May 29, 2012

Perlukah JSS?Bagaimana Aek Latong : Geologi Mitigasi

PERLUKAH JSS? BAGAIMANA AEK LATONG? 
Oleh M. Anwar Siregar



Gambar : Perlu rekonstruksi infrastruktur jalan yang berbasis kerentanan gerakan tanah di Aek Latong agar kejadian gerakan tanah dapat diminimalisasi (Sumber : Dok Foto Penulis, 2013)
 
Geodinamika fisik Indonesia terus menerus mengalami perubahan kondisi tatanan geologi, akibat siklus gempa di pantai barat sumatera dalam 12 tahun terakhir, menyebabkan banyak terjadi anomali kerentanan dan perubahan batimetri kelautan dan terbentuknya seamount disekitar Palung Jawa. Dan Indonenesia yang bersemangat membangun infrastruktur prestisius harus memperhitungkan aspek geodinamika tersebut, karena fakta sejarah kebencanaan telah memberikan pelajaran bagaimana bangsa ini terus mengalami kejadian musibah bencana pada daerah lingkungan geologi kelautannya yang telah diidentifikasi tingkat bahayanya. Serta Selat Sunda masih dalam kesatuan gerak dinamis gempa megatrush Nias-Simeulue. GEOLOGI SELAT SUNDA 
Dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), banyak aspek design pavement dan investigation design engineer earthquaked yang perlu diperhatikan selain penguasaan teknologi jalan jembatan yang dibangun diatas laut dalam. Dari beberapa literatur menyebutkan bahaya bencana geologi pembangunan JSS di Selat Sunda lebih besar dibandingkan pembangunan Jalan Aek Latong (JAL), ada 9 aspek utama tentang kebencanaan geologi jembatan yang berhubungan dengan lingkungan geologi kelautan bersifat terpadu, antara lain : 1. Geologi Lingkungan, Selat Sunda merupakan wilayah dengan kegempaan tinggi di Indonesia, terdapat berbagai model jenis bencana universal antara lain bencana gempa, tsunami tektonik, tsunami gunungapi, tsunami gerakan tanah, letusan gunungapi aktif, cuaca dan iklim ekstrim, gerakan tanah bawah permukaan akibat pecahnya kerak bumi pada kejadian geologi masa lalu. 
2. Geologi Tektonik, merupakan daerah yang labil, merupakan daerah dengan percepatan deformasi kerak bumi yang terus menerus mengalami tekanan, penumbukan, penghancuran dan pelumatan kedalam bumi oleh gerak lempeng Indo-Australia ke lempeng Eurasia. 3. Dari sudut Geologi Vulkanologi, Selat Sunda merupakan kawasan kumpulan gunungapi aktif, harus memperhitungkan munculnya aktivitas magmatis, terdapat gunung tua di Lampung Selatan dan Banten, zona peralihan tektonik aktif antara Sumatera dan Jawa. Lebih tegasnya merupakan titik lemah bola bumi Indonesia yang telah memisahkan Pulau Sumatera dengan Jawa. 
4. Dari sudut Geologi Paleomagnetik Kelautan merupakan kawasan tingkat kecepatan fluida air yang tidak beraturan, banyak terdapat kerentanan anomali air yang tinggi, arus turbiditas air bawah permukaan laut yang mudah menyebabkan longsor di ujung patahan Sumatera di Selat Sunda yang mungkin saja terjadi, percepatan rambat gelombang seismik kepermukaan cukup tinggi dengan harus memperhitungkan pengulangan gempa berdasarkan sifat supsitibilitas magnetik, percepatan arus angin dan tekanan energi lateral pada kekuatan tanah dan batuan yang dapat mempengaruhi kekuatan bangunan jembatan, dapat mempengaruhi kondisi keausan konstruksi JJS 
5. Dari sudut Geologi Seismologi, aktivitas seismik sangat tinggi di kawasan Selat Sunda, tingkat percepatan rambat energi seismik dapat mencapai 9.0 SR, segala jenis bencana gempa dan tsunami ada diwilayah ini, sebab perubahan kerak bumi yang luas menyebabkan penurunan tanah dapat terjadi tiba-tiba, ada pembebanan lempeng muda yang menumpuk di atas lempeng tua. Tinggi gelombang tsunami dapat mencapai 25 meter dengan kedangkalan gempa 70 km dengan kecepatan mencapai jembatan 75 menit dalam radius 50 km dari pusat subduksi di Selatan Jawa. Simulasi tsunami GA Krakatau memperlihatkan penjalaran tsunami dengan estimasi tsunami disekitar lokasi JJS sebesar 25 meter dalam waktu 43 menit ke JJS. 
