Mar 17, 2015

Memahami Longsor Banjarnegar : Geologi Disaster

Sumber ilustrasi : Analisa daily

Memahami Longsor Banjarnegara di Zona Rawan Vulkanik

Oleh: M. Anwar Siregar
Longsoran yang terjadi baru-baru ini di wilayah Kabupaten Banjarnegara, merupakan implikasi dari berbagai parameter geologis yang sedang bekerja di wilayah daerah rawan gempa dan vulkanik, Kabupaten Banjarnegara sangat dekat dengan zona patahan sesar opak serta dikontrol juga oleh zona busur vulkanik di era geologi kuarter, karena bahan rombakan serta batuannya belum kompak sehingga sering terjadi longsoran dahsyat berulang kembali setelah tahun 1955, 1972, 2000, dan 2007 lalu, seperti juga yang terjadi longsoran di Desa Bulu Payung (Tapsel) dan Sibabangun (Tapteng, November 2014) adalah akibat perpindahan material dampak dari beberapa aktivitas tekanan dalam bumi dan berkorelasi langsung dengan segment Patahan Semangko di lembah tektonik Sarulla-Toru, serta diatas permukaan akibat tekanan gangguan oleh manusia melalui pembangunan infrastruktur fisik.
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, runtuhan dan rombakan tanah atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai sistim kerja faktor geologis air, yaitu air yang meresap kedalam tanah akan menambah bobot tanah, berfungsi juga sebagai pelumas “oil”, jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai media bidang glincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng oleh gaya tarik bumi (gravitasi).
Daerah dengan kerentanan gerakan tanah yang berulang perlu suatu tindakan pemahaman sistim investasi rehabilitasi lahan dalam jangka tertentu, gerakan tanah yang sering berulang di Banjanegara merupakan gambaran siklus puluhan tahun, karena sebelumnya sudah pernah terjadi bencana dahsyat gerakan tanah di lokasi yang hampir sama, begitu juga halnya dengan kondisi geologi gerakan tanah di Aek Latong, Sumut.
Banjir Bandang VS Gertan
Banjir bandang selalu membawa serta lumpur yang pekat dan material rombakan seperti batu-batuan dan pepohonan, komponen yang mematikan dari banjir bandang bukan disebabkan oleh arus air melainkan material rombakan seperti lumpur, potongan kayu yang menimbun lokasi pemukiman, pertanian dan infrastruktur.
Jadi, apa hubungan banjir dengan gerakan tanah (gertan/longsoran), ini adalah sebuah pertanyaan didalam benak masyarakat? Dalam istilah geologi, banjir bandang disebut debris slide atau debris avalache atau longsor, banjir bandang yang menyebabkan terjadinya perubahan kondisi geologi tanah bukan disebabkan oleh curah hujan. Memang jika kita perhatikan, bahwa curah hujan dapat saja mempercepatkan gerakan tanah namun jika di daerah itu kondisi geologinya stabil, jauh dari zona patahan bumi serta lajur magmatik gunungapi maka tidak akan menyebabkan atau sebagai pemicu gerakan tanah walau hujan deras lebih dari tiga jam secara terus menerus.
Faktor utama yang mendasar sebagai penentu terjadinya longsoran dahsyat dalam radius 200 meter di daerah Banjarnegara, Aek Latong dan Sibabangun serta Aceh Singkil adalah kondisi geologi daerah tersebut. Prakondisi geologi yang menjadi penyebab terjadinya longsoran adalah derajad kekompakan dan derajad kohesif batuan dan tanah dari suatu daerah. Daerah seperti Banjarnegara merupakan tanah hasil berbagai erupsi gunungapi yang ada disekitarnya seperti Gunung Merapi, Gunung Slamet, Gunung Pengamun-amun dan Perbukitan Gendol serta Tinggian Dieng, sehingga daerah disekitar Banjarnegara merupakan daerah terpusat pengumpulan bahan hasil rombakan yang lunak dari gunung api berubah seperti “bubur”, bahan yang lunak ini dikenal sebagai lempung yang mengembang (expansive clay), sering menyebabkan longsor dalam radius sepanjang lebih 200 meter dari puncak bukit ke daratan rendah atau kaki perbukitan.
Sebaliknya, jika tanah dan massa batuan di suatu daerah yang massif atau padat, kompak dan kohesif serta walaupun lahan bukitnya telah mengalami penggundulan dan curah hujan sangat tinggi, tidak akan terjadi longsor, yang terjadi adalah aliran permukaan tanah bergerak dengan kecepatan tinggi dan menimbulkan banjir di hilir tetapi bukan longsor. Longsor terjadi jika kondisi geologi daerah itu memang rawan atau rentan bagi terjadinya longsor (susceptibele to landslide).
