1 Nov 2011

Nias Membutuhkan Mitigasi Komprehensif : Geologi Mitigasi


NIAS MEMBUTUHKAN MITIGASI YANG KOMPREHENSIF
Oleh : M. ANWAR SIREGAR

Pembangunan kembali Nias yang kawasannya dilanda gempa dan tsunami pada bulan Desember 2004 dan Maret 2005, sudah harus memikirkan upaya mitigasi yang menyeluruh dan komprehensif (yang sangay luas). Bahwa sebuah kota tidak hanya terdiri dari bangunan dan infrastruktur tetapi juga ada kebersamaan dalam membangun kota. Tetapi yang terpenting dalam pembangunan Nias sekarang dan ke depan adalah kita harus membangun Nias yang aman dengan perencanaan wilayah dan kota yang tahan terhadap bencana tsunami dan gempa.
Karena Nias termasuk wilayah dalam jalur pertemuan gempa besar, baik didaratan maupun dilautan yang diwujutkan dalam gempa tektonik, gempa tsunami dan gempa vulkanik. Maka perencanaan rekonstruksi dan rehabilitasi Nias harus diawali oleh pemantauan kerentanan geologis yang berbasis risiko ancaman bencana gempa seperti pembangunan infrastruktur fisik yang berbasis tahan gempa dan pembangunan prasarana teknologi mitigasi. Perencanaan kawasan sabuk hijau (green belt) untuk pembangunan dan pengembangan wilayah kawasan pantai  Nias dan Nias Selatan sebagai wujud dari perbaikan ekologi pantai yang telah hancur dan terkait juga dengan sanitasi serta perencanaan kesehatan masyarakat jangka pendek dan jangka panjang.
Kemungkinan datangnya bencana serupa diperkirakan membutuhkan waktu yang lama, bisa saja tsunami datang dengan periode 200-400 tahun mendatang. Namun, bukan berarti harus melupakan fungsi mitigasi dalam perencanaan pembangunan Nias dan kota lainnya di Indonesia yang daratannya menghadap ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi Kepulauan Nias sudah harus memperhitungkan segala aspek risiko bencana dimasa mendatang karena bencana masih terus memperlihatkan siklus yang dilokasi yang sama dengan intensitas yang bervariasi.
ZONASI KERENTANAN LAHAN
Dari hasil penelitian geologis di Nias, Kepulauan Nias diapit oleh empat patahan lokal, dan terbentang dari Utara Nias hingga ke Teluk dalam (Nias Selatan). Dan dari arah Barat ke Pulau-pulau Batu. Rekonstruksi Pantai Nias harus dalam pola perencanaan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kerentanan di pesisir pantai terhadap bencana tsunami dalam memperuntukkan lahan. Bentang alam (morfologi) Nias yang terdiri morfologi curam sekitar 10 persen, agak curam dengan luas sekitar 15 persen, morfologi miring sekitar 50 persen dan morfologi landai ke pantai sekitar 25 persen dari luas wilayah sekitar 5.625 km2. Diperlukan perencanaan zonasi bahaya dan tata ruang untuk pemanfaatan lahan yang harus dikendalikan pada daerah kerentanan sangat berbahaya hingga kerentanan aman, yaitu : Zona Sangat Berbahaya pada ketinggian 0-7 meter dari permukaan air laut yang harus dikondisikan sebagai kawasan sabuk hijau terhadap tsunami serta berorientasi pada budidaya kelautan, hutan konservasi dan bukan pembangunan konstruksi berat serta pembatasan jumlah penduduk yang tinggal dikawasan ini. Zona Berbahaya dengan ketinggian 7-20 meter dari permukaan air laut dikhususkan sebagai daerah wisata dan sebagai sabuk hijau dan hunian. Zona Cukup Aman dengan ketinggian 21-25 meter dari permukaan laut sebagai daerah yang aman terhadap aktivitas deformasi dan dapat diperuntukkan kawasan hutan, pembangunan infrastruktur pemerintahan dan swasta. Zona Aman dengan ketinggian 27-35 meter dari permukaan air laut adalah daerah aman untuk fungsi vital seperti pusat pemerintahan, pelabuhan udara, sarana telekomunikasi. Semua zonasi ini sudah harus bertumpuk pada informasi kerentanan gempa lokal sebelum dimulainya pembangunan infrastruktur yang tahan gempa.