6. Dari sudut Geologi Stratigrafi, merupakan kawasan perlapisan platform yang tipis, ketebalan lapisan 30-70 km dan telah mengalami perubahan deformasi lantai dasar akibat letusan gunungapi Krakatau sejak zaman purba hingga ke era modern. Lapisan stratigrafi yang sekarang merupakan sedimentasi dan batuan tidak padat. Lempeng yang terbentuk di kawasan pantai barat hingga ke Selat Sunda merupakan “daur ulang” pemekaran lantai dasar samudera. Lantai dasar selat sunda sekarang merupakan bagian dari permukaan P. Jawa-Sumatera yang tenggelam, terobek dan membentuk kawasan hiperlabil. 7. Dari sudut Geologi Teknik, akan ada penurunan tanah karena stratigrafi yang tidak padat, susunan batuan yang tidak homogen sehingga perambatan gelombang semakin cepat kepermukaan untuk menghasilkan hasil kerja gempa, yaitu likuafaksi, amplipikasi, dan gerakan tanah. 
8. Geologi Struktur, sudah jelas merupakan kawasan jalur sirkum patahan bumi dan zona gunungapi aktif, berusia muda, memiliki bangun arsitekur yang kompleks, zona subduksi lempeng, zona kawasan prisma akresi, zona persinggungan gempa tektonik dengan vulkanisme, berkorelasi dengan jenis patahan lokal dan regional. Tiga patahan aktif regional yang terletak pada radius di bawah 50 km didaratan Sumatera dan dasar laut Selat Sunda adalah patahan aktif Teluk Lampung. Patahan aktif Panaitan/Rajabas dan patahan aktif Sukadana, dan didaratan Jawa dengan patahan aktif Banten, 
9. Geologi Sejarah Kebencanaan, pembangunan JSS harus memperhitungkan informasi geologi, bahwa kejadian masa lalu merupakan cermin kejadian masa sekarang dan masa sekarang sebagai gambaran masa mendatang, bahwa bencana yang pernah terjadi akan terjadi lagi pada tempat yang sama dengan intensitas kejadian yang berbeda, bahwa gunung api, tsunami dan gempa bisa terjadi lagi dengan kemungkinan gempa lebih besar. Sejarah telah mencatat sejak tahun 1453 hingga 1883 GA Krakatau di selat sunda berulangkali meletus. Usia 1883 ke era sekarang telah mendekati siklus pelepasan energi yaitu 2083 dan pembangunan JSS diperkirakan selesai tahun 2025. 
PERLUKAH JSS? 
Melihat perkembangan pembangunan infrastruktur fisik seperti membangun prasarana jembatan yang kecil saja di Indonesia banyak mengalami kasus yang memalukan, dan dipastikan ada yang rusak dalam 6 bulan, apalagi membangun JSS yang menelan biaya mencapai 100 triliun lebih. Jembatan Kutai Kertanegara yang tidak terletak didaerah rawan bencana gempa, Indonesia mengalami kecolongan, bagaimana didaerah yang sudah sangat jelas memiliki berbagai jenis bencana universal? 
Pastas saja masyarakat bertanya, pentingkah atau perlukah pembangunan JJS? Bagaimana dengan nasib jembatan kecil di seluruh Indonesia? Ataupun jalan-jalan negara yang rusak, sudah lebih mirip dengan jalan-jalan desa yang lebih membutuhkan perbaikan mobilitas ekonomi agar tidak “macet”. Dalam beberapa bulan ini, berita “bencana jembatan” menghiasi media massa, dari sini terkuak bagaimana “bobroknya” kualitas jembatan di Indonesia. 
