22 Jun 2025

Laut Indonesia darurat sampah

 

LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH

Oleh M. Anwar Siregar

 

Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan dan pekerjaan. Dua hal ini yang sangat berpengaruh pada keadaan ekonomi manusia. Banyak negara bertumpuh pada kekayaan sumber daya laut termasuk Indonesia, yang salah satu tumpuan ekonomi di sektor laut, dan Indonesia saat ini membangun jaringan tol laut untuk memangkas waktu dan biaya.

Sekitar 30 persen plastik berakhir sebagai sampah yang terapung-apung dipermukaan air laut ke Indonesia, termasuk di laut yang padat jalur lintas pelayaran yang mencapai 40 persen yang menyebabkan kematian banyak pada ikan paus dan penyu di kawasan laut china selatan dan kawasan utara Laut Maluku. Dimanan kedua Laut Indonesia memiliki fungsi sangat signifikan bagi oksigen bagi negara-negara yang ada di sekitarnya telah memberikan sumbangan oksigen yang bersih mencapai sekitar 82 persen. Sungguh lura biasa laut Indonesia sebagai paru oksigen dunia namun sekarang telah mengalami darurat sampah plastik di lautan yang maha luas.

SUMBER HIDUP

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan jalur di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati kapal dan pesawat udara asing. Hal ini mengacu pada kesalahan kita dalam merancang dan menerapkan hak lintas laut  dalam PP terkait Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982.  Padahal, wilayah Indonesia kini menjadi salah satu jalur terpadat di dunia sehingga rentan mengalami gangguan perubahan salinitas laut, dan kita sudah mengetahui bahwa laut Indonesia merupakan sumber kehidupan dan sumber pembuangan berbagai jenis sampah.

Laut Indonesia yang begitu luas, sebagai penyumbang terbesar bagi oksigen global dan laut Indonesia sebagai penyumbang terbesar perikanan laut di dunia, dan ini tidak mengherankan kenapa negara lain di dunia seringkali melanggar kedaulatan maritim dan ZEE kelautan indonesia hanya karena ingin memperebut sumber daya ikan, namun juga berpotensi saling mengklaim kedaulatan dengan menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 (Burke, et all, 2002).

Dari waktu ke waktu Laut ndonesia terus mengalami perubahan salinitas sehingga mengancam berbagai sumber kehidupan sehingga Laut ndonesia kini menjadi pantai dan laut terkotor di dunia.

PANTAI TERKOTOR

Kalau Medan dikenal sebagai kota metropolitan terkotor di Indonesia versi tahun 2018, maka laut Indonesia termasuk pantai laut terkotor di dunia, keduanya sangat memalukan, perlu tindakan visi dan misi dari pemerintah dan rakyat untuk bersatu menjaga keindahan laut Indonesia, dan meningkatkan pengawasan secara menyeluruh hingga mampu memberikan tekanan efek jera bagi pelaku pelayaran agar tidak melakukan pembuangan sampah penumpang kapal laut, tangker minyak dan nelayan tradisional untuk melakukan atau menggunakan bom dalam penangkapan ikan.

Banyak faktor yang menyebabkan kondisi laut Indonesia termasuk terkotor ataupun tercemar zat-zat yang membahayakan, satu satu sumber adalah pembuangan bahan-bahan yang mengandung unsur polutan karbondioksida dari jalur kapal pelayaran dan apalagi pemerintah sedang membangun jaringan tol laut untuk mewujudkan negara poros maritim.

Sumber polutan karbon dioksida melalui sumber bahan bakar minyak dari Mesin kapal dilepaskan keluar ke udara dan terkonsentrasi di atmosfer sekitar 30 persen dari totalnya larut kembali secara alamiah ke dan di lautan. Namun ketika jumlah karbon dioksida di atmosfer bertambah, semakin banyak karbon dioksida yang larut dalam air laut akibat peningkatan jumlah kapal-kapal pelayaran kargo dan penumpang, maka konsentrasi ion hidrogen akan semakin tinggi dan akan menambah tingkat keasaman air laut yang pada akhirnya akan membuat orginisme laut seperti terumbu dan plankton kesulitan dalam membentuk struktur tubuh yang berbahan kalsium karbonat.

