18 Mei 2015

BANJIR SUMATERA, DEFORESTASI TATA RUANG HUTAN : Geologi Lingkungan

BANJIR SUMATERA, DEFORESTASI TATA RUANG HUTAN
Oleh : M. Anwar Siregar
Pembangunan saat ini, lebih memfokuskan pada pembangunan pencapaian ekonomi, terlihat dari eskalasi pemanfaatan lahan-lahan sempit dengan bentuk bangunan vertikal sehingga memunculkan tekanan yang kuat untuk menekan fungsi ruang hijau yang semakin terbatas, akibat sulitnya mendapatkan tanah dan tata guna lahan yang lebih luas (horizontal) yang berdampak pada semakin berkurangnya ekologi hijau.
Konsistensi dalam mempertahankan aturan Tata Ruang menjadi terlupakan sehingga apa yang diharapkan dalam mempertahankan rencana tata ruang detail wilayah berubah menjadi bencana universal, walau sedikit saja mengalami perubahan dalam tata ruang ekologis hutan dapat menimbulkan dampak perubahan cuaca atau iklim maka kerak bumi akan bereaksi memberikan musibah bencana, salah satunya bencana banjir Langkat. Simalungun di Sumatera Utara, dan di Aceh Taminga, langganan bencana paling banyak bermunculan di wilayah Indonesia.
DEFORESTASI HUTAN
Manusia telah banyak berhasil mengatur kehidupannya dengan melakukan pengendalian tata ruang hutan dengan pengaturan fungsi lahan agar ada keseimbangan antara tanah, air dan udara dalam kearifan lokal sebelum era industri modern. Namun ketika di era sekarang, mulai terkikis oleh ego keserakahan dengan melupakan eksistensi ketiga sumber daya keseimbangan bagi manusia itu menjadi malapetaka. Salah satunya adalah perubahan signifikan fungsi tata ruang hutan berdampak pada gangguan iklim, siklus hidrologis dan terputusnya rantai makanan serta ilmu pengetahuan.
Hutan merupakan suatu sistim lingkungan yang membentuk tatanan ekosistem yang tidak boleh terputus bagi kehidupan di muka bumi, eksploitasi harus terbatas dan harus ada batas daya regenerasi agar menjadi sumber daya yang diperbaharui menjadi sumber daya lestari bagi makhluk hidup. Jadi, sistim di hutan berfungsi sebagai faktor produksi, konsumsi, dan sarana pelayanan bagi kehidupan manusia tidak boleh mengalami gangguan parah agar tidak terhambatnya pemberi kehidupan.
Laju kebakaran hutan di  Sumatera terancam oleh laju deforestasi yang tidak terkendali akibat laju peruntukan pembukaan kebun kelapa sawit mencapai 90 persen di Sumatera plus Kalimantan dan Papua dengan mengorbankan fungsi tata ruang hutan menjadi tersisa 10 persen di luar area non hutan yang meningkatkan perubahan iklim global.
Laju kebakaran hutan Indonesia akibat deforestasi mencapai 6.02 hektar per tahun pada tahun 2000-2012, sehingga Indonesia menjadi negara penghasil gas emisi terbesar di dunia, setiap tahun hutan hancur mencapai 0.84 juta hektar (Sumber Nature Climate Change). Dari gambaran data tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya tata ruang hutan di Sumatera sehingga tidak mengherankan kenapa setiap tahun terjadi banjir bandang di kota-kota besar di Pulau Sumatera.
DARURAT IKLIM
Sebagaimana disebutkan oleh laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa pulau-pulau kecil yang ada di Samudera Indonesia sangat rentan mengalami penurunan dan dapat terjadi penenggelaman akibat dampak perubahan iklim ekstrim dan efek dari laju kerusakan tata ruang hutan di Pulau Sumatera, pulau-pulau itu mudah terjadi abrasi dan kehilangan ketinggian permukaan tanah dan lahan yang berpotensi ekonomis wisata disebabkan terjadinya kenaikan air permukaan laut, kehancuran hutan mangrove dan laju kerusakan terumbu karang dapat mempercepat kerusakan daratan pantai akibat hantaman gelombang geologis air ombak sehingga terjadi kelembaban tanah dan menurunkan daya tahan tanah pulau-pulau berakhir pada longsoran tebing pulau berdampak gelombang tsunami.