Daerah yang tidak rawan bencana ternyata bisa juga menghasilkan bencana jembatan. Kualitas infrastruktur dan tingkat keamanan serta pemeliharaan jembatan yang dibangun dengan dana miliaran rupiah dikerjakan asal-asalan. Lihat saja jembatan Kutai, jembatan Suramadura. Jalan-jalan negara banyak dibiarkan rusak parah dan diperbaiki dengan “sistim tambal sulam”, seharusnya melakukan perbaikan jalan dulu karena belum semua daerah menikmati jalan dan jembatan yang mulus, lebar, dan kuat. Perlukah sekali lagi pembangunan JSS jika melihat segala kondisi geologi Selat Sunda? Sedangkan JAL membutuhkan perbaikan agar layak sebagai jalan transportasi. 
ADAKAH SOLUSI JAL? 
Rencana pemerintah membangun JSS dinilai lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaat dan bisa jadi penghamburan anggaran. Seharusnya bangsa ini harus belajar dari gempa dan tsunami di Jepang. Dengan teknologi yang sangat tinggi sekelas PLTN saja dibuat rata dengan tanah, pemerintah sepertinya menganggap sepele. Lantas bagaimana solusi pembangunan JAL? Jika kita mampu membangun jembatan Suramadura dan rancangan JSS dengan teknologi canggih yang mutakhir kenapa pembangunan JAL tidak bisa? 
Sebenar solusi JAL ada dan memberikan kebanggaan prestisius dengan model pembangunan mirip konstruksi JSS yaitu jalan jembatan layang (JJL) sepanjang 1200 m yang menghubungkan Aek Latong ke Simangumban yang menggunankan beberapa tiang gantung dengan menumpuk kaki atau tiang pancang pondasi konstruksi pada beberapa titik (lokasi) tanah yang padat dan kuat serta stabil jauh dari titik zona longsoran pada daerah di atas patahan aktif. 
Standart struktur bangunan jalan dan jembatan harus mengacu pada kajian geologi hazard dan georisk serta peta bahaya percepatan gerakan tanah di batuan dasar akibat energi gempa, struktur kaki jembatan dan tiang pancang pada tiap formasi batuan geologi yang menyusun Aek Latong tidak seragam harus diberi sistim peredam berupa bantalan karet peredam getaran pada lapisan dasar untuk mencegah efek resonasi keatas permukaan konstruksi dan tidak menimbulkan efek mengayun dan efek memuntir, jarak tiap tiang pancang harus cukup jauh untuk mencegah kekakuan struktur ketika terjadi gempa atau angin kencang dengan memperkuatkan sisi bangunan tiang pancang yang berhadapan langsung. 
Pada tiap kaki jembatan dan badan jalan harus ada zona sanggahan berupa peredam parit seismik yang ditanam sepanjang fisik JJL dengan jarak tertentu sesuai probabilitas arah lintasan sesimik. Fungsinya adalah untuk mencegah getaran seismik melintasi badan JJL dan mengurangi serta meringankan beban getaran pada tiang pancang. Jumlah tiang pancang Jembatan bergantung kepada lokasi massa tanah padat. Jalan alternatif sekarang tidak dirancang tahan gempa dan sebagian koridor badan jalan masih berada dalam zona gempa.
Harusnya pemerintah jangan pelit mengeluarkan banyak dana karena pembangunan JAL sekarang justrunya akan terus mengeluarkan dana perbaikan karena dipastikan akan sering “rusak”.
