25 Feb 2013

Nias Buat RTRW Gempa : Geologi Mitigasi

NIAS HARUS BUAT RTRW GEMPA 
Oleh : M. Anwar Siregar


Gambar :  Peta pusat gempabumi merusak Pulau Sumatra (Sumber : Supartoyo dkk., 2014).
Pengalaman gempa tsunami Aceh 2004, Nias 2005 dan Jepang 2011 harus dijadikan sumber kesadaran dalam membangun sistim kesatuan mitigasi RTRW antar wilayah yang berketahanan bencana di Nias. Sebab, Kepulauan Nias hingga ke detik ini masih terus mengalami gempa, termasuk pada bulan Oktober 2012, selain itu Nias adalah penghasil megathrust gempa keempat di pantai barat sumatera. Dengan sistim kesatuan mitigasi akan memudahkan penyelamatan jiwa banyak orang di Kepulauan Nias. 
INVESTASI BENCANA 
Kawasan yang berpotensi menghasilkan “investasi bencana” adalah kawasan di pesisir pantai sepanjang jalan lintas Kepulauan Nias, baik yang menghadap langsung ke titik pertemuan antar lempeng di Samudera disebelah barat maupun dalam jalur tumbukan vulkanik diseluruh Kepulauan Nias di Selat Nias, morfologi dari beberapa garis pantai maju ke arah laut serta masih bisa diterobos langsung oleh terjangan ombak, belum lagi jika terjadi tsunami, bentuk morfologi pantai umumnya menjorok ke daratan akibat fenomena naiknya daratan setinggi 2–4 meter telah mengakibatkan bertambah luasnya wilayah daratan, contoh kasus adalah pelabuhan Sirombu yang mengalami pengangkatan 3 meter sehingga tidak bisa digunakan. 
Topografi Kep. Nias yang rendah dikontrol langsung oleh 6 zona patahan yang ada di Nias, tebing perbukitan mudah mengalami gerakan tanah berupa runtuhan dan longsoran batuan, serta sebagian besar merupakan batuan yang mengalami kerapuhan. Dapat dilihat dari Pantai Sorake di bagian selatan, Sirombu di bagian tengah, Lahewa di bagian utara, Gunungsitoli Idaho di tengah ke arah selatan, Pulau-pulau Tello-pulau Batu, Pulau Tanahmasa, Pulau Tanahbala, Pulau Sigata dan Pulau Pini dan merupakan gambaran investasi bahaya [menanam modal bahaya dalam tata ruang] yang mengancam kehidupan masyarakat Nias yang belum memiliki sistim kesatuan bencana yang komprehensif. 
Pulau-pulau ini sering mengalami pengangkatan dan penurunan topografi darat dan pantai serta harus disusun suatu RTRW gempa yang baru. 
PERTUMBUHAN INVESTASI 
Bentuk-bentuk perisai bencana RTRW di Nias dapat diadopsi melalui penguatan sistim peringatan dini, sistim analisis kontur perubahan topografi dan batimetri GPS, sistim batas/zonasi daratan pantai yang belum dan telah mengalami pengangkatan, sistim infrastruktur, semua gambaran investasi bencana harus melalui pemetaan mikrozonasi kegempaan lokal dan kajian tata ruang kota berdasarkan tingkat zonasi geohazard dan georisk, akan menghasilkan berbagai jenis peta, tata ruang lingkungan binaan dan rehabilitasi, serta pengembangan investasi bagi tata ruang masa depan, yang merupakan suatu geo-strategi kawasan yang dapat mengoptimalkan potensi dan kondisi obyektif kawasan jika telah mengalami kejadian bencana.
Umumnya kawasan pengembangan dan pertumbuhan investasi (pusat penanaman modal, sarana perdagangan dan bisnis) berada dikawasan pesisir pantai bagian Barat dan Timur serta Tengah Nias sebagai pusat pertumbuhan kota besar dan bagian pesisir (kota tumbuh kecil seperti kota Tello, umumnya berada ditepi air dan pendalaman pulau-pulau kecil) merupakan pusat pertumbuhan skala lebih kecil berada di seberang Pulau Besar Nias, maka diperlukan suatu pola RTRW yang dapat menekan kerentanan akibat laju pertumbuhan penduduk Nias justrunya lebih pesat di wilayah pesisir, sedang wilayah tengah pesisir sebaiknya dikonsentrasikan sebagai daerah konservasi air dan zona sanggahan, mengingat daerah tersebut sangat rentan bencana gempa. Sampai sekarang, data ini belum disiapkan dan belum dikaji disemua pola perencanaan RTRW atau RTRD antar kota yang ada di wilayah Kep. Nias dengan Propinsi Sumut. TANGGUH INVESTASI BENCANA 
Untuk meredam investasi bencana, maka Pemerintah di Nias perlu menyediakan dengan memanfaatkan suatu zona dalam suatu Rencana Tata Binaan Lingkungan diwilayah kota dengan memperbanyakan pembangunan kawasan lahan terbuka khusus (RTH) seluas setengah hektar pada tiap koridor jalan dan pemukiman. Dikawasan pesisir pantai yang telah mengalami pengangkatan garis pantai dan berubah menjadi daratan lebih baik difungsikan sebagai zona rehabilitasi RTH. Kawasan RTH minimal 25-30 persen dari wilayah pesisir pulau besar dan kecil dalam kecamatan sebagai zona sanggahan bencana atau buffer zone, dapat dimultifungsi sebagai taman binaan lingkungan, taman ekologis, taman evakuasi serta daerah resapan air tawar yang menghadap ke pantai pada kota yang sedang berkembang.



