Sep 10, 2019

UU Lingkungan Asap masih Tumpul

UU LINGKUNGAN “ASAP” MASIH TUMPUL
Oleh M. Anwar Siregar
Benarkah UU Lingkungan yang mencegah kebakaran hutan dan lahan telah membumi di Indonesia? Jika melihat tata lahan di perkotaan yang saat ini semakin terbatas dengan pola tata bangunan berbentuk vertikal, maka bayangkanlah hal ini karena merupakan salah satu faktor yang mendorong laju kerusakan lingkungan semakin dahsyat dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, begitu juga tingkat hunian yang tinggi, mengakibatkan menurunnya kualitas struktur hunian, proses erosi yang semakin melebar, tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan semakin menyempit.
Gambar : Asap yang mengerumuni langit Riau dan Asia Tenggara, korban hancurnya hutan Indonesia (Sumber gambar : Analisa Medan)
Ujungnya adalah penataan ruang menjadi horizontal, melebar dengan mencaplok kawasan ekologi hijau melalui pembakaran hutan dan perusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) di Hulu dan hilangnya kawasan daerah tangkapan air dan maka akan terbangun suatu ”tata ruang neraka” yang dikenal sebagai zona bencana, dampak buruknya implementasi yang tidak menaati UU yang khusus mengatur lingkungan. Percayalah, gejala ini sudah berjalan sistimatis dengan seringnya arisan bencana karhutla dan banjir, hujan sebentar saja di Medan sudah banjir adalah dampak yang kita rasakan.
UU TUMPUL
Lantas bagaimana kekuatan supremasi UU yang mengurus si ”Lingkungan Hijau” dalam mencegah asap itu berulang? UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan mengatakan bahwa pemegang hak atau izin berkewajiban melakukan perlindungan hutan termasuk dengan melakukan pencegahan kebakaran hutan (Psl 48) dan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan diareal kerja (Psl 49). Namun kenyataan ini belum juga mencegah kerusakan hutan, kalau tidak kenapa karhutla masih berlangsung hingga ke era ini dengan bertambah Provinsi baru penghasil karhutla yaitu Aceh?
Pasal tersebut masih diperkuat dengan ditemukan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 18 dari Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan / atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan. atau lahan. Peraturan Pemerintah No 45. 2004 tentang Perlindungan Hutan menyatakan bahwa ”termasuk ke dalam upaya perlindungan hutan adalah kewajiban untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia atau alam (Pasal 18)
PP ini bahkan menegaskan adanya tanggung jawab pemegang izin atas kebakaran hutan di areal kerjanya, yang meliputi tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi atau sanksi administrasi (Pasal 30). dan UU No. 32 tahun 2009.
Bila dikaji lebih lanjut dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Permendagri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, dan Permen PU Nomor 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Kawasan Perkotaan, maka kawasan tepian sungai pada dasarnya merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk ditata agar dapat mendukung keberlanjutan pembangunan perkotaan.
Penerapan hukuman sebenarnya masih tumpul, hanya berlaku bagi pencuri dan perusak hutan kelas teri, masihkah ingat kejadian pencurian kayu oleh seorang nenek hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengambil 4 batang kayu? Bandingkan dengan para perusahaan perusak hutan global hanya dihukum sekian bulan saja?
HAK LINGKUNGAN AMAN
Dalam perspektif teoritis dan yuridis lingkungan mempunyai hak (environmental right) untuk mendapatkan perlindungan hukum. Bagi rakyat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan constitutional right berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam Pasal 28H ayat (1) dikemukakan ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ini hak dasar warga negara yang wajib dijamin oleh negara.
UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudiaan adanya amendemen UUD 1945 pada Pasal 28H ayat (1) serta terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disingkat PPLH. Secara filosofi memandang bahwa hak lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Ini berarti hakikat paling penting dari UU PPLH yakni penghargaan dan jaminan atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.
Pengakuan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Deklarasi Nasional tentang HAM, di salah satu pasalnya menetapkan bahwa ”setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya ini berhubungan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28H UUD 1945 mengakui hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini memberi makna bahwa dengan diakui hak lingkungan yang baik dan sehat pada tataran tertinggi konstitusi kita. Diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan melakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, integrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.
Contoh jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu di Kota Tangerang Selatan (2009) yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit, sejatinya adalah cerminan perilaku masyarakat kita yang ‘rakus’ membangun kota tanpa terkontrol (over development) dengan mengabaikan peraturan UU tata ruang dan lingkungan, lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik (dalam hal ini waduk/tanggul), serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang (dengan membangun rumah di sekitar tanggul). Masalah ini diperparah dengan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap risiko bencana, kepentingan ekonomi yang mengabaikan lingkungan, lonjakan jumlah penduduk yang pesat, sampai ketersediaan dana terbatas dan buruknya manajemen tata kelola (governance) pemerintah bisa menjadi dosa konstitusional bagi hak aman rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai tanggung jawab hukum
Dari data ini terlihat bagaimana kondisi tata ruang di Indonesia secara Umum, yang memang telah di “desain” untuk rentan terhadap bencana. Meski dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang  mengharuskan menyisakan kawasan hutan minimal 30% dari tiap DAS, guna keseimbangan ekosistem.
Namun hal ini  tidak diindahkan dan terabaikan. Sejauh ini pemerintah berdalih ada hutan 30 persen, tetapi perlu dilihat apakah hutan itu “berhutan”?  Ini yang penting, kadang pemerintah berdalih hutan-hutan yang ada walau di bawah kisaran 2 juta ha, angka ini merujuk ke luas kawasan hutan yang ada di Sumatera, tetapi pertanyaannya, pohonnya ada semua atau tidak? Lihatlah kegundulan hutan di Propinsi yang berlangganan asap dan banjir tahunan.
Kerusakan hutan dan terutama pencemaran lingkungan sudah diatur UU No 158/2004, secara jelas menerapkan sanksi yang cukup besar. Pada pasal 26 diamanahkan setiap pelaku perkebunan dilarang membuka dan mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pelaku pembakaran lahan hutan dengan cara membakar akan dikenakan sanksi 12-20 tahun. Kenyataan kita lihat, karhutla masih merajalela belum memberi efek jera.
Uniknya lagi, meski sudah dalam satu dekade terakhir selalu di dera bencana kabut asap dan banjir di musim hujan,  penghancuran hutan di hulu masih terus terjadi. Secara izin mereka sah karena memegang iizn dari pemerintah namun yang perlu dipertanyakan tentu bagaimana proses izin itu bisa keluar,  bagaimana bisa yang dijadikan HTI  adalah kawasan yang berhutan dengan tutupan rapat,  kalau mau jujur  HTI harusnya diberikan kawasan yang tidak produktif alias kerapatan pohon rendah.
Namun kenyataannya dilapangan kayu-kayu dengan diameter lebih dari 60 cm bertumbangan dan ditumpuk di lokasi land clearing dan sejauh mata memandang, hutanku semakin botak dan lingkunganku semakin hancur, hukum tumpul ke atas. Karhutla tetap berlanjut di Riau dan Kalimantan, cerita UU Asap tetap bersambung.
M. Anwar Siregar, Geologist, (AM, 28 Agustus 2019)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :