Feb 25, 2013

Nias Buat RTRW Gempa : Geologi Mitigasi

NIAS HARUS BUAT RTRW GEMPA 
Oleh : M. Anwar Siregar


Gambar :  Peta pusat gempabumi merusak Pulau Sumatra (Sumber : Supartoyo dkk., 2014).
Pengalaman gempa tsunami Aceh 2004, Nias 2005 dan Jepang 2011 harus dijadikan sumber kesadaran dalam membangun sistim kesatuan mitigasi RTRW antar wilayah yang berketahanan bencana di Nias. Sebab, Kepulauan Nias hingga ke detik ini masih terus mengalami gempa, termasuk pada bulan Oktober 2012, selain itu Nias adalah penghasil megathrust gempa keempat di pantai barat sumatera. Dengan sistim kesatuan mitigasi akan memudahkan penyelamatan jiwa banyak orang di Kepulauan Nias. 
INVESTASI BENCANA 
Kawasan yang berpotensi menghasilkan “investasi bencana” adalah kawasan di pesisir pantai sepanjang jalan lintas Kepulauan Nias, baik yang menghadap langsung ke titik pertemuan antar lempeng di Samudera disebelah barat maupun dalam jalur tumbukan vulkanik diseluruh Kepulauan Nias di Selat Nias, morfologi dari beberapa garis pantai maju ke arah laut serta masih bisa diterobos langsung oleh terjangan ombak, belum lagi jika terjadi tsunami, bentuk morfologi pantai umumnya menjorok ke daratan akibat fenomena naiknya daratan setinggi 2–4 meter telah mengakibatkan bertambah luasnya wilayah daratan, contoh kasus adalah pelabuhan Sirombu yang mengalami pengangkatan 3 meter sehingga tidak bisa digunakan. 
Topografi Kep. Nias yang rendah dikontrol langsung oleh 6 zona patahan yang ada di Nias, tebing perbukitan mudah mengalami gerakan tanah berupa runtuhan dan longsoran batuan, serta sebagian besar merupakan batuan yang mengalami kerapuhan. Dapat dilihat dari Pantai Sorake di bagian selatan, Sirombu di bagian tengah, Lahewa di bagian utara, Gunungsitoli Idaho di tengah ke arah selatan, Pulau-pulau Tello-pulau Batu, Pulau Tanahmasa, Pulau Tanahbala, Pulau Sigata dan Pulau Pini dan merupakan gambaran investasi bahaya [menanam modal bahaya dalam tata ruang] yang mengancam kehidupan masyarakat Nias yang belum memiliki sistim kesatuan bencana yang komprehensif. 
Pulau-pulau ini sering mengalami pengangkatan dan penurunan topografi darat dan pantai serta harus disusun suatu RTRW gempa yang baru. 
PERTUMBUHAN INVESTASI 
Bentuk-bentuk perisai bencana RTRW di Nias dapat diadopsi melalui penguatan sistim peringatan dini, sistim analisis kontur perubahan topografi dan batimetri GPS, sistim batas/zonasi daratan pantai yang belum dan telah mengalami pengangkatan, sistim infrastruktur, semua gambaran investasi bencana harus melalui pemetaan mikrozonasi kegempaan lokal dan kajian tata ruang kota berdasarkan tingkat zonasi geohazard dan georisk, akan menghasilkan berbagai jenis peta, tata ruang lingkungan binaan dan rehabilitasi, serta pengembangan investasi bagi tata ruang masa depan, yang merupakan suatu geo-strategi kawasan yang dapat mengoptimalkan potensi dan kondisi obyektif kawasan jika telah mengalami kejadian bencana.
Umumnya kawasan pengembangan dan pertumbuhan investasi (pusat penanaman modal, sarana perdagangan dan bisnis) berada dikawasan pesisir pantai bagian Barat dan Timur serta Tengah Nias sebagai pusat pertumbuhan kota besar dan bagian pesisir (kota tumbuh kecil seperti kota Tello, umumnya berada ditepi air dan pendalaman pulau-pulau kecil) merupakan pusat pertumbuhan skala lebih kecil berada di seberang Pulau Besar Nias, maka diperlukan suatu pola RTRW yang dapat menekan kerentanan akibat laju pertumbuhan penduduk Nias justrunya lebih pesat di wilayah pesisir, sedang wilayah tengah pesisir sebaiknya dikonsentrasikan sebagai daerah konservasi air dan zona sanggahan, mengingat daerah tersebut sangat rentan bencana gempa. Sampai sekarang, data ini belum disiapkan dan belum dikaji disemua pola perencanaan RTRW atau RTRD antar kota yang ada di wilayah Kep. Nias dengan Propinsi Sumut. TANGGUH INVESTASI BENCANA 
Untuk meredam investasi bencana, maka Pemerintah di Nias perlu menyediakan dengan memanfaatkan suatu zona dalam suatu Rencana Tata Binaan Lingkungan diwilayah kota dengan memperbanyakan pembangunan kawasan lahan terbuka khusus (RTH) seluas setengah hektar pada tiap koridor jalan dan pemukiman. Dikawasan pesisir pantai yang telah mengalami pengangkatan garis pantai dan berubah menjadi daratan lebih baik difungsikan sebagai zona rehabilitasi RTH. Kawasan RTH minimal 25-30 persen dari wilayah pesisir pulau besar dan kecil dalam kecamatan sebagai zona sanggahan bencana atau buffer zone, dapat dimultifungsi sebagai taman binaan lingkungan, taman ekologis, taman evakuasi serta daerah resapan air tawar yang menghadap ke pantai pada kota yang sedang berkembang.



