7 Sep 2011

Ironi Negeri Kaya Bahari : Geologi Recources

IRONI NEGERI KAYA BAHARI
Oleh M. Anwar Siregar
Bangsa Indonesia harus hidup dengan dan dari laut, kalimat yang sering terdengar bila ada peringatan hari laut yang diadakan setiap bulan Juni dan maupun hari kemerdekaan RI bulan Agustus, kekuatan Bangsa dikaitkan dengan kekuatan laut, teknologi ataupun penelitian kelautan, eksplorasi sumber daya kelautan, atau yang lebih aktual membicarakan tentang pembangunan pulau-pulau terpencil perbatasan di lautan.
Masihkah relevan menyebut Indonesia dalam usia kemerdekaan ke 66 tahun sebagai negara bahari atau negara maritim jika hal ini menimbulkan sebuah ironi sebagai negeri kaya bahari apabila belum mampu meningkatkan pengamanan kekayaan sumber-sumber daya kelautan, “lembek“ mencegah pelanggaran teritorial laut sehingga mudah menimbulkan emosi rakyat terhadap negara jiran, menimbulkan kerugian miliaran rupiah setiap tahun akibat pencurian dan perdagangan illegal lintas batas darat di perbatasan?
IRONI KEKAYAAN SDA
Bicara tentang Laut Indonesia sungguh membuah miris kita, karena bicara laut maka kita bicara tentang sumber-sumber keunggulan bangsa yang belum dimanfaatkan secara maksimal karena kejayaan NKRI dapat diketahui dari kekuatan sumber daya kelautannya yang memberikan andil bagi kesejahteraan Republik Indonesia (RI) melalui sumbangan devisa negara dari sumber minyak dan gas (migas) sampai sekarang.
Di laut kita dapat menghasilkan ratusan triliun devisa dengan berbagai potensi energi terbarukan, masa habis 2 abad berupa hidrat gas dan gas biogenik serta energi-energi kelautan yang belum dimanfaatkan secara maksimal.  Potensi sumber daya hayati laut yaitu lebih dari 2.000 spesies ikan, lebih dari 80 genera terumbu karang atau sekitar 17,95 persen di dunia, 850 jenis sponge, padang lamun dan kimia terbanyak didunia serta hutan mangrove menyimpan potensi 6,5 juta ton ikan, dapat dimanfaatkan nelayan 5,01 juta ton ikan di hamparan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi, sebalik negeri jiran banyak memanfaatkan potensi kelautan RI dengan meningkatkan penguasaan teknologi penangkapan perikanan sehingga RI rugi mencapai 100 milyar rupiah per tahun.
Sebagai negara maritim terbesar kedua dunia Indonesia seharusnya sudah mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena kejayaan bangsa ada di laut, namun pemanfaatan sumber daya geologi kelautan mengalami kendala oleh peraturan dan regulasi undang-undang migas yang sangat merugikan RI sehingga Pertamina sebagai perusahaan negara harus mengakusisi anak perusahaan satu persatu agar dapat ikut tender proyek yang ada di berbagai blok (ladang minyak) di Indonesia seperti misalnya blok Ambalat dan blok Alfa D Natuna merupakan dua dari 11 sumber keunggulan kekayaan migas laut sedang di eksplorasi di wilayah Indonesia yang menghasilkan lebih dari 11.3 miliar barel dengan luas 6.700 km dan terdapat juga 60 cekungan minyak dan gas bumi dan belum lagi 29 cekungan baru yang mengandung 9,1 trilium barel migas tersebar di Laut-Selat Sulawesi, Maluku, Timor dan Samudera Indonesia di Pantai Barat Sumatera.
Diantara 60 cekungan migas tersebut 70 persen diantaranya di lautan, selebihnya 30 persen di daratan Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Dari 60 cekungan tersebut, 20 diantaranya minyak bumi baru dikelola dengan kapasitas mencapai 2,13 miliar barel, cadangan gas bumi mencapai 112,5 trilium kaki kubik, Diperkirakan total sumber daya minyak bumi di perairan laut Indonesia adalah 40,1 miliar barel, gas bumi 217,7 trilium kaki kubik. Ini melukai nurani rakyat, sebab perusahaan Indonesia hanya mendapatkan porsi sedikit untuk konsesi migas sebesar 15 %, selebihnya di dominasi perusahaan asing seperti Exxon Mobil Oil, Conoco Phillips, dan lain-lain.
Selain itu, RI memiliki keunggulan historis pelayaran kapal di laut karena memiliki luas laut 3.1 juta km2 yang banyak menyimpan harta karun yang tenggelam dan terpendam di dasar laut dengan nilai tinggi, dapat membantu melunaskan hutang luar negeri yang menghasilkan nilai 100 triliun, seharusnya mampu dijadikan bergaiming position bagi negara disekitarnya yaitu melakukan tindakan penghadangan dan tidak memberikan jalur parairan pelayaran bagi nelayan asing yang melanggar kedaulatan teritorial maritim RI kepada negara asing bersangkutan, tidak memberi izin tangkap dan menutup jalur khusus pelayaran bagi negara yang belum jelas kemauan untuk menentukan batas wilayah perairan walau resiko mendapat protes anggota PBB.
Ini sangat ironis sekali, karena negara asing lebih memanfaatkan potensi dan data-data sebarannya serta keunggulan teknologi mereka kuasai sehingga Indonesia seperti negara penonton, bereaksi pelan dan lembek.
IRONI KUALITAS SDM
Bagaimana mau menjadi Negara Bahari yang tangguh jika kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara bukan kepulauan dan menguasai kekuatan bahari itu sebagai salah satu keunggulan bangsa untuk peningkatan kesejahteraan bila pemerintah masih fokus pada pembangunan daratan dan pulau-pulau perbatasan terabaikan sehingga dapat mengancam keutuhan NKRI karena laut merupakan bagian perekat bagi kejayaan bangsa. Sejarah sudah berbicara, bahwa kejayaan masa lalu Nusantara (Indonesia) di mulai dari lautan oleh dua kerajaan yang menguasai imperium Asia Tenggara yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, sehingga bangsa Indonesia dapat disebut negara maritim, negara bahari.
Indonesia memiliki banyak pakar hukum kelautan tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis hukum laut terutama memanfaatkan kemampuan akademis di bidang ilmu kebumian khusus yaitu Geologi, Geodesi, Geofisika, Nautika-Hidrografi untuk mendukung Tim Batas Maritim Indonesia dimasa sekarang dalam penentuan batas Maritim. Bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Kelemahan ini semakin tragis, sebab banyak peluang fellowship tidak termanfaatkan dengan baik sehingga kualitas SDM masih terbatas dan tertinggal jauh dalam mengelola sumber-sumber daya ekonomi kelautan karena dukungan SDM kebumian di bidang khusus kelautan belum mencapai 1.000 sarjana, spesialisasi S2-S3 tidak mencapai 100 orang ilmuwan dari total 4.000 sarjana disiplin ilmu kebumian seperti geologi, geodesi-tematik, geofisika kelautan dan Nautika-Oceanos-hidrografi sehingga tidak pernah menyentuh akar permasalahan pembangunan kelautan dan pulau perbatasan.
Begitu juga dalam implementasi pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas maritim di beberapa wilayah antar pulau di Indonesia masih terbatas pada wacana. Dan dilain pihak, pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan kajian isu-isu politik kekuatan di parlemen sehingga lalai memikirkan pembangunan sumber daya kebumian di bidang kelautan dan Negara lain memanfaatkan hal ini untuk menekan regulasi dan menguras sumber-sumber daya kelautan. Semua hal tersebut harus dijadikan cara belajar dari pengalaman lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia.
IRONI PELABUHAN LAUT
Faktor lain yang membuat ironi yaitu terbatasnya pengawasan laut karena jumlah pelabuhan laut yang menghubungkan antar pulau dan pembangunan pelabuhan laut yang tidak mendukung integrasi NKRI tidak menyebar merata, memerlukan penambahan jumlah 21 pelabuhan besar. Rasio perbandingan antara luas panjang pantai dengan jumlah pelabuhan yaitu 1 pelabuhan melayani 4.500 kilometer panjang pantai. Perbandingan luas perairan laut teritorial Indonesia yang terdiri laut nasional 3.166.163 km2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) 2.2.42.437 km, jumlah dukungan empat pelabuhan laut (hub port sea) besar yang menghubungkan panjang laut 61.146.075 km dengan sebaran pulau besar-kecil 17.000 masih sangat terbatas, diperparah ketertinggalan peralatan teknologi dan keamanan dibawah kualitas standar pelabuhan laut internasional.
Tidaklah mengherankan berbagai aktivitas illegal oleh Negara-negara tetangga dalam mencuri sumber daya kelautan Indonesia karena posisi TNI AL tidak semua di lokasi penangkapan ikan oleh nelayan asing sehingga dengan teknologi canggih pihak Malaysia mampu masuk karena terlebih dahulu mendeteksi posisi TNI AL menyebabkan kerugian ratusan miliar tiap tahun dan merupakan ancaman serius dimasa mendatang apabila pemerintah tidak menyusun suatu landasan utama pembangunan pulau terdepan.
JAYA DILAUT
Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958, melahirkan konsep Wawasan Nusantara harus dijadikan inspirasi dan momentum bagi kebangkitan Indonesia dalam usia kemerdekaan ke 66 tahun dari keterpurukan krisis ekonomi dengan memanfaatkan keunggulan luas lautan dan sebagai negara bahari yang artinya adalah bangsa lautan, “Nenek moyangku adalah bangsa pelaut”.
Agar unggul sebagai Bangsa Maritim tangguh maka pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan prioritas utama pembangunan SDM yang berkualitas dan juga kegiatan penelitian yang terkait batas maritim Indonesia, peningkatan anggaran peremajaan alusita Kapal Perang TNI AL, dan pembangunan infrastruktur fisik di perbatasan. Niscaya kita akan jaya di laut. Yalesveva Jayamahe“.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan-Geosfer. Tulisan ini sudah di muat di harian Analisa Medan Bulan Agustus 2011

