31 Okt 2011

Gunungapi Sumatera Pesta Maut : Geologi Disaster


MEWASPADAI GUNUNGAPI SUMATERA “PESTA MAUT”
Oleh M. Anwar Siregar

Fenomena bencana alam yang terus melanda Indonesia dewasa ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang dilahirkan di daerah rawan bencana, fenomena bencana alam seharusnya memberikan sebuah inspirasi perencanaan pembangunan yang berwawasan bencana, karena itu diperlukan kemauan politik pemerintah dan segenap pemangku kepentingan bersama agar dapat menyelaraskan rancang bangun tata ruang daerahnya sesuai dengan karakteristik tatanan geologinya.
Mengingat 81 % gempa bumi yang terjadi di Indonesia (kecuali Kalimantan Barat) disebabkan oleh proses relaksasi gempa bumi masih dalam pencarian titik keseimbangan karena tidak membesarnya bumi maka harus ada ruang untuk di desak. Dengan kata lainnya, bahwa bumi tidak mekar walau pergerakan lempeng terus bergerak dan bertumbukan dan menimbulkan kejadian bencana gempa besar dan kecil terus terjadi, wilayah paling rentan terjadinya ”pesta tarian” gempa adalah sepanjang lingkaran busur api atau ring of fire yang membentang sepanjang 40.000 kilometer mulai dari Peru,Cile (Amerika Selatan), Amerika Tengah, Kepulauan Aleutian, Kepulauan Kuril, Jepang, Filipina, Indonesia, Tonga, hingga ke Selandia Baru.
KENANGAN MASA LALU
Gempa vulkanik jarang terjadi bila dibandingkan dengan gempa tektonik. Gempa vulkanik terjadi karena adanya letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Ketika gunung berapi meletus maka getaran dan goncangan letusannya bisa terasa sampai dengan sejauh 20 mil. Sejarah mencatat, beberapa gunung api di Indonesia bertanggung jawab akibat ”pesta tarian maut” atas banyaknya korban yang pernah ditimbulkan di masa lalu, ”pembunuhan” oleh gunungapi Indonesia dan perubahan tatanan geologi di mulai oleh Super Gunungapi Toba Purba dengan letusan pertama dimulai 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba. Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu, letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba, yang ketiga terkenal dengan erupsi mega-kolosal yang menyebabkan suatu katastrofi yang dahsyat sekitar 70.000-74.000 tahun yang lalu. Erupsi ini telah menurunkan temperatur lingkungan permukaan Bumi 3-3.5 derajat Celsius secara signifikan selama beberapa tahun dan juga penyebab macetnya arus populasi migrasi manusia dikenal dengan peristiwa reduksi populasi manusia yang masif, memusnahkan banyak manusia yang sedang bermigrasi keluar dari Afrika dan menyisakan 10.000 individu yang hidup terisolasi.
Mega kolosal kedua dari gunungapi super Indonesia adalah hasil letusan gunungapi Krakatau Purba atau induk Krakatau yang meletus tahun 1883, Krakatau Purba diketahui juga ikut andil dalam perubahan kondisi tatanan geologi Indonesia yang membentuk Selat Sunda sekarang dengan ledakan yang maha dasyat dengan pemisahan Sumatera dan Jawa pada tahun 416, lalu disusul ledakan kedua oleh Krakatau tahun 1883, menelan korban lebih 34.000 jiwa, tsunami sejauh lima km kedalam daratan Jawa dan Sumatera, dan perubahan kondisi iklim bumi oleh hembusan dan pelemparan material erupsi mencapai Australia dan Kolombo atau 2/3 permukaan bumi terdengar dan tertutup oleh debu dan asap ledakan Krakatau. Tatanan geologi hancur sedalam 10 km membentuk kaldera, bagian dari titik lemah bola bumi Indonesia.
Mega kolosal ketiga yang mengubah kondisi iklim dunia dan melakukan pembantaian terhadap manusia adalah letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1816 yang dikenal sebagai ”tahun tanpa musim panas” karena redupnya sinar matahari oleh penutupan erupsi debu dan asap vulkanis Tambora dan menyebabkan penyebaran wabah penyakit serta kelaparan akibat gagal panen di seluruh dunia, dengan radius pelemparan mencapai 600 km yang menjadikan dunia gelap gulita dalam seminggu lamanya. 
Letusan terdengar melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi menurun beberapa derajat dan mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan. Sehingga daerah Eropa dan Amerika Utara mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas. Jumlah korban meninggal mencapai 5000 jiwa lebih. Tatanan geologi akibat letusan Tambora membentuk kaldera berdiametar kurang 8 km dan kedalaman 5,6 km dari bibir kawah teratas (sumber wikipedia Indonesia)
FAKTA PESTA
Benturan-benturan kuat antar lempeng yang menyebabkan gempa pada zona subduksi di Samudera Hindia seperti Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dapat mempengaruhi kekuatan dan kemampuan termodinamika magma dalam menahan laju desakan seismik pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas letusan gunungapi.
Faktanya beberapa gunungapi di Jawa dan Sumatera mengalami peningkatan aktivitas magma bahkan meletus seperti pada kejadian gempa di Yogya dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006 bersamaan dengan letusan Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas, Gunung Kaba meletus bersamaan dengan gempa tektonik Bengkulu berkekuatan 7,8 SR tahun  2000  dan tahun 2010 ketika terjadi gempa Mentawai beberapa gunungapi di Pulau Sumatera mengalami peningkatan status dari Waspada ke Siaga II, faktanya Anak Gunung Krakatau, Talang, Dempo dan Kaba mengalami kenaikan pergerakan magma ke permukaan.
Korelasi peningkatan intensitas gempa di Pantai Barat Sumatera terhadap peningkatan intensitas suhu magma dibeberapa gunungapi Sumatera perlu diwaspadai antara lain 1. Seulawah Agam, 1.726 m di Aceh Besar 2. Peuet Sague, 2.780 m di Sigli 3. Bur Ni Telong, 2.624 m di Aceh Tengah 4. Sorik Marapi, 2.145 m di Mandailing Natal  5. Marapi 2.891,3 m di Sumatera Barat, 6. Tandikat 2.438 m di Sumatera Barat, 7. Talang 2.597 m di Solok  8. Kerinci, 3.805 m di Jambi, 9. Sumbing Sumatra, 2.508 m di  Jambi, 10. Kaba, 1.952 m di Propinsi Bengkulu, 11. Dempo, 3,159 m di Propinsi Sumatera Selatan, 12. Kumpulan Gunung Anak Krakatau 1250m di Selat Sunda, di Propinsi Lampung, 13. Sibayak 2.094 m di Sumatera Utara, 14. Sinabung, 2.460 m di Prop. Sumatera Utara, 15. Rajabasa, 1281m di Lampung (Sumber PVMBG, Badan Geologi).
KETINGGALAN ZAMAN
Peralatan teknologi kegunungapian di Sumatera Utara masih “ketinggalan mode” dalam mengikuti dan mengantisipasi “pesta dansa” gunungapi sehingga manusia yang semakin padat akan menjadi “ladang pembantaian” khususnya dikawasan Sumatera yang rentan mengalami pembenturan lempeng-lempeng bumi, getaran “dentuman” dapat menggetarkan lantai dasar “dapur magma” gunungapi untuk bergeliat dengan melepaskan hawa panas yang berupa “kerlap-kerlip lampu panas” alias kembang api bom panas.
Khususnya keberadaan tujuh gunungapi di Sumatera Utara harus diwaspadai, gunungapi Sinabung, telah memperlihatkan peningkatan letusan akibat tekanan seismik gempa, “kemampuan” saat ini naik “kelas” dari tipe B ke Tipe A, ketujuh gunungapi tersebut antara lain Sorik Merapi, Sinabung (Tipe A), Sibayak, Sibual-buali, Lubuk Raya, Pusuk Buhit (Tipe B) dan Hella Toba (Tipe C). Dari ke tujuh gunungapi tersebut khususnya gunungapi Sibual-buali dan Lubuk Raya dari pengamatan penulis baik melalui geologi citra satelit maupun tinjauan lapangan sampai saat ini, peralatan seismograf buatan Belanda, dalam bentuk analog, tingkat keakuratan pencatatan data terbatas dan tidak real time, sudah hampir rusak, sistim monitoring tidak menggunakan alat teropong digital serta tidak ada alat sirene tanda bahaya, pos jaga lebih banyak kosong kegiatan.
Bayangkanlah apabila ada peningkatan intensitas gempa sedangkan pengukuran keakuratan sangat terbatas tingkat kedalamannya dan mendadak magma sudah mendekati permukaan baru terdeteksi? Akankah Sibual-buali berikutnya?
Pemerintah harus ”mereformasi” penataan ruang wilayah berbasis bencana dari ancaman berbagai jenis bencana, antara lain pertama, menyusun tata ruang ke dalam integrasi multi bencana, dengan menyediakan ruang evakuasi dan ruang sanggahan berbagai jenis bencana seluas 10 % dari total 30 persen luas daerah hijau dari total luas per kecamatan. Kedua, menyusun aturan zonasi ruang inti kota utama maupun ruang inti kota perbatasan, harus ada ruang khusus lahan abadi bagi ketahanan pangan dan sumber air bersih berkelanjutan, ketiga, fisik infrastruktur, hunian masyarakat dan industri harus dirancang bangunan berketahanan bencana melalui kajian pemetaan geologi yang komprehensif (bawah, permukaan dan udara), untuk mengurangi dampak kemiskinan fisik (biaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang menguras cadangan devisa negara) dan non fisik (jumlah kemiskinan tidak bertambah) akibat bencana. keempat, penegakan hukum aturan perundang-undangan yang tegas dari pemerintah dan menjadikan semua aturan itu adalah kepentingan bersama, masyarakat wajib disadarkan dan dipartisipasikan bahwa aturan ini bukan untuk kepentingan pemerintah tetapi masyarakat luas.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dikirim ke Harian Medan

PEMBELAJARAN BANGSA DARI KERUGIAN BENCANA GEOLOGI : Geologi Disaster


PEMBELAJARAN BANGSA DARI KERUGIAN BENCANA GEOLOGI
Oleh : M. Anwar Siregar

Bangsa Indonesia belum juga sadar sebagai bangsa yang berkesadaran bencana, tidak belajar dari sejarah kerugian bencana lingkungan geologi, seharusnya sudah mampu menekan dampak kerugian fisik terhadap kerusakan lingkungan geologi karena tidak menata ruang lingkungan yang berketahanan bencana. Dilain pihak, estafet kedahsyatan bencana lingkungan geologi masih akan berlanjut ke tahun 2011 dengan kejadian banjir dibeberapa daerah termasuk Medan, musibah bencana diprediksi masih berlanjut lebih dahsyat dalam lima tahun berikutnya. Sebab, eskalasi bencana gempa akan meneruskan tradisi ”maut”. Pusat-pusat subduksi gempa maut Samudera Pasifik telah melepaskan 3 kali energi maut di Selandia Baru (2/2011) China dan Jepang (3/2011), dan Samudera Hindia giliran melepaskan ”energi kepenatan” gempa di Singkil, dan Bali dan menjadikan Indonesia tetap negeri bencana.
KERUGIAN BENCANA
Bukti sejarah kehancuran bencana lingkungan geologi telah ”berbicara” bagaimana bangsa ini belum berkesadaran bencana lingkungan terjerumus ”kemiskinan semakin dalam” akibat tidak mempersiapkan segala-galanya. Pertama, ada peningkatan jumlah kemiskinan masyarakat, dampak kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, hilangnya surat-surat penting, buku rekening bank, akte kelahiran, surat asuransi, jaminan usaha yang berharga dan ijazah akademis dan kursus. Kedua, peningkatan dana pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi tata ruang yang hancur sehingga menguras cadangan devisa negara. Misalnya, rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh-Nias telah menelan biaya 45 triliun rupiah, rekosntruksi gempa Yogya-Jawa Tengah mencapai 30 triliun rupiah tahun 2006, Sumbar menelan 1,08 triliun tahun 2007, Bengkulu-Sumbar tahun 2009 menghabiskan dana 1,87 triliun rupiah. Belum lagi rekonstruksi Mentawai dan Merapi-Yogya yang pasti menelan biaya ratusan milyar rupiah. Rekonstruksi Dairi dan Pakpak Barat akibat gempa Singkil 2011 bisa mencapai ratusan milyar.
Sebagai perbandingan kerugian yang disebabkan oleh bencana geologi di Indonesia sejak 1961dapat dilihat pada tabel dibawah ini, disari dari berbagai sumber yang penulis kumpulkan sejak gempa Liwa (1994).
No
Tahun Bencana
Jenis Bencana Geologi
Jumlah Kerugian
1.
1961-2011
Gempa Bumi-Tsunami
-   Korban meninggal hampir mencapai 5,000,000 jiwa, luka parah-berat-ringan 1,1 juta orang dalam 50 tahun.
-   Pengungsian mencapai 1 juta jiwa
-   Kehilangan rumah tinggal 1 juta unit lebih, kerugian ditaksir mencapai Rp 37,5 triliun lebih
-   Korban berbagai jenis ternak mencapai 1,2 juta ekor lebih, ditaksirkan kerugian mencapai 2 triliun
-   Total kerugian Infrastruktur berat-ringan menelan dana sebesar Rp 1 triliun
-   Biaya rekonstruksi dan rehabilitasi per Kota /Kabupaten mencapai minimun Rp 150 milyar dan maksimal Rp 45 triliun dari toral kota yang mengalami bencana gempa dalam setahun sebanyak 3-5 kota/kabupaten (dari masa tahun 1990 sekarang).
-   Dana rekonstruksi bisa mencapai lebih Rp 500 triliun dalam 11 tahun ini (data rekonstruksi ini baru sampai tahun 2011, belum kejadian tahun 60 an- s/d 90 an)
2.
1982-2011
Letusan Gunungapi
-   Korban bencana mencapai 1.000 jiwa, luka berat-ringan 2.000 orang
-   Pengungsian mencapai 500 ribu jiwa
-   Kehilangan rumah tinggal 3000 unit per satu gunungapi meletus, kerugian mencapai Rp 200 M.
-   Korban berbagai jenis ternak mencapai 100 ribu ekor, kerugian ditaksir mencapai Rp 30 M.
-   Kerusakan Infrastruktur berat dari satu gunungapi meletus mencapai Rp 300 milyar
-   Infrstruktur ringan mencapai Rp 175 milyar dalam kurun 10 tahun
-   Dana rekonstruksi dan rehabilitasi ataupun pergantian kerugian bisa mencapai Rp 150 triliun.
3.
2000-2011
Gerakan Tanah
-    Korban meninggal akibat bencana mencapai 1000 jiwa, luka berat-ringan mencapai 4000 jiwa
-    Kerusakan Rumah Tinggal mencapai 200 unit dengan kerugian mencapai Rp 50 milyar
-    Kerusakan sarana dan prasarana mencapai Rp 500 milyar untuk 5-7 kejadian gerakan tanah dalam setahun bisa terjadi sebanyak 2-3 kali dalam satu propinsi meliputi 3-4 kota/kabupaten.
-    Rekonstruksi dan rehabilitasi lahan dan tata ruang dan pergantian biaya kerugian mencapai Rp 15  triliun dalam kurun 11 tahun