KERENTANAN BANGUNAN
Kehancuran bangunan di Nias disebabkan oleh pembangunan tidak berdasarkan standarisasi nasional dalam menghadapi goncangan gempa, yang dibangun sebelum pada tahun 1990-an. Dimana SNI ketika itu belum memperhitungkan efek kekuatan seismik, dan masa lamanya bangunan yang dirancang hanya 25 tahun terhadap gempa dengan perhitungan siklus gempa 100-200 tahun, inipun hanya berlaku bagi gempa dengan skala sekitar 5.0-6.5 SR ketika Indonesia terus menerus mengalami gempa dari tahun 1985-an hingga 2002. Setelah adanya bencana Aceh dan Nias, SNI baru direvisi lagi tahun 2005 dengan maksimal 50 tahun daya tahan bangunan dan periode pengulangan gempa tsunami 400-500 tahun untuk gempa besar dengan magnitudo diatas 8.0 SR.
Pembangunan pondasi konstruksi di Nias sudah harus memperhitungkan gejala likuafaksi serta goncangan bangunan terhadap getaran seismik dan disesuaikan dengan ketentuan yang sudah dirumuskan dalam Standart Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002, yang harus bersamaan dengan pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi sekarang.
Model rumah tradisonal di Nias sebenarnya lebih tahan terhadap gempa dibandingkan bangunan berkonstruksi beton (semen), terlihat langsung dilapangan banyak bangunan mengalami efek likuafaksi ke dalam tanah. Kondisi tanah di Nias yang berpasir dan terendam air memang rawan terhadap gejala likuafaksi yaitu mekanisme kehilangan daya dukung tanah atau ambles pada saat terjadinya gempa atau bisa juga diakibatkan oleh energi seismik/amflifikasi seismik yang terbukti banyak merontokkan prasarana umum seperti pelabuhan udara dan dermaga laut di Gunung Sitoli dan beberapa jembatan bangunan mengalami kehancuran dampak dari tanah yang bergoncang (ground shocking effect) serta bangunan mengalami perayapan energi ke atas karena ketidakadaan busa/peredam karet pada bangunan bertingkat di Nias.
Kehancuran jembatan di Nias dapat juga dilihat dari kegagalan pilacap, kegagalan pilar jembatan yang sangat kaku ketika ada efek goncangan, dan tidak memperhitungkan efek deformasi joint yaitu kekar/retakan kecil batuan yang menunjukkan arah kemana gaya bumi bekerja disekitar areal konstruksi serta kekuatan tumpuan (bearing) yang banyak bergeser walau dengan intensitas gempa 4.0 Skala Richter (SR). Ini juga sudah harus diperhitungkan dalam pembangunan gedung vital.
Kerusakan bangunan di Nias dan juga di kota lainnya di Indonesia yang pernah mengalami bencana gempa seperti di Bengkulu lebih banyak disebabkan oleh karena banyaknya bangunan menggunakan kombinasi sistem cor ditempat dan precast (penguat kerak tuangan) yang tidak mampu menahan deformasi yang terjadi didalam pondasi dan lantai bangunan tidak berubah menjadi diafragma ketika mengalami tekanan energi gempa. Banyak bangunan perumahan tidak mengikuti aturan bangunan dirancang tahan gempa, yang diketahui dari dinding bangunan masih polos dan tanpa ada penguat antar pondasi dan antar pertemuaan dinding bangunan yang mengakibatkan struktur tiang vertikal menjadi roboh. Bangunan yang bertahan/utuh perlu penambahan kekuatan secara struktur (retroffit) dalam menghadapi perubahan joint (kekar) dibawah tanah bangunan.
Sebaliknya, bangunan rumah tradisional Nias yang lebih sedikit mengalami kehancuran, karena efek amflifikasi seismik lewat dibawah lantai dan tidak membelah lantai dasar karena memang tidak ada serta bangunan berpondasi lebar dengan kerangka kayu yang kuat untuk mendukung beban bangunan dan beban gaya inersia gempa yang telah terjadi. Disarankan kepada masyarakat Nias, yang masih memiliki rumah sederhana yang masih polos dari bata maupun dalam membangun bangunan tingkat berkonstruksi beton dan kayu sebaiknya diperkuat kerangka tiap pertemuan dinding (lateral breacking) dan pondasi dengan cara dilapisi tembok penguat (shear wall) dari kayu beton (mortar).
Agar struktur vertikal (tiang) seperti dinding pemikul dan dinding geser tahan terhadap efek goncangan, lalu pondasi lantai bawah harus ada ruang bukaan, dikhususkan untuk bangunan yang menghadap ke daerah pantai untuk mengurangi beban tekanan pada bagian atas bangunan agar tekanan air yang menghantam bangunan semakin kecil. Struktur bangunan yang ada harus dari bahan yang kuat tetapi ringan untuk mengurangi beban pikul dan kehancuran bangunan serta mengurangi jumlah korban.
Bangunan berkonstruksi beton untuk sarana vital lebih baik menggunakan peredam/bantalan karet seperti model bangunan gedung dan rumah di Jepang, yang berfungsi untuk meredam getaran gempa bumi dan tanah agar tidak masuk atau menjalar ke dalam struktur bangunan bagian atas. Untuk meredam getaran gempa yang ada baiknya menggunakan rubber bearing atau juga base isolation, yaitu bantalan yang terbuat dari susunan lembar-lembar karet dan pelat baja yang kemudian direkatkan selang-seling sehingga membentuk bantalan berbentuk silinder yang mampu menahan beban pikul/tekan sampai 500 bar per unit, bantalan diletakan diantara sisi dan sisi dibawah balok pondasi yang mampu meredam getaran sampai 75 % dan sisanya diteruskan ke struktur bagian atas.
TEKNOLOGI MITIGASI
Sistem peringatan dini sebaiknya ada di setiap kota di Indonesia agar didapat kerapatan peralatan stasiun pemantauan pemetaan kawasan bencana dengan bantuan GPS (global positioning system) dengan meningkatkan pembangunan teknologi mitigasi seperti sistem jaringan seismograf, Stasiun pemantauan jaringan pengukur tahan lisrik batuan, pemasangan stasiun jaringan pengukuran gas radon pada sumur-sumur migas diseluruh Indonesia, stasiun pemantauan kemiringan pantai dan pasang surut nasional yang perlu dimodernisasikan karena prediksi gempa tsunami dapat dilakukan dengan menerapkan System Tsunami Risk Evaluation and through Moment from Realtime System atau Tremors, yang terbesar di lokasi 54 stasiun di pelabuhan utama.
Harus ditingkatkan ke Jaringan Sistem Peringatan Dini terhadap bencana dan bukan saja untuk keperluan pelayaran serta rekayasa pantai dan eksplorasi migas. Dengan mengganti peralatan yang menggunakan sistem analog ke sistem digital elektronik dan dilengkapi lagi dengansarana komunikasi yang cepat sehingga bisa berguna untuk pemantauan dan akses jarak jauh yang realtime agar didapat kerapatan dan keakuratan dilapangan untuk kemudian dipetakan dalam tiga dimensi.
PETA TOPOGRAFI KELAUTAN
Nias ternyata belum memiliki dokumentasi peta-peta dasar geologi yang lengkap sebelum bencana, terbukti ketika terjadi bencana tidak adanya alternatif jalur pengiriman bantuan karena daerah sangat terisolir, mengakibatkan bantuan banyak terlambat di pelabuhan dan hancurnya prasarana karena pembangunannya banyak idak bertumpuk pada informasi peta dasar geologi yaitu peta topografi daratan dan kelautan/batimetri.
Peta batimetri Nias sangat diperlukan sekarang, mengingat wilayah pantai barat Nias telah mengalami pengangkatan lebih tinggi daripada kawasan pantai timur setinggi 1-2 meter diatas permukaan air laut. Batas persil permukaan pantai telah berubah di Nias Selatan dengan maju kearah laut sekitar 100 meter dan naik sekitar 0,5 m. Selain itu, pantai timur Nias juga mengalami pengangkatan setinggi 50 cm dan adanya amblesan selebar 7 meter.
Peta batimetri/analisis kontur dasar permukaan pantai sangat penting dalam penataan ulang kawasan pantai dan penentuan zonasi kerentanan untuk pembangunan infrastruktur, pembuatan peta topografi kelautan di Nias dapat diperoleh melalui data satelit yang beresolusi tinggi berskala 1 : 2.500 dari satelit EROS, ICONOS, dan Quik Bird milik Amerka Serikat serta SPOT milik Perancis yang selalu hadir dalam 2-3 jam melintasi wilayah Indonesia.
Dengan data kontur hasil penginderaan jarak jauh ini, posisi wilayah pesisir dan luasan daratan yang hilang serta rawan terkena gelombang air lautan dapat diketahui berdasarkan data Digital Elevation Model (DEM) yang mendekati permukaan air laut rata-rata (mean sea level) lalu di buat peta tiga dimensi. Data ini akan membantu Pemkab Nias dan Nisel serta Pemprovsu dalam merekonstruksi pembangunan kawasan Pesisir Barat dan Timur Sumatera Utara terutama menghitung wilayah yang terabrasi (tererosi) dan terendam atau ambles pasca gempa untuk menyusun kembali tata ruang wilayah Nias dan Sumut di masa mendatang.
MITIGASI BENCANA
Untuk mengurangi dampak dari akibat proses yang masih terus menerus berlangsung di Pulau  Nias diperlukan suatu upaya mitigasi yaitu Pertama, menyiapkan data-data terbarukan dan informasi daerah rawan gempa dan tsunami berikut yang akan dilanda bencana sebagai wujud dari siklus/pengulangan bencana pada lokasi yang sama. Kedua, Pemkab Nias dan Nias Selatan harus menata ulang lokasi yang hancur dengan bertumpuk pada informasi dasar geologi dan penegakan peraturan pembangunan fisik seperti infrastruktur gedung harus dikendalikan di wilayah yang rentan bencana.
Ketiga, menyoalisasikan pemahaman bencana gempa dan tsunami kepada Masyarakat Nias berupa visualisasi gambar-gambar, proses pembentukan lempeng tektonik atau lahirnya sebuah gunungapi yang dapat diperoleh dari saluran Televisi seperti National Geografic atau Discovery. Jika perlu hewan difilmkan karena mampu membaca dan memahami gejala-gejala alam seperti yang terjadi ketika bencana maut datang. Lebih edukatif dan dapat membimbing untuk melakukan tindakan pencegahan.
Keempat, masyarakat Nias perlu menyadari mereka mendiami lempeng bumi kepulauan yang rentan bencana, karena merupakan lokasi pertemuan kegempaan besar, diminta kepada masyarakat Nias agar tidak membangun bangunan lebih dari dua tingkat dan usahakan agar bangunan itu mampu meredam goncangan gempa karena permukaan tanah di Nias mudah mengalami penurunan akibat adanya anomali negatif yang mempengaruhi kekuatan bangunan disekitarnya. Kelima, mengatahui cara menyelamat diri dari bencana. Pemkab harus memberikan pelatihan penyelamatan diri terhadap masyarakat Nias seperti yang telah dilakukan Pemkab di Sumatera Barat dalam mengantisipasi bahaya tsunami di masa mendatang.