11 Jul 2011

UU Geologi di Era Globalisasi Bencana Lingkungan : Geologi Mitigasi





UU GEOLOGI DI ERA GLOBALISASI BENCANA LINGKUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar

Berbagai bencana melanda Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir dan masih akan berlanjut. Maka sudah saatnya dibentuk UU yang mengatur tegas tentang geologi
Mengingat kondisi geologi Indonesia dewasa ini memasuki periode panen gempa di beberapa kawasan yang saling memuntahkan kemarahan kepada manusia. Kebencanaan ini telah menyengsarakan rakyat di negeri terbesar di khatulistiwa. Namun lupa untuk selalu belajar dari kejadian dan kesalahan perencanaan pembangunan fisik khusus lingkungan geologi, bahwa Indonesia yang berada di ring of fire.
Seharusnya Indonesia mampu mendefinisikan suatu perencanaan tata ruang mitigasi yang berbasis lingkungan geologi dengan standar konstruksi yang mumpuni di lokasi yang sesuai karakter peruntukkannya. Ini agar mampu mengurangi korban dan kerusakan bencana terutama gempa bumi dan gerakan tanah.
Tumpang tindih permasalahan
Undang-undang geologi selama ini di Indonesia peranannya sangat kurang dan belum ada, sehingga menimbulkan permasalahan terhadap berbagai analisis penanggulangan bencana dan kedaruratan karena disini kita punya kebiasaan “sesuatu” kalau belum diatur oleh institusinya, maka dianggap belum ada peraturannya. Contoh, di luar negeri, terutama Eropa dan Amerika serta Jepang, mereka memiliki badan geologi yang mengkhususkan apa yang disebutkan bahwa “setiap pembangunan kota baru, pemekaran wilayah kabupaten/kota atau perluasan dan pengembangan tata ruang wilayah perkotaan lama ke baru harus memperhatikan kondisi bawah permukaan (sub surface)”.
Setiap orang di sana sudah tahu kalau berbicara tentang bawah permukaan itu berarti berbicara geologi. Dan departemen yang menangani hal ini adalah Departemen Geologi. Jadi kalau ada kejadian bencana geologi maka masyarakat langsung saja ke Departemen Geolog bukan ke yang lainnya.
Sementara di Indonesia masing-masing sektor berusaha membuat peraturan, masing-masing peraturan itu tumpang-tindih dan berbeda. Dan Badan Geologi di Indonesia yang belum memiliki Undang-Undang Geologi, oleh orang dianggap tidak memiliki kewenangan untuk mengatur geologi. Sehingga menimbulkan permasalahan di era globalisasi bencana lingkungan, yaitu tumpang tindihnya peraturan penataan ruang, pengaturan mitigasi ketataruangan dan sumber-sumber daya geologi berkelanjutan yang bersentuhan langsung dari segala jenis bencana. Ini sangat membinggungkan masyarakat dan investor di Indonesia.
Era globalisasi bencana
Era globalisasi di Indonesia, ternyata era bencana. Pemanfaatan era globalisasi teknologi dan segala peraturan yang berhubungan dengan penelitian kebencanaan di Indonesia justru tertinggal jauh dari negara tetangga. Hal ini menyebabkan kondisi penanggulangan bencana di Indonesia masih kurang efektif dalam pelaksanaan di lapangan. Salah satunya adalah tidak ada payung hukum yang tegas dalam mengartikulasikan pemahaman geologi di daerah rawan bencana yang pada akhirnya, yang menjadi korban dari era globalisasi bencana itu adalah manusia Indonesia
Dengan bergeraknya masing-masing sektor dalam pengelolaan dan pemanfaatan geologi di bawah dan atas permukaan bumi maka terjadilah apa yang kita namakan krisis lingkungan geologi yaitu silih berganti terjadinya bencana.
Bencana banjir akibat perubahan iklim belum berakhir, datang tiba-tiba gempa bumi disertai gelombang tsunami. Lalu letusan gunung api ikut juga memperparah situasi bangsa ini. Belum selesainya goyangan datang bencana gerakan tanah akibat tidak ada pemahaman yang memaksa masyarakat mematuhi aturan lingkungan geologi seperti pemanfaatan zona-zona hijau, lahan konservasi pantai dan terestrial, lahan zonasi tata ruang dan tidak adanya kemauan membentuk suatu zona rehabilitasi ruang yang telah mengalami bencana.
Pengembangan dan pengkajian teknologi di Indonesia juga tertinggal jauh disebabkan faktor kekurangan dana riset. Padahal negara ini sudah ditakdirkan sebagai negara bencana. Indonesia seharusnya sudah mampu menciptakan dan mengekspor peralatan tsunami warning, justrunya mengalami kedodoran dalam memberikan peringatan cepat dan miskomunikasi yang tidak perlu. Lihat saja kejadian tsunami Pangadaran-Jawa Barat tahun 2006. Karena bagitu banyaknya lembaga riset yang saling berlomba memberikan informasi terkini sehingga membingungkan masyarakat, khususnya investor dalam memahami rekonstruksi usahanya apabila terjadi bencana.
UU mitigasi masyarakat
Berbagai jenis ancaman bencana lingkungan geologi yang bersifat merusak dan membahayakan kelangsungan hidup dapat terjadi setiap saat tanpa dapat menghindarinya. Walaupun ancaman bencana alam tidak dapat ditolak dan dihindarkan, tetapi setidaknya pemerintah dan masyarakat harus dapat menyiapkan diri sebaik-baiknya. Ini dilakukan melalui manajemen pengembangan sistim prakiraan bencana beserta penyebarluasan informasi geologi, sistim peringatan dini kepada masyarakat (Early Warning Disaster Preparadness).
Di sini pentingnya informasi mitigasi geologi yang berbasis masyarakat di daerah rawan lingkungan gerakan tanah, banjir dan gempa, yang digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam mengurangi dampak pada suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum terjadi bencana. Perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk mengurangi risiko terkait bencana dan proses perencanaan untuk respons efektif terhadap berbagai jenis bencana yang akan terjadi.
