Kebakaran Petaka Hutan Tiap Tahun
PEMBAKARAN HUTAN SUMATERA,
PETAKA TIAP TAHUN
Oleh : M. Anwar Siregar
Ketika terjadi isu kabut tebal di Pulau Sumatera dan Kalimantan yang
biasanya berdampak pada kehidupan manusia, berimbas juga pada negera tetangga.
Pembakaran hutan-hutan di Riau dan Sumatera secara umum menimbulkan dampak
terhadap lingkungan. Semua orang baik yang mengetahui seluk beluk pengelolaan
dan kebijakan hutan maupun tidak, lagsung menuding perusahaan yang memanfaatkan
bahan baku atau perusahaan perkebunan sebagai biang keladinya. Biasanya
kalangan pers pun tak ingin ketinggalan mencari informasi dengan memanfaatkan
hasil pemantauan satelit NOAA generasi 11 dalam mengetahui penyebaran
titik-titik api.
Penyebab kebakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan ada beberpa
penyebab antara lain yaitu adanya pembakaran hutan untuk perluasan lahan
perkebunan, pembakaran huta dipinggir kota sebagai dampak perluasan dan
perkembangan kota ke daerah batas. Sebagian industri masih menggunakan
teknologi konvesiaonal, seperti menggunakan teknologi BBM yang belum
ditingkatkan efek emisi buangan (polutan), terdapat ladang-ladang (sumur)
minyak yang memancarkan api setiap hari serta disebabkan oleh musim kemarau
yang telah melanda beberapa daerah di Sumatera di bulan Agustus ini hingga
membuat asap menyebar ke Malaysia.
Selain kebakaran huta di Sumatera, juga terjadi penggundulan hutan-hutan
yang dipicu oleh perkembangan dan pesatnya kemajuan industri terutama dalam
pengadaan kertas dan bahan bangunan terutama permintaan kayu. Diiringi dengan
peningkatan jumlah penduduk di kota-kota besar di Riau, dan Pulau Sumatera.
EFEK PEMBAKARAN
HUTAN
Pembakaran hutan sumatera dan Kalimantan diakhir abad 20 hingga abad 21
dalam kurun 30 tahun terakhir telah menimbulkan kehancuran ekosistim hutan dan
beberapa jenis hutan tropis, putusnya ratai makanan, hilangnya beberapa
keanekaragaman hayati fauna dan flora, terjadinya longsoran tanah, terjadinya
perubaha iklim, naiknya suhu udara di Bumi, panas permukaa air laut meningkat
tajam, mencairnya es di kutub selatan dengan implikasi semakin menipisnya
lapisan ozon dapat menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia yang kian
hari semakin “bandel”. Hutan Pulau Sumatera yang seharusnya berfungsi sebagai
penyimbang alam yang ada di muka Bumi.
Turut andil dalam menghancurkan hutan dan menyebabkan terbakarnya
hutan-hutan tropis di Indonesia adalah perusahaan-perusahaan industri kerta dan
Pulp, industri perkayuan (furniture), yang banyak diseludupkan ke luar negeri.
Dalam setiap tahun dapat menghancurkan dan menggunduli hutan lebih 15.000
hektar per bulan atau bisa mencapai 80.000 hektar dalam setahun di Sumatera.
Belum lagi kalau digabung dengan Kalimantan dan Papua bisa mencapai 200.000 per
tahun
Sudah terbakar dan “botak”, diperparah lagi selama 15 tahun terakhir ini
daerah di Pulau Sumatera telah sering mengalami “langganan” banjir secara
gratis tetapi dibayar dengan nyawa dan harta benda, terutama di Propinsi Riau
Daratan seperti di Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir,
Kuangsing siling berganti untuk mendapatkan “hadiah” banjir karena ulah mereka
yang tidak disiplin dalam menegakkan peraturan pemerintah. Penulis mengatahui
ini karena pernah kerja di Indragiri Hulu, Rokan Hulu dan Pelalawan. Mudah
disogok dan menyeludupkan kayu-kayu secara berlebihan. Akibatnya kita sudah
ketahui banjir dan kebakaran adalah bahaya yang terbesar khusus di Propinsi
Riau atau kedua setelah gempa bumi di Indonesia sepanjang tahun.