Perubahan tata ruang hutan sedikit saja sudah mengalami gangguan kerusakan ekologi dapat mengubah kondisi atmosfir terhadap kekuatan tanah dalam mencegah banjir, terkait dengan proses yang ada di alam seperti efek gas rumah kaca dan gas rumah kaca. Salah satunya disebabkan oleh pembakaran hutan di Sumatera berdampak pencemaran udara, pembakaran ini menghasilkan gas oksida belerang dan oksida nitrogen dan bereaksi menjadi asam sulfat dan asam nitrat dan jatuh ke bumi menjadi hujan asam, yang dapat menyebabkan kerusakan pohon-pohon hijau di kawasan hutan.
Hal ini juga salah satu penyebab terjadinya kenaikan suhu permukaan bumi, kenaikan suhu permukaan bumi menimbulkan reaksi pada kulit bumi (lempeng) untuk menstimuluskan keseimbangan dengan memberikan manusia hadiah bencana. Sebab, naiknya kadar gas rumah kaca (GRK) akibat polutan pembakaran hutan  seperti CO2, CH4, dan N2O menaikkan intesitas efek rumah kaca (ERK) sehingga permukaan bumi akan naik dan menimbulkan pemanasan global dan darurat iklim  global yaitu perubahan curah hujan di daerah pegunungan ke daratan rendah seperti yang kita lihat di beberapa provinsi di Indonesia, yang teraktual untuk Sumatera Utara ada di Batubara, Tapteng, Madina,Langkat, dan Simalungun.
Pertambahan volume curah air hujan berdampak juga pada ketinggian air pada sungai-sungai besar yang umumnya membelah tata ruang kota besar di Indonesia, sekitar 45 persen sungai-sungai besar banyak membelah kota besar seperti Medan, Jakarta, Semarang termasuk wilayah di Tapanuli TengahRohul dan Rengat (Riau), serta Aceh dan laju erosi lateral pantai mengancam kota Sibolga, Lampung dan Padang karena ada garis pantai mundur sejauh minimal 1 meter dengan kenaikan air permukaan laut 25-140 cm serta garis pantai mundur menjadi 25-140 cm.
Perlu aktualisasi tata ruang hutan dengan menekan penghancurannya.
GANGGUAN HIDROLOGIS
Selain ganguan iklim, Banjir yang terjadi di Sumatera itu tidak terlepas juga dari gangguan siklus hidrologis akibat intervensi manusia pada kehancuran tata ruang hutan karena cakupan luas hutan mencapai jutaan hektar mengalami penggundulan, pembakaran dan alih fungsi peruntukan sehingga potensi daya serap infiltrasi air ke dalam tanah mengalami kelulusan air, melaju cepat ke permukaan tanah tanpa terbendung oleh pengakaran pohon di kawasan kota dan tebing bukit berbuah efek domino yaitu banjir bandang, gerakan tanah menahun dan hilangnya flora dan fauna yang dilindungi serta kerusakan infrastruktur dan korban jiwa.
Gangguan hidrologis untuk daratan sangat berperan penyebab utama banjir dibeberapa kota di Sumatera akibat intervensi manusia dalam mengubah daerah tutupan lahan dari daerah hijau menjadi daerah perkotaan yang dapat kita lihat jelas di sekitar hulu DAS yang membentuk kawasan bangunan sehingga hutan ataupun lahan kosong itu sebenarnya sudah ditetapkan sebagai daerah fungsi resapan air, mempengaruhi siklus geohidrologis, terutama ketika hujan menuju kepermukaan, fungsi infiltrasi berkurang dan proses intersepsi tidak bekerja sesuai fungsinya,  sehingga jumlah limpasan air tidak tertampung oleh kapasitas debit sungai mengakibatkan banjir, (kasus ini dapat dilihat sepanjang sungai Sibabangun, Indragiri serta Kampar dan Batanghari).
EFEK BANJIR TAHUNAN
Sudah 20 tahun terakhir ini, Sumatera silih bergantian atau arisan bencana antara kebakaran hutan, kabut asap dengan banjir disertai bonus longsoran yang mematikan, melanda daratan di beberapa provinsi. Ironisnya, daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia mampu juga menghasilkan bencana emisi iklim global, menghasilkan banjir musiman dan kehancuran ekologis.
