Jan 2, 2013

Ironi Bahan Bakar Energi Listrik : Geologi Recources

IRONI BAHAN BAKAR ENERGI LISTRIK 
Oleh M. Anwar Siregar 

Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman kebijakan sebelumnya, setiap ada kebijakan kenaikan Tarif Dasar listrik (TDL) dipastikan akan menimbulkan dilematis kehidupan masyarakat ditengah sulitnya perekonomian saat ini, dan sudah banyak kegagalan pengelolaan pemanfaatan energi masih juga terulang, pemerintah harus memperbaiki aturan kebijakan iklim investasi pengelolaan dan undang-undang migas serta regulasi energi alternatif, seharusnya tidak tunduk begitu saja dan menguntungkan pihak asing atas berbagai tekanan yang bisa disebut energi kapitalisme. 
 “ENERGI” KAPITALISME 
Kenaikan harga bahan bakar energi listrik di Indonesia lebih dipengaruhi oleh sistem “energi” kapitalisme oleh faktor eksternal terutama gejolak Timur Tengah. Dan bukan rahasia lagi, bahwa energi kapitalisme memiliki akar kepentingan terhadap sumber-sumber energi di Indonesia, BBM merupakan konsumsi bahan bakar energi listrik yang masih mendominasi kebutuhan energi di dalam negeri yang mencapai > 90 % dan sebagian besar dari energi primer migas (minyak, solar, minyak tanah dan bensin) serta batu bara. 
Hingga ke tahun 2020 kebutuhan BBM untuk energi dalam negeri akan tumbuh 6,37 % per tahun dan diperkirakan bertahan 50 tahun, batubara 70 tahun dan paling kritis adalah pasokan minyak hanya bertahan 20 tahun lagi dan gejalanya sudah ada yaitu Indonesia bukan negara pengekspor minyak sejak tahun 2005 akibat penurunan produksi. 
Energi kapitalisme dapat juga dilihat dalam bentuk liberalisasi minyak yaitu amanat UU No. 22/ 2001 di sektor hilir untuk meningkatkan impor dan meninggirkan produk ekspor unggulan untuk memberikan jalan bagi swasta asing dalam “bermain” di sektor eceran. Ironisnya, pemerintah justrunya menghancurkan kemampuan perusahaan dalam negeri seperti BUMN, BUMD, Badan Usaha milik Swasta sehingga perusahaan negara terpaksa mengakuisisi anak perusahaan bila ingin mengikuti tender untuk mendapatkan konsesi minyak dan pertambangan di hilir maupun di hulu yang selama ini memberikan kekuatan bangsa dalam mengatasi krisis ekonomi sebagai sumber devisa. 
ENERGI “KONTRAPRODUKTIF” 
Indonesia kaya energi “pembatasan” alias energi alternatif yang belum dimanfaatkan dan sangat memerlukan sentuhan regulasi pemerintah agar siap diproduksi massal serta memiliki nilai ekonomis penghematan mencapai triliun rupiah dan ironisnya pemerintah justrunya menaikkan harga TDL. 
Tragisnya lagi, penghilangan subsidi BBM telah berulangkali dilakukan berbagai negara asing melalui forum kaukus ekonomi keuangan perbankan internasional seperti APEC, G 20, Bank Dunia dan IMF. Energi alternatif itu antara lain energi gambut sebagai sumber energi terbarukan dan cocok dikembangkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di perdesaan tanpa bertumpuk pada energi BBM dengan potensi mencapai 8.801.500 hektar. Energi-energi dari panas matahari yaitu Energi Listrik Tenaga Surya, Energi Panas Air Laut, Energi Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistim Bendul (PLTGL-SB), Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang/kincir Angin Laut, Pembangkit Listrik Pasang Surut Air Laut/Tidal, Indonesia adalah negara tropis terbesar di garis khatulistiwa, pancaran sinar matahari yang mencapai wilayah Laut Indonesia sebesar 4.000.000.000.000.000 kilowatt jam tiap hari, jumlah yang sangat besar untuk pembangkit listrik di Indonesia yang belum dimanfaatkan. Yang jumlahnya dapat menyamai cadangan energi yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sebesar 265 bilium barel minyak bumi. Serta Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), (PLTGA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dari gambut maupun batubara dengan cadangan 12 juta dan Energi Biodisel dari tanaman hijau serta dan Energi Sampah Plastik. 