Data ini baru kejadian bencana geologi, belum lagi dampak kerugian akibat kejadian bencana klimatologi yaitu banjir, banjir bandang, musim kemarau panjang serta angin puting beliung, jumlah kerugian semakin meningkatkan bencana ”kemiskinan” dan bencana finansial serta daftar utang negara semakin ”bergunung”.
Dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum maksimal untuk melindungi penduduknya dari ancaman bencana alam di bumi maupun di geosfer. Istilah masyarakat sekarang yang masih aktualitas yaitu pemerintah “bohong”. Disebutkannya, bahwa pemerintah sudah mempersiapkan tatanan ruang yang berketahanan bencana.
POTENSI BENCANA
Akibatnya, pemerintah semakin lamban dalam mengentaskan kemiskinan, sebab ada tiga persoalan yang harus dituntaskan pemerintah dalam waktu bersamaan yaitu : pertama, mencegah lebih luas dampak finansial agar tidak terjadi krisis ekonomi dan keuangan, kedua, pengendalian pembangunan agar daya serap pasar dalam negeri dan peningkatan daya saing ekspor tetap stabil, ketiga, mencegah anarkis struktural dan sosial akibat ketidakberdayaan masyarakat karena tuntutan dan biaya hidup yang terbatas dan mahal.
Beberapa daerah yang berpotensi sebagai daerah rawan bencana yang menimbulkan kerugian infrastruktur dan lingkungan geologi dimasa depan antara lain 30 wilayah rawan gempa bumi di Indonesia yaitu : Aceh-Simeulue, Sumatera Utara bagian Barat, Sumut bagian Timur-Selat Malaka, Sumbar-Mentawai, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat bagian Selatan, Jawa Tengah bagian Utara dan Selatan (Cilacap), Yogyakarta, Jawa Timur bagian Selatan dan Timur, NTB, NTT, Bali, Maluku Tenggara/Kep. Aru, Maluku Utara, Maluku Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sangir-Talaud, Papua Utara, Jayapura, Nabire, Wamena, Kalimantan Timur. Dan 18 daerah rawan tsunami di Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah bagian Selatan, Jawa Timur bagian Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng, Sulsel, Malut, Masel, Biak, Pak-Pak, dan Balikpapan.
Fakta sejarah gempa-tsuanmi, sejak terjadi gempa-tsunami Aceh, Indonesia menempati peringkat pertama dalam jumlah korban dan peringkat ketiga dalam jumlah kejadian 253 setelah Jepang mencapai 443 kejadian dalam setahun (termasuk tahun 2011) dan Amerika Serikat mencapai 287 kejadian.
Belajar dari sejarah bencana sangat penting mengingat 90 persen wilayah Nusantara adalah daerah rawan bencana, potensi-potensi bencana sudah harus direduksi dengan memahami arah pembangunan lingkungan, dengan kata lainnya, harus menjadi bangsa yang sadar bencana lingkungan. Harus sadar dampak kerugian yang ditimbulkan
SADAR BENCANA
Bencana gunung api dan gempa bumi seringkali terjadi di Indonesia tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa tetapi juga dapat menyebakan Indonesia semakin miskin karena harus menguras sumber-sumber devisa negara dalam menata dan merekonstruksi tata ruang yang mengalami bencana.
Mengamati fenomena bencana geologi tersebut, banyak pertanyaan yang sering diajukan masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana geologi yaitu haruskah selalu mengungsi dan mendapatkan kerugian yang besar seperti pada kejadian letusan gunung Merapi, baik dalam jumlah korban jiwa maupun harta benda, dalam setiap kejadian bencana geologi dan klimatologi? Apakah pembangunan yang ada justru makin memperparah dampak bencana akibat tidak memperhitungkan dampak kerentanan dalam menata perencanaan tata ruang wilayah dari aspek kebencanaan pembangunan?
Pembangunan semestinya harus sadar dan belajar dari sejarah kejadian bencana tersebut dengan memperhitungkan aspek kerugian tata ruang lingkungan apabila berada didaerah rawan bencana dan bukan dibangun untuk memodernisasi daerah yang tertinggal tetapi juga harus memperhitungkan peningkatan kualitas fisik lingkungan bangunan untuk segala aktivitas kehidupan dari berbagai aspek seperti ekonomi, sosial dan lingkungan geologi yang harus dijalankan dalam pelaksanaan pembangunan secara seimbang.
Selanjutnya, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dimuka bumi, Indonesia harus menjadi bangsa yang sadar bencana terlebih dahulu agar sumber daya alam, manusia, ekonomi dan keuangan tidak terkuras sia-sia, pembangunan harus memiliki perencanaan yang sinergi di segala bidang pembangunan, memiliki kebijakan dan strategi tentang pemahaman sebagai negara yang dilahirkan sebagai bangsa yang rawan bencana, serta program-program yang berakar kepada aspek multi bencana ketataruangan yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi bencana universal serta mengendalikan dampak kerugian fisik akibat “serangan bencana”.

