Feb 13, 2017

REFLEKSI BENCANA LINGKUNGAN

REFLEKSI BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Masyarakat diingatkan agar tidak mengandalkan perkiraan cuaca atau perubahan iklim saja sebagai bahan untuk memprediksi potensi bencana yang harus diwaspadai. Tetapi juga harus memahami data penting dari para Ahli geologi, sudah berulangkali memberikan pendapat ilmiah dari sisi ilrnu kegeologian dan cabang ilmu geologi yang terkait, bahwa pertama, bencana kebumian saling terkait satu dengan yang lain. Material erupsi gunungapi menjadi sumber material lahar dingin. Getaran gempa mampu merekahkan tanah yang mudah terpicu rnenjadi longsor. Kedua, bencana kebumian tidak hanya dipicu oleh kegiatan dari dalam bumi, bencana sering terjadi kali juga dipicu oleh kondisi meteorologis dan aktifitas manusia (anthropogenic) Ketiga, perubahan iklim global telah mernpengaruhi terbentuknya cuaca ekstrim yang akan lebih cepat memicu bencana longsor dan banjir. Keempat, dengan perubahan iklim global ini menyebabkan prakiraan serta prediksi bencana yang terpicu oleh kondisi meteorologis menjadi semakin sulit. Kelima,  aktifitas manusia mampu menyebabkan, meningkatkan potensi bahkan memicu terjadinya bencana kebumian. Termasuk didalamnya penyebab turunnya muka tanah (subsidence). Keenam. peran konstruksi rekayasa sangat diperlukan untuk meningkatkan daya dukung tanah.
Untuk itu Ikatan Ahli Geologi Indonesia kembali mengingatkan bahwa 1. Lokasi-Iokasi bencana yang sudah dianggap aman harus terus dipantau. Termasuk diantaranya lokasi sekitar letusan gunungapi, lokasi pasca gempa, lokasi daerah terdampak Lumpur Sidorjo, serta lokasi-lokasi pasca bencana lainnya. 2. Kepada seluruh masyarakat untuk terus mengenali kondisi lingkungan sekitarnya, ikut mengamati bila dijumpai gejala-gejala awal bencana. Termasuk didalamnya retakan, kebocoran tanggul (bendung), serta tetap terus mewaspadai bencana yang dipicu kondisi meteorologis hingga akhir musim hujan ini. 3. Kepada instansi pemerintah yang terkait dengan kebencanaan (BMKG, BNPB serta Badan Geologi) untuk terus meningkatkan kewaspadaan. Terus menerus memperbaharui prakiraan model kebencanaanyang akan dan telah terjadi sebagai dasar koordinasi dalam penanganan. 4. Pentingnya fungsi ibukota bagi negara, serta berpotongannya batas-batas wilayahnya dengan batas DAS (Daerah Aliran Sungai) menunjukkan keharusan peran Pemerintah Pusat dalam menangani banjir. Banjir harus dievaluasi dan ditangani secara nasional dan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah.
5. Jebolnya tanggul dan bangunan-bangunan air lainnya merupakan peringatan akan pentingnya perawatan serta pemeliharaan konstruksi-konstruksi bangunan hasil rekayasa penanganan banjir ini.
BENCANA GLOBAL
Bencana lingkungan di era global banyak terjadi karena karena kelalaian Pemerintah, disalahkan karena mudah tergiur mengalihfungsikan lahan sehingga daerah resapan air semakin minim. Masyarakat juga disalahkan karena membuang sampah sembarangan hingga hidup di bantaran kali. Pengusaha pun tidak luput dari tudingan karena dengan caranya yang "licik" bisa membangun bisnis atau perumahan di lahan yang tidak sesuai peruntukannya.
Sebagai contoh, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan silih berganti menjadi bencana yang melanda negeri ini akibat daya dukung lingkungan yang tak mampu lagi menahannya. Bencana lingkungan yang terjadi hingga saat ini bahkan dirasakan lebih sering dan parah, tidak serta-merta terjadi begitu saja
Sepanjang tahun 2016 diera global ini, kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia boleh dikatakan terjadi begitu cepat, melampaui kemampuan kita untuk mencegah dan mengendalikan degradasi sumber daya alam dan lingkungan.
Yang paling kentara adalah kerusakan tata ruang air serta pencemaran air tanah di berbagai daerah dan bencana ekologi lainnya sepanjang 2016, yang memperparah kondisi tata ruang antara lain terjadi kontaminasi air bersih dengan sumber daya pangan dengan perubahan iklim global pada lahan pertanian, yang telah mniembulkan dampak kekeringan yang panjang di berbagai kota di Jawa, namun terjadi luapan kelebihan air yang terbuang percuma dan telah mengalami kekotoran di berbagai daerah di Sumatera dan sebagian Jawa serta Kalimantan.
BENCANA GEOLOGI
