UU GEOLOGI DI ERA GLOBALISASI BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Oleh M. Anwar Siregar
| 
Berbagai bencana   melanda Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir dan masih akan berlanjut.   Maka sudah saatnya dibentuk UU yang mengatur tegas tentang geologi  
Mengingat kondisi   geologi Indonesia dewasa ini memasuki periode panen gempa di beberapa kawasan   yang saling memuntahkan kemarahan kepada manusia. Kebencanaan ini telah   menyengsarakan rakyat di negeri terbesar di khatulistiwa. Namun lupa untuk   selalu belajar dari kejadian dan kesalahan perencanaan pembangunan fisik   khusus lingkungan geologi, bahwa Indonesia yang berada di ring of fire. 
Seharusnya Indonesia   mampu mendefinisikan suatu perencanaan tata ruang mitigasi yang berbasis   lingkungan geologi dengan standar konstruksi yang mumpuni di lokasi yang   sesuai karakter peruntukkannya. Ini agar mampu mengurangi korban dan   kerusakan bencana terutama gempa bumi dan gerakan tanah. 
Tumpang tindih   permasalahan 
Undang-undang geologi   selama ini di Indonesia peranannya sangat kurang dan belum ada, sehingga   menimbulkan permasalahan terhadap berbagai analisis penanggulangan bencana   dan kedaruratan karena disini kita punya kebiasaan “sesuatu” kalau belum   diatur oleh institusinya, maka dianggap belum ada peraturannya. Contoh, di   luar negeri, terutama Eropa dan Amerika serta Jepang, mereka memiliki badan   geologi yang mengkhususkan apa yang disebutkan bahwa “setiap pembangunan kota baru, pemekaran wilayah   kabupaten/kota atau perluasan dan pengembangan tata ruang wilayah perkotaan   lama ke baru harus memperhatikan kondisi bawah permukaan (sub surface)”.  
Setiap orang di sana   sudah tahu kalau berbicara tentang bawah permukaan itu berarti berbicara   geologi. Dan departemen yang menangani hal ini adalah Departemen Geologi.   Jadi kalau ada kejadian bencana geologi maka masyarakat langsung saja ke   Departemen Geolog bukan ke yang lainnya.  
Sementara di Indonesia   masing-masing sektor berusaha membuat peraturan, masing-masing peraturan itu   tumpang-tindih dan berbeda. Dan Badan Geologi di Indonesia yang belum   memiliki Undang-Undang Geologi, oleh orang dianggap tidak memiliki kewenangan   untuk mengatur geologi. Sehingga menimbulkan permasalahan di era globalisasi   bencana lingkungan, yaitu tumpang tindihnya peraturan penataan ruang,   pengaturan mitigasi ketataruangan dan sumber-sumber daya geologi   berkelanjutan yang bersentuhan langsung dari segala jenis bencana. Ini sangat   membinggungkan masyarakat dan investor di Indonesia. 
Era globalisasi   bencana 
Era globalisasi di   Indonesia, ternyata era bencana. Pemanfaatan era globalisasi teknologi dan   segala peraturan yang berhubungan dengan penelitian kebencanaan di Indonesia   justru tertinggal jauh dari negara tetangga. Hal ini menyebabkan kondisi   penanggulangan bencana di Indonesia masih kurang efektif dalam pelaksanaan di   lapangan. Salah satunya adalah tidak ada payung hukum yang tegas dalam   mengartikulasikan pemahaman geologi di daerah rawan bencana yang pada   akhirnya, yang menjadi korban dari era globalisasi bencana itu adalah manusia   Indonesia 
Dengan bergeraknya   masing-masing sektor dalam pengelolaan dan pemanfaatan geologi di bawah dan   atas permukaan bumi maka terjadilah apa yang kita namakan krisis lingkungan   geologi yaitu silih berganti terjadinya bencana.  
Bencana banjir akibat   perubahan iklim belum berakhir, datang tiba-tiba gempa bumi disertai   gelombang tsunami. Lalu letusan gunung api ikut juga memperparah situasi   bangsa ini. Belum selesainya goyangan datang bencana gerakan tanah akibat   tidak ada pemahaman yang memaksa masyarakat mematuhi aturan lingkungan   geologi seperti pemanfaatan zona-zona hijau, lahan konservasi pantai dan   terestrial, lahan zonasi tata ruang dan tidak adanya kemauan membentuk suatu   zona rehabilitasi ruang yang telah mengalami bencana. 