M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energ-Geosfer. Tulisan ini Sudah dimuat Surat Kabar Harian :ANALISA MEDAN, Tanggal 18 Oktober 2011

Jalur Gempa Dahsyat Membelah Sipirok : Geologi Disaster


JALUR GEMPA DAHSYAT MEMBELAH TATA RUANG SIPIROK 
Oleh : M. Anwar Siregar

Geologi Sipirok termasuk paling rawan gempa di Sumatera Utara, memerlukan perencanaan pembangunan infrastruktur fisik dalam membangun mitigasi tata ruang kota Sipirok yang berketahanan bencana. Tata ruang kota Sipirok harus dikaji ulang lagi dengan pemetaaan komprehensif dari karakteristik geologi, sejarah periode ulang dan kekuatan pelepasan energi gempa yang akan terjadi, serta zonasi percepatan gelombang puncak batuan dasar untuk pembangunan sarana fisik dalam menghindarkan kehancuran fisik akibat gempa karena kota yang hancur membutuhkan pemindahan ke tempat lain sehingga akan memerlukan suatu lahan dan tata ruang baru serta akan ada eksplorasi oleh manusia pada pemanfaatan daerah baru, sehingga menimbulkan efek perubahan lingkungan geologi dalam jangka tertentu. Dan wilayah Sipirok sangat terbatas untuk pengembangan tata ruang rekonstruksi kota baru dimasa mendatang apabila suatu saat terjadi gempa.
Tulisan ini tidak membahas tempat aktivitas ruang pemerintahan Tapanuli Selatan dan saat ini Tapanuli Selatan satu dari 4 Kabupaten belum memiliki RTRW, serta tidak ada unsur politik dari tulisan ini, hanya sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sipirok dalam mengantisipasi bahaya kerentanan geologis.