M. Anwar Siregar Geologist,
pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer,
Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian 'ANALISA" MEDAN 7 MEI 2012

May 2, 2012

Grand Design Gempa Maut Indonesia : Geologi Disaster


GRAND DESIGN GEMPA MAUT INDONESIA
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa ternyata belum berhenti walau sesaat. Terus memberikan efek tekanan dan deformasi zona kegempaan dalam waktu singkat kini telah mengancam wilayah Pantai Timur Sumatera dengan tercatatnya gempa di wilayah Bangka Belitung akan memberikan akumulasi semakin kuat bagi kehancuran beberapa patahan sehingga semakin tertekan. Pada daerah kritis gempa diwilayah Indonesia yang membentuk grand design maut strategis berikutnya. Dimulai dari Pantai Barat Sumatera, Aceh 2004, Nias 2005, Bengkulu 2007, Sumbar 2009, Mentawai 2010, Simeulue 2012, kembali lagi Bengkulu atau Lampung? Pola tekanan energi medan stress dari gerak relaksasi bumi di Patahan Laut Jawa akan menerus dan bersambung hingga ke Patahan Pegunungan Merantus di Kalimantan Timur. 
Batas alamiah dari kontinen Kalimantan masih berhubungan dengan kondisi geologi kegempaan di sekitar di Laut Sulawesi. Sehingga 10 tahun ke depan diprediksi akan ada gempa dahsyat di atas 7.0 Skala Richter (SR) berlangsung di Indonesia secara beruntun. Pola ini telah akan diawali gempa di Blok Aceh-Nias dengan kejadian gempa Mentawai 2010 dan Gempa Simeulue 2012 dengan kekuatan mencapai 8,9 SR (versi USGS) yang terjadi hari Rabu, 11-04-2012. Gempa strategis Sumatera-Jawa Jika kita mencermati kondisi Lempeng Sumatera-Jawa dalam beberapa tahun terakhir ini. 
Posisinya yang berada dalam kondisi “penjepitan” di antara dua lempeng besar benua. Semakin intensif mengalami penghancuran atau perobekan perut bumi dan membangkitkan tekanan yang semakin kuat bagi dapur magma di daratan serta melipatgandakan tekanan energi di patahan daratan Sumatera-Jawa. Ini akan membawa Indonesia 20 tahun ke depan memulai gempa strategis dunia. Bukti ini, dapat dilihat dari siklus pendek gempa-gempa Pantai Barat Sumatera dalam kurun 10 tahun berlangsung gempa dahsyat di atas 6.2-9.0 SR yang terjadi dimulai dari Bengkulu tahun 2000, 2002, 2007, 2008. Simeulue tahun 2002, 2005, 2008, 2010, 2012, Aceh tahun 2004, 2007, Nias tahun 2005, 2007, Sumatera Barat 2006, 2007,2009, 2010 dan Muara Sipongi 2006, Padangsidimpuan/Sipirok 2009. 
Ahli geologi menyebutkan, faktor pemicu utama gempa strategis Sumatera-Jawa berada pada batas konvergen antar lempeng untuk memberikan energi responsif blok antar patahan yang masuk dalam kawasan ring of fire. Bahwa masa siklus gempa sekarang ini terlalu singkat sehingga memungkinkan energi relaksasi bumi yang belum seimbang akan kembali mengakibatkan “pola medan stress” di perbatasan lempeng. Kemudian mengubah bentuk sisa runtuhan topografi kerak bumi dari Palung Laut Dalam yang belum stabil di ujung perbatasan Pulau Sumatera dan Jawa. 
Akibat gempa-gempa terdahulu selama 2 abad akan menimbulkan gempa dahsyat tsunami dalam kurun 5-10 tahun mendatang. Dimulai dari tahun 2010 ke 2012 dan sebelum tahun 2020, sangat singkat untuk mempercepat kehancuran Pulau Sumatera sebagai faktor ideal bagi berlangsung gempa strategis dahsyat dunia. Langsung atau tidak langsung akan menimbulkan efek pemicu goncangan berganda pada segmen patahan Sumatera-Jawa. Karena lanjutan Patahan Sumatera yang kompleks itu masih menerus ke Selatan Jawa bagian Barat dan Jawa bagian Timur. Di ujung patahan Sumatera terdapat kumpulan patahan geser naik yang berupa hasil penandukan antar lempeng di jalur subduksi sepanjang 300 km, dapat mengubah topografi bawah laut menjadi “area rupture yang terbaru” sebagai “ruang kosong” atau seismic gap banyak terdapat di antara Pulau Nias dan Simeulue yang menyebabkan gempa April 2012. 