Sebagian besar bencana alam merupakan bencana geologi. Bencana geologi meliputi semua bencana yang timbul akibat atau mengikuti suatu proses geologi. Proses-proses geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses eksogenik (eksternal) berasal dari luar bumi, dan proses endogenik (internal) yang berasal dari dalam bumi. Proses eksogenik antara lain: pelapukan dan erosi. Proses endogenik, antara lain: orogenesis, epirogenesis, pengangkatan, vulkanisme, dan tektonisasi.
Gempa bumi dihasilkan oleh proses-proses magmatisme dan tektonisasi, letusan gunung api dihasilkan oleh proses magmatisme (vulkanisme), tanah longsor dihasilkan oleh proses-proses erosi, pelapukan, hidrologis, dan tektonik, serta banjir lebih diakibatkan oleh proses erosi dan hasil kerja manusia.
Sebagaimana diketahui, litosfer terpecah-pecah menjadi beberapa lempeng besar dan banyak lempeng kecil yang relatif saling bergerak satu sama lain. Pada saat dua atau lebih lempeng saling bertemu atau berpapasan, maka mereka akan saling berdesakan atau bergesekan. Apabila pada saat berdesakan atau bergesekan, tegangan yang diderita batuan melebihi kekuatan/ketahanannya, maka batuan tersebut akan patah. Pada saat dua lapisan litosfer saling bergesekan atau yang satu menggerus yang lain pada suatu sesar (patahan), karena adanya tekanan (stress) dari kedua belah pihak, maka akan terjadi akumulasi energi di sepanjang batas
sesar tersebut. Bila suatu saat kekuatan batuan tidak mampu lagi menahan akumulasi energi, bagian-bagian yang lemah akan bergeser, dan energi yang terlepas pada saat batuan
Ketika pijakan bumi bergeser dapat menimbulkan gelombang seismik yang dikenal sebagai gempa. Berdasarkan pusat kejadiannya, gempa dapat diklasifikasikan sebagai gempa dalam, sedang, dan dangkal. Yang paling sering menelan korban justru gempa dangkal, seperti yang terjadi di Liwa, Bengkulu, Bantul Yogyakarta, dan Nusa Dua Bali.
REFLEKSI ADAPTASI BENCANA
Letak geografis Indonesia merupakan kondisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Refleksi adaptasi bencana dalam penataan ruang strategis mitigasi ruang terhadap bencana perlu tindakan kuat untuk mendorong perwujudan minimal 30% dari luas DAS untuk kawasan hutan ataupun tata ruang hijau terbuka di berbagai provinsi dan kabupaten/ kota dalam meningkatkan carbon sink dalam era global saat ini.
Mengarusutamakan konsep ekonomi rendah karbon dalam penyelenggaraan penataan ruang daripada konsep ekonomi coklat yang telah banyak merusak lingkungan di era global dengan terbukti meningkatnya perubahan iklim secara ekstrim. Carbon sink dalam bentuk peningkatan lahan hutan dengan membatasi pembakaran dan diarahkan pada upaya pemeliharaan hutan berkelanjutan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pencegahan illegal logging, pencegahan kebakaran hutan serta rehabilitasi hutan dan lahan yang sudah lama berlangsung di wilayah Sumatera dan Kalimantan dan kini mulai merajalela di kawasan hutan Papua dan Sulawesi. Dan pengembangan ecological dalam pengurangan emisi karbon GRK dalam penyelenggaraan Penataan Ruang di berbagai daerah di Indonesia dalam mencegah bencana lingkungan geologi di era global saat ini.
Karena itu, jika selama ini konsep pembangunan berkelanjutan diyakini sebagai suatu prinsip yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan menjamin masa depan kehidupan manusia, maka penerapan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi sangat penting untuk adaptasi bencana pada tahun 2017. Selama ini aktualisasi dari prinsip-prinsip tersebut secara efektif memang belum mampu menjawab permasalahan tingginya laju degradasi lingkungan. Karenanya negara selaku pelaku mesti bertanggungjawab atas terjadinya bencana ekologi yang kian massif.
Jaminan negara atas hak lingkungan yang baik dan sehat, seharusnya memberi kesadaran pada pemerintah dalam pengelolaan SDA yang harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Ini yang sering dilupakan para pemegang kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah sehingga terjadinya berbagai bencana ekologi dan geologi di Indonesia. Refleksi bencana tahun 2016 harus menjadi pembelajaran adaptasi bencana keruangan tahun 2017.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, bertugas di Medan

No comments:

Post a Comment

Related Posts :