GEOLOGI TATA RUANG SIPIROK

Kehancuran kota akibat gempa di pantai barat sumatera, disebabkan beberapa aspek perencanaan pembangunan fisik tidak bertumpuk pada pemetaan kerentanan geomorfologi lokal terhadap bencana alamiah dimasa depan.
Belajar dari kejadian tersebut, perencanaan tata ruang kota Sipirok tidak boleh diletakkan pada daerah yang memiliki kondisi geologi yang labil, dapat diketahui dari unsur jejak masa silam pembentukan gunungapi purba Sibual-buali dan Lubuk Raya yang berada dalam satu kawasan kompleks gunungapi purba, dan terdapat keselarasan lekukan tubuh pembentukan gunungapi raksasa Toba Purba di masa pembentukan Pulau Sumatera.
Citra geologi satelit Landsat 2007 dan 2011, menunjukkan bahwa daerah dekat dari kawah dari gunungapi Sibual-buali, masih menunjukkan aktivitas yang labil oleh unsur jejak longsoran purba yang telah tertimbun oleh material tufa Toba Purba dan material tanah endapan alluvial serta pelemparan material vulkanik dari letusan gunungapi Sibual-buali, menerus ke titik hunjaman patahan Renun dan Toru berada tepat di kawasan Aek Latong sekitarnya. Daerah ini terlihat sebuah lembah daratan yang mengalami penurunan, sedang pusat kota berada dalam jalur-koridor sesar/patahan yang tidak aktif akibat penimbunan material gunungapi purba Sibual-buali dan Toba Purba. Dari penelitian penulis terlihat jelas unsur yang memayungi wilayah tersebut memiliki probabilitas seismik yang kompleks, yang setiap saat bangkit dan melepaskan energi seismik kerena ada beban pikul pada sesar tidak aktif oleh desakan lempeng pada ruas patahan Renun ataupun patahan Ordi di wilayah Karo dan Tapanuli Tengah yang dikemukan oleh koordinator IAGI Sumatera Utara, dan berdekatan dengan patahan Toru di Tapanuli Selatan.
Bercermin dari data tersebut maka pemahaman ancaman gempa dahsyat yang membelah tata ruang Sipirok dapat dilihat dari : pertama, intensitas gempa-gempa di Pantai Barat akibat pergerakan lempeng bumi dari utara Palung Laut Nikobar, dapat menghasilkan kegempaan besar Mentawai-Nias-Simeulue yang menujam sedalam 40 km di bawah Pulau Sumatera, terjadi pergerakan antar blok patahan yang saling berlawanan, memotong, dan frontal sehingga akan ada pengangkatan pulau-pulau di pantai Barat Sumatera dan penurunan daratan di Sumatera merupakan ancaman ketataruangan Sipirok karena efek getaran gempa dapat saling memicu serangkaian gempa pada kompleks patahan lokal yang ada di Sipirok, berjarak dekat 12-37 km dengan patahan besar Sumatera. Bukti gempa Tarutung dan Singkil 2011.  Kedua, karakteristik sesar lokal yang tidak aktif berdimensi 4-8 km, membelah tata ruang Sipirok. Ada kemiripan dengan sesar-sesar Jawa yang membelah kota Bandung, Yogyakarta dan Semarang, tertimbun oleh proses sedimentasi yang intensif dan mengalami deformasi yang kuat yaitu gerakan tanah setiap tahun. Tanah yang membentuk pondasi konstruksi bangunan di Sipirok mudah mengalami distabilisasi tanah (ground shocking) oleh efek gempa kecil. Penempatan daerah hunian berada dijalur daratan penurunan merupakan jalur/koridor terlemah dan terdepan dari ujung patahan Sipirok yang membentang dari Utara Aek Latong masuk dalam pengaruh empat patahan yaitu Patahan Renun-Toru-Sibolga-Angkola. Panjang patahan yang membelah tata ruang Sipirok adalah 12 km. Sehingga akan ada efek guncangan berganda, dapat menghancurkan ketataruangan Sipirok. Ketiga, Hasil pemaparan seminar tata ruang Sipirok tahun 2008. Rencananya pusat aktivitas kota di alun-alun Sipirok atau sekitar pasar Sipirok dan rapat Konsultansi Publik 2011 pusat kegiatan utama pemerintahan berda di Desa Kilan Papan. Data survei geologi citra stratigrafi tanah dasar merupakan tanah yang labil. Kondisi tanah Sipirok merupakan endapan vulkanik-lumpur klastik halus yang tertimbun oleh material tanah yang lebih muda diatasnya yaitu lapisan alluvial lumpur yang tidak padat. Sehingga tanah yang dibawahnya merupakan bidang luncur bagi tanah yang diatasnya, memungkinkan akan terjadi longsoran ke daratan lebih rendah, tidak cocok untuk pembangunan tata ruang dan infrastruktur serta prasarana dan sarana berat lainnya. Mudah terjadi deformasi likuafaksi, resonasi energi seismik dan amplifikasi gempa yang berada dikaki/kawah gunung Sibual-buali dan terbentang luas sepanjang jalinsum disekitar daerah patahan Aek Latong menuju Desa Situmba dan sebagian memancar ke ruas patahan Sipagimbar/ ke Sipirok Dolok Hole.
PERCEPATAN BATUAN DASAR
Faktor kualitas tanah dan deformasi batuan yang tersingkap sepanjang patahan Aek Latong menujukkan arah gerakan bumi menuju ke patahan lembah Sarulla, jelas ini akan menambah beban pikul penentuan beban kegempaan untuk disain tata ruang bangunan dan infrastruktur fisik harus didasarkan pada percepatan maksimun rayapan gelombang puncak gempa batuan dasar dari pembagian zonasi seismik gempa di Indonesia. Faktor yang sangat menentukan untuk pengkajian resiko gempa bumi untuk desain pembangunan sarana fisik dan aktivitas hunian manusia di wilayah Sipirok. Contoh perhitungan data periode ulang dan koreksi untuk kondisi lapisan batuan seperti diruas patahan Aek Latong untuk pembangunan jalan alternatif baru, didapat percepatan maksimun 500 tahun. Dengan menggunakan persamaan rayapan gelombang gempa versi Joyner dan Boore (1993) :
Koefisien zona lokasi Aek Latong = 0.94 – 1.26.
Nilai direkomendasikan adalah 1.08. Periode ulang diambil minimal 200 tahun dan maksimun 500 tahun, karena periode ulang ini, maka percepatan dasar adalah 0.218 g
Sedang faktor Koreksi v = 1.25 sehingga disain percepatan dapat dihitung seperti dibawah ini :
Ad = z x ac x v
Dimana :
Ad = percepatan Gempa Desain (gal)
Z   = Koefisien zona = 1,08
Ac = Percepatan gempa dasar = 0.218 g
V = Faktor Koreksi = 1.25
Sehingga dapat dihitung kecepatan gempa desain adalah ad = 0.286g
Dalam peta seismotektonik, simbol warna kuning merupakan daerah dengan kemungkinan terjadi gempa, keaktifan gempa kuat antara 6-7 Skala Richter dan berada dalam zonasi 4.
Perhitungan periodesasi gempa Tapanuli Selatan berasal dari catatan sejarah kegempaan yang pernah terjadi dan melewati bumi ruang Sipirok tahun 1873, 1921, 1936 dengan kekuatan 6.2-6.7 SR sebagai gempa utama, sedang gempa pemanasan terjadi 1871, 1919, 1933 dengan kekuatan 4.9-5.3 SR dan 2008 dengan kekuatan 5.8 SR. Gempa antara 1873-1921 berlangsung 48 tahun, 1921-1936 berlangsung 15 tahun, 1936-2012 gempa utama belum terjadi, yang ada gempa tremor sudah berlangsung 2 bulan ini, kekuatan maksimal 4.9 SR di Padangsidimpuan berpusat di Barat – Baratdaya, kekuatan resonasi gempa sedang menuju ke wilayah Batang Toru, Marancar dan Sipirok dengan memotong ekstrim ke Utara. Secara matematis, skala kekuatan gempa pemanasan dan gempa utama selalu terus meningkat, memasuki periode kritis gempa ditahun 2012, catatan sejarah gempa pemanasan berselang 2-3 tahun lalu muncul gempa kuat, siklus gempa kuat berkisar 50-80 tahun.
PENUTUP
Tata ruang Sipirok belum mencerminkan kota yang berketahanan bencana. Apakah Sipirok sudah mempersiapkan standar konstruksi untuk sarana vital yang berbasis kegempaan? Jawabnya tidak, dan semua daerah di Sumatera Utara belum siap menghadapi kegempaan besar dan tetap ada korban dalam jumlah besar. Para geologist sudah mengingatkan beberapa kota di Sumatera Utara untuk mempersiapkan dan membangun ketataruangan wilayah yang berbasis kegempaan lokal yang berketahanan bencana dalam kerangka ruang dan waktu. Tetapi keinginan itu masih jauh dari harapan, bersumber dari kendala dana terutama APBD, untuk menjadi perhatian semua pihak karena siklus/pengulangan gempa Tapsel dari data tersebut sudah termasuk kategori kritis.

M. Anwar Siregar
Geologi, Pemerhati masalah lingkungan dan geosfer, kerja di Tapanuli Selatan. Tulisan ini sudah dikirim ke Surat Kabar MEDAN