Gambar 24 : Peta zona pecah kejadian gempabumi tanggal 28-3-2005 berdasarkan data gempabumi susulan. Nias harus membuat peta gempa bumi untuk mengantisipasi pzona pecahan gempa yang luas untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dari kejadian gempa tahun 2005 di masa mendatang. (Sumber: Internet USGS.
 
Pembangunan daerah buffer zone di daerah kawasan padat pelabuhan sudah saat mendesak mengingat multi jenis bencana mudah “terinduksi” akibat interaksi sosial yang sangat tinggi dengan kawasan pertumbuhan industri pelabuhan ke inti kota serta membuat jalur evakuasi dalam sarana fisik infrstruktur berupa jalan yang tangguh bencana. Taman evakuasi masih jarang di masukan ke dalam peta RTRK atau RTRW kota di Sumatera Utara khususnya di Nias, dipastikan banyak tidak memasukan model taman evakuasi bencana, selain itu koridor jalan raya kota kebanyakan dalam simbol-simbol tanpa ada jalur lintasan yang jelas. Semua hal ini dapat dimasukan dalam bentuk model Lintasan Evakuasi Bencana Gempa. 
Perbedaan Taman Evakuasi dengan Jalur Lintasan Evakuasi dalam RTRWK harus lebih jelas, hal ini penting mengingat kota-kota sedang-besar di Sumut umumnya terletak di bibir maut tsunami dan tektonik, sekitar 85 % kota di Sumut berada dalam radius ancaman gempa tsunami tanpa ada perisai Taman Evakuasi dan Jalur Lintasan Evakuasi yang jelas, maka pemkab di Nias harus memperhatikan situasi tata ruang ini, sehingga masyarakat Nias dapat mengartikulasi atau memahami pentingnya ruang tersebut. 
Khususnya Taman Evakuasi dapat dimasukan ke dalam ruang terbuka hijau RTRW, tetapi harus lebih spesifik yaitu membedakan sebagai sarana sangat penting berbasis tahan gempa yang ditempatkan pada koridor kontruksi yang jauh dari zona patahan gempa, memiliki akses ke berbagai jalur lintasan evakuasi dan masyarakat dapat bergerak dan tidak perlu panik, tidak menimbulkan kemacetan bila terjadi tsunami, dikembangkan sesuai dengan kebutuhan untuk antisipasi bencana dimasa mendatang. 
SISTIM PERINGATAN DINI 
Nias belum memiliki sistim peringatan dini yang tangguh pada setiap tata ruang antar pulau kecil-besar dan antar kepulauan dan daratan induk (Sumut), dalam menghadapi kebencanaan tata ruang meliputi pemantauan gempa, pasang surut air laut, sistim manajemen pengumpulan dan pengolahan data serta penyebaran informasi dan kesiapsiagaan, harus ditempatkan pada daerah “kering gempa” agar miskomunikasi informasi tidak mengalami kendala di lapangan. 
Sebagai Kepulauan di Sumatera Utara, Pemerintah Nias seharusnya melengkapi dan berkewajiban memperbanyak sistim jaringan pertahanan bencana dalam pemantauan seismik pada setiap RTRW pesisir kotanya dengan sistim peringatan dini berlapis, mulai dari lepas pantai, ke zona sangaghan pantai dengan inti luar kota hingga kedalam inti kota dan luar lingkar dalam kota (perbukitan/pegunungan) dalam interval 10-15 km yaitu sistim deteksi secara rapat dalam kesatuan tata ruang antar darat-kepulauan secara berkesinambungan, interkoneksi broadband, jaringan pemantauan seismograf setiap kecamatannya dan interkoneksi sistim pengaturan dan pemetaan dini melalui satelit GPS yang rapat antar Propinsi serta mempersiapakan model-model pelabuhan laut yang lengkap sebagai pemantauan perubahan kondisi anomali kelautan dengan mengintegrasi seperangkap teknologi peringatan dini dan memanfaatkan hasil data base eksplorasi kelautan dan harus dimasukan kedalam RTRW keseluruhan antar darat-laut serta memperbaiki sistim pemrosesan data yang masih overlapping dengan menggunakan sistim digital evaluation mode (DEM) sehingga bisa diterima secara real time dan terintegrasi secara multi regeional.



Gambar : Gambaran dari Tsunami dari gempa 26 Desember 2004 di Sirombu Nias yang rusak parah, B. Setelah dihantam tsunami Pelabuhan Sirombu ini terangkat hampir 3m ketika gempa Maret 2005, C. Pantai di timurlaut Pulau Nias yang terangkat sekitar 1m, D. Survei dengan RTK GPS untuk mengukur besar pengangkatan terumbu karang di Pulau Hinako, barat Nias.
Nias perlu membuat RTRW yang berbasis ketangguhan bencana tsunami. (Sumber : Geomagz edisi Desenber 2011).
Secara keseluruhan RTRW di Nias belum tangguh dalam menghadapi bencana geologi, bahwa bayang-bayang gempa megathrust masih ada, hanya menunggu waktu. Maka prasarana infrastruktur fisik dan non fisik sudah harus diperbaharui secara berkala yaitu 15 tahun sesuai kondisi karakteristik lingkungan geologi Kepulauan Nias yang selalu berubah dalam rentang antar 5-10 tahun akibat gaya-gaya geologi deformasi bergerak cepat, tercermin dari perubahan siklus energi gempa yang tidak beraturan lagi, buktinya rentang gempa sejak tahun 2005 ke 2012. 