Pentingnya menjaga laut dari sumber polutan karbondioksida, sebab jika karbon dioksida saat larut dalam air laut, akan membentuk asam karbonat lalu membentuk bikorbonat dan ion hidrogen hingga dapat mengurangi ion karbonat, maka organisme laut lama kelamaan bisa mati akibat racun karbon dioksida yang larut dalam bentuk ion bikorbonat dan ion hidrogen.

Tidak hanya bahan bakar yang mengandung CO2, tetapi juga limbah B3 dan tumpahan minyak yang banyak mengotor jalur ALKI indonesia, tetapi juga di lihat di kawasan Pulau Putri-Riau, Nipah, Natuna, Biak dan Balikpapan, selain limbah minyak diperparah juga limbah domestik yang ikut andil mencemari perairan beberapa pulau-pulau kecil Indonesia di Selat Malaka bahkan limbah dibiarkan sampai mengering bersama sampah-sampah domestik yang bertebaran luas di permukaan laut Indonesia, sehingga laut Indonesia sudah sangat darurat sampah dan limbah beracun lainnya

Tidaklah mengherankan jika Indonesia termasuk ke dalam lima negara dengan garis pantai terkotor di dunia, itu terlihat jelas dari berbagai sampah yang banyak di buat di pantai atau di laut Indonesia, coba anda lihat ada tidak sampah di Laut Belawan, pantai Sibolga dan Teluk Padang atau yang paling aktual yang menjadi soroton saat ini, yaitu pantai plastik di pantai wisata Bali yang mendunia itu, ternyata menyimpan potensi gunung sampah plastik yang dibuang banyak turis di Laut dan Pantai Bali.

Para penumpang maupun pemilik kapal bisa saja membuang sampah di perairan Laut Indonesia tanpa pengawasan, karena begitu luasnya Laut Indonesia sehingga susah melakukan pengawasan, dan merupakan salah satu mengapa Indonesia termasuk negara penghasil sampah plastik di laut di dunia.

EKSISTENSI PULAU KECIL

Dengan tumpukan sampah yang menggunung di lautan Indonesia dapat mengancam eksistensi pulau kecil dan dapat melanjutkan serangan “kiriman” sampah mendekati kota pesisir menjadi sebuah gunung sampah di pinggir pantai, hal ini bisa terjadi karena disebabkan beberapa Laut Indonesia dapat digunakan tempat pembuang sampah melalui jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), merupakan jalur di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati kapal dan pesawat udara asing.

Karena secara oseanografi, eksistensi pulau-pulau kecil di lautan Indonesia amat dipengaruhi oleh pergerakan arus, gelombang, pola pasang-surut. Pola arus, gelombang dan pasang surut yang amat dinamis mempengaruhi kondisi daratan di suatu pulau kecil. Bila manusia senantiasa melakukan tindakan destruktif, misalnya membuang sampah plastik dan berbagai jenis sampah lainnya serta juga menambang pasir di pulau kecil dan karang di sekitar perairannya laut, lambat laun akan menyebabkan pulau itu mengalami abrasi bahkan hilang sama sekali. Dan itu sangat berbahaya bagi permukaan tanah yang mudah dimasuki air ke daratan rendah kota yang memiliki topografi rendah, misalnya kota Jakarta, Semarang, Medan dan Sibolga terancam tenggelam.

Tata kelola dan pengawasan pembuang sampah di Laut Indonesia harus ditingkatkan, agar ancaman bahaya banjir sampah di pantai dapat ditekan guna menekan dampak kehilangan ekosistem tata ruang laut dan darat akibat penumpukan sampah di pantai.

Bila tidak ada pengawasan yang tegas, maka dipastikan tumpukan sampah akan memberikan efek bahaya penurunan tanah di pesisir akibat beban tumpukan berton-ton sampah dan hal ini akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan di sekitar pantai daratan secara masif untuk tempat pembuangan sampah dari laut. Salah satu faktor yang mendorong terjadi beban pikul bagi eksistensi pulau kecil yang rentan mengalami penenggelaman. Tekanan tumpukan sampah dapat saja menjangkau areal lima kilometer ke dalam daratan

Pemerintah belum sepenuhnya melakukan pembenahan wilayah pesisir laut untuk menjaga eksistensi pulau dan daratan secara maksimal. Pembangunan sekarang tidak mengindahkan keberlanjutan tatanan ruang lingkungan pantai sehingga beberapa kota bisa mendapat ancaman bencana banjir dan intrusi air laut.