3 Okt 2011

ACEH MASIH TERUS TERCABIK GEMPA : Geologi Gempa


ACEH MASIH TERUS TERCABIK GEMPA
Oleh : M. Anwar Siregar

Kejadian gempa Sinabang dan Meulaboh memberikan peringatan bagi Pemprov Aceh bahwa Aceh harus meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya dan bencana geologi, masih akan tercabik gempa lagi, karena pusat gempa-gempa yang lalu telah menghasilkan akumulasi zona kontak energi yang matang bagi penekanan batuan yang belum stabil dan diperkirakan telah ada lempengan bumi yang mengalami pemecahan yang baru, dibuktikan dengan periodesasi gempa yang sangat singkat.
Anda bisa berpikir, ada apa dengan pusat gempa Sinabang yang baru terjadi, lalu muncul gempa di zona subduksi yang sangat berdekatan dengan pusat gempa Sinabang dengan gempa Meulaboh, adakah sesuatu yang terjadi menyebabkan gempa begitu cepat muncul di zona subduksi yang sangat berdekatan?
GEMPA MAUT MENUNGGU
Sumatera dibelah beberapa segment patahan sebanyak 19 zona patahan yang melingkupi daratan dan sejumlah zona subduksi maut di lautan yang terus menerus memberikan ancaman yang seharusnya kita jadikan sebagai peringatan atau pelajaran berharga untuk mempersiapkan segala-galanya, bahwa kita hidup di negeri yang sering menari-nari tanpa dibayar tetapi harus membayar dengan kerugian triliunan rupiah serta “tumbal nyawa”.
Sumber-sumber ancaman gempa maut yang sedang menunggu “antrian” pelepasan energi untuk mencabik bumi Aceh-Sumatera sepanjang tahun akan terpusatkan pada beberapa ruas patahan di utara Sumatera yang sedang memuncakkan/pengumpulan energi kritis gempa, dari data Satelit SPOT UNOSAT yang penulis jadikan beberapa data untuk tulisan ini terlihat jelas berada pada patahan Mentawai-Enggano, Pulau-pulau Batu dan Nias-Simeulue, serta utara Aceh dengan Palung Nikobar yang merupakan sumber-sumber ancaman gempa dari lautan bagi kehancuran kota-kota di Pantai Barat Sumatera.
Salah satu ancaman gempa itu telah melepaskan lagi kekuatan energi batuannya kedua kali dalam sebulan dengan kekuatan yang sama yaitu pada zona patahan Simeulue dengan 7,2 SR dengan kedalaman 34 km yang terasa goyangannya ke Medan dengan kekuatan IV-V MMI, sedangkan Padangsidimpuan-Tapsel dengan kekuatan V-VI MMI, Aceh III-IV MMI (Modified Mercali Intensity) dan 7,2 SR pada tanggal 09 Mei 2010 dengan kedalaman 30 km yang terasa kuat di Aceh, Medan, Sibolga, Padangsidimpuan dan Padang.
Ancaman gempa di daratan jelas ada pada patahan Sipirok, terutama pada segment Renun-Toru yang sebaran kekuatan gempanya akan mencabik dan menghancurakan wilayah sumatera utara hingga ke Aceh, selain patahan Renun Toru yang perlu di waspadai adalah patahan disekitar daratan tinggi Bukit Barisan yang melingkari wilayah Danau Toba, disini ada beberapa zona patahan yang menjadi sumber ancaman gempa di masa mendatang yaitu Patahan Ordi yang disebut Ir. Jonathan Tarigan-Dewan Pakar IAGI, berada di Karo, Langkat, Simalungun.
Dairi merupakan daerah zona tembok pergerakan lempeng daratan sumatera dari selatan Lampung yang mengalami penekanan terus menerus, suatu saat mengalami perobekan yang kuat. Patahan diperbatasan Sumatera Utara dan Aceh terdapat ruas-ruas terkunci yaitu terdapat pada wilayah Aceh disekitar lembah tektonik Tanah Merah, Kutacane, Laubaleng menerus ke Karo.
Wilayah yang berada dalam zona pengumpulan energi kritis gempa ini seharusnya sudah mempersiapkan teknologi peringatan dini dan sosialisasi informasi bahaya dan bencana geologi yang dilakukan secara kontinu dengan menghimbaukan kepada masyarakat agar mendapatkan informasi yang benar dari instansi yang berwenang.



Gambar 9 : Peletakan tata ruang fisik Aceh yang ada jangan lagi di lokasi yang sama tanpa perisai bencana, gambaran diatas menunjukan tingkat kerusakan yang dahsyat bagi kota Banda Aceh yang dekat dengan pusat gempa setelah mengalami serangan tsunami
(Sumber : Internet, Quick Bird, 2004).
ACEH TERUS TECABIK GEMPA
Mengapa Aceh begitu rawan gempa dalam rentan waktu dekat dan tidak lagi dalam puluhan tahun? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi geologi Aceh Darat dan Aceh Kepulauan dengan terjadinya berulangkali gempa, yaitu pertama, ada mekanisme pembentukan origin disekitar pantai sumatera, kedua, daya rekat lempeng belum stabil, jika dianologikan seperti ujung sebuah bahan bila ditekuk terus menerus maka akan melampaui beban elastik bahan. Data rekaman GPS memperlihatkan hasil kejadian gempa Aceh tahun 2004 lalu, Pulau Sumatera telah mengalami pelengkungan kearah Benua Asia dengan pergerakan tekanan lempeng bergerak 5-6 cm di pusat patahan antara Nias dengan Simeulue dan beban pecahan lempeng Burma yang menanggung energi pertemuan gempa 2004 dan 2005 tersalurkan ke zona pecahan gempa 2005 dan 2010. ketiga, kasus kejadian gempa Aceh 2004 terdapat patahan yang memanjang ribuan kilometer, sehingga ada pembebanan pada lempeng yang hancur atau kerak bumi mengalami perapuhan akibat dislokasi energi yang bertumpuk pada zona subduksi Aceh Nikobar yang telah dialihkan ke energi subduksi Nias-Simeulue. Keempat, rata-rata sudut penunjaman lantai samudera lebih landai daripada pantai selatan Pulau Jawa, ini karena lantai samudera di bawah Sumatra lebih muda daripada Pulau Jawa. Usia lantai samudera di bawah Pulau Sumatra diperkirakan 50 juta tahun, sementara lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun. 
Data penelitian geologist menyebutkan, bila lempeng berusia muda maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya relatif lebih ringan dan lantainya lebih landai. sehingga Lempeng yang lebih muda juga lebih aktif dan menyusup dengan sudut penunjang yang landai. Kondisi macam ini juga menimbulkan bahaya gesekan yang lebih kuat, sehingga skala gempa biasanya besar-besar bahkan hingga 7 skala richter. Sejak Desember 2004 kondisi lempeng di bawah Pulau Sumatra belumlah stabil sehingga yang terjadi sekarang adalah proses mencari posisi keseimbangan
Dari data-data jarak waktu kejadian gempa berarti telah ada perubahan siklus deformasi kekuatan di ujung perbatasan lempeng, bahwa telah ada peremukan beberapa blok batuan, atau juga ada intensitas pembentukan origin baru pada perlapisan struktur kerak bumi di dasar samudera Indonesia yang menyebabkan semakin sering terjadinya gempa di Sumatera khususnya Aceh.
Diperkirakan dalam kurun singkat Aceh dan Sumatera masih akan tercabik gempa lagi, sudah siapkah kita menghadapi yang lebih dahsyat?
BELUM DIJADIKAN PELAJARAN
Dari sejak tahun 2000 hingga ke tahun 2010, Aceh seharus telah memiliki standart rekonstruksi pembangunan ketataruangan yang berbasis mitigasi baik untuk kepulauan seperti Pulau Simeulue, Sabang dan daratan terutama utara Aceh yang telah mengalami perubahan batimetri/topografi kelautan turun dan hampir sejajar dengan permukaan dataran pantai. Rekonstruksi pembangunan Aceh akibat gempa tahun 2004 belum mencerminkan standar ketataruangan kota yang berketahanan bencana, masih ada upaya masyarakat atau pelaku bisnis masih membangun hotel menjorok ke lepas pantai. Standar penataan ruang kota-kota belum berbasis gelogi kegempaan lokal, standart bangunan konstruksi masih banyak tidak berketahanan gempa.
Peletakan prasarana infrastruktur belum berlandas kajian detail vulnerability dan tingkat kerawanan masih tetap tinggi, karena diletakan didaerah yang bukan kawasan yang stabil  dan merupakan kawasan daerah hijau yang seharusnya menjadi zona penyanggahan bencana sehingga Aceh kini sering mengalami bencana banjir dan gerakan tanah, dan strategis peletakan tata ruang Aceh yang sangat vital dan pusat pemerintahan masih berada dalam kawasan empat zona patahan yang membelah daratan Aceh hingga ke Pulau Simeulue, di masa depan masih akan “menghasilkan sejumlah bahaya” dari bencana man made disaster dan natural disaster.
Kejadian bencana lalu sudah seharusnya dilaksanakan dan bukan lagi direnungkan karena bencana setiap saat datang tanpa permisi, bencana sudah memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat Aceh untuk direfleksikan sebagai pedoman hidup selaras bersama alam daripada menerima isu-isu ramalan akan ada gempa besar melalui sms atau selebaran yang menyesatkan, dan yang menyebarkan informasi itu sedang mencari keuntungan diatas kegelisahan masyarakat terhadap gempa yang datang tanpa permisi.