HOT SPOT
Sudah berapa kali Riau mengalami asap yang
berimbas ke kota Provinsi tetangganya setiap tahun dan menimbulkan gangguan
lingkungan terutama gangguan kesehatan manusia, merepotkan is kantong manusia
untuk pembengkahan biaya hidup, terutama lagi kebutuhan listrik akibat
pemadaman untuk menghindari kebakaran seperti kerusakan alat elektronik, jadwa
penerbanga juga mengalami gangguan karena jarak pandangan semakin dekat, ada
mencapai 50 meter dan harus mengubah jadwal demi menjaga keselamatan.
Menimbulkan banyak kerugian ekonomi terutama dalam mengejar target proyek
pembangunan fisik disebabkan berkabutnya atmosfir Bumi yang berakhir dengan
tertundanya pembangunan.
Asap atau kabut di udara atmosfir Sumatera “gergelap ria” ditimbulkan oleh
banyaknya titik-titik api atau hot spot, yang disebabkan oleh aktivitas manusia
dalam usaha perluasan dan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar
alang-alang liar, kayu-kayu kecil dan meninggalkan sisa-sisa api yag belum
padam dan kering yang setiap saat tersulup lagi oleh panas matahari. Selain
sikap manusia yang membakar lahan tersebut adalah “orang malas” dan juga tak
pernah belajar dari kejadian bencana yang lewat.
Dalam satu bulan, areal hutan di Riau dan Sumatera dapat mengalami
pembakaran oleh ulah manusia mencapai 15.000 hektar dan tersebar hampir merata
diseluruh Kabupaten dalam satu Provinsi. Yang menghasilkan jumlah titik-titik
apai di atas 5 lokasi titik api yang besar. Dan titik api ini biasanya banyak
berlangsung di Provinsi Riau Daratan, aka bertambah bila digabung dengan
Propinsi lainnya di Pulau Sumatera. Dan implikasinya adalah kita kembali pada
kehidupan gelap gulita seperti dimasa silam sebelum ditemukan sumber energi
listrik untuk penerangan lampu. Dan kalau negara tetangga kena “getahnya” itu
disebabkan karena “cukongnya” bermukim disana harus merasakan “sakit” dan Encik
dan Puan jangan “marahlah” sama kami.
SUMBER PETAKA
Kebakaran hutan Sumatera yang setiap tahun dapat menghasilkan kabut tebal
dan merugikan aspek kehidupan manusia, “pelajaran” yang lalu tetap saja
terulang kembali. Karena kebakaran hutan-hutan di Sumatera sudah sering terjadi,
dimulai dari kebakaran terbesar ketika musim kemarau tahun 1981,1982, 1989
ketika gencar pembangunan industri dan penemuan sumur minyak yang baru oleh
perusahaan asing perminyakan. Disusul tahun 1993-1995, 1998 dengan terbuka luas
aset pembukaan laha perkebunan dan penggundulan huta untuk industri pulp yang
ada di beberapa Propinsi di Sumatera. Pada tahun 2000 hingga 2005 ini, masih
disebakan juga oleh penyimpangan iklim, ulah si jago merah di hutan Sumatera
semakin bertambah bila daerah itu lagi-lagi ditemukan ladang-ladang minyak dan
gas bumi seperti di daerah Cekungan Tapanuli dan Sumatera Selatan dan Jambi
serta Bengkulu. Penyebaran kabut dapat bergerak cepat untuk menutupi langit
Sumatera dan Kalimantan karena pembakaran berlangsung lama. Hasilnya, kita
sudah ketahui, negara tetangga juga mengalaminya.
Faktor kebakaran hutan juga ditimbulkan oleh manusia hampir 85 persen,
selain manusia, musim kemarau panjang melanda beberapa daerah dapat memicu
kecepatan api menjalar ke wilayah-wilayah yang kering, untuk menghasilkan
titik-titik api yang baru dan sumber-sumber polutan seperti yang terjadi di
wilayah Riau, Kalimantan Timur dan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, kebakaran
itu menjalar cepat juga dapat diakibatkan adanya sebaran lapisan batubara dan gambut.
SILIH BERGANTI
Seperti kita ketahui, bahwa beberapa Propinsi di Sumatera khususnya Riau
dan Kalimantan Timur memiliki jumlah lapisan batubara yang besar (penghasil
batubara dan gambut terbesar di Indonesia selain Sumatera Barat) sering
mengalami kebakaran sepanjang tahun dan areal perkebunan berdekatan langsung
dengan sumber-sumber energi tersebut diatas.