Bandingkan juga hal ini dengan kondisi geologi Aek Latong dan Sibabangun, kedua daerah ini memang rawan bencana gerakan tanah karena berada dalam radius patahan gempa, jalur magmatik gunungapi dan kemiringan tanah topografinya sangat curam dan berusia geologi kuarter (berusia masih muda) (disari sebagian dari Diklat Mitigasi Bencana Gerakan Tanah, ESDM 2011).
Topografi Rawan Longsor
Geodinamika suatu daerah pegunungan, seperti kejadian longsoran di Banjarnegara ataupun Aek Latong, longsoran dibagian kaki perbukitan dapat dipicu oleh berbagai kegiatan di puncak perbukitan/pegunungan dan bergantung pada kesetimbangan tata air bawah tanah dengan naik/turunnya atau maju mundurnya permukaan air bawah tanah yang menjadi jenuh ke bidang glinciran, akan memicu longsoran ke kaki perbukitan.
Dari berbagai gambar yang dimunculkan oleh berbagai media Nasional tentang longsoran di Banjarnegara itu nampak seperti telah dijelaskan didepan, tipologi gerakan tanah diawali oleh terjadinya gangguan di puncak bukit oleh aktivitas manusia, kondisi alam yang bersifat statis seperti karakteristik topografi dengan derajat kemiringan lebih dari 20 derajat hingga 45 derajat, lapisan tanah tebal akibat mengalami proses-proses pelepasan kekuatan material telah mengalami pelapukan. Sehingga kandungan air meningkat tajam ketika curah air hujan meresap ke dalam tanah atau ke sungai serta dapat mengganggu kesetimbangan dan kestabilan lereng sepanjang kaki perbukitan, meresap ke bidang gelinciran atau bidang patahan yang membentuk retakan seperti tapal kuda pada bagian atas tebing sehingga akumulasi air membentuk retakan-retakan kecil sebelum bergabung menjadi satu kesatuan yang besar untuk membuat gerakan tanah yang luas seperti kita lihat pada bencana longsoran Banjarnegara.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya longsoran adalah pemotongan tebing (cliff cut) untuk jalan raya, adanya sedimentasi pada lapisan tanah tebal dan memberikan beban tambahan pada lereng akibat oleh pembangunan infrastruktur seperti perumahan di perbukitan atau pada daerah bergelombang/lereng topografi menengah < 35 derajat selain peranan air pada aliran massa tanah, massa tanah yang kering juga dapat bergerak mengalir (flows) ke arah lembah, kadang bergerak sedang dan bergerak lambat untuk bersama secara mantap membentuk bidang longsoran dengan kecepatan 1-5 m/tahun 1-5 m/bulan. kenampakan lapangan adalah deretan pohon pinus menjadi miring dan sebagian rebah, sebagian badan jalan ikut terbawa longsor, retak dan terbelah.
Fenomena kejadian inilah yang menimpa longsoran tanah dengan model gerakan tanah rayapan yang senantiasa bergerak meskipun perlahan, lambat dalam kecepatan 1-5 meter per tahun di Banjarnegara.
Mitigasi Longsor
Zona longsoran yang terjadi di Desa Karangkobar Kabupaten Banjarnegara merupakan Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi, Daerah Karangkobar hingga Merawu di Banjarnegara dialasi oleh batuan yang sebenarnya bergerak. Secara geologi daerah itu terdesak dari bawah ke arah selatan. Karena batuan alas ini berupa lempung dan napal, semuanya seakan-akan teremas-remas. Sejumlah bukti geologi, menyebutkan terjadi penerobosan magma dan rombakan yang berakhir ke kali Merawu sehingga dapat memperpendek umur Waduk Mrica atau waduk bendungan PLTA Panglima Jenderal Sudirman yang ada di wilayah Karangkobar.
Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah (PZKGT) sangat penting menjadi basis utama mitigasi dalam pengembangan wilayah untuk tata ruang desa, kota dan kabupaten, basis bagi perencanaan konstruksi jalan, jembatan, bendungan, pemukiman dan lain-lain dengan melakukan sosialisasi peta KGT kepada masyarakat luas terutama pada masyarakat yang bermukim di daerah rawan longsor untuk mengendalikan kerusakan lingkungan dan pengurangan jumlah kerugian dan korban jiwa. ***
Penulis adalah Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer. Dimuat Di HARIAN ANALISA MEDAN Tgl 18 Desember 2014

No comments:

Post a Comment

Related Posts :