Renungan Bencana Geologi Mitigasi
RENUNGAN
BENCANA AKHIR TAHUN DI INDONESIA
Oleh
M. Anwar Siregar
Ada dua bencana yang sangat merugikan kondisi ekonomi Indonesia
sepanjang tahun 2015, yaitu bencana kabut asap selama enam bulan dan
bencana banjir. Dua bencana ekologis itu kadang disertai juga bencana
geologis, dengan tingkat kerugian cukup besar yaitu gerakan tanah atau
longsor dan gempa bumi selama tahun 2015 mencapai 10 triliun rupiah.
Bencana banjir yang melanda Aceh, Bandung, Jakarta, Medan, dan
bencana longsor di Sumatera Utara adalah gambaran sebuah tragedi ekologi
hijau dan sumber daya ruang yang seharusnya tidak berulang setiap
tahun. Introspeksi tata ruang, etika dan kebijakan dalam mengendalikan
berbagai musibah bencana di Indonesia dan dunia perlu dibumikan dengan
mengurangi bencana kekerasan yang biasanya melalui teror, radikalisme
dan rasisme. Indonesia dan dunia perlu restorasi lingkungan yang lebih
humanis.
Bencana Dunia
Indonesia memang saat ini perlu merenungkan, bahwa bencana saat ini
telah mengalami “distorsi tubuh” akibat ulah manusia yang terus merusak
segala ekosistim bumi, baik di darat, dilaut maupun di udara dan juga di
dalam bumi. Eksplorasi yang berlebihan itu telah memberikan kepada
manusia di muka bumi sebuah bencana yang sangat menakutkan.
Perlombaan persenjataan era perang dingin hingga perang bintang (star
war) antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet (Rusia) itu terus
berlanjut, dengan yang berubah namun tetap mengancam kehidupan manusia
di bumi dengan munculnya kekuatan militer baru dengan mengusung senjata
maut yang lebih mematikan alam semesta ini yaitu perang nuklir dan
perang senjata kimia yang kini berdarah-darah di Timur Tengah dan
berbagai pelosok permukaan bumi.
Setiap saat kondisi bumi dapat mengalami kerentanan, dan perlu kita
ingat, Bumi adalah makhluk yang bergerak, dan kadang Bumi dapat berunjuk
rasa dengan menebarkan bencana bagi kesombongan manusia yang lupa diri,
bahwa mereka hadir di muka bumi ini sebagai pemimpin bagi makhluk
tetapi bukan sebagai perusak, penghancur dan penindas sesamanya dan
lingkungan tempat mereka berada, dibiarkan sebagai ladang pembantaian.
Pertanyaan renungan, sudah dimanakah peranan Indonesia dalam
mengatasi perubahan iklim global? Jika melihat kondisi lingkungan di
Indonesia sejak era abad ke 21 ini, rentetan bencana silih berganti
datang, mulai dari kabut asap lalu datang banjir, lalu banjir bergantian
dengan longsor, begitu juga dengan gempa bumi diselang-selingi oleh
letusan gunung api, sekali datang gelombang permukaan air laut, abrasi
pantai dan suhu panas yang membara di berbagai kota di Indonesia.
Ada beberapa bencana alam di Indonesia belum mampu diatasi, kemampuan
Indonesia dalam mengantisipasi bencana gempa bumi masih di bawah lima
menit, sedangkan Jepang dan Amerika Serikat sudah diatas 15 menit hingga
1 Jam. Melihat perbandingan waktu tersebut, sudah saatnya membumikan
mitigasi bencana geologi dan klimatologis yang komprehensif di seluruh
wilayah tanah air.
Pertanyaan renungan kedua. Apakah negara di dunia ini perlu
berlomba-lomba membangun kekuatan persenjataan nuklir? Sedangkan
pemahaman tentang bencana alam dunia masih kedodoran, contoh kasus
terjadinya bencana gempa bumi di Nepal, India, Philipina dan Indonesia
serta Chili. Banyak negara berkembang belum mampu mengatasi berbagai
persoalan bencana yang mengancam kehidupan dibandingkan berlomba
memperkuat kekuatan militer hanya untuk menyerang negara lain. Kasus
penembakan pesawat Rusia menewaskan semua penumpangnya, hilangnya sebuah
pesawat, semua negara memiliki teknologi, namun mengatasi bencana kabut
asap seperti di Indonesia dan sekarang giliran Tiongkok membutuhkan
waktu yang lama, dan apakah tidak memiliki teknologi yang lebih canggih
untuk masalah kabut asap atau tidak menghasilkan sumber kabut asap atau
emisi?