Tulisan ini sudah Diterbitkan Surat Kabar Harian ”ANALISA” Medan, Tanggal 21 Juni 2006.

Pembangunan Berbasis Informasi Kerentanan Geologis : Geologi Mitigasi


PEMBANGUNAN BERBASIS INFORMASI KERENTANAN GEOLOGIS
Oleh M. Anwar Siregar

Runtuhnya sebuah bangunan, amblasnya badan jalan tol seperti yang terjadi di tol Cipularang, jebolnya sebuah bendungan, retaknya sebuah jembatan, terjadinya undakan badan jalan serta hancurnya sebuah kota dihantam badai tropis dan gempa  bumi disertai tsunamis, dengan kerugian yang luar biasa dan korban bergelimpangan lebih ratusan ribu sangat memerlukan informasi geologi dalam pembangunan infrastruktur yang berbasis kerentanan geologis yang komprehemsif, yaitu suatu penyelidikan dan pemetaan geologi kawasan didaerah yang memerlukan informasi geologi, baik untuk informasi geologi bawah tanah dan geologi permukaan sebagai landas utama dalam suatu pembangunan Negara yang ada dimuka Bumi.
Karena tidak satu pun wilyah di muka bumi aman dari ancaman bencana, baik kota yang terletak di paparan benua (shield) maupun berada di landas kontinen semua tidak luput dari ancaman bencana dengan terbukti beberapa kota di dunia telah mengalami kehancuran seperti kota Agadir di Maroko, Kota Bam di Iran yang dianggap aman dari bencana selama 2000 tahun akhirnya juga hancur, kota di Meksiko, San Francisco di Amerika Serikat, tidak luput dari keganasan alam.
Bagaimana dengan wilayah Asia Tenggara? Bisa terjadi dengan ancaman gempa strategis dengan pola peretakan lempeng kecil di Burma di Utara Sumatera dan terjadinya gempa-gempa di muka busur kepulauan Sumatera, dan masih sering terjadinya gempa-gempa di Pantai Barat Sumatera (cekungan belakang busur). Akibat tekanan, tarikan dan regangan terhadap lempeng Pulau Sumatera dengan lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Benua Eurasia.
PENTINGNYA INFORMASI GEOLOGI
Sekali lagi harus ditegaskan bahwa informasi geologi sangat diperlukan dalam mengantisipasi bencana yang lebih besar guna mengurangi jumlah korban yang diakibatkan dan kerugian pembangunan infrastruktur fisik seperti pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi, memetakan kawasan yang dianggap layak untuk dihuni untuk mengurangi ancaman alamiah dan pembangunan (natural and man made disaster).
Setiap wilayah Indonesia harus bertumpuk pada informasi geologi sesuai karakteristik geologi yang membentuk suatu daerah, misalnya di Sumatera. Setiap kota/kabupaten pemekaran wilayah sudah harus bertumpuk pada informasi geologi dan berbasis kegempaan atau bencana geologi dimasa yang akan datang, jangan hanya faktor politik saja yang harus diperhatikan.
PETA DASAR GEOLOGI
Informasi geologi dalam pembangunan kawasan serta rekonstruksi dan rehabilitasi bencana terdapat dalam informasi peta dasar geologi permukaan terdiri dari Peta Dasar Topografi yang berskala dari 1 : 50.000, 1 : 25.000(tergantung keperluan penelitian) yang akan menghasilkan : Peta Geomorfologi yang memuat satuan-satuan bentangalam dengan berbagai klasifikasi dan parameter yang digunakan untuk tata guna lahan, sifat tanah dan batuan yang menyusun bentangalam.
Peta Geologi yang menyangkut struktur geologi di lokasi sesar-sesar/patahan, lipatan dan kekar yang aktif, stratigrafi, sejarah perkembangan geologis. Peta Hidrogeologis untuk sumber daya air, pola gerakan air dibawah permukaan di daerah yang memiliki kerentanan geologis, lapisan tanah pembawa air dan sumber kehidupan bagi kota.
Peta Geologi Tata Lingkungan untuk daerah hunian dan pembangunan kawasan hijau dan buffer zone serta perencanaan tata ruang wilayah. Peta kerentanan Gerakan Tanah terutama kerentanan topografi. Peta Geologi Teknik untuk aspek batuan serta rekahan batuan, sifat teknis batuan suatu batuan lebih banyak ditentukan oleh sistim kekar (rekahan/retakan kecil dalam batuan) yang menunjukkan arah gaya-gaya geologi yang bekerja didalam dan dipermukaan bumi, yang mengikuti balok-balok batuan yang terletak oleh bidang kekar.
Dan juga sebagai media masuknya air permukaan dan air bawah permukaan yang menyebabkan retakan mengakibatkan longsoran berkapasitas besar, serta kejutan dari deformasi material konstruksi, sangat diperlukan untuk pembangunan konstruksi sipil seperti bendungan, gedung pencakar langit, jembatan, pelabuhan laut dan jalan tol. Semua peta dasar ini dapat dibantu oleh geologi foto dan satelit GPS.
Peta Geologi Detail dibwah permukaan yang terdiri dari hasil penelitian pendugaan geofisika dengan metode seismik dan geolistrik yang diperlukan untuk pengetahuan karakteristik batuan, penyebaran dan struktur geologi seperti lokasi rambatan gelombang seismik (gempa), daerah diskontinuitas serta penyelidikan air bawah tanah terutama lapisan tanah pembawa air dengan cara meledak dinamit yang kemudian dicatat harga resistivity laipsan-lapisan batuan (tahanan jenis lapisan batuan), gaya berat anomali kemagnetan bumi terhadap pengangkatan dan penurunan permukaan, teknik pemboran inti di dasar samudera dan daratan yang dibuat melalui penampang geologi sebagai informasi keteknikan konstruksi. Semua data geologi permukaan dan bawah permukaan dirangkum dalam peta keretanan geologis.
CITRA GEOLOGI FOTO
Untuk menekan dampak gempa bumi adalah pembuatan peta Kerentanan Geologis dengan betumpuk pada informasi geologi foto udara maupun citra geologi penginderaan jauh merupakan data dasar awal dalam meringkas survei pembangunan wilayah. Informasi potensi sumber daya mineral seperti bijih, minyak, gas bumi dan pemetaan kawasan lahan dan rawan bencana dapat diketahui melalui pengkajian dan interprestasi yang ditinjau oleh pengujian langsung dilapangan.
Teknologi pencitraan dapat membantu dalam pembangunan konstruksi dan rehabilitasi daerah-daerah yang memiliki struktur geologi regional yang rumit seperti patahan dan jalur vulkanik aktif didaratan dan dilautan di Indonesia, pergerakan lempeng-lempeng Benua dan Samudera membantu menginterprestasi jenis batuan yang menyusun wilayah yang sedang diamati dengan citra geologi foto udara dan satelit NOAA, GEOS dan Landsat yang termuat dalam peta geologi/geologi teknik (rekayasa) sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi dan penataan ruang wilayah dalam menghadapi ancaman serupa dimasa mendatang.
PETA KERENTANAN GERAKAN TANAH
Gerakan tanah di Indonesia pada umumnya terjadi karena perencanaan pembangunan kawasan yang bukan diperuntukkan untuk daerah hunian. Setiap perencanaan wilayah wajib memasukan daerah kerentanan gerakan tanah dan sabuk hijau dalam mengatasi bencana untuk pembangunan tata ruang wilayah kota. Efek bencana sudah banyak terjadi akibat dari penggundulan tanah hanya karena untuk pembangunan sebuah hotel berbintang lima di daerah pantai, perbukitan dan pegunungan umumnya banyak di Indonesia.
