato yang di lakukan pemerintah melalui Pertamina dengan cara mencicil belum juga mampu mengurangi kekurangan pasokan BBM sebagai sumber energi utama bagi kelangsungan industri, tranportasi dan rumah tangga. Penyebabnya, sering mengalami kebocoran akibat lemahnya pengawasan lapangan. Mendorong Indonesia sebagai Negara pengimpor migas terbesar di Asia Tenggara sejak tahun 2008.
MENCEGAH BENCANA ENERGI
Dari gambaran tersebut, sudah saatnya Indonesia mengubah sistim pemakaian energi konvensional ke energi baru terbarukan jika melihat kondisi penurunan produksi minyak dan gas bumi dan saat ini telah mengubah posisi Indonesia dari Negara pengekspor migas menjadi negara pengimpor migas, bencana energi dapat terjadi jika cadangan migas tidak memenuhi kebutuhan energi masyarakat terutama yang paling besar dalam pemakaiannya sehari-hari adalah industri transportasi dan industri produktif.
Kenaikkan harga minyak bumi yang tinggi dapat juga menimbulkan ketegangan karena menimbulkan anarkis akibat pengurangan jam kerja dengan kata lain pemecatan hubungan kerja sebagai akibat dari kian sulitnya stok bahan bakar minyak dan gas dapat juga mendorong sebuah bencana akibat kelangkaan energi gas, semata disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pasokan di sebuah Negara selalu dalam stabil ataupun ada peningkatan, sedangkan di Indonesia kebalikan, yang ada pengurangan, penyeludupan, dan penimbunan sehingga melambungkan harga dan berefek kepada kepentingan masyarakat luas.
Terlepas dari hal tersebut, kini harus menjadi pemikiran pemerintah dalam mengatasi gejala-gejala kemunduran pasokan energi pasca kenaikkan BBM yang dapat menyebabkan bencana krisis energi dan berdampak pada perkembangan dan kemajuan ekonomi pembangunan jika tidak diupayakan pencegahan, beberapa harapan yang dapat mengurangi ketergantungan pada energi konvensional yang menjadi tugas kerja pemerintah sebagai berikut :
Pertama, mekanisme pengembangan energi alternatif harus dimassalkan sekarang dengan memberikan intensif kemudahan pajak dan perizinan bagi investor, masa pembayaran pajak pengembangan energi baru bagi investor dapat dikutip setelah berhasil memasarkan produksi. Hal ini penting, agar ada kenyamanan dan kepastian berusaha bagi iklim investasi, sehingga pungutan liar dapat dicegah.
Kedua, melakukan efisiensi kebijakan distribusi BBM dengan biaya produksi, aspek pemakaian, ketersediaan dan nilai komersial sesuai kondisi geografis suatu daerah di Indonesia . agar dapat menghasilkan nilai input atas produksi. Karena di masa sekarang distribusi BBM berasal dari kran impor minyak maka pemerintah khususnya Pertamina wajib memperketat pengawasan dari dalam tubuh maupun di luar lapangan.
Ketiga, pengawasan pemakaian konsumsi dengan ketersediaan [stock], yaitu pengawasan secara melekat mulai dari pengendalian harga ditingkat eceran, bertujuan untuk menekan penyeludupan minyak ke negara lain walau harga telah dinaikkan tetapi untuk ukuran antar Negara Asia Tenggara masih dianggap rendah, yang dapat berakibat pengurangan pasokan minyak di dalam negeri. Pengawasan harus dilakukan secara kontinu bukan di saat kondisi normal, terutama didaerah perbatasan dengan membentuk satuan tugas pengawasan penertiban dan pengendalian ataupun pusat pengawasan pemberantasan illegal migas yang bertugas secara terus menerus.
Keempat, menyiapkan dan membentuk Undang-undang Konservasi Energi untuk menggalakkan pemakaian energi ramah lingkungan, hemat energi untuk kehidupan dan kesejahteraan, menyusun landasan teknik konservasi di berbagai daerah, efisiensi pemakaian energi yang lebih besar dengan memberikan insentif yang berujung pada peningkatan bobot peran pemakaian energi terhadap perekonomian nasional.
Point terakhir inilah yang perlu diperhatikan pemerintah karena gaungnya belum terlalu bergema dan penolakkan kenaikkan harga BBM-bahan bakar minyak akan terus selalu hadir dengan demo yang besar-besaran dan kadang berakhir anarkis.
 
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Tulisan ini Sudah di Publikasi pada HARIAN WASPADA, MEDAN, BuLAN Juni 2013