Jangankan bencana kabut asap dan gempa bumi, bencana banjir dan
longsor, Indonesia dan beberapa negara di muka bumi ini masih belum
mampu mengantisipasinya. Bencana gerakan tanah atau longsor di
Banjarnegara, Aceh dan Sumatera Utara adalah gambaran bagaimana
manajemen bencana itu diimplementasikan dalam bentuk pola tata ruang.
Dalam pengendalian banjir seharusnya daerah sudah mampu mengurangi
intensitas bencana, karena Indonesia sudah memiliki teknologi, harusnya
sudah diterapkan ke daerah yang sering mengalami musibah banjir seperti
wilayah Aceh, Bandung dan Manado. Untuk mendeteksi banjir di
sungai-sungai yang banyak membelah tata ruang kota besar di Indonesia,
perlu di renungkan bagi kota-kota yang berlangganan banjir termasuk
Medan dan Jakarta.
Pertanyaan renungan ketiga. Apa yang menyebabkan munculnya tragedi
hutan belum pernah terjadi? Seharusnya manusia mampu mengendalikan
kerusakan hutan dalam hal ini mencegah kabut asap seperti di Indonesia
dan Tiongkok dengan mengurangi standar penggunaan materi energi yang
berlebihan.
Kearifan Peta
Bencana alam seperti gempa bumi masih belum mampu diprediksi secara
tepat waktu, bencana hanya dapat dikurangi jika memanfaatkan segala ilmu
yang telah terangkum melalui media kearifan lokal dan fakta empiris
dari peta yang sebagai lintasan sejarah dimasa lalu dan masa kini dan
masa mendatang.
Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa populasi manusia saat ini lebih
besar daripada bumi, oleh sebab itu tantangan bencana dan sumber daya
adalah bagaimana menjaga keseimbangan kebutuhan konsumsi yang terdiri
sumber daya, terutama sumber daya materi agar tidak berada dalam kondisi
kritis, sebab seperempat populasi dunia saat ini menggunakan 75 persen
sumber daya global dalam upaya mencegah bencana ekologi daya dukung
lingkungan.
Peranan peta sangat penting dalam mendukung bencana lingkungan, yaitu
masyarakat harus memahami zonasi-zonasi lingkungan yang sudah tersusun
dalam bentuk peta, yang menghadirkan semua rangkuman kondisi dan sumber
daya setiap wilayah dengan dipadukan dengan kearifan budaya lokal yang
banyak hadir di Bumi Indonesia.
Renungan Bencana
Upaya yang harus dilakukan oleh semua komponen adalah membangun dan
membumikan edukasi/pendidikan/pembelajaran mitigasi dari tingkat pra
dasar hingga ke perguruan tinggi dan pemerintah harus memiliki sistim
mitigasi yang komprehensif dan seragam dan ringkas serta rentang kendali
pengambilan keputusan harus singkat dan memiliki tim bergerak cepat
dalam keadaan tidak darurat sekalipun selalu ada dan semua harus
terdapat pada setiap jenjang terendah dalam hirarki pemerintahan.
Karena itu Indonesia harus memiliki contigensy planning ketika
bencana terjadi, negara harus siap, tanggap dan siaga mengatasinya. Dan
pembelajaran mitigasi yang perlu dikuasai oleh masyarakat sebagai wujud
pembelajaran mitigasi keruangan yang berbasis masyarakat yaitu :
pendidikan mitigasi kearifan alam sebagai mitigasi non struktural,
masyarakat diperkenalkan berbagai jenis bencana alam beserta karakter
yang menyebabkannya, antisipasi yang mengendalikan bencana dan
kesesuaian keadaan daerah elemen/bangunan dan masyarakat dengan kondisi
alamiah. Pola perencanaan pembangunan ketataruangan harus bertekstur
alamiah dengan lingkungan. Masyarakat harus mengetahui semua kondisi
tersebut sebelum melanjutkan pembangunan fisik. Disini faktor utama yang
harus dimulai sebelum pembangunan ketataruangan agar ada keselarasan
dengan lingkungan, bertujuan meminimalisasikan bencana karena keduanya
ada hubungan sebab akibat.
Bencana tahun 2015 merupakan gambaran bencana dan tata ruang 2016,
dimana tiap daerah sudah harus mengantisipasi, daerah yang sudah
mengalami bencana tata ruang perlu “mengobati” tata ruang tersebut
dengan meninjau ulang peta-peta yang sudah dibuat.***
Penulis adalah Enviromentalist Geologist. Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan, Energi Geosfer.
Sudah di publikasi di HARIAN ANALISA MEDAN
http://analisadaily.com/opini/news/renungan-bencana-akhir-tahun-di-indonesia/200829/2015/12/28
Komentar
Posting Komentar