Gambar 24 : Peta zona pecah kejadian gempabumi tanggal 28-3-2005 berdasarkan data gempabumi susulan. Nias harus membuat peta gempa bumi untuk mengantisipasi pzona pecahan gempa yang luas untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dari kejadian gempa tahun 2005 di masa mendatang. (Sumber: Internet USGS.
 
Pembangunan daerah buffer zone di daerah kawasan padat pelabuhan sudah saat mendesak mengingat multi jenis bencana mudah “terinduksi” akibat interaksi sosial yang sangat tinggi dengan kawasan pertumbuhan industri pelabuhan ke inti kota serta membuat jalur evakuasi dalam sarana fisik infrstruktur berupa jalan yang tangguh bencana. Taman evakuasi masih jarang di masukan ke dalam peta RTRK atau RTRW kota di Sumatera Utara khususnya di Nias, dipastikan banyak tidak memasukan model taman evakuasi bencana, selain itu koridor jalan raya kota kebanyakan dalam simbol-simbol tanpa ada jalur lintasan yang jelas. Semua hal ini dapat dimasukan dalam bentuk model Lintasan Evakuasi Bencana Gempa. 
Perbedaan Taman Evakuasi dengan Jalur Lintasan Evakuasi dalam RTRWK harus lebih jelas, hal ini penting mengingat kota-kota sedang-besar di Sumut umumnya terletak di bibir maut tsunami dan tektonik, sekitar 85 % kota di Sumut berada dalam radius ancaman gempa tsunami tanpa ada perisai Taman Evakuasi dan Jalur Lintasan Evakuasi yang jelas, maka pemkab di Nias harus memperhatikan situasi tata ruang ini, sehingga masyarakat Nias dapat mengartikulasi atau memahami pentingnya ruang tersebut. 
Khususnya Taman Evakuasi dapat dimasukan ke dalam ruang terbuka hijau RTRW, tetapi harus lebih spesifik yaitu membedakan sebagai sarana sangat penting berbasis tahan gempa yang ditempatkan pada koridor kontruksi yang jauh dari zona patahan gempa, memiliki akses ke berbagai jalur lintasan evakuasi dan masyarakat dapat bergerak dan tidak perlu panik, tidak menimbulkan kemacetan bila terjadi tsunami, dikembangkan sesuai dengan kebutuhan untuk antisipasi bencana dimasa mendatang. 
SISTIM PERINGATAN DINI 
Nias belum memiliki sistim peringatan dini yang tangguh pada setiap tata ruang antar pulau kecil-besar dan antar kepulauan dan daratan induk (Sumut), dalam menghadapi kebencanaan tata ruang meliputi pemantauan gempa, pasang surut air laut, sistim manajemen pengumpulan dan pengolahan data serta penyebaran informasi dan kesiapsiagaan, harus ditempatkan pada daerah “kering gempa” agar miskomunikasi informasi tidak mengalami kendala di lapangan. 
Sebagai Kepulauan di Sumatera Utara, Pemerintah Nias seharusnya melengkapi dan berkewajiban memperbanyak sistim jaringan pertahanan bencana dalam pemantauan seismik pada setiap RTRW pesisir kotanya dengan sistim peringatan dini berlapis, mulai dari lepas pantai, ke zona sangaghan pantai dengan inti luar kota hingga kedalam inti kota dan luar lingkar dalam kota (perbukitan/pegunungan) dalam interval 10-15 km yaitu sistim deteksi secara rapat dalam kesatuan tata ruang antar darat-kepulauan secara berkesinambungan, interkoneksi broadband, jaringan pemantauan seismograf setiap kecamatannya dan interkoneksi sistim pengaturan dan pemetaan dini melalui satelit GPS yang rapat antar Propinsi serta mempersiapakan model-model pelabuhan laut yang lengkap sebagai pemantauan perubahan kondisi anomali kelautan dengan mengintegrasi seperangkap teknologi peringatan dini dan memanfaatkan hasil data base eksplorasi kelautan dan harus dimasukan kedalam RTRW keseluruhan antar darat-laut serta memperbaiki sistim pemrosesan data yang masih overlapping dengan menggunakan sistim digital evaluation mode (DEM) sehingga bisa diterima secara real time dan terintegrasi secara multi regeional.



Gambar : Gambaran dari Tsunami dari gempa 26 Desember 2004 di Sirombu Nias yang rusak parah, B. Setelah dihantam tsunami Pelabuhan Sirombu ini terangkat hampir 3m ketika gempa Maret 2005, C. Pantai di timurlaut Pulau Nias yang terangkat sekitar 1m, D. Survei dengan RTK GPS untuk mengukur besar pengangkatan terumbu karang di Pulau Hinako, barat Nias.
Nias perlu membuat RTRW yang berbasis ketangguhan bencana tsunami. (Sumber : Geomagz edisi Desenber 2011).
Secara keseluruhan RTRW di Nias belum tangguh dalam menghadapi bencana geologi, bahwa bayang-bayang gempa megathrust masih ada, hanya menunggu waktu. Maka prasarana infrastruktur fisik dan non fisik sudah harus diperbaharui secara berkala yaitu 15 tahun sesuai kondisi karakteristik lingkungan geologi Kepulauan Nias yang selalu berubah dalam rentang antar 5-10 tahun akibat gaya-gaya geologi deformasi bergerak cepat, tercermin dari perubahan siklus energi gempa yang tidak beraturan lagi, buktinya rentang gempa sejak tahun 2005 ke 2012. 

M. Anwar Siregar Geologist,
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.
Diterbitkan di Harian "ANALISA" MEDAN Tanggal 18 Desember 2012

No comments:

Post a Comment

Related Posts :