M. Anwar Siregar Geologist,
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.
Diterbitkan di Harian "ANALISA" MEDAN Tanggal 18 Desember 2012

2 Jan 2013

Pertambangan Hijau berkelanjutan : Geologi Recources

PERTAMBANGAN HIJAU BERKELANJUTAN 
Oleh M. Anwar Siregar 
Kecenderungan dunia pertambangan, perminyakan dan energi di Indonesia saat ini mengarah ke persaingan global dan mementingkan dominasi bisnis, sehingga tidak luput dari berbagai persoalan konflik, mengabaikan berbagai kondisi fisik lingkungan dan semakin terpinggir dalam era kompetisi global.
MENGABAIKAN KONDISI 
Mengapa begitu banyak perusahaan pertambangan di Indonesia mengalami perlawanan dengan masyarakat tempat keberadaan usaha pertambangan itu diberikan izin? Dengan kata lainnya di benci? Bukan benci tapi rindu seperti lirik lagu Diana Nasution? Sehingga banyak perusahaan dicabut izinnya, pembakaran dan gulung tikar. Faktor utama adalah visi dan misi dari bisnis perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi beberapa elemen penyebab, menjadi akar kebencian antara lain : Pertama, laporan amdal yang tidak akurat dan tidak berbasis tambang hijau. Contohnya, harus memperhatikan isi dan kalimat dari laporan seperti “Kata Tidak” jika menyangkut pembuang limbah ke laut dan ke sungai, faktor ini mengabaikan budaya dan kearifan lokal bahwa masyarakat mampu bertahan hidup dengan sumber kehidupan tersebut, dengan kata lainnya perusahaan harus melihat fakta kehidupan masyarakat di masa lalu dan masa sekarang yang memanfaatkan sungai sebagai bagian dari kehidupan sebelum kehadiran perusahaan, ada 3 kasus kejadian ini ditemukan dilokasi tambang Tabagsel. 
Kedua, ekonomi bisnis yang tidak berpihak kepada budaya dan adat masyarakat setempat yang tidak berbasis masyarakat lokal, misalnya pengembangan peningkatan kualitas sumber daya lokal yang tidak berbasis genius lokal untuk memberikan sumbangan pikiran, penelitian dan penciptaan pengelolaan limbah dan berbagai masalah yang diakibatkan oleh perusahaan pertambangan dan energi di Sumut. Jikapun ada, bantuan CD atau community development dengan dana yang sangat kecil. Kasus ini bisa di lihat pada perusahaan tambang besar yang tersebar di Kalimantan, Papua, Aceh, Sumut dan Riau. Selama perusahaan pertambangan-migas masih berorientasi pada bisnis mereka tetap mengabaikan hak-hak dan adat budaya masyarakat setempat akan menimbulkan suatu “gap” antara masyarakat, lingkungan dan stake holder. 
Akar permasalahan lainnya adalah posisi dan kondisi keterdapatan sumber daya geologi tambang di zona patahan geologi, faktor ini banyak belum diketahui oleh masyarakat, bahwa bencana gerakan tanah di daerah pertambangan merupakan akumulasi dari zona lemah bumi yang memberikan respon “seismik” berupa hantaran listrik dalam zona batuan yang tidak homogen melalui alat-alat berat pertambangan yang tertancap kedalam bumi sehingga morfologi mengalami perubahan kekuatan material, gelombang-gelombang seismik itu saling memberikan pukulan berupa sengatan listrik dan melalui proses waktu akan terjadi gerakan tanah. Kejadian ini pernah berlangsung di zona patahan Renun-Toru-Angkola dimana banyak ditemukan bahan tambang emas, perak dan lain-lain. Akar permasalahan terakhir yang menyebabkan terjadinya konflik di Batang Toru dan Mandailing Natal adalah teknologi limbah. 
TEKNOLOGI LIMBAH 
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, terlihat mengapa salah satu pertambangan besar yang ada di Sumut mengalami perlawanan keras sehingga terjadi konflik, amuk massa dan pembakaran sarana umum, bermuara dalam satu kondisi yaitu menyangkut protes kondisi lingkungan pembuangan limbah sisa pengelolaan tambang emas di sungai Batang Toru. 
Bahwa kendala sisa pembuangan air limbah berbagai pengelolaan bahan tambang yang tidak terpakaikan merupakan faktor sensitif bagi kehidupan masyarakat yang telah lama memanfaatkan keberadaan sungai ataupun laut sebagai sumber kehidupan. Bahwa belum ada satupun perusahaan tambang dan migas serta energi memiliki teknologi instalasi pengelolaan limbah terbaik dimuka bumi, yang ada hanya mampu mengurangi tingkah bahaya dari unsur-unsur zat beracun dalam kandungan pengelolaan emas, dan bahan tambang lainnya. 
Jika memang ada teknologi yang mampu menjadikan air sungai layak diminum tanpa terkontaminasi zat beracun seperti air minum bersih alamiah maka adalah suatu keajaiban, maka kehebatan teknologi Nuklir tidak berarti sama sekali? Kenapa? Sudah pasti suatu pertanyaan akan timbul, karena siapapun tahu, bahwa teknologi pengelolaan limbah zat radioaktifitas nuklir sangat rumit dan sampai saat ini belum ada satu negara adidaya mampu mengatasi bahaya radiasi ke lingkungan, mengurangi apalagi menghilangkan jejak-jejak di lingkungan darat, udara, laut dan bawah permukaan bumi. 
EKONOMI 
Industri pertambangan di Indonesia wajib memahami kondisi lingkungan, budaya dan sumber daya masyarakat setempat sebagai upaya menekan konflik, bisa dilakukan melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau, yaitu memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk menyediakan bibit-bibit tumbuhan untuk rehabilitasi dan reklamasi tambang yang akan berkonstribusi sebagai penggerak ekonomi yang rendah karbon serta memberikan pelatihan tentang proses daur ulang berbagai bahan yang tidak terpakaikan yang diperlukan bagi perusahaan pertambangan dalam usaha menekan biaya operasional karyawan perusahaan dalam pekerjaan sehari-hari, tidak secara langsung telah meningkatkan kecerdasan masyarakat lokal, yang mungkin suatu kelak dapat menciptakan teknologi limbah yang lebih baik dari yang ada sekarang. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini Sudah dimuat pada Harian MEDAN BISNIS, Tgl 7 Desember 2012

Ironi Bahan Bakar Energi Listrik : Geologi Recources

IRONI BAHAN BAKAR ENERGI LISTRIK 
Oleh M. Anwar Siregar 

Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman kebijakan sebelumnya, setiap ada kebijakan kenaikan Tarif Dasar listrik (TDL) dipastikan akan menimbulkan dilematis kehidupan masyarakat ditengah sulitnya perekonomian saat ini, dan sudah banyak kegagalan pengelolaan pemanfaatan energi masih juga terulang, pemerintah harus memperbaiki aturan kebijakan iklim investasi pengelolaan dan undang-undang migas serta regulasi energi alternatif, seharusnya tidak tunduk begitu saja dan menguntungkan pihak asing atas berbagai tekanan yang bisa disebut energi kapitalisme. 
 “ENERGI” KAPITALISME 
Kenaikan harga bahan bakar energi listrik di Indonesia lebih dipengaruhi oleh sistem “energi” kapitalisme oleh faktor eksternal terutama gejolak Timur Tengah. Dan bukan rahasia lagi, bahwa energi kapitalisme memiliki akar kepentingan terhadap sumber-sumber energi di Indonesia, BBM merupakan konsumsi bahan bakar energi listrik yang masih mendominasi kebutuhan energi di dalam negeri yang mencapai > 90 % dan sebagian besar dari energi primer migas (minyak, solar, minyak tanah dan bensin) serta batu bara. 
Hingga ke tahun 2020 kebutuhan BBM untuk energi dalam negeri akan tumbuh 6,37 % per tahun dan diperkirakan bertahan 50 tahun, batubara 70 tahun dan paling kritis adalah pasokan minyak hanya bertahan 20 tahun lagi dan gejalanya sudah ada yaitu Indonesia bukan negara pengekspor minyak sejak tahun 2005 akibat penurunan produksi. 
Energi kapitalisme dapat juga dilihat dalam bentuk liberalisasi minyak yaitu amanat UU No. 22/ 2001 di sektor hilir untuk meningkatkan impor dan meninggirkan produk ekspor unggulan untuk memberikan jalan bagi swasta asing dalam “bermain” di sektor eceran. Ironisnya, pemerintah justrunya menghancurkan kemampuan perusahaan dalam negeri seperti BUMN, BUMD, Badan Usaha milik Swasta sehingga perusahaan negara terpaksa mengakuisisi anak perusahaan bila ingin mengikuti tender untuk mendapatkan konsesi minyak dan pertambangan di hilir maupun di hulu yang selama ini memberikan kekuatan bangsa dalam mengatasi krisis ekonomi sebagai sumber devisa. 
ENERGI “KONTRAPRODUKTIF” 
Indonesia kaya energi “pembatasan” alias energi alternatif yang belum dimanfaatkan dan sangat memerlukan sentuhan regulasi pemerintah agar siap diproduksi massal serta memiliki nilai ekonomis penghematan mencapai triliun rupiah dan ironisnya pemerintah justrunya menaikkan harga TDL. 
Tragisnya lagi, penghilangan subsidi BBM telah berulangkali dilakukan berbagai negara asing melalui forum kaukus ekonomi keuangan perbankan internasional seperti APEC, G 20, Bank Dunia dan IMF. Energi alternatif itu antara lain energi gambut sebagai sumber energi terbarukan dan cocok dikembangkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di perdesaan tanpa bertumpuk pada energi BBM dengan potensi mencapai 8.801.500 hektar. Energi-energi dari panas matahari yaitu Energi Listrik Tenaga Surya, Energi Panas Air Laut, Energi Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistim Bendul (PLTGL-SB), Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang/kincir Angin Laut, Pembangkit Listrik Pasang Surut Air Laut/Tidal, Indonesia adalah negara tropis terbesar di garis khatulistiwa, pancaran sinar matahari yang mencapai wilayah Laut Indonesia sebesar 4.000.000.000.000.000 kilowatt jam tiap hari, jumlah yang sangat besar untuk pembangkit listrik di Indonesia yang belum dimanfaatkan. Yang jumlahnya dapat menyamai cadangan energi yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sebesar 265 bilium barel minyak bumi. Serta Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), (PLTGA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dari gambut maupun batubara dengan cadangan 12 juta dan Energi Biodisel dari tanaman hijau serta dan Energi Sampah Plastik. 
Jadi tunggu apalagi pemerintah harus meregulasi energi alternatif itu dalam bentuk produk massal. Kemauan politik pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur BBM ke BBG belum optimal dan menguntungkan negara asing dan menyebabkan kontraproduktif, dapat dilihat dari cara penggunaan pasokan energi oleh perusahaan negara dan industri kita, pertama, penggunaan BBM, pemerintah lebih memprioritaskan pemakaian BBM untuk semua industri dalam negeri sehingga pasokan gas semakin terabaikan dan infrastruktur semakin tertinggal, 
Kedua, akibat sulitnya pasokan gas ke pembangkit listrik, banyak mesin pembangkit listrik yang semula memakai bahan bakar gas, memerlukan biaya pergantian mesin-mesin listrik agar dapat mengunakan dan memakai bahan bakar solar. Ketiga, harga bahan bakar gas lebih murah di bandingkan BBM, pemakaian gas untuk PLN justrunya turun. Harga gas jauh lebih murah ketimbang harga minyak. Tragisnya pemerintah tidak memprioritaskan gas murah itu ke industri Indonesia malah menjualnya lebih murah lagi ke negara lain sebesar 2 dollar permmbtu dari harga 7-8 dolar permmbtu untuk industri dalam negeri, contohnya gas produksi Conoco-Philips di Blok Natuna, dijual hanya dengan harga 2 dolar permmbtu ke Petronas, sedangkan gas Lapangan Tangguh Papua, dijual dengan harga 3,5 dolar permmbtu ke Cina. 
Jelas menimbulkan sebuah ironi, disaat masyarakat membutuhkan energi listrik yang murah, kebijakan pemerintah justrunya tidak pro rakyat. Keempat, Indonesia adalah negara penghasil gas utama di dunia. Namun ironisnya, dalam jumlah pemakaian gas untuk pembangkit listrik masih kecil sekali, yaitu 15,99 persen. Jadi, penghematan energi tinggal pepesan kososng jika kebijakan tidak sesuai dengan realita kelebihan bangsa. 
ENERGI PENGHEMATAN 
Penghematan dan bonus menguntungkan dapat dilakukan beberapa cara tanpa ada kontraproduktif lagi yaitu Pertama, percepat penggunaan Panas Bumi, pemanfaatan sumber panas bumi setara dengan penghematan 88 juta barel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara. Kajian Asosiasi Panas bumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM, atau 1,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. 
Kenapa pembangkit listrik tenaga bumi tidak dikembangkan? Indonesia baru memanfaatkannya 3,1 persen. Potensi panas bumi di Indonesia kalau dipakai untuk pembangkit listrik, dapat menghasilkan listrik sebesar 27 Giga Watt. Ini artinya. Seandainya pemerintah memanfaatkan separuhnya saja, nicaya bisa menghemat subsidi puluhan triliun rupiah. Kedua, dengan mengganti pemakaian bahan bakar minyak dengan bahan bakar gas yang bisa menghemat Rp 11,89 Triliun. Ketiga, lakukan proteksi dan konsistensi pemakaian energi terbarukan untuk membuka lapangan kerja baru dalam mengurangi dan menekan jumlah kemiskinan pendapatan daerah dan individu. 
Keempat, pemerintah harus mereformasi diri lebih tegas dalam penggunaan energi terbarukan, dan bukan setengah hati memanfaatkan energi alternatif yang dapat mengejar ketertinggalan pembangunan fisik dan sumber daya manusia dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat, industri dan transportasi dalam penggunaan energi terbarukan dengan sarana memadai dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. 