Kunci faktor yang kuat dari informasi mitigasi masyarakat adalah penguatan dari lembaga dalam hal ini adalah Badan Geologi Nasional. Lembaga ini akan mengatur mitigasi dari berbagai jenis bencana geologi dalam bentuk pengaturan UU yang difokuskan pada kemampuan sistim kesiapsiagaan, sistim peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen risiko lapangan dan relokasi ruang wilayah untuk penempatan evakuasi. UU bencana geologi yang berhubungan dengan mitigasi akan memaksa pemerintah, swasta dan masyarakat mematuhi segala aturan yang telah ditentukan. Sehingga akan tercipta keselarasan visi dan misi pada tindakan pencegahan dan penanggulangan bencana secara efektif.
UU mitigasi geologi tata ruang kota digunakan untuk meminimalisasi bencana, diperlukan agar masyarakat mengetahui langkah-langkah kongkrit. Masyarakat dapat bertanya apakah lokasi tempat tinggal mereka rawan gempa, konsultansi bagaimana merancang bangunan tahan gempa dan berhak mendapatkan pendidikan mitigasi secara berkala.
UU geologi mitigasi
Dari berbagai kejadian bencana yang melanda Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir yang masih akan berlanjut, maka sudah saatnya dibentuk UU yang mengatur tegas tentang geologi bawah permukaan dan di atas permukaan selama manusia membangun diatas tanah. Yaitu UU Kegeologian yang sangat mendesak dan mengingat sudah cukup banyak korban dan infrastruktur fisik yang bertumbangan yang menyebabkan negeri ini semakin miskin.
Rancangan Undang-undang (RUU) Kegeologian seharusnya sudah dalam bentuk UU pada tahun 2009 lalu. Beberapa hal yang penting sebagai muatan materi dalam penyusunan RUU Kegeologian yang telah diajukan ke DPR sejak tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Masalah penetapan kawasan rawan bencana geologi yaitu letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor (yang dalam RUU Penataan Ruang dimasukkan sebagai kawasan lindung); dalam RUU Kegeologian sudah didefinisikan secara lebih lengkap, lebih implementatif. Meskipun bencana geologi tersebut sulit diprediksi kapan terjadinya, tetapi dengan pendekatan kegeologian diharapkan ada langkah-langkah lebih kongkrit yang tujuannya untuk mengurangi dampak merusak bencana tersebut dan jatuhnya korban.
2. Penggunaan data dan informasi geologi yang saat ini di era globalisasi di Indonesia belum dilakukan secara optimal sebagai dasar perencanaan pembangunan wilayah agar lebih ditingkatkan pengaturannya dalam bentuk UU Kegeologian tersebut.
3. Diperlukannya pengaturan dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral secara sistimatik, meliputi pengaturan administrasi, penyeragaman dalam penyusunan data dan informasi geologi beserta upaya-upaya sosialisasinya.
4. Mengoptimalkan kompetensi bidang kegeologian dalam mengatasi atau memecahkan permasalahan untuk kepentingan konstruksi (prasarana jalan, jembatan, bangunan); dan eksplorasi migas dan penentuan cadangan mineral yang potensial sesuai standard minimal yang harus dipenuhi.
5. Menonjolkan peranan informasi geologi untuk identifikasi cekungan migas yang penting dan strategis terutama yang menyangkut daerah frontier atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain.
Latar belakang permasalahan dalam mempersiapkan RUU Kegeologian disebabkan banyaknya produk hukum dari berbagai institusi atau lembaga yang saling tumpang tindih. Produk hukum tersebut berkepentingan terhadap geologi bawah tanah sehingga naskah RUU Kegeologian memerlukan suatu keselarasan visi dari stakeholder agar pembahasan dipercepat dan ada kemauan politik dari DPR.
Hal ini penting, mengingat kondisi dinamika geologi Indonesia di era globalisasi semakin rentan bencana, keterlambatan informasi geologi dan ketidakadaan data yang seragam tentang geologi bawah permukaan dan tumpang tindihnya peraturan peruntukan suatu kawasan geologi menyebabkan terjadinya kebingungan bagi masyarakat dan investor.
Dalam UU Kegeologian sudah memuat semua informasi tentang geologi secara komprehensif dan mencakup seluruh aspek-aspeknya. Termasuk solusi permasalahan tata ruang lingkungan, mudah dipahami baik oleh masyarakat umum maupun oleh aparatur negara sehingga dapat ditindaklanjuti secara efektif. Konsepsi pengaturan penyelenggaraan bidang kegeologian merupakan penjabaran dari berbagai konsep atau teori yang terkait dan analisis terhadap berbagai aspek yang perlu untuk dikembangkan dalam penyelenggaraan bidang kegeologian.
Efek memaksa
Pengaturan bidang kegeologian yang lebih tegas dan komprehensif terhadap aspek-aspek yang menjadi fokus kebutuhan dengan memperhatikan kondisi bidang kegeologian saat ini. Hal ini terkait erat dengan hak, kewajiban dan peran masyarakat pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang kegeologian. UU geologi akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan masyarakat tanpa mempersempit ruang gerak masyarakat. Memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan geologi kebencanaan tata ruang dan pemanfaatan sumber-sumber daya vital dan strategis yang dibutuhkan segala lapisan masyarakat dari berbagai aspek geosains, ekonomi, sosialogi, hukum dan politik.
Hal ini membawa kepada konsekuensi adanya reward-punishment, efek mamaksa pemerintah untuk bergerak cepat, memaksa masyarakat untuk selalu siap. Institusi tidak berserakan dan fokus pada satu lembaga riset yang menangani tentang kebencanaan geologi, yaitu Badan Geologi Nasional sehingga masyarakat dan segenap stakeholder maupun dunia usaha atau investor dapat mengerti dan mematuhi UU Geologi tersebut.
UU geologi harus dapat diimplementasikan dan digunakan secara efektif sebagai payung hukum bagi peraturan di bawahnya seperti PP, Perpres, dan Peraturan daerah. UU geologi akan berdampak lebih baik dari berbagai aturan pelaksanaan penanggulangan bencana yang dalam pelaksanaanya butuh rentan waktu pengambilan keputusan. Dengan adanya efek memaksa dari aturan UU geologi maka era bencana geologi di Indonesia dapat diminimalisasikan. 
( M. Anwar Siregar : Penulis adalah Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer ), Tulisan ini sudah di publikasi di Harian 'WASPADA" Medan

