Sep 15, 2014

Kebakaran Petaka Hutan Tiap Tahun



PEMBAKARAN HUTAN SUMATERA, PETAKA TIAP TAHUN
Oleh : M. Anwar Siregar

Ketika terjadi isu kabut tebal di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang biasanya berdampak pada kehidupan manusia, berimbas juga pada negera tetangga. Pembakaran hutan-hutan di Riau dan Sumatera secara umum menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Semua orang baik yang mengetahui seluk beluk pengelolaan dan kebijakan hutan maupun tidak, lagsung menuding perusahaan yang memanfaatkan bahan baku atau perusahaan perkebunan sebagai biang keladinya. Biasanya kalangan pers pun tak ingin ketinggalan mencari informasi dengan memanfaatkan hasil pemantauan satelit NOAA generasi 11 dalam mengetahui penyebaran titik-titik api.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan ada beberpa penyebab antara lain yaitu adanya pembakaran hutan untuk perluasan lahan perkebunan, pembakaran huta dipinggir kota sebagai dampak perluasan dan perkembangan kota ke daerah batas. Sebagian industri masih menggunakan teknologi konvesiaonal, seperti menggunakan teknologi BBM yang belum ditingkatkan efek emisi buangan (polutan), terdapat ladang-ladang (sumur) minyak yang memancarkan api setiap hari serta disebabkan oleh musim kemarau yang telah melanda beberapa daerah di Sumatera di bulan Agustus ini hingga membuat asap menyebar ke Malaysia.
Selain kebakaran huta di Sumatera, juga terjadi penggundulan hutan-hutan yang dipicu oleh perkembangan dan pesatnya kemajuan industri terutama dalam pengadaan kertas dan bahan bangunan terutama permintaan kayu. Diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk di kota-kota besar di Riau, dan Pulau Sumatera.
EFEK PEMBAKARAN HUTAN
Pembakaran hutan sumatera dan Kalimantan diakhir abad 20 hingga abad 21 dalam kurun 30 tahun terakhir telah menimbulkan kehancuran ekosistim hutan dan beberapa jenis hutan tropis, putusnya ratai makanan, hilangnya beberapa keanekaragaman hayati fauna dan flora, terjadinya longsoran tanah, terjadinya perubaha iklim, naiknya suhu udara di Bumi, panas permukaa air laut meningkat tajam, mencairnya es di kutub selatan dengan implikasi semakin menipisnya lapisan ozon dapat menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia yang kian hari semakin “bandel”. Hutan Pulau Sumatera yang seharusnya berfungsi sebagai penyimbang alam yang ada di muka Bumi.
Turut andil dalam menghancurkan hutan dan menyebabkan terbakarnya hutan-hutan tropis di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan industri kerta dan Pulp, industri perkayuan (furniture), yang banyak diseludupkan ke luar negeri. Dalam setiap tahun dapat menghancurkan dan menggunduli hutan lebih 15.000 hektar per bulan atau bisa mencapai 80.000 hektar dalam setahun di Sumatera. Belum lagi kalau digabung dengan Kalimantan dan Papua bisa mencapai 200.000 per tahun
Sudah terbakar dan “botak”, diperparah lagi selama 15 tahun terakhir ini daerah di Pulau Sumatera telah sering mengalami “langganan” banjir secara gratis tetapi dibayar dengan nyawa dan harta benda, terutama di Propinsi Riau Daratan seperti di Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kuangsing siling berganti untuk mendapatkan “hadiah” banjir karena ulah mereka yang tidak disiplin dalam menegakkan peraturan pemerintah. Penulis mengatahui ini karena pernah kerja di Indragiri Hulu, Rokan Hulu dan Pelalawan. Mudah disogok dan menyeludupkan kayu-kayu secara berlebihan. Akibatnya kita sudah ketahui banjir dan kebakaran adalah bahaya yang terbesar khusus di Propinsi Riau atau kedua setelah gempa bumi di Indonesia sepanjang tahun.
HOT SPOT