M. Anwar Siregar Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian MEDAN BISNIS, TGL 18 November 2012

Panas Bumi Lingkungan : Geologi Lingkungan

ENERGI PANAS BUMI RAMAH LINGKUNGAN 
Oleh : M. Anwar Siregar 

Peningkatan emisi transportasi, industri dan kebakaran hutan ke geosfer serta pembuangan sampah dilautan telah menimbulkan kecemasan bagi masyarakat dunia menghadapi sampah limbah radioaktif dan bahan beracun berbahaya yang telah dibuang dilautan. Dampaknya, perubahan iklim telah memicu kondisi lingkungan semakin rentan mengalami bencana alam. Energi panas bumi salah satu sumber daya energi yang dapat mengurangi beban lingkungan akibat bertambah parahnya kondisi lapisan ozon oleh dampak pemakaian bahan beracun seperti unsur CFC, CO2 dan rusaknya reaktor nuklir seperti yang kita lihat pada kejadian gempa Jepang 2011 yang menghancurkan dan membakar empat reaktor nuklir. 
FENOMENA EMISI CO2 
Belum hilang dalam ingatan kita, akibat perkembangan dan kemajuan industri telah memicu ketidakseimbangan tata ekologi lingkungan terutama perubahan kondisi sirkulasi udara-“degradasi” lapisan ozon di atmosfir oleh fenomena emisi kabut asap dari berbagai pembakaran hutan dan kendaraan telah mendorong Indonesia sebagai negara penghasil CO2 terbesar tiap tahun di Sumatera dan Kalimantan. 
Kabut asap ini menutup wilayah udara Asia Tenggara karena ada kerusakan lingkungan hutan seluas 1 juta hektar, menyebabkan hilangnya 1000 jenis spesies dan tumbuhan langka dan kerugian ekonomi perdagangan mencapai 6 milliar dollar US, serta musibah kecelakaan penerbangan dan Indonesia mengalami kerugian hutan akibat penggundulan dan pembakaran mencapai 40 trilun rupiah. 
Belum lagi potensi-potensi gambut muda yang ikut terbakar hingga memperparah kondisi lapisan udara Asia Tenggara. Fenomena emisi CO2 di Indonesia harus dianggap sebagai peringatan bahwa petaka geosfer sangat penting bagi keberlangsungan hidup makhluk di bumi dan terutama bagi Indonesia membutuhkan perhatian serius untuk mencegah kehilangan lebih jauh atas beberapa tata ruang pulau-pulau kecil yang terancam mengalami penenggelaman akibat perubahan iklim dan cuaca yang telah memicu peningkatan kenaikkan suhu permukaan air laut sehingga tinggi permukaan air laut bertambah dapat mencapai permukaan daratan bagi daerah dengan topografi ketinggian 5-12 meter di atas permukaan air laut. 
PARU-PARU BUMI 
Dari berbagai literatur yang ada, menyebutkan berdasarkan laporan Badan Energi Dunia (IEA), Indonesia berada di urutan ke 15 penyumbang emisi CO2. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO2 Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO2. 
Berkaitan dengan model iklim yang masih berubah secara dinamis, maka Negara kita merupakan daerah yang sangat penting berperan dalam mengurangi dampak efek emisi ke geosfera (bumi dan atmosfer), sebagai paru-paru Bumi, selain Brasil dan di khatulistiwa atau daerah yang masih banyak memiliki hutan hujan tropis. Paling tidak, bisa menekan efek dari pemanasan global. Ada tiga daerah utama di bumi yang dapat dikatakan sebagai paru-paru dunia karena potensinya untuk mengatur sirkulasi air dan udara, pengatur suhu bumi, penentu iklim, dan me-refresh bumi secara periodik. Ketiga daerah utama paru-paru bumi itu adalah Indonesia, Brazil, dan Afrika Tengah. Indonesia lebih berperan sebagai paru-paru dunia dibandingkan dengan dua negara lainnya. 
Sebab memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta sinar Matahari berlimpah, sehingga konvensi air lebih aktif. Karena itu, negara kita sering kali mengalami bencana geologi dan klimatologi. Disinilah pentingnya pemanfaatan dan peningkatan potensi panas bumi dalam upaya mencegah sumber emisi CO2 di udara. Dilihat dari sisi pengembangan dan pemanfaatan panas bumi, merupakan peluang yang sangat besar. karena semakin tingginya persaingan pasokan energi dunia, dan kemungkinan bencana alam yang menghancurkan fasilitas pasokan energi, maka batasan-batasan emisi CO2 itu kedepan dapat saja berubah menjadi isu climate change proof bergandengan dengan percepatan penggunaan energi baru yang lebih ramah lingkungan, dan implementasi carbon capture storage (CCS) menjadi isu-isu yang relevan. 
Isu-isu tersebut juga merupakan bagian dari isu resilince to climate change issue yang diperlukan guna menghindari sisi politis dari isu perubahan iklim. Indonesia harus mengurangi peran energi fosil dalam komposisi penggunaan energi saat ini, dari 52% menjadi 20% pada tahun 2025, termasuk di dalamnya rencana peningkatan pemanfaatan energi panas bumi sebesar 5%. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebutkan “bahwa Indonesia akan menjadi pengguna energi terbesar panas bumi”. Penggunaan energi panas bumi juga sejalan dengan target Pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Dari pemanfaatan panas bumi, Indonesia dapat mengurangi emisi karbon hingga 17,3 juta ton per tahun. 
RAMAH LINGKUNGAN 
Ketahanan dan kebutuhan energi migas cukup besar dan terus naik menjadi isu Nasional, karena produksi sekarang semakin menurun, semakin terbatas, dan belum lagi beberapa peralatan teknologi di ladang eksplorasi migas semakin tertinggal, memerlukan investasi, waktu lama dan biaya yang sangat besar untuk pergantian serta sumber daya manusia dalam pengembangannya dan persaingan global dalam akses pasokan minyak yang semakin ketat, serta tuntutan komitmen respon atas perubahan iklim.

Gambar Potensi Panas Bumi Sibayak (sumber : Foto Dokumen Penulis

Potensi energi terbarukan khususnya panas bumi cukup besar dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan merupakan salah faktor kemandirian energi yang harus dioptimalisasikan agar sisi pasokan energi yang harus berkesinambungan sehingga percepatan pemanfaatan panas bumi dan energi baru terbarukan lainnya menjadi isu yang strategis. dalam menjaga keamanan energi dan lingkungan kita. 
Panas bumi dapat memberikan andil untuk mengurangi kerusakan lingkungan dari emisi CO2 dengan berbagai keuntungan dan penghematan yang luarbiasa antara lain : Nilai keuntungan setara 91 barrel minyak atau 13 juta ton per tahun penggunaan batubara, 5,5 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan BBM, atau 1,57 miliar Dolar AS per tahun dari penghematan batubara. 
Untuk mitigasi perubahan iklim, panas bumi dapat digunakan segala jenis energi listrik penerangan jalan raya, gedung, reaktor nuklir dan rumah tangga, transportasi, pendinginan, pemanasan ruangan, peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, elektronik hiburan, kesehatan kedokteran, dan lain-lain 
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah, dan stake holder harus bersinergis dalam mengupayakan target pengembangan energi panas bumi yang ramah lingkungan, mempersiapkan sumber-sumber daya manusia, teknologi dan penyesuaian kebijakan iklim investasi harga jual listrik dengan harga pasaran dunia serta peraturan undang-undang kemudahan perizinan, mentalitas yang bersih dan cepat dalam pelayanan sesuai dengan standar pelayanan maksimal. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di Harian ANALISA MEDAN, 22 November 2012