28 Jun 2011

RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA : Geologi Disaster


RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA

Oleh : M. Anwar Siregar



Letak kondisi geologi bumi ruang Indonesia telah diidentifikasi adanya “kawasan pertumbuhan baru” gempa diatas kekuatan 8.0-9.0 SR dalam 10 tahun mendatang dan merupakan daerah yang akan menghasil “musim panen” bencana gempa oleh efek perubahan siklus gempa singkat dan akan mengubah kawasan peta gempa di Asia Tenggara menjadi bencana kematian dari kegempaan Pantai Barat Sumatera.
PROSES GEOLOGI
Informasi geologi dapat digunakan untuk memahami proses dan kondisi karakteristik struktur geologi yang menghimpun suatu wilayah antara lain : Pertama, memahami proses waktu dan kondisi geologi batuan dari aktivitas lempeng bumi sebagai peristiwa siklus/proses (daur ulang) geologi kegempaan dalam mengakumulasi energi penahan oleh pergeseran dengan energi pendorong dengan rentang pelepasan energi ratusan tahun, puluhan tahun, teratur, pelan tapi pasti, suatu saat kemudian menghasilkan periodesasi gempa yang dahsyat. Buktinya, dapat dilihat gempa di kota Bam , Iran terjadi gempa dengan siklus 2000 tahun.
Kedua, memahami proses kontrol dan rotasi pergerakan lempeng ke zona subduksi sepanjang pertemuan lempeng tektonik, mempelajari ruang daerah tersebut apakah terdapat patahan terkunci, terutama dibatas konvergensi lempeng Indo-Australia dengan subduksi Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara dan akibat-akibat pemekaran laut oleh arus panas untuk melakukan penghancuran terhadap lapisan luar padat, dengan adanya proses geologi yang teratur memungkinkan wilayah Indonesia mengalami perubahan geologi batuannya untuk membentuk tatanan geologi yang baru dan kompleks luar biasa.
Bahwa proses daur ulang terhadap stabilitas struktur geologi yang memayungi suatu tata ruang wilayah dapat diinterprestasikan melalui perubahan kekuatan blok batuan yang telah sensitif terhadap responsif dari gerak relaksasi gempa-gempa terdahulu, bila gempa kembali terjadi lagi pada lokasi yang sama maka energi gempa akan lebih mudah melewati dan menghancurkan batuan yang belum kondusif, menghasilkan efek goncangan berganda yang lebih keras, karena ditemukan ruang yang memisahkan batuan menjadi beberapa blok batuan. Tiap blok Batuan menghimpun suatu kawasan permukaan bumi bisa mencapai 400-2200 km tidak tahan terhadap guncangan gempa berikutnya sehingga tidak aman bagi kehidupan manusia terutama menjadikan sebagai daerah hunian padat. Fakta, gempa yang terjadi di Bengkulu, Sumatera Barat, Simeulue dan Nias dalam periodesasi gempa singkat.
FREKUENSI GEMPA MENINGKAT
Terbentuknya daerah kritis gempa di pantai Bengkulu dengan ditemukan pegunungan raksasa bawah laut, maka wilayah Indonesia semakin terancam dari kehancuran gempa. dan menempatkan Indonesia sebagai kawasan seismik yang tinggi berperingkat nomor 1 (satu) dunia sejak gempa Bengkulu tahun 2000 dan Aceh tahun 2004 hingga gempa Simeulue-Mentawai (2008-2010) telah mengalami eskalasi frekuensi semakin tinggi dalam banyaknya terjadi gempa, bisa mencapai 870.000 kali dalam setahun (Sumber USGS 2010) dan terdapat 90 persen dari semua gempa dunia yang tercatat sebelumnya mencapai 650.000 kali tergolong gempa tektonik merusak dengan rata-rata kekuatan gempa antara 3.5-7.7 SR berlangsung 450 kali di Indonesia (Sumber BMKG 2009), sehingga Indonesia membutuhkan biaya rekonstruksi dan rehabilitasi daerah sebesar 20 triliun rupiah.
Frekuensi relaksasi gempa meningkat disebabkan oleh lajur sumber panas bumi yang membentang sepanjang 5.600 km mulai dari Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar hingga ke Busur Banda Timur lalu menerus lagi ke wilayah Maluku hingga ke Sulawesi Utara ke batas Lempeng Philipina, tercatat lebih dari 45 zona subduksi dengan lebih 1200 titik rawan  gempa tektonik didaratan dan lautan dan 45 daerah tsunami maut, 28 Gunungapi aktif type A dari total 400 gunungapi di Indonesia. Jadi , Indonesia masih aktif mengalami musibah bencana maut gempa, gunungapi, gerakan tanah dan tsunami maut akibat relaksasi gempa bumi belum berhenti di wilayah Bumi Indonesia kerena titik keseimbangan belum stabil.
Data statistik frekuensi gempa penulis catat, sejak terjadi gempa Aceh tahun 2004 berkekuatan 9.1 SR dengan gempa susulan berkekuatan 4-5 Skala Richter (SR) sebanyak 20 kali yang dirasakan oleh masyarakat. Gempa Nias tahun 2005 dengan kekuatan utama 8.7 SR diiringi gempa susulan sebanyak 48 kali dengan kekuatan 3.5-4.9 SR. Gempa Yogya dengan 5.9 SR tahun 2006 terjadi 58 kali gempa susulan berkekuatan 3.5-4.9 SR yang dirasakan oleh masyarakat dan memicu sesar-sesar daratan Jawa yang lama tertidur. Gempa Pangadaran disertai tsunami berskala 6,3 SR ke atas dengan gempa susulannya 60 kali lalu terjadi gelombang kuat dalam waktu bersamaan di tiga lokasi yang berbeda di Selat Sunda. Peningkatan frekuensi gempa ini telah memicu terjadinya gempa tremor diwilayah Lampung dan Bengkulu hampir setiap hari selama 3 bulan dari Bulan Juli-September 2006 hingga terjadi gempa cukup kuat di Muara Sipongi Desember 2006, lalu disusul gempa 5,8 SR dan 6.0 SR di Sumatera Barat Maret 2007, gempa susulannya berlangsung 350 kali yang dirasakan masyarakat. Gempa Bengkulu September dan November 2007 dengan gempa utama berkekuatan 7.9 SR dengan gempa susulan berlangsung 450 kali dan diantaranya terdapat gempa cukup kuat diatas 6.0 SR, Gempa Bengkulu mengguncang Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Utara, Batam, dan Singapura. Gempa Simeulue Februari 2008 dengan kekuatan utama 7.3 SR mengguncang Sumatera Utara-NAD, lalu mentransfer energi gempa susulan ke blok gempa Bengkulu sehingga terjadi gempa dengan kekuatan 6.8 SR. dengan gempa susulan mencapai 105 kali dengan kekuatan dibawah 3-4.5 SR
Susulan transfer energi gempa ke Sumatera Barat dengan terjadi gempa tahun 2009, kekuatan 7,6 SR, gempa susulan mencapai 450 kali, energi relaksasi gempa terus menekan zona patahan Mentawai dengan terjadi gempa kuat sepanjang tahun 2010 di Simeulue, Meulaboh dengan kekuatan 7,2 SR. Puncak penghunjung tahun 2010 terjadi tsunami maut di Mentawai dengan kekuatan 7.2 SR, gempa susulan masih berlangsung dan penulis catat sudah berlangsung 20 gempa susulan hingga gempa terjadi lagi kedua kali di Pagai.Selatan dengan 5.8 SR dalam kurun sebulan. Diperkirakan pada tahun 2011 relaksasi gempa bumi akan berlangsung lebih cepat karena siklus deformasi patahan saat ini dalam kondisi remuk dan masih dalam “keadaan pusing”.
Peningkatan intensitas tersebut telah memperingatkan bangsa ini untuk selalu mempersiapkan diri karena riwayat gempa yang tecatat tidak pernah menurun tapi meningkat tajam. Dari data USGS Earthquake menyebutkan intensitas gempa Indonesia jauh lebih sering dibandingkan gempa bumi di Jepang, Rusia dan Iran, terlihat dari intensitas gempa terjadi sejak tahun 2000 hingga ke tahun 2010 tercatat 80 kali gempa kuat yang merusak ataupun yang dirasakan langsung oleh masyarakat dengan kekuatan 6.0-9.0 SR. Data BMKG juga mencatat posisi Indonesia paling sering mengalami gempa dahsyat hingga dalam setahun mencapai 870.000 gempa.
RELAKSASI GEMPA BESAR
Umumnya daerah penghasil “musim panen” gempa terletak dipinggiran pertemuan subduksi Lempeng Benua-Samudera dan posisi Lempeng Sumatera-Jawa berada dibatas konvergen dua lempeng tersebut sehingga relaksasi gempa besar yang diakibatkan oleh tumbukan dua lempeng besar diprediksi suatu saat berpotensi menghasilkan gempa strategis ke berbagai kawasan dunia melalui beberapa zona kerentanan geologis yang tinggi dan dalam kondisi “matang” antara lain; 1. Mulai rapuhnya palung Laut Jawa yang berbatas ke Selat Sunda disebabkan oleh berbagai tekanan dari beberapa lempeng yang mengeliligi Indonesia . Penghancuran sistimatis telah dimulai oleh efek perobekan gempa Aceh-Nikobar-Nias-Bengkulu-Simeulue setelah gempa 2004, telah memecah daerah blok batuan (lempengan) seluas 200.000 km bersambung ke patahan Burma hingga mendekati zona patahan Pantai Timur Thailand dan Malaysia, tekanan-tekanan dan pergerakan frontal lempeng telah mengaktifkan patahan daratan diwilayah “ring of fire”, antara lain Pegunungan Himalaya yang membentang sepanjang 4000 km hingga daratan Semananjung Malaya melalui patahan daratan Burma serta patahan Mergui dan bersambung ke pantai Timur Sumatera yang masih bersentuhan dengan patahan menyilang Aceh-Bahorok (Sumut). Memberikan kecepatan penjalaran energi responsif penghancuran batuan tua ke muda lebih cepat lagi sehingga akan ada pertumbuhan kawasan gempa baru dengan periodesasi gempa singkat dan kuat, terlihat pada gempa Bengkulu 2007, 2008 dan gempa Simeulue tahun 2005, 2008, 2010, Gempa Nias 2005, Gempa Sumatera Barat 2007, 2009 dan 2010 di Mentawai.
2. Potensi terjadinya gempa dan tsunami di sejumlah pantai di Indonesia akan semakin meningkat terus. Hal ini disebabkan beberapa titik rawan tsunami memasuki percepatan periode ulang kritis pelepasan energi gempa dalam waktu singkat dan bersamaan. Faktanya : Pantai Barat Sumatera telah ada perubahan bentuk pantai dan batimetri (topografi) kelautan oleh pembentukan gunung bawah laut oleh pembenturan lempeng bumi, di Laut Maluku-Sulawesi telah ditemukan pembentukan zona retakan bumi oleh gunungapi bawah laut, dan Laut Maluku-Papua terdapat pergerakan tekanan seismik yang tidak pernah berhenti akibat “terlumat”nya lempeng Maluku dan menjadikan Kepulauan Maluku suatu saat menjadi “Aceh kedua”.
Daerah kritis “musim panen” gempa serentak antara lain Aceh-Sumut tahun 1873,1892,1921,1928,1936,1941,1987.2004, Patahan Enggano tahun 1850,1905. Patahan Mentawai tahun 1797,1881,1883. (2010 telah dilepaskan dengan tsunami mencapai 12 meter). Patahan Selat Sunda tahun 1883,1870,1921,1959,1994. Patahan Laut Jawa tahun 1867,1900,1958. Patahan Selat Bali-Nusa Tenggara tahun 1896,1954. Patahan Kepulauan Maluku tahun 1810,1883. Sulawesi tahun 1967,1969. Patahan Papua 1887,1976,1982,1996. Variasi siklus dapat terjadi 2-10 tahun, 15-70 tahun dan 100-200 tahun.
 Gambar : Relaksasi gempa besar masih mengancam Padang ke depan, [Sumber : berbagai sumber dan internet ]

SIAPKAH KITA?
Siapkah kita dalam menghadapi musim panen gempa tersebut? Tidaklah mengherankan bila terjadi “musim panen” tsunami, vulkanik, tektonik dan gerakan tanah disertai banjir secara serentak terjadi di 2-3 propinsi pada tahun ini dan menimbulkan jumlah korban mendekati ribuan jiwa dan rekonstruksi tata ruang menelan biaya diatas 20 trilium, angka ini bukan “angka mimpi”, sejarah sudah mencatat itu bagaimana Indonesia semakin miskin karena ada korban menjadi miskin dan menambah deretan pengangguran, sumber-sumber daya semakin menipis akibat bencana, disebabkan juga oleh kerakusan menguras berbagai sumber-sumber daya didaerah bencana. Jadi, siapkah kita menghadapi panen bencana dari beberapa kawasan kritis siklus gempa tersebut diatas di tahun depan dalam waktu bersamaan?

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan ini sudah pernah dimuat atau dipublikasi di Harian "WASPADA" Medan 
http://www.waspadamedan.com/opini

14 Jun 2011

Memilimalisasi Bencana Lingkungan Geologi Berbasis Mitigasi : Geologi Disaster[

MEMINIMALISASI BENCANA LINGKUNGAN GEOLOGI BERBASIS MITIGASI

Oleh : M. ANWAR SIREGAR

            Tata ruang lingkungan merupakan sesuatu tempat ruang manusia beraktivitas didalam suatu kerangka ruang dan waktu yang telah ditata sesuai kondisi lahan yang melingkupi lingkungan itu terbentuk dengan menyelaraskan kemampuan tata ekosistem ekologi dan tata ruang hunian serta infrastruktur lingkungan agar ditemukan keseimbangan hidup.
Situasi beberapa bulan terakhir ini telah menyibukkan berbagai kalangan diakibatkan kerusakan lingkungan oleh tidak konsistennya penegakan aturan perencanaan tata ruang, penegakan hukum lingkungan dan aturan UU tata ruang lingkungan, penataan ruang terbuka hijau, aturan building code dan zoning regulation code. Dampaknya telah jelas menyebabkan kerumitan bagi Pemerintah dengan banyaknya lingkungan pemukiman di perkotaan yang jauh dari sehat dan bersih, terlihat diberbagai sudut kota-kota di Indonesia akan terdapat kawasan pemukiman kumuh, pencemaran air disekitar DAS, bangunan dibangun disisi tebing sungai bahkan ada dibibir jurang pantai. Degradasi daya dukung kualitas lingkungan, pelanggaran izin dan berbagai kegiatan illegal lainnya dapat menimbulkan “bom waktu” dimasa mendatang bila tidak ditata ulang kembali.
MITIGASI BERBASIS KERENTANAN BAHAYA
            Merumuskan konsep tata ruang yang dinamis dalam meminimalkan kehancuran tata ruang geologi lingkungan harus merumuskan konsep tata ruang yang bersinergi dengan kawasan-kawasan pertumbuhan melalui kerangka strategis pengendalian pemanfaatan ruang-ruang hijau sebagai faktor utama dalam mengamankan berbagai prasarana dan sarana vital dari berbagai gangguan bencana. Dalam suatu tata ruang, beberapa kejadian bencana seperti banjir dapat dicegah bila daerah itu telah dipetakan sesuai dengan karakteristik bentang alam, begitu juga dengan upaya meminimalisasi kemungkinan risiko gempa bumi bila suatu tata ruang wilayah yang telah direncanakan sudah mengidentifikasi data-data geologi kegempaan lokal agar dapat mengembangkan tata ruang yang berketahanan terhadap kejadian bencana.
Dalam konsep mitigasi berbasis kerentanan geologis yang tinggi menurut Sanderson (1997) meliputi bebarapa faktor antara lain Bahaya (Hazard), Vulnerability (kerentanan) dan Ketahanan atau kapasitas penanggulangan, oleh penulis menambahkan dengan pemulihan atau merekonstruksi model-model pembangunan fisik sesuai dengan karakteristik geologi daerah serta aspek psikologis atau berhubungan mental traumatik. Yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berhubungan dengan aspek bahaya dan kerentanan beserta analisis risiko kerentanan dalam perencanaan tata ruang berketahanan bencana.
Dalam konsep identifikasi tingkat bahaya dapat diberikan beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain pertama, menyangkut data informasi dan identifikasi daerah yang berpotensi menghasilkan bencana berikutnya, dan telah diketahui bahwa wilayah Indonesia diidentifikasi berada diatas 3 (tiga) patahan tektonik yang bekerja aktif yakni Eurasia, Indo-Australia dan Carolina-Pasifik termasuk struktur tanah yang di identifikasi tersusun oleh material vulkanik dan endapan alluvium, potensi dari segala jenis bencana geologi antara lain rawan gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi, serta koridor patahan tektonik yang sangat panjang diwilayah Indonesia berada dilepas Pantai Barat Sumatera, lepas Pantai Selatan Jawa, Selat Bali-Nusa Tenggara, lepas Pantai Utara pulau burung Papua dan Laut antara Kalimantan dengan Sulawesi, serta Sulawesi dengan Kepulauan Maluku, Dengan sebaran 400 buah gunung berapi, dan diantaranya 128 masih bekerja aktif.
Kedua, daerah-daerah rawan tersebut di plot ke berbagai jenis peta-peta bencana wilayah dengan melakukan pengaturan pembagian peta daerah kerentanan atau zonasi makro dan mikro (Zoning System Map), yang dibagi tingkatan bahaya, yaitu tingkatan bahaya utama dan tingkatan bahaya ikutan yang disesuaikan dengan karakteristik kondisi geologi yang memayungi daerah tersebut. Dan harus disebarluaskan kepada masyarakat dan investor guna memahami kendala tata ruang dan pengembangannya bila dilakukan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana ke daerah bencana sesuai siklus kegempaan dan gerakan tanah.
Ketiga, selanjutnya diperlukan analisis risiko gempa berkelanjutan melalui identifikasi daerah rawan bencana baru, karena telah diketahui saat ini, bahwa arah deformasi pergerakan gempa bumi saat ini telah berubah siklus dari sedang ke pendek (singkat). Dan diketahui lebih lanjut beberapa pantai yang tidak memiliki karakateritik zona kegempaan tinggi kini mengalami gejala-gejala gerakan tanah yang semakin intensif akibat resonasi dan responsif energi seismik gempa semakin menekan daerah yang tadinya stabil, yaitu disekitar pantai Timur Sumatera, daerah Selatan dan Utara Laut Jawa, Pantai Timur Kalimatan Barat.
            Keempat, perumusan perencanaan dan pengendalian tata ruang mitigasi berketahanan bencana geologi dengan memperhitungkan sistem prioritas pencegahan atau mengurangi dampak risiko ketika bencana berlangsung didaerah kerentanan (vulnerability) dengan fokus utama kepada aspek fisik spasial yang mencakup perencanaan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang didaerah yang telah diidentifikasi berpotensi sebagai daerah rawan menghasilkan bencana berikut. Proses perencanaan tata ruang didaerah kerentanan dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan Input (masukan), Proses dan Output (keluaran) berupa rencana tata ruang yang merupakan hasil dari intervensi dan pemetaan (peta zonasi) untuk menghasilkan ruang yang aman dalam beraktivitas, produktivitas dan berkelanjutan dengan memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

MITIGASI BERBASIS RUANG TERBUKA HIJAU

            Tata ruang lingkungan di Indonesia saat ini dalam kondisi kritis, kritis tata ruang terjadi karena pembangunan dilakukan disuatu wilayah masih sering mengabaikan masalah ekologi tanpa mengikuti pola perencanaan geologi tata lingkungan dan menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan dan tidak memenuhi standar perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan.
            Dalam mengendalikan tata ruang lingkungan dari kehancuran akibat bencana geologi dan ulah manusia serta masih berhubungan dengan pengendalian kerentanan geologi dapat dilakukan upaya mitigasi berbasis ruang-ruang hijau terbuka antara lain : Pertama. RDTR atau rencana detail tata ruang diperlukan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang yang berhubungan dengan bencana geologi seperti bencana banjir bandang, dapat dilakukan apabila perangkat pendukung berupa penataan ruang-ruang hijau terbuka tetap dipertahankan pada daerah-daerah penyanggahan seperti kawasan pantai sebagai penahan laju gelombang pasang dan ancaman tsunami dan banjir pada kawasan hijau pusat inti kota dan RTBL hunian yang telah disiapkan. Dan setiap pemanfaatan tata ruang untuk pembangunan fisik harus mempunyai izin terlebih dahulu berupa IMB, dilanjutkan proses pengujian perizinan atas lokasi pemanfaatan pada suatu kawasan untuk pembangunan terlebih dahulu agar ada kesesuaian RTRW, RDTR Kecamatan dan RTBL kawasan khusus, bila layak maka izin diberikan, dan harus dilanjutkan dengan pembuatan Amdal, UKL dan UPL serta site plan. Hal ini penting untuk menghindari pemaksaan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Dan ini salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan banjir begitu mudah terjadi, padahal curah hujan tidak begitu deras, dan kita telah melihatnya di berbagai kota di Indonesia.
            Kedua, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota harus juga disesuaikan dengan kemampuan status perekonomian masyarakat agar tidak terjadi dampak padat penduduk ke kawasan hijau pusat inti kota dan merupakan bagian dari pengendalian eskalasi urbanisasi. Hal ini juga perlu disiapkan karena berhubungan dengan pengendalian pembangunan kawasan kumuh oleh penduduk pendatang terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini semakin terbatas sekali, akibatnya menimbulkan pergusuran ke kawasan-kawasan pinggiran kota yang masih menyisahkan daerah hijau yang luas. Selain itu, peningkatan pertumbuhan penduduk di kota dan pembangunan kota mengakibatkan harga-harga tanah naik tajam sehingga memerlukan tanah yang memadai. Erat hubungannya daya dukung lahan dan masalah lingkungan hidup. Maka tanah menjadi sumber konflik karena ketersediaan yang terbatas berakhir pada kemunculan kawasan kumuh diberbagai wilayah perkotaan. Ketiga, strategis konsep terpadu penataan ruang terbuka hijau, yaitu mengendalikan kehancuran lingkungan akibat “pembalakan” lahan bagi sumber-sumber daya alam dalam peningkatan perekonomian dan perluasan pembangunan fisik fasilitas perkotaan, kemajuan teknologi, industri dan transportasi, dapat dipadukan dengan berbagai kebijakan menyentuh segala lapisan dengan konsep tata ruang yang berwawasan lingkungan antara lain tata guna lahan pertaniaan abadi, RTBL tiap Kecamatan, dan pemanfaatan ruang kawasan lindung taman margasatwa dan sempadan air sungai, bagian dari ruang-ruang hijau ini harus diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi, guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau suatu kota yaitu pengendalian daerah-daerah rawa yang sebagai resepan air, berfungsi sebagai bioengineering dan biofilter bagi keseimbangan ekosistem dan tata ruang yang aman bagi kehidupan.