Lihat kasus musibah banjir di Aceh, Riau dan Jambi, dan Sumut di semua lini tata ruang hutan akan terdapat perubahan peruntukkan menjadi pembukaan hunian, lahan perkebunan. Pembakaran hutan sepertinya sudah biasa, ternasuk juga menghabisi habitat hutan lindung di kawasan Taman NasionalLauser, Taman Bahorok terdapat sungai besar yang membelah setengah keempat Provinsi ini menjadi rawan banjir.
Ternyata bencana banjir tahunan itu belum cukup memberikan efek penghasil bencana seperti sudah disebutkan didepan, masih ada efek lainnya yaitu menurunnya ketahanan sebagian penduduk menjadi miskin, akibat dampak kehilangan tempat tinggal karena kehancuran dan kebatilan sebagian manusia sertamemutuskan kembali ke daerah yang terlanda bencana. Maka Pengaturan tata ruang hutan dan RTH semakin sulit terlaksana dengan baik dan amanah UU Tata Ruang tinggal pepesan kosong.
M. Anwar Siregar
Enviromental Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Dipublikasi Di HARIAN ANALISA MEDAN, Januari 2015. Boleh Copi Paste, tapi tulis sumbernya.

23 Apr 2015

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : Geologi Mitigasi

TATA RUANG GUNUNGAPI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : M. Anwar Siregar
Pembangunan tata ruang gunung api di Indonesia merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak, mengingat beberapa kearifan lokal telah ditinggalkan oleh masyarakat akibat arus deras modernisasi sehingga data informasi geologi sebagai dasar pembangunan fisik serta pemanfaatan informasi geospasial tematik sudah harus dijadikan fokus utama dalam mereduksi sejumlah kehancuran fisik di sekitar daerah rawan bencana letusan gunung api serta meredam trauma bencana gunung api di Indonesia, mengingat lagi bahwa 60 persen tata ruang kota besar sedang berada dalam lingkungan ancaman bencana gunungapi. Dengan kata lainnya, kita harus menata ruang di sekitar gunung api agar dapat hidup harmonis dengan kemajuan pembangunan.
REFLEKSI BENCANA
Kehancuran beberapa tata ruang kota yang berada dalam radius ancaman gunung api di Indonesia dapat diminimalkan melalui aspek penataan ruang wilayah yang berketahanan bencana, yang dikaji dari pemetaan karakteristik geologis dan pemanfaatan semua data-data kerentanan tanah dan informasi geologis kegempaan lokal yang tinggi (local seismic zonatian map)serta percepatan kekuatan batuan dalam menghadapi perubahan deformasi fisik bumi.
Refleksi dari sejarah kebencanaan tata ruang gunung api di Indonesia sudah harus benar-benar dijadikan pelajaran. Bahwa letusan gunung api di berbagai daerah merupakan peringatan untuk menata ulang kembali tata ruang yang telah mengalami gangguan ekologis dampak dari manusia yang memandang dan memahami lingkungan atau alam itu sebagai realitas yang terjadi sendiri. Pola pikiran seperti ini harus dirubah.
Refleksi dari bencana lingkungan di gunung api, manusia Indonesia bercermin dari budaya kearifan lokal yang telah teruji secara empirik, dan telah menjadikan masukan besar bagi pengetahuan dalam penanggulangan bencana alam, refleksi tersebut dapat dilihat dari beberapa literatur kearifan lokal tentang kejadian bencana alam gempa, tsunami dan penataan ruang lingkungan hutan di kaki gunung api, sehingga manusia yang menganggap dirinya sebagai makrokosmos yang membungkus manusia sebagai yang lebih besar dari alam harus tetap bercermin dari budaya tersebut bahwa sumber bencana alam khsusunya di kaki gunung api adalah manusia sesungguhnya.
