Feb 16, 2017

TATA RUANG YANG BELUM TANGGUH GEMPA



TAJUK PALUEMAS GEOLOG 16

TATA RUANG YANG BELUM TANGGUH GEMPA
Oleh : M. Anwar Siregar

Menjelang pergantian tahun 2016 ke tahun 2017. negeri kita mengalami musibah bencana gempa dengan kekuatan 6.5 Skala Richter di wilayah Pidie Jaya-Aceh, memilik dari kekuatan gempa tersebut sebenarnya belum sekeras bencana gempa yang pernah terjadi di Aceh pada tahun 2004 yang memicu rangkaian gempa pada zona hunjaman aktivitas gempa dikawasan Pantai Barat Sumatera hingga ke Pantai Timur Afrika yang menjangkau permukaan bumi lebih 1.000 km. Lantas apa penyebabnya? Etika konstruksi bangunan terutama kaidah penerapan Building Code di daerah rawan gempa.
PETA TATA RUANG
Banjir dan longsor melanda nyaris seluruh wilayah Jawa dan Sumatera dampak dari perubahan tata ruang yang sebenarnya sudah diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana geologi dan membuktikan bahwa masyarakat dan tata ruang belum berbasis bencana dengan mengabaikan data detail ruang yang telah disusun. Sampai saat ini belum semua produk pengaturan tata ruang selesai dikerjakan. Banyak kabupaten/kota belum menyelesaikan rencana detail tata ruang sehingga proses mitigasi bencana belum efektif.

Peta risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman melek bencana dalam penyusunan tata ruang. Tata ruang yang disusun tidak berjalan seperti yang diharapkan karena ada kekuatan eksternal seperti politik lokal dan desakan ekonomi sehingga daerah rawan bencana tetap dijadikan permukiman tanpa ada upaya mitigasi. Akibatnya ketika terjadi bencana timbul juga korban jiwa dan kerugian harta ekonomi.
Tata ruang kota di Indonesia tidak berjiwa bencana, nampak pada penyusunan yang tidak mengacu pada data-data geologis dan standart building code untuk menekan bencana lingkungan sebagai syarat mutlak dalam upaya pengurangan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di tingkat lokal seperti bencana banjir dan longsor serta gempa.
TIDAK TANGGUH GEMPA
Indonesia benar-benar belum melek bencana gempa, pola tata ruang dan pendidikan mitigasi bencana dalam rangka pengurangan resiko bencana gempa belum diimplementasi dalam budaya hidup akrab bersama bencana gempa, yang ada adalah hidup menikmati bencana gempa seperti sekarang, standart penerapan building code masih diabaikan.
Budaya bencana gempa di Indonesia lebih dikenal sebagai pameo bagi tata ruang adalah ”bencana dulu, jatuh korban dan kerugian ekonomi baru siapkan mitigasi”. Selain diperparah juga dengan lemahnya dukungan politik lokal dalam membangun masyarakat yang tangguh bencana. Dukungan politik lokal hanya sebatas retorika, implementasinya dalam bentuk tata ruang belum memuaskan, hanya baru menekan pada aspek prinsip-prinsip kelayakan saja dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tanpa data dasar geologi yang detail sehingga kita melihat di beberapa kota banyak dibangun dekat zona berbahaya, dekat zona pembenturan lempeng.
Sebagai contoh kota Jakarta dan Bandung, Padang serta Banda Aceh termasuk gempa kota Pidie Jaya berada dalam radius 10-15 kilometer dari zona patahan gempa yang menyimpan energi seismik tinggi. Yang paling jelas adalah kota Bandung dan Banda Aceh. Bandung dibentuk diatas sesar/patahan Lembang dan Cimandiri berjarak 15 km dan termasuk zona gempa kelas dunia karena daerah yang paling padat. Begitu juga tata ruang Banda Aceh yang berada di bawah ancaman empat patahan lokal segment Semangko yang berada sekitar 15-20 km dengan kondisi tanah dengan tingkat kematangan yang rendah. Semua kota tersebut terbukti tata ruangnya belum melek bencana gempa dan akan selalu ada kehancuran fisik yang dahsyat.
Semakin membuktikan Indonesia belum melek bencana gempa adalah lemahnya sosialisasi potensi gempa dari zona patahan bagi tata ruang kota, karena kebanyakan kota di Indonesia di bangun diatas patahan dan menjadi pusat ekonomi masyarakat seperti kota di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Maluku dan NTT serta Jawa Barat, Yogyakarta atau juga Bengkulu dan Sulawesi Utara.
Untuk melihat gambaran tata ruang kota yang tidak melek bencana gempa lebih jelas ada di Patahan Semangko, yang memanjang dari Aceh sampai Lampung sepanjang 1.650 km, berarti hampir semua kota di Sumatera rawan gempa. Kota-kota yang dilintasi Patahan Lembang di Bandung dan Cimandiri yang membelah Sukabumi dan Beribis membelah beberapa kota di Jawa Barat, kota yang berada dekat Patahan Ciputat menuju Jakarta dan Bekasi dan Patahan Opak yang membelah sebagiam Jateng.Yogyakarta hingga ke Jawa Timur, kota yang dibelah oleh patahan Flores di NTT-NTB serta patahan Palu-Koro-Gorontalo dan Matano yang membelah seluruh kota di Pulau Sulawesi-Maluku serta patahan Tarera Audina yang memanjang dari Kepala Burung hingga membelah Pegunungan Jayawijaya di Pulau Papua.
Dengan melihat kondisi ini, seharusnya Indonesia sudah melek bencana, agar lebih waspada untuk mengatur tata ruang wilayahnya dengan tidak membangun bangunan dengan spesifikasi yang sangat buruk.
Kota yang tangguh adalah kota yang mempersiapkan diri terhadap dampak iklim di masa kini dan masa mendatang dengan membatasi kekuatan dan keparahan tata ruang serta memiliki tata ruang lahan untuk rehabilitasi sebagai investasi jangka tertentu, sehingga dapat bergerak cepat, efektif serta tepat efisien untuk kembali membangun kota jika mengalami dampak bencana gempa maupun perubahan iklim global seperti ancaman bencana banjir daratan dan banjir dari lautan serta harus menjadi prioritas utama dalam membangun kota dengan memperhitungkan posisi zona patahan, sejarah bencana alam masa lalu kota, kaidah building code untuk rancang bangunan, amdal yang profesional serta pemetaan seismotektonik yang berbasis bencana geologi gempa dan dinamika budaya siaga bencana sebagai mitigasi untuk membentuk masyarakat dan kota yang melek bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromentalist Geologist

No comments:

Post a Comment

Related Posts :