MITIGASI BERBASIS BUILDING CODE
            Pentingnya perencanaan tata ruang yang berbasis building code dalam mengantisipasi pengendalian kerentanan daya dukung tanah semakin menurun oleh sebab-sebab gempa, gempa adalah refleksi “kekerdilan” dalam memberi izin perluasan pembangunan fisik ke daerah yang sudah diidentifikasi rawan bencana, contohnya daerah gempa di Yogya, bangunan yang dibangun tidak tahan mengalami guncangan walau kekuatan gempa tidak begitu kuat namun mampu menelan korban dan infrastruktur yang banyak karena berada diatas tanah yang lunak dan mengakibatkan efek guncangan berganda terhadap pembangunan prasarana dan sarana infrastruktur kota, penataan ruang-ruang fasilitas yang tidak mendukung konsep building code serta karakteristik yang membentuk bentangalam daerah dimana tata ruang yang akan direncanakan untuk pembangunan tersebut.
            Dalam konteks peraturan daerah (building code) dalam penataan ruang untuk meminimalisasi dampak bencana, diperlukan suatu proses dan kemampuan untuk menakar risiko berdasarkan perencanaan yang dirumuskan setiap sektor dalam kebijakan peraturan bangun-bangunan dalam suatu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang harus dikontrol pemberian izin pembangunan infrastruktur dengan mengadopsi konstruksi bangunan tahan gempa termasuk sabuk hijau/greenbelt bagi kawasan industri. Sebab, tidak jarang diketahui suatu keluputan dalam memberi izin pembangunan gedung dan rumah disekitar lereng pegunungan, bangunan hotel persis dibibir jurang, tempat dimana bangun-bangunan tersebut seharusnya diperuntukan ruang terbuka hijau. Building code diperlukan untuk  memberikan gambaran kekuatan bangunan dan daerah lokasi bangunan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati menempati suatu bangunan dan lingkungan dalam menghadapi bencana alam universal.
MITIGASI BERBASIS MANEGEMEN RISIKO
Mitigasi meliputi tindakan untuk mencegah bahaya dan mengurangi dampak yang akan ditimbulkan dari akibat bencana. Managemen risiko bencana diperlukan dalam mengurangi risiko kerentanan sosial penduduk yang bermukim diwilayah dan atau kawasan rawan bencana melalui media informasi dan teknologi. Pengembangan informasi manajemen risiko diperlukan dalam mitigasi bencana antara lain :
Gempa Bumi, Tsunami, dan Vulkanik, mengidentifikasi tata ruang yang aman dari gempa dengan melakukan analisis gempa yaitu seismitas dari kedalaman dan kekuatan episentrum, jarak jangkauan pelemparan material batuan dan debu vulkanik, tipe-tipe tanah beserta gerakan tanah dan struktur geologi seperti perlipatan, sesar, kekar dan perlapisan ke dalam peta-peta bencana wilayah tata ruang yang kemungkinan akan kembali terjadi siklus bencana. Memberikan informasi tata ruang yang aman untuk pembangunan fisik dengan standar berbasis mitigasi bencana. Mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa didaerah rawan bencana beserta jaringan pendeteksi dini. Pencegahan pembangunan infrastruktur dikawasan tsunami dan bekas jejak vulkanik, mempersiapkan rute dan daerah evakuasi serta mengalokasi daerah yang aman dari gempa tektonik, dan pelemparan material vulkanik serta tsunami seperti daerah perbukitan, menginformasikan daerah yang akan tergenang dan menjadi sebuah area danau.
Gerakan tanah dan Banjir, dengan mengidentifikasi daerah rawan longsor, model gerakan tanah, daerah area getaran gempa dan vulkanik dan jenis tanah yang menyusun landscape tata ruang, memanfaatkan wilayah rentan gerakan tanah sebagai RTH untuk pengendalian banjir dan pengontrolan lahan dengan mengembangkan divertifikasi lahan yang produktif bagi keberlanjutan pertanian abadi yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam dan reboisasi daerah banjir dan pengadaan jalur evakuasi yang aman.
Konsistensi dari perencanaan penataan ruang merupakan komitmen bersama yang telah disusun dengan program-program yang dilakukan oleh berbagai sektor pembangunan harus ada pertimbangan aspek teknis yang dilengkapi dengan adanya partisipasi masyarakat secara berkelanjutan agar pemanfaatan tata ruang yang telah disusun tetap mengacu kepada rencana tata ruang yang telah disepakati bersama sehingga dengan demikian pembangunan tata ruang lingkungan dikota dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, dan berkelanjutan karena ada rasa memiliki dari masyarakat terhadap investasi yang diperuntukan untuk masyarakat dan bukan merupakan kepentingan pemerintah.


M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan Saya ini sudah pernah dimuat/diterbitkan langsung di Harian Surat Kabar "ANALISA" MEDAN Pada Tanggal 9 September 2009. Harap Pembaca Memaklumi jika ada tulisan sama di blogger lain.

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...