Apr 23, 2015

GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG” : Geologi Disaster


GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG”
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa di Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara 15 November 2014 merupakan daerah pertemuan triple junction plate, daerah dengan tingkat kebencanaan geologi yang tinggi, tidak mengherankan seringkali terjadi gempa dengan skala yang cukup kuat setiap bulan. Gempa dan tsunami sudah pernah terjadi didaerah ini, menenggelamkan beberapa Desa-desa pada abad 18 lalu, dan sebagian daerahnya terbentuk oleh proses geologi subduksi antar lempeng yang membentuk rangkaian kepulauan pegunungan api yang kompleks.
Gempa dan vulkanik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Maluku yang mesti disingkapi dengan arif, bahwa wilayah Kepulauan Maluku merupakan daerah pertemuan Sirkum Mediteran dan Sirkum Pasifik yang melingkar dan bertemu langsung dititik hunjaman parit Banda Neira sebagai batas lempeng Paparan Sahul, di luar titik hunjaman lempeng Kepulauan Maluku masih terdapat zona lingkaran ruang kosong atau seismic gap gempa yang kompleks oleh proses pembentukan lempeng bumi di masa silam.
BUSUR GUNUNGAPI
Serangkaian gempa yang terjadi diwilayah Kepulauan Maluku merupakan akumulasi energi yang tertekan akibat penekanan dan penghancuran batuan di zona litosfera, yang membutuhkan ruang terbaru dalam proses kontinen dalam membangun arsitektur bumi yang baru untuk menuju keseimbangan. Proses pembangunan ruang arisitektur kerak bumi itu telah membentuk berbagai pegunungan yang tidak terlihat dibawah laut. Karakteritik geologi wilayah perairan Maluku ada kemiripan dengan di perairan Pantai Barat Sumatera, keduanya sering terjadi gempa-gempa kuat dan merupakan polarisasi dari gerakan pembalikan energi keseimbangan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, silih berganti melepaskan energi gempa. Terbentuk rangkaian pulau-pulau kecil subdukasi atau busur-busur kepulauan gunungapi yang memanjang sebagai bagian dari kelanjutan “ring of fire”, yang saling berinteraksi, berotasi, bersinggungan dengan jalur pertumbukan dan pemisahan antar lempeng, jalur vulkanik yang aktif dan panjang, sehingga gempa dapat terjadi serentak dengan gempa vulkanik yang dapat menekan zona a-seismik di daerah daratan Papua.

Interaksi lempeng di kawasan utara Sulewesi dan Maluku 
(Sumber Gambar : Internet dan berbagai sumber)