M. Anwar Siregar

Enviromentalist Geologist

Dilarang copas termasuk mamakai AI

1 Nov 2024

Bencana Populer : Mitigasi Tsunami Yang Terabaikan

MITIGASI TSUNAMI (MASIH) YANG TERABAIKAN

Oleh : M. Anwar Siregar

 

Ancaman megatrusth tsunami ke Indonesia dapat terulang lagi, mengingat siklus periode gempa tektonik disertai tsunami telah memasuki siklus kritis, isu-isu yang beredar dibergai platform media dan berbagai sumber lainnya telah membahas hal ini namus standart mitigasi tsunami masih belum membumi.

Sebuah renungan untuk di evaluasi, bahwa pentingnya standar bangunan pantai bagi kota di pesisir Indonesia untuk mengimpelementasikan budaya tata ruang berketahanan gempa, dan kita harus sadar bencana, sejak kejadian bencana gempa besar Aceh 2004 seharusnya pemerintah sangat ketat untuk memberikan izin pembangunan kawasan tertentu apalagi dikawasan rawan gempa dan tsunami.

Program mitigasi di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi, buku sejarah bencana gempa di Indonesia sudah sangat tebal, namun isinya masih pepesan kosong dalam bentuk implementasi tata ruang kota berketahanan gempa dan seharusnya menjadi pijakan untuk membangun kota serta agar dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat dalam menghadapi datangnya gempa dan agar tidak mudak termakan isu hoax yang tidak bertanggungjawab.

Perencanaan pembangunan bencana sudah harus tertanam sejak dimulainya pembangunan rekonstruksi dan komitmen pembangunan sumber daya manusia yang tangguh menghadapi bencana.

Jepang masih dianggap terbaik dalam budaya mitigasi maupun pembangunan standart building kode bangunan tahan gempa dan 90 persen kontsruksi bangunan di Jepang berbasis tahan gempa dan cocok bagi negara yang berlangganan gempa untuk belajar membangun tata ruang gempa, dan Indonesia perlu belajar budaya mitigasi bencana, baik bersifat struktural maupun non struktural, karena karakteristik wilayah tatanan geologi Indonesia hampir sama dengan Jepang, terbentuk oleh kepulauan vulkanik, berada dikawasan ring of fire, banyak terdapat gunung api, pusat pertemuan antar lempeng besar yang menyebabkan gempa dan tsuanmi besar dan memiliki daerah pesisir pantai yang panjang dan luas serta memiliki kawasan yang bisa diterpa bencana tsunami hingga ke dalam inti kota.

INDONESIA BELUM SIAP

 

Kejadian gempa di lokasi kepulauan seperti yang terjadi di Selat Sunda yang terbentuk diantara Pulau Jawa dan Sumatera tidak jauh berbeda dengan Kepulauan Nusantara-Indonesia di era modern ini, terpisah dari daratan Asia Besar oleh pembenturan lempeng, Indonesia dipisahkan oleh cekungan busur Belakang dan Depan dari dua sisi yang berbeda dari dua benua. Kondisi ini dapat membangkitkan tsunami di sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatra. Kota-kota besar di Sumatera Utara harus siap menghadapi ancaman ini, karena ancaman maut yang diberikan tidak jauh berbeda dengan tsunami maut Aceh-Andaman 2004, namun tingkat kerusakan akan lebih parah, karena kondisi blok batuan yang menyusun bumi ruang Sumatera Utara saat ini belum dalam kondisi stabil, setelah ada gempa-gempa kuat dari awal tahun 2010 hingga menjelang akhir tahun 2016, jadi peningkatan kewaspadaan memang harus ditingkatkan dalam bentuk perencanaan tata ruang gempa.

Bersyukurlah karena sampai saat ini gempa di Mentawai belum kondisi pelepasan energi ganas namun sebagai peringatan bagi kota-kota di Pantai Barat Sumatera agar lebih mempersiapkan tata ruang mitigasi yang komprehensif, karena sampai sekarang ternyata belum banyak bangunan dan infrastruktur fisik lainnya mengikuti kaidah building code yang berketahanan gempa, setengah peralatan tsunami rusak dan 80 % masyarakat bermukim di kawasan rawan bencana dan dukungan politik lokal dalam pengurangan resiko bencana masih sangat rendah sekali.