Asap kabut memang merupakan sumber petaka yang masih sama, dan menimbulkan
gangguan seperti “biasa”. Yang dibakar cuma kayu dan alang-alang liar ternyata
tidak sengaja kena juga lapisan permukaan batubara dan gambut muda. Jadi, efek
petaka kabut yang sering terjadi sepajang tahun, tidak pernah terpadamkan oleh
guyuran air hujan. Karena semua pembakaran ini bermuara kepada kepentingan
bisnis, berlangsung juga sepanjang tahun.
Dan Sumatera memang identik dengan lagganan bencana. Setelah gempa bumi dan
gunungapi meletus yang terjadi beberapa bulan yang lalu, kemudian giliran
banjir melanda beberapa kota di Sumatera khususnya Riau, Sumatera Utara, Aceh
dan Jambi pada tahun 2003 dan 2005. Banjir di Sumatera bukan “barang baru”
terjadi, tetapi dimulai dengan berakhirnya musim kemarau yang berlangsung dari
tahun 1982,1983, 1987, 1991 yang menimbulkan kebakaran luar biasa ternyata
berdampak pada banjir Sumatera tahun 1992. Ketika itu menjalar ke beberapa
Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Riau. Banjir terjadi akibat
gundulnya hutan-hutan Sumatera pada tahun 1992 sebanyak 1,3 juta hektar.
Antara keduanya, “ada kerjasama”, musim “kabut” dan musm “air bah” datang
berganti sepanjang tahun. Banjir di Riau berasal dari meluapnya sungai Kampar
dan Sungai Indragiri akibat tidak adanya reboisasi di sepanjang daerah aliran
sungai (DAS), tidang seimbangnya neraca air di daerah aliran sungai. Selain
morfologi rendah di daerah sungai mengalami penggundulan karena banyak penduduk
bermukim, membuat peresapan air lebih lambat karena vegetasi dan jenis tanah
umumnya ditutpi oleh lempeng dan gambut yang memiliki daya serap rendah. Begitu
juga banjir yang terjadi di Bahorok pada tahun 2003, dan Aceh 2005.
PENGAWASAN
Untuk memantau dan melokalisasi kebakaran hutan dapat diterapakan teknologi
penginderan jarak jauh secara multi bertingkat, dimulai dengan analisis data
satelit, resolusi rendah dan disusul resolusi tinggi (melalui data satelit NOAA
AVHRR, SPOT/LANDSAT) dan diakhiri analisis data foto udara (geologi citra foto)
dan penarikan infra merah lewat pesawat terbang (Indroyono Soesilo, BPPT-GIS).
Penerapan teknologi penginderaan jauh multi tingkat, disamping mampu melokalisasi
sumber api, lokasi banjir dan pemetaan daerah banjir, juga akan digunakan untuk
inventarisasi luas daerah yang terbakar, maupun yang rusak akibat deforestasi.
Harus dilakukan secara berkesinambungan. Karena kebakaran hutan Sumatera sudah
merupakan “acara musiman” dengan mengalokasi waktu rekam data satelit NOAA,
LANDSAT dan kebakaran hutan dapat dideteksi sedini mungkin dan upaya pemadaman
dapat dilakukan sebelum si jago merah menjalar semakin luas.
Sekarang musim kabut itu melanda lagi negeri jiran hingga membuat Meneteri
Lingkungan Malaysia mengadakan rapat dengan koleganya, Menteri Kehutanan RI,
karena indeks PSI (Polutan Standar Indexs) telah mencapai 340-450, sudah sat
membahayakan kesehatan, padahal semua tahun bahwa kebakaran hutan di Sumatera
adalah andil warga negara Malaysia yang menjadi cukong kayu illegal.
Sekarang saatnya Indonesia harus memanfaatkan data satelit untuk
melestarikan kelangsungan hidup umat di Bumi, dipakai untuk memantau, mengawasi
kebakaran hutan, dan ilegal logging serta melestarikan hutan-hutan tropis dan
Bumi untuk generasi mendatang.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah
Lingkungan dan Geosfer, Diterbitkan Harian "SUMATERA" Medan
Komentar
Posting Komentar