Sedang perlapisan tanah dilokasi pembangunan konstruksi tersusun oleh material vulkanik yang bersifat lembur dan berumur endapan Tersier, belum mengalami pemadatan. Begitu juga untuk kawasan hijau selalu terlupakan yang terbukti banyak banjir dan longsor. Contohnya masih aktualitas dari bencana banjir bandang Bahorok (Sumut) tahun 2003 dan Jember (Jatim) serta longsoran tanah di Banjarnegara (Jateng) tahun 2006 banyak mengambil korban jiwa dan harta serta kehancuran infrastruktur fisik.
Terjadinya kerentanan gerakan tanah ditentukan juga oleh turbelensi dari kontur dan interpretasi peta topografi, perubahan pola kontur yang tiba-tiba dapat mengindikasikan adanya zona hancuran atau daerah patahan hampir disepanjang patahan daratan Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Bali serta Irianjaya. Jarang sekali dibaca oleh perencana pembangunan, hanya karena mengejar keuntungan bisnis. Setiap ada tanah sejengkal pasti akan digarap habis untuk pembangunan konstruksi sipil yang berdampak pada kekuatan material pondasi dalam menahan beban pikul terhadap tanah didaerah tersebut yang sebenarnya tidak pantas diperuntukkan pembangunan konstruksi berat.
Dan gempa bumi sebagai penegas/penekanan terhadap batuan dan tanah yang sudah rapuh didaerah patahan, karena daya kohesif perekat antar butir didalam tanah telah mengalami pemutusan oleh air yang berfungsi sebagai “pelumas”, air bisa berasal dari curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut, dan dapat mempengaruhi kestabilan lereng disekitarnya pada waktu-waktu tertentu. Bila terjad i gempa di daerah tersebut akan mengjasilkan efek likuafaksi terhadap bangunan dan ambles ke dalam tanah dan menambah kekuatan goncangan keras disekitarnya akibat tidak adanya peredam/bantalan gempa dan merambah ke bangunan tingkat atas. Semua data ini wajib diperhatikan Pemerintah Daerah dan dimasukkan ke dalam peta kerentanan gerakan tanah. Harus dimiliki oleh setiap kota/kabupaten di Indonesia dalam menyusun kawasan lingkungan hunian dan industri.
PETA ZONASI KEGEMPAAN LOKAL
Dalam perencanaan dan pengembangan wilayah kota di Indonesia masih harus memerlukan pemetaan kegempaan mikro bagi daerah yang rawan gempa dan tsunami. Perencanaan tata ruang detail wilayah harus bertumpuk pada informasi geologi yang melingkupinya dalam ruang dan waktu. Karena dalam peta zonasi kegempaan lokal akan memberikan informasi dengan melakukan evaluasi resiko kegempaan yang akan ditimbulkan oleh suatu kawasan, yang sangat ditentukan oleh juga kondisi geologi lokal (karakteristik geologi) seperti jenis batuan dan tanah serta struktur geologi yang masih berproses baik didalam maupun dipermukaan Bumi sebagai dasar peletakan pembangunan infrastruktur kota, dengan memperkirakan tingkat kekuatan bencana dan kerentanan.
Yang kemudian dirangkum dalam peta kerentanan geologis (PKG), yaitu gabungan semua informasi yang tersedia pada daerah tertentu untuk memperkirakan karakteristik dan kekuatan bencana, terutama intensitas/magnitudo yang akan terjadi pada daerah yang krisis.
Dan dalam peta kerentanan geologis akan memberikan kode wilayah dengan warna/simbol tertentu untuk pembagian zonasi kerentanan gempa, yaitu menunjukkan layak atau tidaknya suatu daerah yang akan dibangun sebagai lokasi hunian dan industri, dan lain-lain.
Untuk penatan ulang wilayah kota/kabupaten yang telah mengalami bencana gempa dan masih menunjukkan siklus/pengulangan bencana sudah harus bersumber pada informasi zonasi kerentanan lokal yang telah dibuat karena daerah tersebut masih menunjukkan gejala seismik yang tinggi dibawah permukaan. Yang tercermin dalam aspek deformasi kekar (joint) batuan karena menyangkut aspek kekuatan bangunan dalam menghadapi amplifikasi seismik yang didapat dari studi kelayakan pembangunan daerah.
Pertama, apakah kekar, patahan dan lipatan batuan yang terdapat pada daerah itu merupakan sifat teknis batuan yang menyusun daerah tertentu, misalnya kota yang menghadap Samudera Hindia dan Pasifik.
Kedua, apakah bidang kekar merupakan bagian yang mudah lapuk atau licin sehingga mengurangi sttabilitas kekuatan batuan dan tanah dalam menghadapi beban pikul terhadap getaran tanah yang merusak bangunan karena jauh lebih buruk pada tanah yang goyah karena terbentuk oleh tanah pelapukan dan lembur mudah mengalami reruntuhan dibandingkan pada batuan padat karena mengalami likuafaksi dan amplifikasi seismik.
Ketiga, apakah blok massa batuan didaerah sesar itu masih mampu menahan atau menghasilkan getaran gelombang seismik. Keempat, bagaimana sifat kekar dari batuan yang menyusun daerah tertentu terhadap masuknya air permukaan atau air tanah, penting untuk kesabilan pondasi didalam tanah. Semua pertanyaan ini penting sebagai arahan dan petunjuk pembangunan konstruksi untuk mengantisipasi kerawanan patahan yang aktif dan tidak aktif bagi kerusakan terhadap bangunan dan manusia.
PETA TOPOGRAFI KELAUTAN
Mengatasi hilangnya batas fisik persil tanah karena bencana tsunami dalam mengkonstruksi batas wilayah sangat memerlukan informasi geologis dasar yaitu peta topografi. Namun penggunaan peta topografi untuk mengatasi bencana dan pembangunan kawasan hijau setiap kabupaten pemekaran dan kabupaten Induk ternyata belum banyak memiliki peta batimetri (topografi) kelautan yaitu analisa kontur dasar permukaan laut, baru wilayah Kota/Kabupaten di Pulau Jawa yang telah terpetakan dengan baik.
Penggunaan peta topografi dan GPS sangat penting, karena informasi tentang jalur perhubungan (jalan), daerah perairan (sungai, danau, garis pantai, relief (kontur) dan titik control, penggunaan lahan umum, serta batas administrasi.
Peta topografi kelautan akan sangat membantu mendapat akses jalur alternatif menuju wilayah terisolir. Peta Laut Nasional pada skala 1 : 500.000 merupakan alternatif mengetahui perubahan kontur ditepi pantai yang hilang, posisi wilayah pesisir dan luasan dataran rendah di daerah lepas pantai Barat Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara serta Biak yang rawan gelombang tsunami dapat diketahui kondisi serta posisinya dan dianalisis kontur wilayah pesisir yang mengalami bencana bila dibangun berdasarkan data digital elevation mode (DEM) yang terdapat pada instansi terkait seperti BMG Indonesia dan USGS Amerika Serikat.
Informasi kedalaman laut di sepanjang pantai, dapat digunakan sebagai pemandu kapal yang akan berlabuh disepanjang pantai barat untuk keselamatan pelayaran serta mengetahui batimetri atau topografi dasar laut yang bergeser akibat pascagempa dengan bantuan GPS, lalu dipetakan dalam gambar tiga dimensi untuk menyusun kembali tata ruang wilayah yang rusak akibat kerentanan geologis. Dan jadikan informasi geologi sebagai ujung tombak pembangunan infrastruktur di Indonesia, agar dapat mengurangi dampak yang akan terjadi dimasa mendatang.

