Mar 4, 2018

Tiada Hari Tanpa Bencana

TAJUK PALU EMAS GEOLOG 19
TIADA HARI TANPA BENCANA
Oleh M. Anwar Siregar
Indonesia memang daerah rawan bencana geologis dan meterologi membutuhkan berbagai upaya untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan akibat gejolak kondisi di atmosfera dan biosfer. Daratan Indonesia membutuhkan paradigma tata ruang yang berwawasan lingkungan.
Sebab diberbagai wilayah tanah air, sudah beberapa ancaman bencana alam mengintai dan kadang telah merusak berbagai sarana dan prasana infrastruktur tata ruang, pijanan bencana harus diminimalisasikan demi mengurangi berbagai kerugian, baik oleh alam maupun oleh manusia. Sebagai contoh, kita lihat di wilayah bagian barat Indonesia , akan ditemukan berbagai jenis bencana yang mengancam tata ruang kota yang mengakibatkan daeah tersebut sering mengalami bencana hampir setiap hari akan ada berita bencana.
Di bagian barat sumatera, lempeng Eurasia bertumbukan langsung dengan lempeng Indo-Australia, dan di bagian timur adalah pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Filipina, Pasifik dan Australia. Letak geografis yang demikian ini, menjadikan negeri ini sarat dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, serta gunung berapi. Selain itu, kerentanan Indonesia pun diyakini semakin meningkat dengan perubahan iklim global dan laju jumlah penduduk beserta pluralitas yang ada. Betapa tingginya tingkat risiko yang dihadapi dengan karakter geografis, demografis, serta berbagai aspek lainnya.
Gunung berapi yang tersebar dari ujung tanah Sabang, Pulau Sumatera sampai daratan Meraoke di Papua, juga siap memuntahkan isi perutnya kapan saja. Indonesia boleh disebut pemegang rekornya. Ada 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi ini terletak di dasar laut. Kenyatan berada di dalam aktivitas lempeng dunia ini membuat Indonesia menjadi negara rawan gempa dan tsunami, karena aktivitas tektoniknya yang terus aktif. 
Ketika satu lokasi lapisan bebatuan di batas kerak bumi runtuh karena merapuh menahan desakan lempeng, bebatuan itu akan mencari posisi baru yang stabil. Selama proses ini berlangsung, akan terjadi serangkaian gempa susulan (aftershock), pascagempa utama. Hal ini dapat mengakibatkan bangunan yang retak dan rapuh menjadi roboh. Kejadian ini juga bukan hanya meruntuhkan bangunan, melainkan juga membuat tanah longsor, merekah, dan ambles. Bebatuan di ujung lempeng pada suatu waktu akan melenting karena tidak mampu lagi menahan tekanan itu. Hal ini ditandai dengan gempa besar, pergeseran posisi daratan di segmen itu, dan menjauhnya pulau dari daratan beberapa meter dari posisi semula.
Menurut Munadjat Danusaputra adalah semua benda dan daya serta kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat didalam ruangan, dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
Itulah sebabnya, mengapa bencana alam selalu datang silih berganti melanda negeri ini. Mulai dari gempa dan tsunami, tanah longsor, kekeringan, demam berdarah dengue, diare yang meluas, wabah flu burung, letusan gunung api, semburan lumpur panas dari perut bumi, kebakaran hutan, hingga banjir yang melumpuhkan jalur pantura beberapa waktu lalu.
Pembangunan fisik di Indonesia memerlukan suatu kontigensi yang matang untuk mengantisipasi kondisi geologis yang selalu mengalami deformasi fisik karena Indonesia terletak di salah satu daerah hot spot bencana yang paling aktif di muka bumi selain Jepang, Iran, dan Tiongkok serta Philipina.
Pembangunan fisik yang berketahanan bencana geologi gunungapi di Indonesia belum terintegrasi secara komprehensif terutama yang berhubungan masalah kegeologian antar wilayah. Informasi dan komunikasi bencana umumnya baru diketahui masyarakat setelah terjadinya bencana, kasus ini dapat dilihat pada kejadian bencana letusan gunungapi Sinabung, yang selalu terjadi ditengah terlelap anak manusia, dinihari, dua kejadian sebelumnya sering terjadi malam gelap gulita, Agustus 2010 dan minggu 15 September 2013. Perlu tindakan rutinitas untuk meningkatkan kesadaran mitigasi komprehensif sehingga kewaspadaan yang hanya berlaku jika ada bencana dapat dihilangkan berganti sebagai ”sarapan kehidupan’.
Untuk mengurangi kerentanan masyarakat, khususnya penduduk miskin, kelompok rentan balita, lansia dan wanita, maka upaya dapat dilakukan melalui pemberdayaan. Investasi publik yang umumnya dilakukan sebagai pelayanan dasar adalah dalam bentuk infratsruktur perekonomian (misal jaringan distribusi melalui jalan dan alat transportasi, pasar dan juga sarana jasa keuangan), dan infrastruktur sosial (misal fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan kemasyarakatan). Selain melalui penyediaan infrastruktur dalam wujud fisik, kerentanan juga dapat dikurangi melalui kegiatan non-fisik seperti pelatihan kesiap-siagaan dan tindakan pencegahan.
Di sinipun peran pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat menjadi sangat penting dalam menentukan pilihan investasi publik yang paling tepat sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Mengingat profil kebencanaan Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dimana resiko bencana dan dampak perubahan iklim meningkat sejalan dengan proses pembangunan dan urbanisasi yang jauh lebih cepat dari penyediaan infrastruktur pendukung, maka upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim pada dasarnya menuntut dilakukannya investasi perbaikan guna mengejar kecepatan kebutuhan tadi.
Pada tingkat lokal perlu dilaksanakan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang tahan bencana dan iklim (disaster and climate proof development) melalui tambahan investasi yang sekaligus menjadi bagian dari kegiatan ekonomi lokal. Sebagai contoh di daerah yang rawan gempa bumi perlu diciptakan industri perumahan yang menghasilkan teknologi dan jasa bangunan dan permukiman yang tahan gempa. Demikian pula di daerah yang rawan banjir dan gelombang pasang, perlu ditumbuhkan industri konstruksi dan teknologi yang dapat membantu penduduk untuk dapat mengatur (adaptasi) pola kehidupannya sesuai dengan siklus terjadinya kejadian alam tersebut.
Dari berbagai pengalaman bencana yang terjadi, selalu menuntut penanganan bencana secara holistik, profesional, dan proporsional.  Ada satu hal yang perlu dibenahi dari masyarakat kita dalam memandang persoalan bencana. Bahwa bencana tidak sekadar disikapi dengan pemberian santunan/bantuan pada saat tanggap darurat dan rehabilitasi fisik pada pascabencana saja, melainkan perlu ditumbuhkannya paradigma mitigasi melalui antisipasi bencana/kesiapsiagaan bencana. (Di sari berbagai data pustaka).

No comments:

Post a Comment

Related Posts :