Dec 14, 2016

Memahami Aceh di Daerah Rawan Gempa

Memahami Aceh di Daerah Rawan Gempa

Foto/ilustrasi
Oleh: M. Anwar Siregar
Duka bencana banjir belum berakhir di Bumi Serambi Makkah datang lagi bencana gempa menggun­cang Aceh Pidie Jaya dengan kekuatan gempa kuat mencapai 6.5 Skala Richter di da­ra­tan dan berada pada ruas patahan Anu-Ban­da Aceh dan Ruas Lanteuba-Biru yang membelah kawasan daratan Aceh ke utara. Kekuatan gempa di Aceh Pidie itu telah merusak bangunan yang tidak ran­cang tahan gempa. Dan se­ha­rusnya men­jadi peringatan bagi manusia di Bumi Aceh.
Jika memperhatikan posisi koordinat pusat gempa yang terjadi di Tenggara Pidie dengan gempa-gempa terdahulu yang pernah melanda Aceh Utara dan Aceh Besar  terlihat jelas bahwa posisi ini telah menekan beberapa ruas patahan yang berdekatan di wilayah Propinsi Su­matera terutama di segment patahan daratan. Tekanan ini akan mempermu­dah­kan suatu responsibilitas energi seis­mik lebih kencang ke segmen patahan daratan yang melintasi Propinsi Sumatra Utara yaitu Patahan Renun, Toru dan Ang­kola.
Gempa yang sering terjadi didaratan Aceh-Sumatera akibat pergerakan ke ka­nan dari patahan Semangko yang me­lin­tas dari Aceh sampai Lampung. Gempa 07 De­sember 2016 berbeda pada kejadian gem­­pa di pantai barat Aceh-Simeulue aki­bat patahan naik (thrust faulting) pada dae­rah transisi dua lempeng yaitu Indian Ocea­nic Plate dan Eurasia Continental Plate.
Kecepatan pergerakan Lempeng India adalah sebesar 6 cm/tahun ke arah  ti­murlaut  relatif terhadap Lempeng Eu­rasia. Arah gerakan Lempeng India ter­sebut oblique atau miring terhadap orien­tasi batas lempeng. Komponen per­ge­rakan lempeng yang tegak lurus terhadap batas lempeng telah menye­bab­kan daerah yang terjadi gempa me­ngalami patahan naik sedangkan kom­po­nen pergerakan lempeng yang sejajar ter­hadap batas lempeng diakomo­dasikan oleh patahan-patahan mendatar yang ada di daerah gempa.
Sedangkan gempa daratan kemung­ki­nan ada dua secara umum yaitu bisa disebabkan oleh sesar normal naik (vertical dipslip) dan sesar geser (strike slip) serta kemungkinan yang terbaru slap pull.
Memahami gempa aceh
Diketahui, wilayah Aceh sangat rawan gem­pa tektonik dari sumber gempa darat adalah patahan Semangko yang meru­pa­kan patahan Besar Sumatera yang me­lintas Sumatera dari Utara Aceh hingga ke selatan Lampung sebagai sumber me­sin utama penghasil gempa, termasuk gempa yang terjadi di Aceh Pidie Jaya de­ngan kekuatan mencapai 6.5 SR (Sum­ber BMKG). Daerah Aceh Pidie meru­pa­kan zona merah rawan gempa dengan zona seis­motektonik sangat tinggi ke­ren­­ta­nan­nya, zona gempa yang harus di­perhatikan da­lam berbagai jenis pem­bangunan fisik ka­rena wilayah ini umum­nya membelah ba­gian tengah di wilayah da­ratan Aceh, searah dengan Bukit Barisan.
Sebab lainnya,  mekanisme gempa di da­ratan Aceh Tengah, Aceh Besar dan Aceh Pidie Jaya serta Aceh Utara meru­pa­kan dampak pergeseran sesar dengan kedalaman gempa dangkal antara 10-20 km. Lihatlah bukti sejarah gempa daratan yang pernah berlangsung di Aceh Pidie, Ku­tacane dan Bener Meriah.
Patahan Semangko memiliki sesar-se­sar kecil yang menyebar pada beberapa wi­layah Aceh dari utara dan selatan se­perti patahan Lokop-Kutacane-Blang­keu­jeren-Mamas, Kla-Alas, Reunget-Blang­kujeren, Anu-Batee, Samalanga-Sipopoh, Banda Aceh-Anu dan Lam­teuba-Biru, semua patahan ini harus di­pa­hami masyarakat jika ingin mem­ba­ngun gedung dan ruko lebih dari dua lan­tai karena mengingat zona patahan ak­tif berada pada kedalaman 10-20 km de­ngan panjang mencapai minimal 15-25 km di bawah permukaan daratan bumi Aceh, andaikan terjadi gempa maka ge­taran seismik mudah mencapai per­mu­kaan dengan kecepatan supersonik de­ngan kekuatan tertentu dapat merusak ba­ngunan dan infrastruktur jalan raya rusah parah.
Masyarakat perlu mema­hami kondisi energi gempa setelah 12 tahun terjadinya gem­pa disertai tsunami, bah­wa lem­pe­ngan di Samudera Indo-Australia dengan Eu­rasia memasuki pasca mo­derat ke­seim­bangan seismik dalam puluhan tahun ke de­pan maka akan ada selalu energi gempa ber­kuatan kuat sedang, akan menggun­cang daratan Sumatera sepanjang tahun.