Tulisan sudah Diterbitkan HARIAN “ANALISA” MEDAN, Tanggal 02-02-2006. bagi pembaca yang menemukan kesamaan tulisan ini di beberapa blog dan wordpress maupun koran lokal dengan menghilangkan nama saya adalah mereka plagiat

31 Okt 2011

Gempa Tsunami di Selat Malaka


GEMPA-TSUNAMIS DI SELAT MALAKA
Oleh M. Anwar Siregar
Meneropong kejadian gempa sepanjang tahun 2011 ini, mungkinkah dapat terjadi gempa-tsunami ke Selat Malaka? Tulisan ini bukan meramalkan akan terjadi tsunami melainkan mengingatkan kita agar tetap waspada dan faktor-faktor apa yang dapat memicu terjadinya gempa yang diiringi tsunami ke Selat Malaka, agar diantisipasi dan sebagai bahan masukan kepada masyarakat agar mengetahui kondisi tempat tinggal mereka diwilayah tersebut agar sekali lagi tetap waspada. 
Jika melihat fakta kejadian gempa dari tahun 2004 hingga 2011 maka bukan mustahil dapat saja terjadi, sebab kejadian gempa tsunami Chili dengan kekuatan 8.5 SR mampu menjangkau areal 900 km ke pantai Tonga dan Utara Pulau Biak pada tahun 2010, lalu gempa tsunami melanda Jepang (11/3/20011) dengan kekuatan 9.0 SR menjangkau wilayah 1.100 km ke pulau-pulau Pasifik Selatan, gempa Aceh-Andaman dengan kekuatan 9.2 SR mengirimkan “pesan maut” ke Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Pantai Timur Afrika sejauh 5.000 km. Tsunami di Selat Malaka akan lebih dahsyat dari kejadian tsunami manapun yang pernah terjadi di muka Bumi.
Sebabnya, Selat Malaka itu menyimpan potensi lebih maut karena sepanjang Selat Malaka memiliki kondisi ideal tempat jalur tol bagi air bah raksasa, terletak ditengah jalur perairan antara dua pulau dengan luasan Selat yang sempit, dibeberapa tempat bagian Selat itu ada ukuran mencapai 5 km, bentuk morfologi pantai dengan topografi ke daratan tiap lintasan tsunami dapat mencapai 5-15 m karena daratan di sepanjang Selat Malaka ketinggiannya di permukaan air laut mencapai 5-12 meter. Maka siapkan perisai.
STRATEGIS TSUNAMI
Mengamati strategi tsunami ke Selat Malaka dapat terjadi melalui berbagai mekanisme aktivitas pergerakan tekanan tektonik Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia yang menimbulkan efek patahan, menimbulkan anomali guncangan air dan menyebabkan tekanan pecahan patahan ke lempeng mikro Burma menjadi air raksasa ke Selat Malaka.
Asumsi pertama yang juga bukti ilmiah yang sangat jelas adalah sejak terjadi gempa maut Aceh dengan “sms tsunami” ke kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pantai Timur Afrika tahun 2004 dengan terjadinya pecahan Lempeng Burma seluas 200.000 km persegi menjangkau Pantai Timur Sumatera ke Serdang Bedagai dan Phuket.
http://gempapadang.files.wordpress.com/2012/05/tsunamiandasea.jpg?w=500
Gambar : Srategi Tsunami Ke Selat Malaka