Kitab Al Quran surat QA Al Hadid, 22-24 mengayatakan sebagai berikut : Tiada suatu pun bencana yang menimpa di Bumi atau pada dirimu sendiri, melainkan sudah ada “Kitab” (catatan) sebelum kami (Tuhan) mewujudkannya. Sungguh bagi Allah, Yang demikian itu mudah”. Lihat sumber utamanya di dalam suatu penataan ruang wilayah baik dari sudut penataan vertikal maupun dalam penataan horizontal, yang sudah tertata dengan baik oleh alam hancur akibat keserakahan manusia.
TATA RUANG GUNUNGAPI
Dalam perencanaan tata ruang wilayah akan dibagi beberapa sistimatika karakteristik bentang alamnya, khususnya gunung api di bagi beberapa kawasan rawan bencana (KRB) dan zona aman bencana letusan gunung api, setiap kawasan atau zona tersebut harus dipatuhi. Kajian ini dibagi dua pandangan yaitu dari Perspektif Islam dan Perspektif Geologi Tata Ruang Lingkungan. Dilihat dari perspektif Islam bahwa manusia wajib menjaga lingkungan, menjaga keseimbangan alam, tidak menghancurkan, manusia diwajibkan untuk memahami bahwa lingkungan Bumi itu sebenarnya memiliki “nyawa”. Dalam perspektif geologi tata ruang gunung api, harus memperhitungkan fakta ekologis yang memiliki keragaman secara horizontal dan secara vertikal.
Keragaman secara horizontal terkait dengan perbedaan bentang alam/bentuk lahan, tubuh tanah dan litologi yang skalanya dapat dibagi dari tingkat terkecil. Sedang keragaman vertikal terkait dengan iklim, vegetasi, fauna dan manusia yang beraktivitas di suatu wilayah, misalnya disekitar kaki pegunungan. Pada sisi lainnya, wilayah juga dapat dibagi atas berbagai satuan lahan berdasarkan kesamaan karakteristik horizontalnya dan isinya yang merupakan satuan input secara vertikal.
Ambil contoh, pola tata ruang lahan Gunungapi di Jawa Tengah dan Sumatera Utara yang diwakili oleh Gunung Merapi dan Gunung Sinabung, dalam pandangan Islam bahwa kedua daerah tata ruang gunungapi di wilayah ini telah mengalami perubahan baik dalam lajur horizontal dan vertikal, bencana yang terjadi sudah dapat diprediksi karena mulai nampak jelas bahwa kedua gunung api ini telah mengalami gangguan termo fisik secara horizontal dengan penataan dan pemanfaatan lahan khususnya di gunung api Sinabung melampaui batas daya dukung, karena banyak pihak mengabaikan fakta bahwa letusan yang terjadi bukan karena bencana alam tetapi gangguan termo fisik disekitar gunung api oleh penghancuran manusia.
Jika dilihat secara geologis melalui tahapan skala waktu geologi, wilayah ini sudah tidak sesuai peruntukan fisik lahan, disebabkan akan ada perulangan.periode tertentu bahwa kejadian masalah lalu akan selalu berulang, dan bumi menurut beberapa surat dalam al Quran menyebutkan bahwa Bumi merupakan makhluk yang hidup, dan gunung api itu bagian dari bumi selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan hukum alam.
Misalnya, dari sudut pembagian wilayah Iptek manusia maupun dalam pengetahuan lingkungan Islam keduanya ada hubungan keterkaitan bencana yang terjadi yaitu jika berdasar karakteristik fisiografis atas satuan geomorfologi dalam bentuk karakteristik lahan, tanah dan vegestasi dalam skala tertentu melalui proses pembentukan dan tahapan perkembangan dalam skala waktu bumi/geologi maka daerah tersebut memang telah mengalami deformasi fisik lahan yang dilakukan oleh manusia dengan membangun bangunan permukiman pada daerah rawan bencana, yang belum disesuaikan dengan standar building code pada daerah rawan bencana gunung api, mencetak daerah persawahan dan perkebunan pada daerah gunung api yang tidak aktif pada kemungkinan akan meletus melalui proses dan tahapan waktu geologi (Studi kasus gunung api Sinabung yang naik kelas), mengabaikan peruntukan di Rencana Tata Ruang Wilayah sering terjadi benturan penggunaan dan pemanfaatan kepentingan ekonomi maupun pemodal, telah berulangkali terjadi, namun pembelajaran masih dilupakan untuk diantisipasi, (sudi kejadian lihat bencana gunung api Sinabung, gunung api Lokon serta gunung Merapi).