Pembentukan ruang kosong ini akan mengakumulasi tekanan pada blok patahan Pantai Barat Sumatera terutama di Blok Enggano-Mentawai oleh gerak menyesar naik (trust fault convergent). Sehingga area rupture di blok Pantai Barat Sumatera yang ada sebelumnya, yaitu 600 km menuju ke Selat Sunda akan bertemu langsung dengan gunungapi bawah laut yang terjal dengan ketinggian 2500 km di Laut Jawa. Pertemuaan ini akan membentuk prisma akresi yang baru sepanjang busur kepulauan hingga kebelakang busur cekungan Nusa Tenggara. 
Jalur akresi merupakan jalur-jalur gempa kosong atau daerah dalam pengumpulan energi yang kini sedang berlangsung di Patahan Jawa-Selat Bali dengan energi penyerapan terendah ada di Utara Sumatera. Faktor lain yang semakin menegaskan bahwa suatu saat Lempeng Bumi Indonesia akan menghasilkan gempa dahsyat lagi adalah proses pembalikan energi seismik masih terus berlangsung di sepanjang Pantai Barat Sumatera. Porosnya di patahan Bengkulu-Lampung dan Sumatera Utara-Aceh. Timbulnya pembalikan energi seismik karena disebabkan gerakan pembalikan relaksasi energi dari Lempeng Pasifik ke arah Benua Asia yang bergerak lebih aktif, 17 cm/tahun dibandingkan Lempeng Indo-Australia bergerak 6-7 cm/tahun. Sehingga energi seismic gap terkonsentrasi pada blok-blok batuan di ujung patahan Sumatera di Selat Sunda yang telah memikul beban (gaya berat) dari efek deformasi gempa Aceh-Nias dan Bengkulu-Sumatera Barat. Sehingga dapat mengganggu termodinamika supervulcanoes Krakatau. Coba, lihat/amati cermat kejadian gempa yang kita rasakan sekarang. Pembalikan energi seismik berarti akan ada “efek penjalaran” energi tekanan dahsyat ke patahan Laut Jawa dan Pantai Timur Sumatera. 
Walau diketahui pusat kedalaman gempa berada 300 km tetap saja tidak aman bagi tata ruang kehidupan disebabkan: Pertama, jarak subduksi antara 50-400 km, memicu antar zona subduksi dalam satu kawasan satu blok kegempaan, bukti ini ada diwilayah Kep. Simeulue. Kedua, tersusun oleh topografi sisa runtuhan gunungapi dari ledakan gunungapi Krakatau dan gempa-gempa terdahulu, yang telah mengubah kondisi batuan yang semakin tidak homogen dalam meredam efek penjalaran energy, terkonsentrasi di Selat Sunda dan Kep. Enggano. 
Ketiga, ada perobekan sedalam 10 km dan panjang 1600 km jalur kegempaan yang akan terbentuk kemudian. Keempat, efek penjalaran menyebabkan akumulasi energi dalam kondisi kritis dibeberapa seismic gap di Selatan Jawa Timur dan Selat Bali serta NTB dengan terjadinya gempa kuat Sumbawa dan Rote-NTT--serta resonasi efek relaksasi bumi mengakibatkan gempa masih berlangsung di Bengkulu, Simeulue dan Nias dengan kekuatan diatas 5-7 SR. Diprediksi, 20 tahun ke depan Sumatera-Jawa akan memulai terjadinya “panen gempa tsunami” di atas 8.5 SR dengan Nias-Simeulue sebagai permulaan sekarang. Merambah ke beberapa zona subduksi terdekat di India yaitu subduksi di palung laut dalam Andaman dan kepulauan vulkanik Nikobar akan menginjeksikan tekanan ganda bagi pecahan blok efek gempa Aceh-Nikobar tahun 2004 di Lempeng Burma. 