Asumsi kedua, beberapa kejadian gempa setelah gempa di Jepang tahun 2011 kini menekan pusat patahan di kawasan daratan Semenajung Asia Tenggara terutama yang masih berkorelasi dengan Patahan Sagaing di lembah utara Burma dengan terjadi gempa Burma 6,4 SR tahun April 2011 dan Patahan Mergui, atau penghancuran di berbagai patahan bergempa India seperti pada patahan Bhuj Gujarat atau patahan didaratan Tinggi Tibet yang masih satu jalur patahan besar postdam yang meliputi India, Pakistan, China dan sebagian Burma, lalu terjadi tekanan pembalikan ke dan dari refleksi seismik di kaki pegunungan Himalaya ke daratan China dengan perbatasan Burma terutama di patahan gempa Sichuan yang mengakumulasi energi ketegangan pada patahan di ruas daratan Burma hingga kembali kaki pegunungan Himalaya dengan gempa India 18/9/2011 telah menewas lebih 30 jiwa di India dan Nepal.
Asumsi ketiga. Data empiris sejarah gempa di daerah China dan India selalu menerus ke daratan Burma dalam kurun lima tahun terakhir sering terjadi gempa dahsyat membidik ke lempeng Asia Tenggara, telah memberikan akumulasi tekanan kuat ke patahan daratan Sumatera yang masih dalam jalur rangkaian sistim busur vulkanik mediteran dan sirkum pasifik yang melintas dari kaki pegunungan Himalaya yang tertancap di lima negara yaitu India, Afgahanistan, Burma, China dan Nepal yang memiliki hubungan karakteristik yang saling terpicu dan terus ke wilayah daratan perairan Asia Tenggara melintasi Patahan Phuket, Patahan Sagaing, Patahan Mergui, Patahan Andaman lalu Selat Malaka dan membentuk lingkaran arahan gelombang seismik di gugus Patahan Baharok dan Patahan Aceh di sebelah Timur yang membelah kawasan Aceh dan menyilang ke Utara Aceh di Pulau Weh (Sabang) dan tertimbun di Selat Malaka dan hampir bersentuhan dengan pecahan Lempengan Burma akibat gempa Aceh 2004 lalu dengan kawasan pantai Semenanjung Asia Tenggara. Dengan melihat sejarah fenomena tsunamis 2004 yang melintas zona pantai di Phuket dan Johor-Malaysia, terbayang bagaimana air bah melintas zona patahan yang berada di sepanjang Selat Malaka dengan luasan sempit jika terjadi dan terulang kembali. Maka jagalah hutan bakau di pantai agar dapat memecah gelombang tsunami.
Asumsi keempat, terjadi perubahan batimetri kelautan di Pantai Timur Sumatera akibat lanjutan pemecahan lempeng kecil Burma menuju Semenanjung Asia Tenggara ke Selat Malaka dengan pusat gempa di wilayah Kepulauan Andaman dan Palung Laut Dalam di Nikobar hingga menuju ke Utara Sumatera yang terdesak oleh Lempeng Indo-Australia, menumbuk Lempeng Mikro Burma, terjadi pelengkungan kuat di Utara Sumatera, desakan Lempeng Indo-Australia itu telah memberikan efek tekan pada patahan sepanjang ujung utara Pantai Barat Sumatera semakin melengkung mendekati 45o. Data dapat dilihat dari GPS dan citra satelit.
 Gambar : Strategi tsunami dari Patahan Aceh menjalar ke Selat Malaka  
(sumber : Internet dan berbagai sumber
Asumsi kelima. Dengan mempertimbangkan fakta empiris, bahwa wilayah di Aceh saat ini telah mengalami pergeseran sejauh 11 cm akibat gempa-gempa di Pantai Barat Sumatera ke arah daratan Asia, sehingga wilayah di Utara Aceh dan Nikobar membentuk struktur berarah Utara-Selatan akibat aktivitas Lempeng Australia di Utara Sumatera dengan penekanan pergerakan 50 mm/tahun ke arah daratan Semenanjung Malaya untuk melakukan pengompresan kuat. Fakta yang masih aktual pada akhir tahun 2010 lalu menunjukan terjadi gempa kuat dengan kekuatan 4,5 SR dengan koordinat 06,65 LU-096 BT di Sabang 15 Desember 2010 dan gempa Andaman dengan kekuatan 5,9 SR berpusat 180 km timur laut kota Sabang dengan kedalaman 104 km. Pecahan lempengan itu dapat mengubah batimetri kelautan di Utara Sumatera hingga ke Pantai Timur Sumatera.
Bukti-bukti gempa terdahulu telah banyak mengubah titik-titik koordinat atau terjadi pergeseran pulau-pulau vulkanik di sepanjang Pantai Barat Sumatera sejauh 30 millimeter karena ada korelasi antara subduksi patahan dan sesar geser yang akan mengakumulasi energi besar di utara Pantai Barat Sumatera sehingga akan menghasilkan energi pergeseran lateral terhadap lempeng yang lebih tua di Pantai Timur Sumatera dengan kekuatan geser mencapai 15 mm per tahun. Pergeseran lempengan bumi di dasar laut di bagian Utara Sumatera dan bergerak ke arah Kepulauan Nicobar dan Pulau Sabang dengan jarak yang belum diketahui, menunjukkan bahwa lempengan-lempengan lebih dari 20 kilometer di bawah dasar samudera telah bergeser. Memberikan indikasi strategis tsunamis ke Selat Malaka.