LEMPENG “HILANG”
Penyebab utama sering berlangsung gempa-gempa di Kawasan Indonesia Timur sebelum kejadian gempa dahsyat sekarang karena ada “ruang kosong” di perairan Maluku, ada lempeng “terlumatkan” memberikan keleluasan bagi gerak Lempeng Philipina dan Lempeng Carolina-Pasifik dengan tipe pertumbukan antar lempeng sebagai model dominan yang akan membentuk jenis-jenis sesar yang terdapat di daratan dan Laut Maluku Sulawesi.
Kondisi pembentukan geologi Kepulauan Maluku terjadi dimasa pembentukan Lempeng Sahul yang sekarang membujur di dasar Laut Maluku dan Halmahera dan melingkar di Laut Kepulauan Banda Neira dengan puluhan zona subduksi yang luas dengan pembagian mikrozonasi kegempaan yang aktif sehingga memerlukan penataan ruang kota-pulau dan kota darat yang berketahanan bencana.
Selama proses pembentukan daratan dan Pulau Maluku, terjadi terus menerus penekanan dua lempeng di Samudera Pasifik yang membentang di utaranya, penekanan lempeng Pasifik akibat kondisi anomaly magnetic yang tidak beraturan itu mampu menarik lebih kuat lempeng-lempeng kecil di Samudera Pasifik yang sudah terpecah-pecah lalu bergerak ke perairan Laut Maluku dan Kepulauan Sangihe. Proses penarikan oleh akumulasi dari polarisasi anomali yang kompleks. Terbentuk pola pembenturan simpang empat di Kepulauan Halmahera dan Teluk Tomini. Lempeng Maluku yang berada diantara kelima lempeng tersebut mengalami penghancuran dan terlumatkan ke dalam Lempeng Halmahera.
Akibat penyumatan terhadap Lempeng Maluku terbentuk lajur panjang patahan dan subduksi, membelah busur-busur vulkanis atau Kepulauan Maluku sekarang dengan berbagai jenis patahan/sesar lokal yang rumit, berinteraksi, berotasi satu sama lain, bersambung ke daratan Papua.
SUBDUKSI PATAHAN MALUKU
Gempa Maluku merupakan akibat fenomena geologi antara lain subduksi di patahan Maluku, akibat terjadinya penekanan oleh pergerakan lempeng di sekitar Maluku dan struktur zona kerak bumi yang rapuh oleh lempeng yang terlumatkan.
Pemicu gempa di kawasan Maluku secara keseluruhan dapat terjadi oleh subduksi dari interaksi antara tiga-empat lempeng, yaitu Lempeng Pasifik disebelah timur, Lempeng Eurasia di barat dan Lempeng Philipina yang mengarah ke barat laut, Lempeng Indo-Australia ke utara menuju sepanjang batas Lempeng Sunda di Laut Banda, yeng bergerak dengan tipe pertemuan lempeng yang saling berhadapan. Dampak tatanan geologi berupa terbentuk pulau-pulau pegunungan yang tersembul di permukaan dan rangkaian pegunungan api bawah laut dengan palung sangat dalam.
Kompleksitas di zona subduksi patahan Kepulauan Maluku semakin rumit, ada jurang pemisah antara ruang kosong seismik gap dengan sesar-sesar tidak aktif yang tertimbun oleh peledakan gunungapi bawah laut, terdapat juga parit yang panjang melingkar seperti “mangkuk” disekitar Kepulauan Seram menuju ke palung Laut Timor, pola sesar yang bergeser vertikal oleh penekanan gerak Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia dengan titik pusat tekanan di Lempeng Sahul, seperti halnya Lempeng Sumatera yang ditekan oleh Lempeng Indo-Australia sehingga menimbulkan kejadian gempa dan tsunami.
Lajur patahan di subduksi Maluku ada juga yang berbentuk pola gerak frontal dan berinteraksi dengan lajur patahan subduksi tegak lurus di Teluk Tomini bisa mencapai panjang 100 km. Penekanan Lempeng Philipina membuka jalur baru penumbukan bersama Lempeng Pasifik, pembebanan terhadap Lempeng Sangihe ke Lempeng Halmahera menyebabkan terkompres dan terpatahkan secara vertikal ataupun bergeser, kondisi ini membangkitkan energi kekuatan gempa di pulau-pulau vulkanis dilingkaran Laut Banda, akibatnya ada gempa secara serentak dilokasi yang berbeda, dipicu gerak frontal dari perubahan anomali disekitar zona patahan yang ada di Laut Sulawesi dan utara Papua Barat.
Adanya pergeseran dan persentuhan kedua Lempeng Sangihe dan Lempeng Halmahera di sekitar lempeng yang hilang itu sehingga tampak jelas ada kelanjutan penekanan semakin kedalam di sekitar ujung Pulau Sulawesi menuju ke Laut Maluku, tidak mengherankan terjadi gempa yang hampir bersamaan dengan Gempa Manado dengan kekuatan 6.3 Skala Richter dan di susul beberapa jam kemudian menekan gempa Bitung dengan 5.3 SR, membuka perubahan kerentanan patahan naik yang tidak aktif serta sesar geser mendatar yang ditandai oleh pergeseran Lempeng Pasifik di barat Laut Biak, bersambung ke patahan subduksi Mayu. Kondisi geologi bawah permukaan ada gangguan ketinggian dan perubahan batimetri kelautan, melingkar ke Palung Seram dan menerus di Patahan Palung Timor . Panjang Patahan yang bersentuhan di zona subduksi Mayu dapat mencapai ratusasn kilometer karena ada interaksi Lempeng Pasifik dengan patahan Sorong sehingga gempa akan terasa kuat ke wilayah Australia dan Selandia Baru disebabkan ada zona subduksi disekita Laut Aru, terdapat Palung Aru.
Interaksi antar patahan ini perlu diperhitungkan bagi daerah yang rawan bencana gempa karena dapat saling memicu gempa pada zona subduksi yang berdekatan dan bersinggungan dengan gempa vulkanik yang banyak terdapat di Kepulauan Maluku dan Sulut di Samudera Pasifik. Bentuk kondisi patahan geologi seperti ini berpeluang menghasilkan tsunami maut dan mungkin megathrus terbesar kedua di Asia Tenggara.
TINGKATKAN KEWASPADAAN
Pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan gejala alam geologi tempat dimana aktivitas kehidupan berlangsung, antara lain kondisi tanah tempat bangunan seperti struktur pondasi bangunan yang besar dan berat, perubahan kondisi badan jalan dan jembatan, kekuatan pondasi bendungan dan jalan tol., bentuk perubahan geometri lereng sepanjang jalan, keadaan pola aliran sungai, gerakan tanah yang sering berlangsung.
Kewaspadaan dan siap siaga masyarakat yang perlu ditingkatkan, meningkatkan pengetahuan tentang bencana geologi dan pemahaman bangunan tempat tinggal dan kemampuan mengendalikan diri ketika gempa berlangsung.
Pemerintah daerah wajib juga memberikan penyuluhan dan sosialisasi penyebaran informasi geologi didaerah rawan bencana kepada masyarakat secara berkala dalam upaya pengurangan korban bencana alam dan pembangunan fisik yang berbasis mitigasi masyarakat.
M. Anwar Siregar
Envoromental Geologis, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 2015
http://analisadaily.com/opini/news/



No comments:

Post a Comment

Related Posts :