M. Anwar Siregar
Geolog, tulisan ini sudah pernah di muat di harian 'ANALISA" MEDAN 16 Mei 2010, artikel ini akan dibukukan.

28 Sep 2011

INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA


INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA
OPINI
M ANWAR SIREGAR


Indonesia merupakan negara yang berada di jalur Ring of Fire atau negara yang rawan bencana alam geologi seperti tsunami, gunung api, gempa tektonik, gerakan tanah dan bencana klimatologis seperti banjir dan perubahan iklim serta cuaca. Bencana ini datang dengan tiba-tiba tanpa peringatan sehingga memerlukan kemampuan kesiapsiagaan, mitigasi fisik dan non fisik serta sosialisasi penanggulangan secara berkala kepada masyarakat agar dapat menyelamatkan diri dari ancaman bencana.

Jika direnungkan lebih arif dari apa yang telah terjadi dari sejarah dan peringatan akan adanya bencana seperti tanda-tanda bencana gempa oleh para ahli geologi dan geofisika sebelum bencana itu terjadi. Tetapi pemerintah tidak pernah dan lamban mengantisipasi serta kita tidak terlalu menghiraukan temuan mereka.

Sebagai contoh sejak tahun 2000 dan terakhir pada Seminar tentang Tsunami Disaster pada awal 2004 Dr. Danny Hilman Natawijaya, ahli gempa bumi alumni California Institute of Technology (sumber Kompas, 9/1/05), memprediksi bahwa gempa bumi besar akan muncul di pesisir Barat pulau Sumatera. Namun prediksi ini hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah.

Prediksi tersebut memang telah terbukti dengan terjadinya gempa besar berkekuatan di atas 7.0 skala richter di Aceh Desember 2004, Pulau Nias 2005, lalu disusul ke Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat pada tahun 2007 dan berlanjut pada tahun 2009 serta diselang selingi gempa berkekuatan sedang di daratan Sumatera. Seperti gempa di Muara Sipongi dan Tapanuli (2008), sekarang dengan kejadian berikutnya di tahun 2010 di Aceh (Sinabang dan Meulaboh, 7.0 SR dan 7.2 SR) dan Panyabungan berlangsung 3 kali dengan durasi 3-6 jam dari gempa utama yang terasa cukup kuat dengan kekuatan 6.0 SR yang goyangannya terasa di Provinsi Riau.

Belum lagi kejadian gempa-gempa kuat di wilayah Timur Indonesia yang berlangsung terus menerus dan kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah belum mampu mengatasi kendala bantuan sehingga hidup masyarakat semakin sengsara karena manejemen tangga darurat begitu lamban. Semua hal ini bisa diatasi bila “rajin belajar”.

Hidup tanpa peringatan
Bertitik tolak dari prediksi yang dikemukan oleh para ahli geologi dan geofisika, seharusnya pemerintah mengubah cara pandang atau paradigma dalam mengambil keputusan pembangunan fisik. Dengan meningkatkan kemampuan pengadaan jaringan teknologi peringatan dini bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Karena terdapat 1200 daerah rawan bencana yang masyarakatnya hidup tanpa teknologi peringatan dini.

Hal ini penting, berdasarkan posisinya di permukaan bumi, Indonesia banyak menyimpan potensi terjadinya bencana alam antara lain gempa bumi, gunung berapi meletus, gerakan tanah dan banjir. Sehingga  Indonesia ke depan masih akan banyak menghadapi bencana.

Dari fenomena uraian tersebut, seharusnya pemerintah telah mempersiapkan rakyat untuk lebih selaras menyesuaikan kondisi dan kebijakan rencana pembangunan ketataruangan bagi kepentingan masyarakat. Dari pengamatan selama kurun 10 tahun terakhir ini sejak terjadinya bencana gempa bumi di Bengkulu (2000) kemampuan analisis serta sepak terjang pemerintah dalam mengelola bencana membuat kita harus mengelus dada. Pemerintah belum mampu menjamin keselamatan para penduduknya.  Dan tanggap darurat dan pengambilan keputusan serta manajemen penyaluran bantuan bencana sangat panjang melalui berbagai rantai birokratis yang berbelit dan penuh dengan nuansa politik dan korupsi dana bantuan.

Pemerintahan Indonesia tidak dirancang sebagai pemerintah yang berkesadaran bencana. Hal ini dapat kita lihat dari sering terlambatnya antisipasi pemerintah bila ada bencana walau sekecil sekalipun. Tetapi bencana masih dilihat sebagai takdir yang berharap tidak akan pernah datang.

Karenanya, kesiapsiagaan pemerintah merespon bencana boleh jadi nir-sistim. Pemerintah belum memiliki sistim pengelolaan bencana yang terpadu, yang ditandai dengan ketiadaan kebijakan dan kelembagaan yang pasti, banyak peraturan dan kebijakan pemerintah, serta masih ada dalam bentuk konsep. Justrunya menghambat manajemen bencana, kapasitas sumber daya manusia yang tidak terlatih, infrastruktur dan peralatan dan dana riset yang amat terbatas dan tidak ada sistem peringatan dini di wilayah-wilayah rawan gempa.

Maka bertumbanganlah korban-korban yang tidak berdosa. Kita justrunya menghasilkan dosa besar karena kemalasan yang tidak mau belajar dari kesalahan terdahulu. “Apakah Tuhan mulai bosan dengan tingkat laku kita, yang bangga dengan dosa-dosa”, (Ebiet G Ade). Sehingga ditimpahkan bencana mengerikan di negeri ini.