GEMPA SELAT MALAKA
Serangkaian gempa yang mengejutkan sepanjang Tahun 2010-2011 dengan ”perkiraan” titik koordinat seperti sedang mengincar Selat Malaka. Gempa Sabang berada pada patahan Pulau Weh yang berhubungan dengan patahan utara kota Banda Aceh dan sebagian tertimbun di perairan Andaman oleh akibat kegiatan tektonik yang diduga sebagai kelanjutan Patahan Seulimeun. Gempa Andaman berpusat pada Andaman Trench dengan kekuatan gempa mencapai 6,4 Skala Richter (SR) pada 20 Desember 2010 yang melintasi kota Pelabuhan Blair berada dalam jalur tumbukan Lempeng India dan Mikro Burma. Dan sebagian pulau Nikobar merupakan bentangalam yang terbentuk dari erupsi gunungapi bawah laut, satu garis zona subduksi di Utara Sumatera 

Gambar : Pusat zona gempa strategi ke Semananjung Asia Tenggara dari Kaki Pegunungan Himalaya melalui Patahan Besar Potsdam (Postdam Great Fault Zone).

(sumber gempa Rickipohan).
Diperkirakan akan terdapat 400.000-700.000 jiwa populasi terancam karena kota-kota sepanjang Selat Malaka hingga artikel ini ditulis belum memiliki benteng pertahanan terhadap ”serangan fajar” tsunami, dan kondisi kota-kota di Selat Malaka dominan menjorok ke arah lautan dan sebagian pulau merupakan pulau dengan ketinggian tidak lebih 100 meter, pembangunan kota juga merupakan hasil timbunan pasir dan pemadatan dari pulau yang dikorban dan memudahkan alur kecepatan gelombang raksasa tsunami mencapai daratan lebih cepat.
Kapan terjadi gempa maut di Selat Malaka? Bergantung pada durasi kegempaan yang tinggi di utara Pantai Barat Sumatera dari kawasan pulau-pulau vulkanik Sumatera hingga ke utara Andaman dan Sri Lanka.
Dari gambaran tersebut, Pemerintah sebaiknya mempersiapkan mitigasi tsunami untuk pertahanan dalam bentuk kombinasi tata ruang alamiah (mangurove, hutan konservasi, tumpukan batu alamiah dan terumbu karang) dan beton (dam, tembok keras-tinggi) guna meredam air bah raksasa itu ke dalam inti kota sepanjang Pantai Timur seperti kawasan NAD, Sumut, Kepri, Jambi dan Babel. Dan masyarakat harus memahami kondisi tersebut dengan mempersiapkan diri berupa pemahaman perlindungan terhadap serangan tsunami dan tidak termakan isu-isu tidak benar. Sekali lagi tulisan ini bukan ramalan gempa besar.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Geosfer. Tulisan Sudah Dimuat di Harian ANALISA MEDAN, 14 Oktober 2011.