Pengembangan dan   pengkajian teknologi di Indonesia juga tertinggal jauh disebabkan faktor   kekurangan dana riset. Padahal negara ini sudah ditakdirkan sebagai negara   bencana. Indonesia seharusnya sudah mampu menciptakan dan mengekspor   peralatan tsunami warning,   justrunya mengalami kedodoran dalam memberikan peringatan cepat dan   miskomunikasi yang tidak perlu. Lihat saja kejadian tsunami Pangadaran-Jawa   Barat tahun 2006. Karena bagitu banyaknya lembaga riset yang saling berlomba   memberikan informasi terkini sehingga membingungkan masyarakat, khususnya   investor dalam memahami rekonstruksi usahanya apabila terjadi bencana. 
UU mitigasi masyarakat 
Berbagai jenis ancaman   bencana lingkungan geologi yang bersifat merusak dan membahayakan   kelangsungan hidup dapat terjadi setiap saat tanpa dapat menghindarinya.   Walaupun ancaman bencana alam tidak dapat ditolak dan dihindarkan, tetapi   setidaknya pemerintah dan masyarakat harus dapat menyiapkan diri   sebaik-baiknya. Ini dilakukan melalui manajemen pengembangan sistim prakiraan   bencana beserta penyebarluasan informasi geologi, sistim peringatan dini   kepada masyarakat (Early Warning Disaster   Preparadness). 
Di sini pentingnya   informasi mitigasi geologi yang berbasis masyarakat di daerah rawan lingkungan   gerakan tanah, banjir dan gempa, yang digunakan untuk kepentingan masyarakat   dalam mengurangi dampak pada suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum   terjadi bencana. Perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi risiko   terkait bencana dan proses perencanaan untuk respons efektif terhadap   berbagai jenis bencana yang akan terjadi. 
Kunci faktor yang kuat   dari informasi mitigasi masyarakat adalah penguatan dari lembaga dalam hal   ini adalah Badan Geologi Nasional. Lembaga ini akan mengatur mitigasi dari   berbagai jenis bencana geologi dalam bentuk pengaturan UU yang difokuskan   pada kemampuan sistim kesiapsiagaan, sistim peringatan dini, tindakan gawat   darurat, manajemen risiko lapangan dan relokasi ruang wilayah untuk   penempatan evakuasi. UU bencana geologi yang berhubungan dengan mitigasi akan   memaksa pemerintah, swasta dan masyarakat mematuhi segala aturan yang telah   ditentukan. Sehingga akan tercipta keselarasan visi dan misi pada tindakan   pencegahan dan penanggulangan bencana secara efektif. 
UU mitigasi geologi   tata ruang kota digunakan untuk meminimalisasi bencana, diperlukan agar   masyarakat mengetahui langkah-langkah kongkrit. Masyarakat dapat bertanya   apakah lokasi tempat tinggal mereka rawan gempa, konsultansi bagaimana   merancang bangunan tahan gempa dan berhak mendapatkan pendidikan mitigasi   secara berkala. 
UU geologi mitigasi  
Dari berbagai kejadian   bencana yang melanda Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir yang masih akan   berlanjut, maka sudah saatnya dibentuk UU yang mengatur tegas tentang geologi   bawah permukaan dan di atas permukaan selama manusia membangun diatas tanah.   Yaitu UU Kegeologian yang sangat mendesak dan mengingat sudah cukup banyak   korban dan infrastruktur fisik yang bertumbangan yang menyebabkan negeri ini   semakin miskin. 
Rancangan   Undang-undang (RUU) Kegeologian seharusnya sudah dalam bentuk UU pada tahun   2009 lalu. Beberapa hal yang penting sebagai muatan materi dalam penyusunan   RUU Kegeologian yang telah diajukan ke DPR sejak tahun 2007 adalah sebagai   berikut:  
1. Masalah penetapan   kawasan rawan bencana geologi yaitu letusan gunung api, gempa bumi, tsunami,   dan tanah longsor (yang dalam RUU Penataan Ruang dimasukkan sebagai kawasan   lindung); dalam RUU Kegeologian sudah didefinisikan secara lebih lengkap,   lebih implementatif. Meskipun bencana geologi tersebut sulit diprediksi kapan   terjadinya, tetapi dengan pendekatan kegeologian diharapkan ada   langkah-langkah lebih kongkrit yang tujuannya untuk mengurangi dampak merusak   bencana tersebut dan jatuhnya korban.  