Gempa Mentawai kini memang menjadi pusat perhatian, namun bukan berarti pengamatan gempa lain tidak luput mengalami efek domino untuk diamati terutama gempa di Selat Sunda, di kawasan Nias-Simeulu ke Andaman-Nikobar ataupun dapat merangsang energi di Patahan Sagaing di Burma. Refleksinya bisa di lihat pada gempa Taiwan dapat memberikan stimulus medan stress gempa di kawasan Burma dan Semenanjung Asia Tenggara.

Yang dapat dilakukan masyarakat adalah mempersiapkan diri dan membangun fundemental bencana untuk menghadapi ketidak pastian bencana yang datang bertubi-tubi di negeri yang memang sudah ditakdir hidup akrab bersama gempa dan harmonisasi dengan lingkungan gunungapi. Masyarakat harus siap dalam menghadapi bencana, memastikan kondisi tata ruang kota mereka ada jalur evakuasi bagi kota yang berhadapan langsung dengan Samuerda Hindia dalam menghadapi tsunami. Apa sudah siap?

TSUNAMI TERABAIKAN

Diketahui tsunami menghancurkan seringkali disebabkan oleh gempa megathrust ketika sesar bumi yang berukuran besar melakukan penyesuaian dengan bergerak secara vertikal disepanjang patahan bumi.

Mitigasi Bencana Gempa Bumi, Simak Langkah-langkah mulai ...

Gambar : Mitigasi sederhana yang (kadang) dilupakan (Sumbr gambar : BPPD Klaten)

Para pakar tsunami mengatakan banyaknya jumlah korban terus mencerminkan kurangnya sistem canggih untuk deteksi dan peringatan tsunami di indonesia.

Ironisnya, sistim mitigasi di Indonesia masih belum komprehensif sehingga tidak mengherankan mengapa jumlah korban di Indonesia tidak pernah berkurang, diketahui Indonesia hanya memiliki sistem seismograf, perlengkapan global positioning system (GPS) dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami sangat sedikit, yang memiliki efektivitas sangat rendah bagi kawasan laut Indonesia yang sangat luas tempat bertemunya empat lempeng besar.

Sedang alat pendeteksi gempa dan tsunami milik BMKG berupa buoy sangat ini lebih banyak tidak berfungsi dan banyak dicuri orang, sehingga ketika terjadi bencana tsunami masyarakat mengalami dampaknya. Indonesia memiliki 22 jaringan sensor perubahan tekanan kecil di dalam laut namun umumnya tidak berfungsi dan rusak karena tidak dirawat.

Yang mengherankan Pemerintah justrunya sangat getol membangun infrastruktur tol dan jalan layang dalam kota, cobalah memperhatikan kondisi mitigasi di daerah pesisir dengan membangun pendeteksi tsunami hampir ditiap wilayah Indonesia sehingga pelajaran tsunami Selat Sunda dapat diprediksi atau setidaknya masyarakat berjaga-jaga atau mencari tempat untuk berlindung.

Karena ada 18 daerah yang sudah merasakan kehancuran dampak tsunami karena tidak memiliki teknologi TEWS, sensor broad bank tanpa awak dan mitigasi ketataruangan yang berbentuk non struktral dan struktur antara lain NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jateng bagian Selatan, Jatim bagian Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak (yapen), Balikpapan dan Fak-Fak

Akurasi pemprosesan data harus selalu real time, sehingga perlu lembaga-lembaga riset dan pengawasan dapat bekerjarsama untuk menyebarkan dan memperluas jaringan teknologi, bukan bekerja jalan sendiri, kerja antar sektor di ndonesia dibidang tsunami belum melembaga secara keseluruhan, dan masih ada saja tidak memberikan data secara ikhlas.

Terkait tanggung jawab informasi bencana alam seperti gempa dan tsunami seharusnya mengalokasi dana pengembangan teknologi lebih besar dibandingkan pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran, termasuk seminar-seminar, khususnya pemerintah daerah wajib mengalokasikan dana APBD lebih besar dari 5 % dari total anggaran. Mengingat kondisi infrastruktur yang sudah terbangun sangat membutuhkan sistem pengaman dari kehancuran efek gempa bumi.

Di era revolusi 4.0 seharusnya informasi lebih cepat ke tangan masyarakat, era revolusi dan era internet atau era satelit yang mengglobal, rasanya tidak mungkin Indonesia kedodoran, tetapi itulah yang terjadi, Indonesia sangat bodoh, lemah pengawasan, lemah pelembagaan, lebih fokus pada proyek pretisius seperti membangun jalan tol antar provinsi antar pulau.