Riset gempa kecil
Membangun sebuah kota memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan partisipasi masyarakat memberikan masukan informasi. Keberadaan suatu lokasi hunian yang telah ditempati dari generasi ke generasi penting sebagai bahan rujukan tentang kejadian geologi yang pernah berlangsung di suatu wilayah yang belum tercatatkan sejak era teknologi pencatatan gempa. Hal ini dapat digunakan untuk menelusuri keberadaan kejadian gempa kecil yang dianggap remeh dan umumnya yang dicatat adalah kejadian gempa besar sekaligus dijadikan kalkulasi prediksi (patokan) gempa dimasa mendatang.

Kejadian gempa kecil itulah dapat memberikan gambaran yang lebih jelas di suatu wilayah dalam penataan ruang wilayah walau tata ruang wilayah itu belum pernah mengalami kejadian luar biasa bencana gempa. Namun suatu saat dapat memberikan unsur kejutan. Penyebabnya, akumulasi kekuatan bumi selalu bergerak dan bergeser, melalui retak-retakan yang kecil dan berukuran pendek.

Namun apabila ada responsibilatas energi seismik yang ada di sekitarnya akan memberikan stimulus lebih lanjut dari kelanjutan ukurannya. Bila diibaratkan dalam suatu roda kendaraan off road yang menggunakan sistim penggerak 4 x 4, maka tekanan yang disebabkan oleh retakan ke daerah yang memikul beban berat atau tumpukan beban lempeng berupa blok-blok batuan yang bergeser dan menumpuk di atas beban yang lebih tua (blok batuan lebih tua dan rapuh). Maka tekanan roda ban akan dipindahkan ke roda yang tidak menanggung beban berat agar ditemukan keseimbangan. Begitu juga tekanan blok batuan yang terhimpun di lakosi tertentu akan mendesak dan membentuk retak-retak tapi suatu saat akan rapuh. Seperti halnya ban mobil suatu saat mengalami penggembosan maka terjadi suatu ledakan.

Riset dari gempa kecil jarang dilakukan oleh perencana pembangunan fisik untuk infrastruktur dan sering dianggap remeh serta umumnya dimasukan sebagai kategori gerakan tanah. Padahal gerakan tanah masih berhubungan langsung dari gempa bumi tremor. Gempa bumi tremor yaitu gempa yang sering berlangsung terus menerus dalam skala sangat kecil dan tidak terasa oleh manusia dan berubah menjadi besar bila sering berlangsung gempa-gempa besar dengan dampak gerakan tanah di berbagai lokasi. Ini disebabkan fisik tanah telah mengalami “pengayakan” atau menjadi lembek yang kemudian berubah menjadi longsoran material tanah dan batuan.

Diperlukan penelitian bagi wilayah yang belum pernah mengalami gempa besar tapi sering mengalami gempa kecil melalui pemahaman informasi geologi bawah permukaan. Caranya dengan meningkatkan dana riset geologi bawah permukaan sebagai kajian zonasi lahan untuk pembangunan sarana infrastruktur berat.

Contoh kasus ini, kejadian jalan tol Cipularang, atau juga disepanjang jalan Kotanopan ke Kabupaten Pasaman, jalan Aek Latong, jalan Kecamatan dari Sipirok ke Saipar Dolok Hole. Di Kecamatan SDH memang belum pernah mengalami guncangan gempa dahsyat diatas 4.0 SR namun karena kondisi geologinya berada di dekat lokasi pertemuan tumbukan lempeng blok batuan Sumatera di Sipirok, alhasil tekanan itu mendesak dan membentuk retak-retak pendek di bawah permukaan bumi. Ini akibat akumulasi waktu pengumpulan energi puluhan tahunan sehingga menghasilkan gerakan tanah 100 meter di bawah permukaan dan efek penjalaran penyebaran retakan baru memberikan kelanjutan ukuran dibawah permukaan menjadi hampir 1 km.

Efek likuafaksi dapat dilihat dari sarana bangunan dengan adanya pergeseran serta pengangkatan jalan dan hancurnya sarana ibadah. Lokasi tata ruang wilayah itu bila dilihat kasat mata nampak sangat “bagus” untuk pembangunan fisik namun menyimpan potensi bencana.

Harus belajar
Pemerintah harus belajar dari kejadian bencana-bencana terdahulu sebagai cerminan persiapan pembangunan di masa mendatang. Jika diperumpamakan sebagai pelajar, jika ingin naik kelas maka dituntut untuk memahami materi pelajaran yang sudah diajarkan. Pelajaran yang diberikan akan memberikan gambaran kemampuan siswa tersebut untuk mengantisipasi kelemahannya sekaligus akan memberikan gambaran mengatasi kesulitan dia dalam hidup untuk mempertahankan kehidupan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang seharusnya mengambil hikmah yang telah dianugerahkan Pencipta Alam Semesta. Merenungkan bagaimana Bangsa Indonesia hidup selaras dengan memahami semua kejadian alam sebagai ”pekerjaan rumah” yang berupa materi ”pelajaran sejarah bencana”. Maka Indonesia harus lulus ujian pelajaran bencana yang diberikan ”sang guru alam” yaitu dengan mengurangi dampak korban serta menciptakan teknologi ramah lingkungan dan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan ke daerah rawan dan non rawan bencana.

Belajar dari pengalaman ini, pihak pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir yang rawan gempa, tsunami, dan tanah longsor hendaknya menata kembali wilayahnya. Caranya dengan tidak membangun wilayah permukiman, fasilitas ekonomi, dan industri di dekat pantai. Menata ulang tata ruang hunian dan infrastruktur vital dari kehancuran bencana. Selain itu, perlu dipersiapkan peralatan teknologi dini tsunami, seismograf  dan sirene di setiap daerah rawan bencana, jalur evakuasi untuk penyelamatan penduduk dari ancaman tsunami dan dibangun lokasi pengungsian serta depo untuk bahan makanan dan obat obatan bagi para pengungsi.

Sosialisasi edukasi informasi geologi daerah rawan bencana perlu dilakukan secara berkala. Dari semua itu, pemerintah seharusnya sudah memahami pelajaran yang sudah diberikan namun kenapa juga “bandel” dengan tidak menyelesaikan dan menetapkan RUU kegeologian sebagai UU agar dapat memberikan efek lebih keras bagi segenap lapisan masyarakat. Pemerintah ataupun stakeholder untuk mengendalikan nilai “rapor merah” (baca : korban yang banyak) sehingga Indonesia dapat dianggap sebagai bangsa yang berhasil ”lulus ujian”.

DITERBITKAN PADA HARI Wednesday, 04 August 2010 06:02 HARIAN WASPADA MEDAN

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...