3 Des 2012

Gempa Mentawai Masih Ancam Padang : Geologi Gempa

GEMPA MENTAWAI MASIH ANCAM PADANG 
Oleh M. Anwar Siregar 
Gempa Sumatera Barat 30 September 2009 dan Gempa Mentawai Oktober 2010, merupakan gempa dengan titik bidik yang lebih kuat di tujukan ke tata ruang kota-kota besar di Pulau Sumatera terutama Padang yang memiliki kontur topografi yang rendah dimasa mendatang. Dalam rentang dua tahun kejadian gempa, ancaman gempa Mentawai belumlah final, melainkan masih dalam taraf pemanasan, diperkirakan sebelum tahun 2033, siklus pelepasan energi yang hebat sebenarnya menunggu waktu, dalam rentang waktu itu pemerintah Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Bengkulu maupun NAD sebaiknya mempersiapkan tata ruang pesisir yang berbasis kegempaan lokal. 
Banyak faktor yang membuktikan hal tersebut bisa saja terjadi dengan tsunami maut terjadi lagi di Pantai Barat Sumatera dalam jangka waktu yang belum dipastikan dengan berbagai asumsi ilmiah yaitu asumsi pertama menyebutkan terlebih dahulu terjadi pematahan kulit bumi Palung Laut Jawa khususnya dalam koridor sepanjang patahan regional Pantai Barat Indonesia dengan adanya gempa gunung vulkanik di bawah laut yang masih aktif dengan memberikan tekanan efektif dan kuat ke patahan Mentawai dari Pagai Selatan ke Utara lalu megatrush gempa Nias ke patahan megatrush Aceh-Nikobar, 
Hal tersebut dipicu oleh pengaruh tektonik jalur Andaman-Nikobar yang memanjang dari Utara Pulau Sumatera hingga ke Pantai Timur. Terlebih kota Padang yang berjarak 100 kilometer dari zona patahan Mentawai diantara Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan dan sebagai zona penahan (locking zone) terhadap desakan subduksi di jalur Benioff (jalur bergempa) di Lempeng Australia disebelah selatannya dan ketinggian topografi kota Padang mulai 5-25 meter dari permukaan air laut (dpl).

 Gambar : Ancaman Mentawai megathrust ke Daratan Padang dan Sumatera, jalur Sunda Megathrust yang memanjang dari utara Simeulue ke Enggano, cermin begitu kuatnya enerhi gempa yang akan dilepaskan
(sumber gambar dari berbagai literatur)