Dengan demikian satuan fisiografi tata ruang gunung api meliputi aspek bentuk lahan yang digunakan untuk pertanian daerah ekologi hijau, sabuk bencana, sumber daya berkelanjutan serta proses tahapan geologi (deformasi) dalam perkembangan suatu wilayah. Sedang dalam aspek Islam, proses dan siklus bumi, menjaga keseimbangan dan pemanfaatan ruang dalam suatu lingkungan di Bumi.
LINGKUNGAN ISLAM
Sejak dulu, gunung api sudah dipahami masyarakat sebagai mitos kekuatan alam, sumber daya bagi kehidupan dengan berbagai ritual sesembahan bagi roh yang menghuni gunungapi. Melihat kenyataan tersebut, mestinya tata guna lahan yang berada di kaki pegunungan dijadikan sebagai keseimbangan alam tanpa gangguan fisik berat serta konservasi lahan abadi untuk segala sumber daya kehidupan dengan berbasis ramah lingkungan lestari, firman Allah SWT : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. 2 : 11). Keingkaran mereka disebabkan karena keserakahan mereka dan mengingkari petunjuk Allah SWT dalam mengelola bumi ini. Sehingga terjadilah bencana alam dan kerusakan di bumi karena ulah tangan manusia.
Bertitik tolak dari kondisi ini, coba bayangkan, jika kita mengalami beban berat tekanan akibat sakit karena bagian tubuh terus mengalami gangguan seperti ditusuk beratus ratus benda tajam menghujam ke dalam tubuh tanpa ada keseimbangan/perbaikan? Seperti itulah yang terjadi di tata ruang gunung api Sinabung. Pola geologi tata ruang lingkungan di Sinabung kini telah banyak berubah, apa yang telah ditata untuk ekologi hijau seperti pertanian dan wisata kini telah mengalami penghancuran, hutan konservasi dan hutan lindung dalam radius 2 km tergerus oleh gedung beton serta penempatan tata ruang hunian telah mengganggu aktivitas “urat nadi” keseimbangan di kaki di Sinabung.
Sinabung telah memberikan pelajaran, bahwa lingkungan di gunung api merupakan sumber penghidupan, jika kemudian ada bencana berulang dalam relatif singkat di gunung api yang sama merupakan wujud adanya keingkaran manusia telah merusak lingkungan gunung api di bumi.
M. Anwar Siregar

Enviromentalist Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer,  Di Publikasi di Harian ANALISA MEDAN, 2014

GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG” : Geologi Disaster


GEMPA MALUKU DI LEMPENG “HILANG”
Oleh : M. Anwar Siregar
Gempa di Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara 15 November 2014 merupakan daerah pertemuan triple junction plate, daerah dengan tingkat kebencanaan geologi yang tinggi, tidak mengherankan seringkali terjadi gempa dengan skala yang cukup kuat setiap bulan. Gempa dan tsunami sudah pernah terjadi didaerah ini, menenggelamkan beberapa Desa-desa pada abad 18 lalu, dan sebagian daerahnya terbentuk oleh proses geologi subduksi antar lempeng yang membentuk rangkaian kepulauan pegunungan api yang kompleks.
Gempa dan vulkanik merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Maluku yang mesti disingkapi dengan arif, bahwa wilayah Kepulauan Maluku merupakan daerah pertemuan Sirkum Mediteran dan Sirkum Pasifik yang melingkar dan bertemu langsung dititik hunjaman parit Banda Neira sebagai batas lempeng Paparan Sahul, di luar titik hunjaman lempeng Kepulauan Maluku masih terdapat zona lingkaran ruang kosong atau seismic gap gempa yang kompleks oleh proses pembentukan lempeng bumi di masa silam.
