RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN SAMPAH TEKNOLOGI : Geologi Disaster
RUANG ANGKASA, TEMPAT PENIMBUN
SAMPAH TEKNOLOGI
Oleh
: M. Anwar Siregar
Sampah ternyata bukan saja ada di
Bumi, yang selama ini menjadi masalah manusia terhadap lingkungan, kerena
terbatasnya lahan untuk lokasi pembuangan/penimbunan sampah, seperti pembuangan
sampah nuklir, yang dilakukan Perancis dengan membawa sampahnya ke Negara
Pasifik. Selanjutnya di Jepang di daur ulang, yang banyak mengundang protes
warga Jepang.
Bukan itu saja, di Jakarta, masalah
yang dihadapi bukan masalah limbah nuklir melainkan bagaimana mencari lokasi
tempat pembuangan barang besi rongsokan becak hasil razia yang dilakukan oleh
Dinas Keamanan dan Ketertiban DKI, yang dampaknya banyak mendapat kritikan
pedas. Penyebabnya barang rongsokan tersebut dibuang ke laut, tentu saja reaksi
dri berbagai pakar lingkungan terutama ahli ekologi kelautan.
Masalah tentang sampah bukan saja
terbatas pada Bumi, tetapi juga kini melanda ruang angkas. Ini dapat dibuktikan
dengan adanya perlombaan pembuatan satelit pada era globalisasi yang nyaris
tanpa batas. Buktinya : ada 6 ton benda tak berguna melayang diatas kepala
kita, perjalanan ruang angkasa mulai tak aman, mungkin Bulan akan dijadikan
tempat penimbunan sampah yang baru.
Masalah sampah kini juga menjadi
urusan NASA, Lembaga Penerbangan Angkasa Luar Amerika Serikat, tentu bukan
sembarangan sampah antarisa, yang belakangan ini makin terasa mengganggu
keamanan lalu lintas penerbangan ruang angkasa.
Menurut data yang ada pada komando
pertahanan ruang angkasa Amerika Utara (NORAD), sekarang ini paling tidak
terdapat lebih 4000 potong “sampah” yang beredar mengintari Bumi. Berat total
benda tak berguna itu mencapai sekitar 6 ton, dua per tiga diantaranya berada di orbit geostasioner, sekitar 35.000
kilometer dari permukaan Bumi. Sisanya beredar di orbit lebih rendah, dari 190
kilometer sampai 483 km di atas kepala kita. Sebagian besar sampah angkas itu
terdiri dari satelit yang sudah tidak berfungsi, dan sisa pelbagai benda yang
diluncurkan dari permukaan Bumi. Tetapi juga ada mur, baut, tabung oksigen
bahkan patahan panel tenaga surya.
Benda-benda dalam orbit Bumi rendah
itu beredar tanpa kendali, sampai keausan yang lambat oleh pergeseran
molekular, plus daya tarik bumi, membuat ia kembali memasuki atmosfer dengan
kecepatan 18.000 mil per jam. Dengan kecepatan yang demikian tinggi.
Benda-benda itu terbakar. Demikian juga nasib yang menimpa satelit pertama
buatan manusia, Sputnik I, yang hangus ketika kembali memasuki Bumi tiga bulan
setelah peluncuran yang bersejarah, 4 Oktober 1957.
Sejak itu, tidak kurang dari 9.700
barang buatan manusia berjatuhan dari orbit. Tetapi, jumlah yang berhasil
menembus atmosfir dan mendarat di permukaan Bumi tidak pernah di catat.
Berbagai kepingan jatuh di belasan negeri, termasuk didalamnya adalah Zambia,
Finlandia dan Nepal. Pada tahun 1961, Fidel Castro, presiden Kuba pernah murka,
karena sekeping benda yang melesat dari angkasa dan menewaskan seekor lembu
Kuba.
Lebih dari ancaman langsung terhadap
jiwa penduduk Bumi, sampah ruang angkasa itu paling merepotkan ditengah
padatnya arus lalu lintas antariksa belakangan ini, Ruang angkasa demikian ramainya sehingga
benda-benda yang diluncurkan manusia hanya mengambil jarak sekitar 50 km.
Kini ilmuwan-ilmuwan yang bekerja di
NASA menerbitkan berbagai gagasan yang ada di otak mereka, untuk berpikir
tentang cara mengirim regu-regu astronout yang berkeliaran di ruang angkasa,
lepas dari pesawat induknya, dan harus bekerja sebagai tukang “pemungut sampah”
antariksa yang banyak bertebaran itu. Sampah itu digandeng bagaikan kereta
barang, lalu dengan roket tertentu di campahkan ke laut, atau “lubang sampah
khusus” di ruang angkasa sana. Salah satu situs yang layak untuk dijadikan
penimbun sampah ruang angkasa itu adalah Bulan.
Jika hal tersebut terjadi dan
dilaksanakan, Bulan dijadikan tempat pembuangan sampah, maka kita pun
beranggapan Bulan pun, ternyata tak lagi se “suci” dulu, karena dipermukaannya
nanti terdapat beberapa onderdil bekas, peralatan kamera seharga $ 5 juta.
Tepai hal itu terjadi agar pencemaran Bulan jangan mengkwatirkan kita. Siapa
tahu, suatu saat nanti manusia bisa hidup di Bulan dan tak perlu lagi
repot-repot membuang sampah yang ada.
Diterbit Majalah ‘SAINTEK ITM” MEDAN
Edisi APRIL 1994. Dipublikasi kembali.
Komentar
Posting Komentar