Gunungapi Sumatera Pesta Maut : Geologi Disaster


MEWASPADAI GUNUNGAPI SUMATERA “PESTA MAUT”
Oleh M. Anwar Siregar

Fenomena bencana alam yang terus melanda Indonesia dewasa ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang dilahirkan di daerah rawan bencana, fenomena bencana alam seharusnya memberikan sebuah inspirasi perencanaan pembangunan yang berwawasan bencana, karena itu diperlukan kemauan politik pemerintah dan segenap pemangku kepentingan bersama agar dapat menyelaraskan rancang bangun tata ruang daerahnya sesuai dengan karakteristik tatanan geologinya.
Mengingat 81 % gempa bumi yang terjadi di Indonesia (kecuali Kalimantan Barat) disebabkan oleh proses relaksasi gempa bumi masih dalam pencarian titik keseimbangan karena tidak membesarnya bumi maka harus ada ruang untuk di desak. Dengan kata lainnya, bahwa bumi tidak mekar walau pergerakan lempeng terus bergerak dan bertumbukan dan menimbulkan kejadian bencana gempa besar dan kecil terus terjadi, wilayah paling rentan terjadinya ”pesta tarian” gempa adalah sepanjang lingkaran busur api atau ring of fire yang membentang sepanjang 40.000 kilometer mulai dari Peru,Cile (Amerika Selatan), Amerika Tengah, Kepulauan Aleutian, Kepulauan Kuril, Jepang, Filipina, Indonesia, Tonga, hingga ke Selandia Baru.
KENANGAN MASA LALU
Gempa vulkanik jarang terjadi bila dibandingkan dengan gempa tektonik. Gempa vulkanik terjadi karena adanya letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Ketika gunung berapi meletus maka getaran dan goncangan letusannya bisa terasa sampai dengan sejauh 20 mil. Sejarah mencatat, beberapa gunung api di Indonesia bertanggung jawab akibat ”pesta tarian maut” atas banyaknya korban yang pernah ditimbulkan di masa lalu, ”pembunuhan” oleh gunungapi Indonesia dan perubahan tatanan geologi di mulai oleh Super Gunungapi Toba Purba dengan letusan pertama dimulai 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba. Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu, letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba, yang ketiga terkenal dengan erupsi mega-kolosal yang menyebabkan suatu katastrofi yang dahsyat sekitar 70.000-74.000 tahun yang lalu. Erupsi ini telah menurunkan temperatur lingkungan permukaan Bumi 3-3.5 derajat Celsius secara signifikan selama beberapa tahun dan juga penyebab macetnya arus populasi migrasi manusia dikenal dengan peristiwa reduksi populasi manusia yang masif, memusnahkan banyak manusia yang sedang bermigrasi keluar dari Afrika dan menyisakan 10.000 individu yang hidup terisolasi.
Mega kolosal kedua dari gunungapi super Indonesia adalah hasil letusan gunungapi Krakatau Purba atau induk Krakatau yang meletus tahun 1883, Krakatau Purba diketahui juga ikut andil dalam perubahan kondisi tatanan geologi Indonesia yang membentuk Selat Sunda sekarang dengan ledakan yang maha dasyat dengan pemisahan Sumatera dan Jawa pada tahun 416, lalu disusul ledakan kedua oleh Krakatau tahun 1883, menelan korban lebih 34.000 jiwa, tsunami sejauh lima km kedalam daratan Jawa dan Sumatera, dan perubahan kondisi iklim bumi oleh hembusan dan pelemparan material erupsi mencapai Australia dan Kolombo atau 2/3 permukaan bumi terdengar dan tertutup oleh debu dan asap ledakan Krakatau. Tatanan geologi hancur sedalam 10 km membentuk kaldera, bagian dari titik lemah bola bumi Indonesia.
Mega kolosal ketiga yang mengubah kondisi iklim dunia dan melakukan pembantaian terhadap manusia adalah letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1816 yang dikenal sebagai ”tahun tanpa musim panas” karena redupnya sinar matahari oleh penutupan erupsi debu dan asap vulkanis Tambora dan menyebabkan penyebaran wabah penyakit serta kelaparan akibat gagal panen di seluruh dunia, dengan radius pelemparan mencapai 600 km yang menjadikan dunia gelap gulita dalam seminggu lamanya. 
Letusan terdengar melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi menurun beberapa derajat dan mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan. Sehingga daerah Eropa dan Amerika Utara mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas. Jumlah korban meninggal mencapai 5000 jiwa lebih. Tatanan geologi akibat letusan Tambora membentuk kaldera berdiametar kurang 8 km dan kedalaman 5,6 km dari bibir kawah teratas (sumber wikipedia Indonesia)
FAKTA PESTA
Benturan-benturan kuat antar lempeng yang menyebabkan gempa pada zona subduksi di Samudera Hindia seperti Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dapat mempengaruhi kekuatan dan kemampuan termodinamika magma dalam menahan laju desakan seismik pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas letusan gunungapi.
Faktanya beberapa gunungapi di Jawa dan Sumatera mengalami peningkatan aktivitas magma bahkan meletus seperti pada kejadian gempa di Yogya dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006 bersamaan dengan letusan Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas, Gunung Kaba meletus bersamaan dengan gempa tektonik Bengkulu berkekuatan 7,8 SR tahun  2000  dan tahun 2010 ketika terjadi gempa Mentawai beberapa gunungapi di Pulau Sumatera mengalami peningkatan status dari Waspada ke Siaga II, faktanya Anak Gunung Krakatau, Talang, Dempo dan Kaba mengalami kenaikan pergerakan magma ke permukaan.
Korelasi peningkatan intensitas gempa di Pantai Barat Sumatera terhadap peningkatan intensitas suhu magma dibeberapa gunungapi Sumatera perlu diwaspadai antara lain 1. Seulawah Agam, 1.726 m di Aceh Besar 2. Peuet Sague, 2.780 m di Sigli 3. Bur Ni Telong, 2.624 m di Aceh Tengah 4. Sorik Marapi, 2.145 m di Mandailing Natal  5. Marapi 2.891,3 m di Sumatera Barat, 6. Tandikat 2.438 m di Sumatera Barat, 7. Talang 2.597 m di Solok  8. Kerinci, 3.805 m di Jambi, 9. Sumbing Sumatra, 2.508 m di  Jambi, 10. Kaba, 1.952 m di Propinsi Bengkulu, 11. Dempo, 3,159 m di Propinsi Sumatera Selatan, 12. Kumpulan Gunung Anak Krakatau 1250m di Selat Sunda, di Propinsi Lampung, 13. Sibayak 2.094 m di Sumatera Utara, 14. Sinabung, 2.460 m di Prop. Sumatera Utara, 15. Rajabasa, 1281m di Lampung (Sumber PVMBG, Badan Geologi).
KETINGGALAN ZAMAN
Peralatan teknologi kegunungapian di Sumatera Utara masih “ketinggalan mode” dalam mengikuti dan mengantisipasi “pesta dansa” gunungapi sehingga manusia yang semakin padat akan menjadi “ladang pembantaian” khususnya dikawasan Sumatera yang rentan mengalami pembenturan lempeng-lempeng bumi, getaran “dentuman” dapat menggetarkan lantai dasar “dapur magma” gunungapi untuk bergeliat dengan melepaskan hawa panas yang berupa “kerlap-kerlip lampu panas” alias kembang api bom panas.
Khususnya keberadaan tujuh gunungapi di Sumatera Utara harus diwaspadai, gunungapi Sinabung, telah memperlihatkan peningkatan letusan akibat tekanan seismik gempa, “kemampuan” saat ini naik “kelas” dari tipe B ke Tipe A, ketujuh gunungapi tersebut antara lain Sorik Merapi, Sinabung (Tipe A), Sibayak, Sibual-buali, Lubuk Raya, Pusuk Buhit (Tipe B) dan Hella Toba (Tipe C). Dari ke tujuh gunungapi tersebut khususnya gunungapi Sibual-buali dan Lubuk Raya dari pengamatan penulis baik melalui geologi citra satelit maupun tinjauan lapangan sampai saat ini, peralatan seismograf buatan Belanda, dalam bentuk analog, tingkat keakuratan pencatatan data terbatas dan tidak real time, sudah hampir rusak, sistim monitoring tidak menggunakan alat teropong digital serta tidak ada alat sirene tanda bahaya, pos jaga lebih banyak kosong kegiatan.
Bayangkanlah apabila ada peningkatan intensitas gempa sedangkan pengukuran keakuratan sangat terbatas tingkat kedalamannya dan mendadak magma sudah mendekati permukaan baru terdeteksi? Akankah Sibual-buali berikutnya?
Pemerintah harus ”mereformasi” penataan ruang wilayah berbasis bencana dari ancaman berbagai jenis bencana, antara lain pertama, menyusun tata ruang ke dalam integrasi multi bencana, dengan menyediakan ruang evakuasi dan ruang sanggahan berbagai jenis bencana seluas 10 % dari total 30 persen luas daerah hijau dari total luas per kecamatan. Kedua, menyusun aturan zonasi ruang inti kota utama maupun ruang inti kota perbatasan, harus ada ruang khusus lahan abadi bagi ketahanan pangan dan sumber air bersih berkelanjutan, ketiga, fisik infrastruktur, hunian masyarakat dan industri harus dirancang bangunan berketahanan bencana melalui kajian pemetaan geologi yang komprehensif (bawah, permukaan dan udara), untuk mengurangi dampak kemiskinan fisik (biaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang menguras cadangan devisa negara) dan non fisik (jumlah kemiskinan tidak bertambah) akibat bencana. keempat, penegakan hukum aturan perundang-undangan yang tegas dari pemerintah dan menjadikan semua aturan itu adalah kepentingan bersama, masyarakat wajib disadarkan dan dipartisipasikan bahwa aturan ini bukan untuk kepentingan pemerintah tetapi masyarakat luas.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dikirim ke Harian Medan

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...