BUSUR GUNUNGAPI
Serangkaian gempa yang terjadi diwilayah Kepulauan Maluku merupakan akumulasi energi yang tertekan akibat penekanan dan penghancuran batuan di zona litosfera, yang membutuhkan ruang terbaru dalam proses kontinen dalam membangun arsitektur bumi yang baru untuk menuju keseimbangan. Proses pembangunan ruang arisitektur kerak bumi itu telah membentuk berbagai pegunungan yang tidak terlihat dibawah laut. Karakteritik geologi wilayah perairan Maluku ada kemiripan dengan di perairan Pantai Barat Sumatera, keduanya sering terjadi gempa-gempa kuat dan merupakan polarisasi dari gerakan pembalikan energi keseimbangan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, silih berganti melepaskan energi gempa. Terbentuk rangkaian pulau-pulau kecil subdukasi atau busur-busur kepulauan gunungapi yang memanjang sebagai bagian dari kelanjutan “ring of fire”, yang saling berinteraksi, berotasi, bersinggungan dengan jalur pertumbukan dan pemisahan antar lempeng, jalur vulkanik yang aktif dan panjang, sehingga gempa dapat terjadi serentak dengan gempa vulkanik yang dapat menekan zona a-seismik di daerah daratan Papua.

Interaksi lempeng di kawasan utara Sulewesi dan Maluku 
(Sumber Gambar : Internet dan berbagai sumber)

LEMPENG “HILANG”
Penyebab utama sering berlangsung gempa-gempa di Kawasan Indonesia Timur sebelum kejadian gempa dahsyat sekarang karena ada “ruang kosong” di perairan Maluku, ada lempeng “terlumatkan” memberikan keleluasan bagi gerak Lempeng Philipina dan Lempeng Carolina-Pasifik dengan tipe pertumbukan antar lempeng sebagai model dominan yang akan membentuk jenis-jenis sesar yang terdapat di daratan dan Laut Maluku Sulawesi.
Kondisi pembentukan geologi Kepulauan Maluku terjadi dimasa pembentukan Lempeng Sahul yang sekarang membujur di dasar Laut Maluku dan Halmahera dan melingkar di Laut Kepulauan Banda Neira dengan puluhan zona subduksi yang luas dengan pembagian mikrozonasi kegempaan yang aktif sehingga memerlukan penataan ruang kota-pulau dan kota darat yang berketahanan bencana.
Selama proses pembentukan daratan dan Pulau Maluku, terjadi terus menerus penekanan dua lempeng di Samudera Pasifik yang membentang di utaranya, penekanan lempeng Pasifik akibat kondisi anomaly magnetic yang tidak beraturan itu mampu menarik lebih kuat lempeng-lempeng kecil di Samudera Pasifik yang sudah terpecah-pecah lalu bergerak ke perairan Laut Maluku dan Kepulauan Sangihe. Proses penarikan oleh akumulasi dari polarisasi anomali yang kompleks. Terbentuk pola pembenturan simpang empat di Kepulauan Halmahera dan Teluk Tomini. Lempeng Maluku yang berada diantara kelima lempeng tersebut mengalami penghancuran dan terlumatkan ke dalam Lempeng Halmahera.
Akibat penyumatan terhadap Lempeng Maluku terbentuk lajur panjang patahan dan subduksi, membelah busur-busur vulkanis atau Kepulauan Maluku sekarang dengan berbagai jenis patahan/sesar lokal yang rumit, berinteraksi, berotasi satu sama lain, bersambung ke daratan Papua.
SUBDUKSI PATAHAN MALUKU
Gempa Maluku merupakan akibat fenomena geologi antara lain subduksi di patahan Maluku, akibat terjadinya penekanan oleh pergerakan lempeng di sekitar Maluku dan struktur zona kerak bumi yang rapuh oleh lempeng yang terlumatkan.
Pemicu gempa di kawasan Maluku secara keseluruhan dapat terjadi oleh subduksi dari interaksi antara tiga-empat lempeng, yaitu Lempeng Pasifik disebelah timur, Lempeng Eurasia di barat dan Lempeng Philipina yang mengarah ke barat laut, Lempeng Indo-Australia ke utara menuju sepanjang batas Lempeng Sunda di Laut Banda, yeng bergerak dengan tipe pertemuan lempeng yang saling berhadapan. Dampak tatanan geologi berupa terbentuk pulau-pulau pegunungan yang tersembul di permukaan dan rangkaian pegunungan api bawah laut dengan palung sangat dalam.