  Sudah berapa kali Riau mengalami asap yang berimbas ke kota Provinsi tetangganya setiap tahun dan menimbulkan gangguan lingkungan terutama gangguan kesehatan manusia, merepotkan is kantong manusia untuk pembengkahan biaya hidup, terutama lagi kebutuhan listrik akibat pemadaman untuk menghindari kebakaran seperti kerusakan alat elektronik, jadwa penerbanga juga mengalami gangguan karena jarak pandangan semakin dekat, ada mencapai 50 meter dan harus mengubah jadwal demi menjaga keselamatan. Menimbulkan banyak kerugian ekonomi terutama dalam mengejar target proyek pembangunan fisik disebabkan berkabutnya atmosfir Bumi yang berakhir dengan tertundanya pembangunan.
Asap atau kabut di udara atmosfir Sumatera “gergelap ria” ditimbulkan oleh banyaknya titik-titik api atau hot spot, yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam usaha perluasan dan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar alang-alang liar, kayu-kayu kecil dan meninggalkan sisa-sisa api yag belum padam dan kering yang setiap saat tersulup lagi oleh panas matahari. Selain sikap manusia yang membakar lahan tersebut adalah “orang malas” dan juga tak pernah belajar dari kejadian bencana yang lewat.
Dalam satu bulan, areal hutan di Riau dan Sumatera dapat mengalami pembakaran oleh ulah manusia mencapai 15.000 hektar dan tersebar hampir merata diseluruh Kabupaten dalam satu Provinsi. Yang menghasilkan jumlah titik-titik apai di atas 5 lokasi titik api yang besar. Dan titik api ini biasanya banyak berlangsung di Provinsi Riau Daratan, aka bertambah bila digabung dengan Propinsi lainnya di Pulau Sumatera. Dan implikasinya adalah kita kembali pada kehidupan gelap gulita seperti dimasa silam sebelum ditemukan sumber energi listrik untuk penerangan lampu. Dan kalau negara tetangga kena “getahnya” itu disebabkan karena “cukongnya” bermukim disana harus merasakan “sakit” dan Encik dan Puan jangan “marahlah” sama kami.
SUMBER PETAKA
Kebakaran hutan Sumatera yang setiap tahun dapat menghasilkan kabut tebal dan merugikan aspek kehidupan manusia, “pelajaran” yang lalu tetap saja terulang kembali. Karena kebakaran hutan-hutan di Sumatera sudah sering terjadi, dimulai dari kebakaran terbesar ketika musim kemarau tahun 1981,1982, 1989 ketika gencar pembangunan industri dan penemuan sumur minyak yang baru oleh perusahaan asing perminyakan. Disusul tahun 1993-1995, 1998 dengan terbuka luas aset pembukaan laha perkebunan dan penggundulan huta untuk industri pulp yang ada di beberapa Propinsi di Sumatera. Pada tahun 2000 hingga 2005 ini, masih disebakan juga oleh penyimpangan iklim, ulah si jago merah di hutan Sumatera semakin bertambah bila daerah itu lagi-lagi ditemukan ladang-ladang minyak dan gas bumi seperti di daerah Cekungan Tapanuli dan Sumatera Selatan dan Jambi serta Bengkulu. Penyebaran kabut dapat bergerak cepat untuk menutupi langit Sumatera dan Kalimantan karena pembakaran berlangsung lama. Hasilnya, kita sudah ketahui, negara tetangga juga mengalaminya.
Faktor kebakaran hutan juga ditimbulkan oleh manusia hampir 85 persen, selain manusia, musim kemarau panjang melanda beberapa daerah dapat memicu kecepatan api menjalar ke wilayah-wilayah yang kering, untuk menghasilkan titik-titik api yang baru dan sumber-sumber polutan seperti yang terjadi di wilayah Riau, Kalimantan Timur dan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, kebakaran itu menjalar cepat juga dapat diakibatkan adanya sebaran lapisan batubara dan gambut.
SILIH BERGANTI