Padahal kita tahu, bencana setiap saat mengintasi dan menghancurkan apa saja, termasuk proyek pretisius, dan dipastikan banyak tidak dirancang berketahanan gempa dan tsunami, tiba-tiba masyarakat menjadi miskin seperti orang bodoh, pasrah. Dilain pihak kita sibuk mencari kesalahan, sibuk membungun ini, sibuk membangun itu, kita seperti alpa menjaga diri, menjaga Indonesia, menjaga ancaman bencana sehrusnya kita lebih memprioritaskan sistim mitigasi bencana secara menyeluruh.

Tulisan ini telah dipublikasi diberbagai media

1 Okt 2024

Mitigasi Lingkungan : Kearifan lokal tsunami

KEARIFAN LOKAL TSUNAMI SEMAKIN MEMUDAR

Oleh :. Anwar Siregar

Adalah sangat penting menggali kembali kearifan lokal lingkungan serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana lingkungan di era sekarang, mengingat banyak generasi mulai melupakan kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana alam tsunami dalam menghancurkan lingkungan hidup.

Pengalaman sejarah terjadinya gempa yang berkali-kali di Nias, Aceh Simeulue, Mentawai dan kawasan Timur Indonesia telah membentuk prilaku masyarakat sejak zaman dahulu untuk cenderung mempertahankan diri terhadap dampak yang diakibatkan bencana itu sendiri. Sebagai contoh, konstruksi rumah adat yang anti gempa dan membangun perkampungan di dataran tinggi atau daerah pegunungan.

SEMAKIN MEMUDAR

Namun seiring dengan perkembangan peradaban dan pergeseran nilai-nilai budaya, generasi sekarang terkesan justru melupakan kearifan lokal yang pernah dimiliki oleh generasi pendahulunya. Perlu upaya terpadu dari semua pihak untuk menggali kembali kearifan lokal dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat untuk dilestarikan.

Pelatihan-pelatihan tidaklah cukup jika hanya sekedar menghabiskan anggaran yang ada, tetapi lebih kepada berbagai metode yang lebih praktis dan mudah diterima/dipahami oleh masyarakat awam. Melalui pendidikan sangatlah tepat, baik formal maupun informal.

Andai ada banyak yang berpikir sama dan mau melangkah bersama, banyak hal penting dapat dilakukan bersama untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan, dan banyak persoalan dapat juga diupayakan solusinya. Ini merupakan filosofi kehidupan leluhur kita, yang semakin memudar di praktekan di era sekarang.

Mari kita mulai dari langkah kecil yang nyata dengan komitmen yang kuat dan kebersamaan, kiranya akan bergulir dan mengalir menjadi sebuah gerakan sosial bersama untuk membangun kearifan lokal dalam membangun sarana fisik dengan mengenali tanah tempat kehidupan kita dan lalu peliharalah lingkungannya dengan baik. Niscaya, keberlangsungan kehidupan di pulau-pulau pesisir maupun didaerah hulu akan dapat meminimalisasikan tingkat bahaya. Sangat penting untuk kita lalukan, demi untuk anak cucu atau generasi berikutnya.

BNPB sering mengingatkan warga di daerah rawan bencana alam agar menggali kearifan lokal untuk dapat dijadikan sebagai peringatan dini ketika ada ancaman tsunami. Penggalian kembali kearifan lokal sangat penting dalam upaya penyelamatan masyarakat dari gelombang tsunami. Kebijaksanaan lokal yang dipahami dan diterapkan sejumlah daerah sudah terbukti dalam mengurangi korban jiwa.

Mitigasi Bencana Gempa Bumi, Simak Langkah-langkah mulai ...

Gambar : Mitigasi Gempa berbasis sederhana (sumber gambar : BPPD Klaten)

Sebagai contoh di Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memahami dan mempunyai kearifan lokal yang dikenal Semong. Dari sekira 400 ribu penduduk di kepulauan itu, hanya sedikit yang meninggal akibat bencana gelombang tsunami yang terjadi pada 2004. Sekadar diketahui, Semong adalah kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue dalam membaca fenomena alam pantai telah menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami.