Tsunami Mentawai dapat ditimbulkan jika pusat gempa tersebut terjadi ke arah timur ke Padang dengan kedalaman 10 kilometer dibawah dasar laut. Asumsi kedua, gempa yang terjadi tahun 2010 lalu masih merupakan gempa dengan pelepasan energi skala kecil, energi yang dilepaskan itu tidak menerus ke utara Pulau Pagai Utara karena kejadian gempa Mentawai tahun 2010 terjadi di selatan dan tertahan berbagai rangkaian pulau-pulau kecil dan terserap oleh energi penahan gempa di sekitar Siberut dan tidak menggeser ke zona tranch java-sumatera, sebab pergeseran dan pergerakan dari segmen-segmen patahan di Pagai Selatan ke arah barat Pulau Simeulue bergeser lebih aktif ke arah Pagai Utara. 
Energi kerentanan seismik di Pagai Utara itulah yang paling membahayakan wilayah Sumatera Barat terutama ancaman bagi tata ruang Padang dan sekitarnya sebagai penahan energi yang paling matang. 
SEBELUM 2033 
Berdasarkan penilaian siklus gempa dari data sejarah gempa disekitar Mentawai, Danny Hilman Natawijaya dari LIPI menjelaskan didapatkan siklus seismik gempa bumi besar tahun 1381, tahun 1608 dan terakhir 1883, para ahli geologi dunia memprediksi bahwa gempa berkekuatan besar strategi akan terulang di wialayah Sumatera bagian utara dari zona patahan Mentawai. 
Diprediksi terjadi lagi gempa Mentawai pada tahun 2033, namun ada kesepakatan dan akurasi perkiraan ini dalam geologi gempa besar itu bisa terjadi dengan pelepasan eenergi pemanasan dan rentang waktu kisarannya tidak lebih dari 30 tahun sebelum tahun 2033. Aktivitas seismik di zona subduksi itu telah mengangkat naik pulau-pulau Mentawai sekitar 2 meter. Melihat siklus kegempaan Mentawai, yang telah berada diujung pelepasan energi gempa yang lebih besar dari tahun 2010. Hanya saja energi yang besar yang berkekuatan 9.0 SR itu belumlah lepas. Jadi ancaman pelepasan energi ini yang harus diwaspadai. 
Gempa tahun 2010 hanyalah bagian pelepasan energi kecil. Ini bukan berarti gempa 2010 adalah akhir dari siklus gempa di kawasan tersebut, tetapi energi yang tersimpan sejak 1797 dan 1833 telah berkurang. Sisa dari energi yang terakumulasi ini masih cukup besar yang kemudian akan dilepaskan dalam waktu dekat.
Dengan kata lainnya, periode kegempaan di Mentawai relatif masih ada karena kemampuan menyimpan energi lebih tinggi. Yang terendah adalah kepulauan Batu diantara Nias dan Siberut dengan daya menahan dibawah 30 persen. Karena daerah itu tidak ada pengumpulan energi gempa. 
Ini ditunjukkan oleh frekuensi gempa yang banyak namun intensitas rendah, dan gempa 26 Desember 2004 telah menimbulkan pergeseran yang bervariasi pada segmen-segmen sesar di Barat Sumatera akibat mobilisasi kerak lempeng berubah menjadikan robekan. Adanya potensi gempa dan tsunami terbesar di segmen Mentawai disebabkan oleh potensi pergerakan bidang lempeng yang belum terlepaskan melalui kejadian gempa di P. Siberut dan P. Sipora (Pagai Utara). Posisi Sumatera tidak menguntungkan seperti semacam “engsel” naik turunnya gugusan pulau di Mentawai dari keganasan tsunami ke daratan dengan pusat gempa tepat di bawah Selat Mentawai terutama di Pagai Utara yang sangat berdekatan dengan Patahan Pulau Nias yang memiliki anomali gravitasi dari energi gempa yang terkumpul, daya tahan patahan per segmen juga berbeda-beda. Patahan Mentawai merupakan zona penahan dengan daya serap energi mendekati 100 persen karena desak-desakan yang terus menerus akibat gempa yang berlangsung dari utara Sumatera dan Selatan dari Jawa dan pendesakan kuat dari Lempeng Indo-Australia memungkinkan akan ada pelepasan energi gempa mendekati kekuatan 9.0 SR atau setara energi gempa Aceh yaitu 10.000 giga ton bom atom. 