Seperti kita ketahui, bahwa beberapa Propinsi di Sumatera khususnya Riau dan Kalimantan Timur memiliki jumlah lapisan batubara yang besar (penghasil batubara dan gambut terbesar di Indonesia selain Sumatera Barat) sering mengalami kebakaran sepanjang tahun dan areal perkebunan berdekatan langsung dengan sumber-sumber energi tersebut diatas.
Asap kabut memang merupakan sumber petaka yang masih sama, dan menimbulkan gangguan seperti “biasa”. Yang dibakar cuma kayu dan alang-alang liar ternyata tidak sengaja kena juga lapisan permukaan batubara dan gambut muda. Jadi, efek petaka kabut yang sering terjadi sepajang tahun, tidak pernah terpadamkan oleh guyuran air hujan. Karena semua pembakaran ini bermuara kepada kepentingan bisnis, berlangsung juga sepanjang tahun.
Dan Sumatera memang identik dengan lagganan bencana. Setelah gempa bumi dan gunungapi meletus yang terjadi beberapa bulan yang lalu, kemudian giliran banjir melanda beberapa kota di Sumatera khususnya Riau, Sumatera Utara, Aceh dan Jambi pada tahun 2003 dan 2005. Banjir di Sumatera bukan “barang baru” terjadi, tetapi dimulai dengan berakhirnya musim kemarau yang berlangsung dari tahun 1982,1983, 1987, 1991 yang menimbulkan kebakaran luar biasa ternyata berdampak pada banjir Sumatera tahun 1992. Ketika itu menjalar ke beberapa Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Riau. Banjir terjadi akibat gundulnya hutan-hutan Sumatera pada tahun 1992 sebanyak 1,3 juta hektar.
Antara keduanya, “ada kerjasama”, musim “kabut” dan musm “air bah” datang berganti sepanjang tahun. Banjir di Riau berasal dari meluapnya sungai Kampar dan Sungai Indragiri akibat tidak adanya reboisasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), tidang seimbangnya neraca air di daerah aliran sungai. Selain morfologi rendah di daerah sungai mengalami penggundulan karena banyak penduduk bermukim, membuat peresapan air lebih lambat karena vegetasi dan jenis tanah umumnya ditutpi oleh lempeng dan gambut yang memiliki daya serap rendah. Begitu juga banjir yang terjadi di Bahorok pada tahun 2003, dan Aceh 2005.
PENGAWASAN
Untuk memantau dan melokalisasi kebakaran hutan dapat diterapakan teknologi penginderan jarak jauh secara multi bertingkat, dimulai dengan analisis data satelit, resolusi rendah dan disusul resolusi tinggi (melalui data satelit NOAA AVHRR, SPOT/LANDSAT) dan diakhiri analisis data foto udara (geologi citra foto) dan penarikan infra merah lewat pesawat terbang (Indroyono Soesilo, BPPT-GIS).
Penerapan teknologi penginderaan jauh multi tingkat, disamping mampu melokalisasi sumber api, lokasi banjir dan pemetaan daerah banjir, juga akan digunakan untuk inventarisasi luas daerah yang terbakar, maupun yang rusak akibat deforestasi. Harus dilakukan secara berkesinambungan. Karena kebakaran hutan Sumatera sudah merupakan “acara musiman” dengan mengalokasi waktu rekam data satelit NOAA, LANDSAT dan kebakaran hutan dapat dideteksi sedini mungkin dan upaya pemadaman dapat dilakukan sebelum si jago merah menjalar semakin luas.
Sekarang musim kabut itu melanda lagi negeri jiran hingga membuat Meneteri Lingkungan Malaysia mengadakan rapat dengan koleganya, Menteri Kehutanan RI, karena indeks PSI (Polutan Standar Indexs) telah mencapai 340-450, sudah sat membahayakan kesehatan, padahal semua tahun bahwa kebakaran hutan di Sumatera adalah andil warga negara Malaysia yang menjadi cukong kayu illegal.
Sekarang saatnya Indonesia harus memanfaatkan data satelit untuk melestarikan kelangsungan hidup umat di Bumi, dipakai untuk memantau, mengawasi kebakaran hutan, dan ilegal logging serta melestarikan hutan-hutan tropis dan Bumi untuk generasi mendatang.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Diterbitkan Harian "SUMATERA" Medan

No comments:

Post a Comment

Related Posts :