Teriakan Semong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi di mana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu. Semong ini yang menyelamatkan masyarakat di pulau Simeulue, padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Semong bagi masyarakat pulau Simeulue disosialisasikan turun-temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh masyarakat, sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati masyarakat pulau itu. 
Hal seperti itulah yang mestinya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Alam, selain memberikan manfaat bagi kelangsungan umat manusia juga memberikan pelajaran berharga. Salah satunya dengan peristiwa bencana. Manusia dengan kelebihan akalnya akan mampu menangkap tanda-tanda sebagai bentuk proteksi dan adaptasi dari perubahan alam. Kadang kesombongan manusialah yang memperburuk dampak dari siklus alami ini.

Nenek moyang bangsa ini berhasil membaca sinyal alam menjadi satu falsafah hidup dan melahirkan nilai-nilai kearifan lokal. Namun, manusia modern yang mendewakan teknologi banyak mengabaikan warisan luhur ini. Fenomena alam sebagai daur ulang kehidupan manusia dan alam semesta dengan periode tertentu dapat berubah menjadi bencana yang menyeramkan. Karena itu, bencana alam harus mendesak manusia lebih memahami the power of nature.

Dalam hal ini, BNPB memegang perang siginifikan. BNPB yang memegang amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dituntut mampu peran koordinasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah dalam meningkatkan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana, serta membangun kesadaran masyarakat dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. BNPB menjadi motor penggerak mewujudkan ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana dan semua elemen masyarakat turut berperan aktif.

PENGETAHUAN BENCANA

Dengan demikian, bencana seyogianya membuat manusia semakin sadar pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi, menggali nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Lepas dari itu semua, bencana lingkungan bukanlah suatu kebetulan, seperti kelahiran, kematian, rezeki dan jodoh, semuanya tercatat di lauhul mahfudz.

Menggali potensi kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif dan melibatkan dukungan banyak pihak, seperti budayawan, sosiolog, tokoh masyarakat dan pendidik. Kearifan lokal yang mulai kurang dikenal dan dihayati dapat diformat dalam bahasa publik, bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. 
Pengetahuan tentang kebencanaan seyogianya menjadi muatan lokal di wilayah yang paling rawan gempa.

Bahwa berharap semata hanya pada kearifan lokal atau local knowledge masyarakat bukan hal yang tepat. Sebaliknya, mengandalkan keakuratan sistem peringatan dini tsunami juga hal yang rentan karena waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan peringatan sampai pada perintah evakuasi akan memakan waktu lebih banyak ketimbang waktu yang tersisa untuk evakuasi itu sendiri. Diperlukan suatu sistem yang memadukan keduanya, dimana kebiasaan merespon gejala tsunami terus digalakkan dengan (misalnya) berlari ke tempat tinggi, sementara di lain pihak perlu terus dilakukan peningkatan efisiensi peringatan dini tsunami. Ini satu contoh saja bagaimana mensimetriskan hubungan antara local dan expert knowledges dalam penanggulangan bencana alam.

Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang bencana gempa dengan kearifan lokal lingkungan sangat penting untuk peningkatan kapasitas dan harmonisasi budaya hidup di daerah rawan gempa dengan menata ulang sarana infrastruktur fisik dan saling mengingatkan masyarakat dalam kearifan lokal, untuk menjauhkan tingkat bahaya agar dapat menekan kendala besar dalam membangun fundemental pembangunan antara relasi ilmu pengetahuan gempa dengan kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam yaitu pengetahuan kearifan lokal, merupakan pengetahuan yang melekat di masyarakat sekitar lokasi bencana yang terbangun atas dasar pengalaman mereka mengalami kejadian bencana, dan kedua, pengetahuan ilmu gempa atau expert knowledge, dibangun atas dasar serangkaian aktivitas riset yang dilakukan oleh para pakar (ilmuwan).

Relasi ideal keduanya tentu saja seharusnya simetris, dimana pengetahuan kearifan lokal bisa menjadi referensi bagi para pakar untuk menyimpulkan kondisi dan penanganan suatu bencana, begitupun sebaliknya. Resultan antara pengetahuan kearifan lokal dengan pengetahuan ilmu gempa, inilah yang kemudian bisa dijadikan pijakan penyusunan manajemen dan pembangunan tata ruang fisik kota di Indonesia.

M. Anwar Siregar

Geolog, Pemerhati Tata Ruang dan Lingkungan, Energi Geosfer

 

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...