Jadi tunggu apalagi pemerintah harus meregulasi energi alternatif itu dalam bentuk produk massal. Kemauan politik pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur BBM ke BBG belum optimal dan menguntungkan negara asing dan menyebabkan kontraproduktif, dapat dilihat dari cara penggunaan pasokan energi oleh perusahaan negara dan industri kita, pertama, penggunaan BBM, pemerintah lebih memprioritaskan pemakaian BBM untuk semua industri dalam negeri sehingga pasokan gas semakin terabaikan dan infrastruktur semakin tertinggal, 
Kedua, akibat sulitnya pasokan gas ke pembangkit listrik, banyak mesin pembangkit listrik yang semula memakai bahan bakar gas, memerlukan biaya pergantian mesin-mesin listrik agar dapat mengunakan dan memakai bahan bakar solar. Ketiga, harga bahan bakar gas lebih murah di bandingkan BBM, pemakaian gas untuk PLN justrunya turun. Harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak. Tragisnya pemerintah tidak memprioritaskan gas murah itu ke industri Indonesia malah menjualnya lebih murah lagi ke negara lain sebesar 2 dollar permmbtu dari harga 7-8 dolar permmbtu untuk industri dalam negeri, contohnya gas produksi Conoco-Philips di Blok Natuna, dijual hanya dengan harga 2 dolar permmbtu ke Petronas, sedangkan gas Lapangan Tangguh Papua, dijual dengan harga 3,5 dolar permmbtu ke Cina. 
Jelas menimbulkan sebuah ironi, disaat masyarakat membutuhkan energi listrik yang murah, kebijakan pemerintah justrunya tidak pro rakyat. Keempat, Indonesia adalah negara penghasil gas utama di dunia. Namun ironisnya, dalam jumlah pemakaian gas untuk pembangkit listrik masih kecil sekali, yaitu 15,99 persen. Jadi, penghematan energi tinggal pepesan kososng jika kebijakan tidak sesuai dengan realita kelebihan bangsa. 
ENERGI PENGHEMATAN 
Penghematan dan bonus menguntungkan dapat dilakukan beberapa cara tanpa ada kontraproduktif lagi yaitu Pertama, percepat penggunaan Panas Bumi, pemanfaatan sumber panas bumi setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panas bumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM, atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. 
Kenapa pembangkit listrik tenaga bumi tidak dikembangkan? Indonesia baru memanfaatkannya 3,1 persen. Potensi panas bumi di Indonesia kalau dipakai untuk pembangkit listrik, dapat menghasilkan listrik sebesar 27 Giga Watt. Ini artinya. Seandainya pemerintah memanfaatkan separuhnya saja, nicaya bisa menghemat subsidi puluhan triliun rupiah. Kedua, dengan mengganti pemakaian bahan bakar minyak dengan bahan bakar gas yang bisa menghemat Rp 11,89 Triliun. Ketiga, lakukan proteksi dan konsistensi pemakaian energi terbarukan untuk membuka lapangan kerja baru dalam mengurangi dan menekan jumlah kemiskinan pendapatan daerah dan individu. 
Keempat, pemerintah harus mereformasi diri lebih tegas dalam penggunaan energi terbarukan, dan bukan setengah hati memanfaatkan energi alternatif yang dapat mengejar ketertinggalan pembangunan fisik dan sumber daya manusia dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat, industri dan transportasi dalam penggunaan energi terbarukan dengan sarana memadai dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. 

M. Anwar Siregar Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian MEDAN BISNIS, TGL 18 November 2012

No comments:

Post a Comment

Related Posts :