Efek penjalaran sesimik dari pusat gempa di dasar la­ut itu terus memberikan res­pon­sibilitas energi sesimik ke daratan sumatera, terutama pada 19 segmen patahan lokal di Pulau Sumatera termasuk yang membelah wilayah da­ratan Provinsi Aceh, dimana pada tahap ini energi seismik keseimbangan tidak akan ada energi kekuatan gempa men­capai skala diatas 8.0 Mw yang akan dilepaskan.
Faktanya, energi yang sebesar itu telah dilepaskan pada kejadian gempa tahun 2014. Telah terakumulasi dan terserap selama ratusan tahun pada segmen megathrust gem­pa Aceh-Andaman di la­utan, dilepaskan dua kali gem­pa dalam tiga bulan yaitu pada gempa Aceh-Andaman-Nikobar Desember 2004 dan gempa Simeulue Nias Maret 2005.
Pemahaman lebih lanjut harus terus diamati, potensi ancaman selalu ada di daratan yang bersumber pada zona patahan sumatera karena ada akumulasi tekanan di daratan Aceh dan sebagian Sumatera Utara dengan perkiraan keda­laman 10 km sehingga ada ke­mungkinan pelepasan ener­gi gempa bumi dengan magnitudo lebih dari Mw 6.0 seperti pada kejadian dua ta­hun gempa terakhir di da­ra­tan Aceh. Gempa Benar Me­riah dan gempa Aceh Pidie Jaya semua di atas kekuatan 6.0 SR dengan mekanisme gem­panya adalah sesar geser (strike slip).
Beda dengan Aceh Singkil yang terjadi pada tahun 2011 lalu, mekanisme gempanya adalah slap pull atau kerak benua di bawah Sumatera me­ngalami pergelinciran dengan kedalaman mencapai 70 km dan sama dengan kedalaman kerak benua.
Mitigasi bencana
Salah satu tahapan pada sik­lus bencana sebelum gem­pa adalah mitigasi yaitu se­rangkaian upaya untuk me­ngurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan pe­ningkatan kemam­puan meng­hadapi ancaman benca­na (UU Penanggulangan Ben­cana)  atau  upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan mau­pun non struktur atau nonfisik melalui peningkatan kemam­puan menghadapi ancaman bahaya seharusnya menjadi pedoman bagi perencanaan pembangunan dalam meng­hadapi serangan kilat gempa.
Ada dua upaya dalam miti­gasi yakni upaya struktur/fi­sik dan upaya nonstruktur/non fisik. Pada upaya struk­tur  dilakukan pembangunan fisik untuk mengurangi resi­ko seperti turap, dam, tanggul atau bangunan tahan gempa, jalur evakuasi maupun atu­ran-aturan pembatasan ba­ngunan (building code).
Sedang upaya non fisik di­berikan berupa peringatan dini, kesadaran akan anca­man bahaya, tanda-tanda peri­nga­tan, kesiapsiagaan, kemam­puan penduduk untuk mela­kukan evakuasi. Kedua upaya mitigasi ini belum memb­u­daya pada daerah yang rawan gempa dengan terbukti me­nelan banyak korban jiwa dan hancurnya bangunan menca­pai kerugian ratusan milyar selain malas belajar dari se­jarah bencana gempa yang per­nah berlang­sung namun tetap kembali dan menghuni daerah yang sudah dianggap sangat rawan bencana.
Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pe­merintah untuk memba­ngun kembali Aceh dan Nu­santara yang lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas dan memiliki daya saing di dunia internasional. Hal inilah kita rindukan da­lam kehidupan di daerah rawan gempa, karena yang seringkali kita baca dan kita dengar adalah penyalah­gunaan bantuan untuk korban bencana dan saling tunggu antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Rekonstruksi
Pada tahap selanjutnya ada­lah rekonstruksi dengan di mulai dibangunnya tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga.
Pada tahap rekons­truksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah bu­daya. Kita perlu mela­kukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab.
Dengan melakukan re­kons­truksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap kehidupan me­reka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana. De­ngan memahami bahwa me­reka tinggal diderah rawan bencana siap dan siaga meng­hadapi bencana dengan padu­an kearifan lokal dan di­bungkus oleh pengetahunan bencana sehingga bangunan yang di bangun tahan ben­cana.***
Penulis, Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, bertugas di Padangsidimpuan.
Tulisan ini sudah dipublikasi di HARIAN ANALISA MEDAN, 10 Desember 2016

No comments:

Post a Comment

Related Posts :