PADANG HARUS SIAP 
Mengapa Mentawai masih dianggap mengancam? Dari data tersebut dapat disimpulkan pertama, bahwa efek gempa Aceh itu telah memobilisasi arah pergerakan lempeng bumi sedemikian rupa sehingga ada perubahan dan anomali koordinat pulau-pulau di busur vulkanik cekungan busur belakang sumatera akibat tumbukan lempeng dengan sesar geser vertikal, merobek kerak patahan sepanjang 600 km sehingga membentuk rangkaian sembulan bawah laut disepanjang selatan Bengkulu hingga Sumatera. 
Selain dua segmen di utara patahan Aceh-Simeulue juga ikut bergerak dan robek, melepaskan energi. Pergerakan di segmen Patahan Andaman memicu gerakan tekanan daya tekan pada segmen Nikobar. Maka ada elastis rebound pada segmen tersebut, bersama melepaskan energi karena ketiga segmen tersebut itu berelaksasi ke arah selatan Mentawai. 
Dengan terjadinya gempa tahun 2010. Kedua, segmen patahan dibagian selatan Mentawai meliputi patahan di blok Jawa Timur saat bergerak ke arah patahan blok Jawa Barat dengan pemusatan energi di Selat Sunda. Segmen patahan ada saling menekan dan membentuk poros kesatuan kesamaan gerak ke Pagai Selatan. Kejadian gempa di lokasi kepulauan seperti ini dapat membangkitkan tsunami di sepanjang Pantai Barat Pulau Sumatra. Kota besar seperti Padang dengan penduduk yang padat (900 ribu jiwa) memiliki resiko yang sangat tinggi jika tsunami besar terjadi. Bandingkan dengan populasi Aceh sebelum tsunami yang kira-kira 400 ribu jiwa dimana pada tahun 2004 gempa berkekuatan 9.2 membangkitkan tsunami dan menelan korban jiwa hampir 130 ribu orang. 
Padang dan kota-kota besar di Sumatera harus lebih siap menata tata ruangnya, bahwa pelajaran bencana terdahulu telah memberikan gambaran kehancuran sarana infrastruktur lebih disebabkan oleh peletakan tata ruang berada dalam radius ancaman gempa, atau tepatnya berada dalam kawasan zona patahan gempa, contohnya untuk kota Padang berada dalam sub segmen patahan sianok bagian dari patahan sumatera. Padang harus memadukan aspek teknologi deteksi dini gempa (early earthquaked warning) dan tsunami, seismograf gempa dan vulkanik, stasiun sensor broadbank di darat dan kepulauan, infrastruktur fisik tahan gempa dengan peredam guncangan, penambahan kekuatan struktur bangunan yang telah ada (refrofit), pemetaan daerah kegempaan lokal untuk basis aturan zonasi rehabilitasi keruangan, taman dan jalur lintasan evakuasi yang jelas, sistim sirene diberbagai tempat serta kesiapsiagaan masyarakat lebih intensif dengan meningkatkan pelatihan mitigasi secara berkala 4 kali dalam setahun maupun pusat penyebaran informasi dan komunikasi pada interval 10 km dalam tiap kecamatan. 
Karena gambaran gempa tahun 2007, 2009 dan 2010 belum mencerminkan kemampuan pemerintah daerah mengendalikan kehancuran infrastruktur dan pelatihan simulasi tsunami dan gempa masih belum optimal sehingga masih banyak korban bencana. Jadi Padang sudah harus siap menghadapi Mentawai sebelum tahun 2033 atau mungkin lebih cepat? 

M. Anwar Siregar Pemerhati Tata Ruang Lingkungan-Geosfer

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...