Kompleksitas di zona subduksi patahan Kepulauan Maluku semakin rumit, ada jurang pemisah antara ruang kosong seismik gap dengan sesar-sesar tidak aktif yang tertimbun oleh peledakan gunungapi bawah laut, terdapat juga parit yang panjang melingkar seperti “mangkuk” disekitar Kepulauan Seram menuju ke palung Laut Timor, pola sesar yang bergeser vertikal oleh penekanan gerak Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia dengan titik pusat tekanan di Lempeng Sahul, seperti halnya Lempeng Sumatera yang ditekan oleh Lempeng Indo-Australia sehingga menimbulkan kejadian gempa dan tsunami.
Lajur patahan di subduksi Maluku ada juga yang berbentuk pola gerak frontal dan berinteraksi dengan lajur patahan subduksi tegak lurus di Teluk Tomini bisa mencapai panjang 100 km. Penekanan Lempeng Philipina membuka jalur baru penumbukan bersama Lempeng Pasifik, pembebanan terhadap Lempeng Sangihe ke Lempeng Halmahera menyebabkan terkompres dan terpatahkan secara vertikal ataupun bergeser, kondisi ini membangkitkan energi kekuatan gempa di pulau-pulau vulkanis dilingkaran Laut Banda, akibatnya ada gempa secara serentak dilokasi yang berbeda, dipicu gerak frontal dari perubahan anomali disekitar zona patahan yang ada di Laut Sulawesi dan utara Papua Barat.
Adanya pergeseran dan persentuhan kedua Lempeng Sangihe dan Lempeng Halmahera di sekitar lempeng yang hilang itu sehingga tampak jelas ada kelanjutan penekanan semakin kedalam di sekitar ujung Pulau Sulawesi menuju ke Laut Maluku, tidak mengherankan terjadi gempa yang hampir bersamaan dengan Gempa Manado dengan kekuatan 6.3 Skala Richter dan di susul beberapa jam kemudian menekan gempa Bitung dengan 5.3 SR, membuka perubahan kerentanan patahan naik yang tidak aktif serta sesar geser mendatar yang ditandai oleh pergeseran Lempeng Pasifik di barat Laut Biak, bersambung ke patahan subduksi Mayu. Kondisi geologi bawah permukaan ada gangguan ketinggian dan perubahan batimetri kelautan, melingkar ke Palung Seram dan menerus di Patahan Palung Timor . Panjang Patahan yang bersentuhan di zona subduksi Mayu dapat mencapai ratusasn kilometer karena ada interaksi Lempeng Pasifik dengan patahan Sorong sehingga gempa akan terasa kuat ke wilayah Australia dan Selandia Baru disebabkan ada zona subduksi disekita Laut Aru, terdapat Palung Aru.
Interaksi antar patahan ini perlu diperhitungkan bagi daerah yang rawan bencana gempa karena dapat saling memicu gempa pada zona subduksi yang berdekatan dan bersinggungan dengan gempa vulkanik yang banyak terdapat di Kepulauan Maluku dan Sulut di Samudera Pasifik. Bentuk kondisi patahan geologi seperti ini berpeluang menghasilkan tsunami maut dan mungkin megathrus terbesar kedua di Asia Tenggara.
TINGKATKAN KEWASPADAAN
Pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan gejala alam geologi tempat dimana aktivitas kehidupan berlangsung, antara lain kondisi tanah tempat bangunan seperti struktur pondasi bangunan yang besar dan berat, perubahan kondisi badan jalan dan jembatan, kekuatan pondasi bendungan dan jalan tol., bentuk perubahan geometri lereng sepanjang jalan, keadaan pola aliran sungai, gerakan tanah yang sering berlangsung.
Kewaspadaan dan siap siaga masyarakat yang perlu ditingkatkan, meningkatkan pengetahuan tentang bencana geologi dan pemahaman bangunan tempat tinggal dan kemampuan mengendalikan diri ketika gempa berlangsung.
Pemerintah daerah wajib juga memberikan penyuluhan dan sosialisasi penyebaran informasi geologi didaerah rawan bencana kepada masyarakat secara berkala dalam upaya pengurangan korban bencana alam dan pembangunan fisik yang berbasis mitigasi masyarakat.
M. Anwar Siregar
Envoromental Geologis, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer. Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 2015
http://analisadaily.com/opini/news/



Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...