Jalur pecahan yang ada di Lempeng Burma akan memudahkan energi responsif melanjutkan tekanan ganda di patahan Pegunungan Himalaya hingga ke patahan Anatolia-Jazirah Arab dan Afrika Utara. Pembalikan energi relaksasi bumi dimulai ke cekungan patahan Samudera Hindia melalui daratan Asia dari ujung Utara Sumatera ke Semenanjung Malaya atau Pantai Timur Sumatera. Tekanan dorong juga akan terjadi di cekungan Samudera Pasifik dengan menekan ruas patahan di Laut Halmahera dengan terjadinya gempa besar di Teluk Tomini atau subduksi Mayu dan Sulawesi. 
Gempa dahsyat Maluku-Sulawesi Wilayah Indonesia Timur termasuk daerah yang mampu menghasilkan gempa dahsyat strategis karena ada efek penjalaran seismik dari kawasan Pasifik oleh pembalikan energi relaksasi bumi secara menerus ke busur pulau vulkanik disepanjang ring of fire. Berhubungan langsung dengan subduksi Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia, karena ada dua sub Lempeng Eurasia yang saling menekan dan melumat Lempeng Maluku yaitu Lempeng Sangihe dan Lempeng Halmahera sehingga melapangkan ruang subduksi dan pemekaran laut serta gerak penekanan Lempeng Philipina ke wilayah Lautan Indonesia di Laut Banda. 
Wilayah penekanan patahan gempa di zona subduksi Maluku-Sulawesi merupakan tipe pertemuan subduksi interplate (penumbukan antar lempeng)--dengan pergerakan yang lebih aktif adalah Lempeng Pasifik ke titik hunjaman di Lempeng Halmahera--bergerak 12 cm/tahun, Lempeng Filipina menekan subduksi Sulawesi Utara bergerak 4-5 cm/tahun ke Lempeng Sangihe, Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Sunda-Sahul di sekitar Kepulauan Maluku Tenggara bergerak 6 cm/tahun. Sedang Lempeng Eurasia bergerak 2 cm/tahun.
Dengan karakteristik pergerakan keempat lempeng itulah yang akan menempatkan bumi Indonesia “mengancam” dunia dengan gempa strategis dahsyat. Jika pusat gempa terjadi di kawasan Laut Maluku-Sulawesi bagian Tenggara dan Utara tepat di Lautan maka interaksi keempat lempeng ini akan memberikan efek kejutan gelombang gempa berulangkali dengan gempa susulan yang hampir sama kuat. Kondisi geologi kegempaan di lautan Sulawesi Maluku merupakan pola Pemekaran Laut di Pantai Barat. 
Sedangkan di sebelah Timur atau Selatan Maluku terdapat 5 pusat zona penunjaman gempa seismik tinggi akibat hilangnya Lempeng Maluku.

Gambar : Grand Design gempa yang terjadi di Indonesia dari gerak lempeng bumi yang menekan wilayah Indonesia dan menggoyang daerah sekitarnya dalam radius ratusan kilometer di permukaan bumi (sumber : dari berbagai sumber)
Dengan melihat gembaran topografi tersebut, maka faktor tekanan, penghancuran ataupun pelumatan lempeng, pemekaran dan perubahan anomali kerentanan gravitasi kemagnetan akan menempatkan wilayah dunia dalam ancaman gempa strategis yang luas di kawasan Sulawesi melintasi ke Asia Timur, Asia Tenggara, Kalimantan Timur, Maluku, melintasi subduksi di kawasan Pasifik hingga ke Pantai Barat Amerika Utara di wilayah Meksiko dan semananjung California dan Samudera Hindia. Saling memicu zona subduksi yang terdekat dalam radius 1000 km di permukaan bumi untuk memulai “kiamat baru”. *****
( M. Anwar Siregar : Penulis adalah Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan Dan Energi-Geosfer. ). Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian WASPADA Medan
http ://waspadamedan,com/opini

Related Posts :