2. Penggunaan data dan   informasi geologi yang saat ini di era globalisasi di Indonesia belum   dilakukan secara optimal sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah agar   lebih ditingkatkan pengaturannya dalam bentuk UU Kegeologian tersebut.  
3. Diperlukannya   pengaturan dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemanfaatan sumber daya   mineral secara sistimatik, meliputi pengaturan administrasi, penyeragaman   dalam penyusunan data dan informasi geologi beserta upaya-upaya   sosialisasinya.  
4. Mengoptimalkan   kompetensi bidang kegeologian dalam mengatasi atau memecahkan permasalahan   untuk kepentingan konstruksi (prasarana jalan, jembatan, bangunan); dan   eksplorasi migas dan penentuan cadangan mineral yang potensial sesuai   standard minimal yang harus dipenuhi.  
5. Menonjolkan peranan   informasi geologi untuk identifikasi cekungan migas yang penting dan   strategis terutama yang menyangkut daerah frontier   atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain.  
Latar belakang   permasalahan dalam mempersiapkan RUU Kegeologian disebabkan banyaknya produk   hukum dari berbagai institusi atau lembaga yang saling tumpang tindih. Produk   hukum tersebut berkepentingan terhadap geologi bawah tanah sehingga naskah   RUU Kegeologian memerlukan suatu keselarasan visi dari stakeholder agar pembahasan dipercepat   dan ada kemauan politik dari DPR. 
Hal ini penting,   mengingat kondisi dinamika geologi Indonesia di era globalisasi semakin   rentan bencana, keterlambatan informasi geologi dan ketidakadaan data yang   seragam tentang geologi bawah permukaan dan tumpang tindihnya peraturan   peruntukan suatu kawasan geologi menyebabkan terjadinya kebingungan bagi   masyarakat dan investor. 
Dalam UU Kegeologian   sudah memuat semua informasi tentang geologi secara komprehensif dan mencakup   seluruh aspek-aspeknya. Termasuk solusi permasalahan tata ruang lingkungan,   mudah dipahami baik oleh masyarakat umum maupun oleh aparatur negara sehingga   dapat ditindaklanjuti secara efektif. Konsepsi pengaturan penyelenggaraan   bidang kegeologian merupakan penjabaran dari berbagai konsep atau teori yang   terkait dan analisis terhadap berbagai aspek yang perlu untuk dikembangkan   dalam penyelenggaraan bidang kegeologian.  
Efek memaksa 
Pengaturan bidang   kegeologian yang lebih tegas dan komprehensif terhadap aspek-aspek yang   menjadi fokus kebutuhan dengan memperhatikan kondisi bidang kegeologian saat   ini. Hal ini terkait erat dengan hak, kewajiban dan peran masyarakat pemangku   kepentingan (stakeholder) di   bidang kegeologian. UU geologi akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa   yang tidak boleh dilakukan masyarakat tanpa mempersempit ruang gerak   masyarakat. Memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan geologi kebencanaan   tata ruang dan pemanfaatan sumber-sumber daya vital dan strategis yang   dibutuhkan segala lapisan masyarakat dari berbagai aspek geosains, ekonomi,   sosialogi, hukum dan politik.  
Hal ini membawa kepada   konsekuensi adanya reward-punishment,   efek mamaksa pemerintah untuk bergerak cepat, memaksa masyarakat untuk selalu   siap. Institusi tidak berserakan dan fokus pada satu lembaga riset yang   menangani tentang kebencanaan geologi, yaitu Badan Geologi Nasional sehingga   masyarakat dan segenap stakeholder   maupun dunia usaha atau investor dapat mengerti dan mematuhi UU Geologi   tersebut.  
UU geologi harus dapat   diimplementasikan dan digunakan secara efektif sebagai payung hukum bagi   peraturan di bawahnya seperti PP, Perpres, dan Peraturan daerah. UU geologi   akan berdampak lebih baik dari berbagai aturan pelaksanaan penanggulangan   bencana yang dalam pelaksanaanya butuh rentan waktu pengambilan keputusan.   Dengan adanya efek memaksa dari aturan UU geologi maka era bencana geologi di   Indonesia dapat diminimalisasikan.  ( M. Anwar Siregar : Penulis adalah Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer ), Tulisan ini sudah di publikasi di Harian 'WASPADA" Medan | 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar