Indonesia Belum Melek Bencana Gempa
Oleh M. Anwar Siregar
Indonesia memang
belum melek bencana, itu dapat terlihat dari pola tata ruang dan perencanaan
mitigasi kewilayahan serta budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya melek bencana sepertinya dianggap kemarin sore. Bukti-bukti ini
dapat
terlihat jelas juga kalau kita perhatikan budaya lalu lintas,
menyebarang jalan
sembarangan walau sudah disediakan lokasi tempat penyeberangan dan turun
seberangan tempat di tengah badan jalan seenaknya, tidak mau mengikuti
aturan
yang sudah ditentukan melalui papan himbauan yang ada disediakan, ada
jembatan
penyeberangan masih juga tidak digunakan, serta budaya latihan evakuasi
bencana
belum menjadi skala rutin kegiatan dalam pembangunan kapasitas
masyarakat bagi
setiap pemerintahan di Indonesia. Coba perhatikan apakah di setiap kota
Anda atau di daerah lainnya di Indonesia secara berkala mengadakan
latihan simulasi dan evakuasi bencana? Jangankan latihan bencana,
memasukan
program kegiatan tersebut dalam pembangunan daerah belum membumi
sehingga tidak
mengherankan jika terjadi bencana akan ada “kegaduhan”.
PENDIDIKAN BENCANA
Sejak tahun 1960 an hingga ke era sekarang,
budaya pendidikan mitigasi di Indonesia
belum membumi, di era tahun 70-an dan 80-an Indonesia sering mengalami bencana
letusan gunungapi dan gempa bumi. Namun kurikulum yang berbasis pendidikan
mitigasi bencana tidak ada memasukan unsur pendidikan bencana. Pada tahun
1990-an Indonesia
mulai secara beruntun mengalami gempa bumi secara estafet di beberapa daerah
hingga memasuki tahun 2000-an dengan puncak tsunami terbaik di era abad 21, dunia
pendidikan sepertinya belum bersatu menyusun secara detail tentang bagaimana membudayakan
pendidikan mitigasi yang berbasis masyarakat.
Bagaimana membentuk
masyarakat siaga bencana jika dalam pendidikan mitigasi di Indonesia belum
membumi? Coba anda tanyakan atau cari informasi adakah kurikulum pendidikan
mitigasi yang mengajarkan budaya melek bencana atau membentuk kota dan masyarakat
siaga bencana, atau juga secara berkala minimal 3 (tiga) kali dalam setahun
mengadakan simulasi bencana?
Pendidikan mitigasi
bencana sangat diperlukan di era sekarang. Sebab, dibeberapa wilayah di Indonesia
saat ini ada antrian kepenatan energi gempa dan letusan gunungapi untuk melepaskan
tenaga dalamnya kepermukaan bumi, termasuk bencana rutin banjir dan longsor, sedangkan
kota dan masyarakatnya belum juga siap.
Sekali lagi
ditekankan, Pemerintah harus mempersiapkan standar pendidikan mitigasi usia
dini, karena sejak generasi zaman 70-an hingga ke era sekarang belum ada
standart pendidikan mitigasi yang menjadi basis budaya melek bencana. Sangat
berbeda dengan Amerika Serikat, Jepang dan Italia serta Negara-negara maju
lainnya yang mementingkan pembangunan pendidkan kapasitas SDM masyarakat untuk selalu
siaga bencana.
PETA TATA RUANG
Banjir dan longsor melanda nyaris seluruh
wilayah Jawa dan Sumatera dampak dari perubahan tata ruang yang sebenarnya
sudah diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana geologi dan membuktikan bahwa
masyarakat Indonesia
benat-benar belum melek bencana dan membuktikan juga bahwa tata ruang belum
berbasis bencana sehingga diabaikan data detail ruang yang telah disusun. Namun, sampai saat ini belum semua
produk pengaturan tata ruang selesai dikerjakan. Banyak kabupaten/kota belum
menyelesaikan rencana detail tata ruang sehingga proses mitigasi bencana belum
efektif
Peta
risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman melek bencana dalam
penyusunan tata ruang. Tata ruang yang disusun tidak berjalan seperti yang
diharapkan karena ada kekuatan eksternal seperti politik lokal dan desakan
ekonomi sehingga daerah rawan bencana tetap dijadikan permukiman tanpa ada
upaya mitigasi. Akibatnya ketika terjadi bencana timbul juga korban jiwa dan
kerugian harta ekonomi.
Tata ruang kota di Indonesia tidak berjiwa bencana,
nampak pada penyusunan yang tidak mengacu pada data-data geologis untuk menekan
bencana lingkungan sebagai syarat mutlak dalam upaya pengurangan resiko bencana
dan adaptasi perubahan iklim di tingkat lokal seperti bencana pada bulan ini
penuh dengan bencana banjir dan longsor.
TIDAK TANGGUH GEMPA
Indonesia benar-benar belum melek bencana gempa, pola
tata ruang dan pendidikan mitigasi bencana dalam rangka pengurangan resiko
bencana gempa belum diimplementasi dalam budaya hidup akrab bersama bencana
gempa, yang ada adalah hidup menikmati bencana gempa seperti sekarang, standart
penerapan building code masih diabaikan.
Budaya bencana gempa di Indonesia lebih dikenal sebagai
pameo bagi tata ruang adalah ”bencana dulu, jatuh korban dan kerugian ekonomi
baru siapkan mitigasi”. Selain diperparah juga dengan lemahnya dukungan politik
lokal dalam membangun masyarakat yang tangguh bencana. Dukungan politik lokal
hanya sebatas retorika, implementasinya dalam bentuk tata ruang belum
memuaskan, hanya baru menekan pada aspek prinsip-prinsip kelayakan saja dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tanpa data dasar geologi yang detail
sehingga kita melihat di beberapa kota banyak dibangun dekat zona berbahaya,
dekat zona pembenturan lempeng.
Sebagai contoh kota Jakarta dan Bandung, Padang serta
Banda Aceh termasuk gempa kota Pidie Jaya berada dalam radius 10-15 kilometer
dari zona patahan gempa yang menyimpan energi seismik tinggi. Yang paling jelas
adalah kota Bandung dan Banda Aceh. Bandung dibentuk diatas sesar/patahan
Lembang dan Cimandiri berjarak 15 km dan termasuk zona gempa kelas dunia karena
daerah yang paling padat. Begitu juga tata ruang Banda Aceh yang berada di bawah
ancaman empat patahan lokal segment Semangko yang berada sekitar 15-20 km
dengan kondisi tanah dengan tingkat kematangan yang rendah. Semua kota tersebut
terbukti tata ruangnya belum melek bencana gempa dan akan selalu ada kehancuran
fisik yang dahsyat.
Gambar : Peta Zonasi Gempa di Indonesia, gambaran tata ruang gempa di tiap Propinsi
(sumber ; dari berbagai sumber)
Semakin membuktikan Indonesia belum melek bencana gempa adalah
lemahnya sosialisasi potensi gempa dari zona patahan bagi tata ruang kota,
karena kebanyakan kota di Indonesia di bangun diatas patahan dan menjadi pusat
ekonomi masyarakat seperti kota di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Maluku
dan NTT serta Jawa Barat, Yogyakarta atau juga Bengkulu dan Sulawesi Utara.
Untuk melihat gambaran tata ruang kota yang tidak melek
bencana gempa lebih jelas ada di Patahan Semangko, yang memanjang dari Aceh
sampai Lampung sepanjang 1.650 km, berarti hampir semua kota di Sumatera rawan
gempa. Kota-kota yang dilintasi Patahan Lembang di Bandung dan Cimandiri yang
membelah Sukabumi dan Beribis membelah beberapa kota di Jawa Barat, kota yang
berada dekat Patahan Ciputat menuju Jakarta dan Bekasi dan Patahan Opak yang
membelah sebagiam Jateng.Yogyakarta hingga ke Jawa Timur, kota yang dibelah
oleh patahan Flores di NTT-NTB serta patahan Palu-Koro-Gorontalo dan Matano
yang membelah seluruh kota di Pulau Sulawesi-Maluku serta patahan Tarera Audina
yang memanjang dari Kepala Burung hingga membelah Pegunungan Jayawijaya di
Pulau Papua.
Dengan melihat kondisi ini, seharusnya Indonesia sudah
melek bencana, agar lebih waspada untuk mengatur tata ruang wilayahnya dengan
tidak membangun bangunan dengan spesifikasi yang sangat buruk.
Kota yang tangguh adalah kota yang mempersiapkan diri
terhadap dampak iklim di masa kini dan masa mendatang dengan membatasi kekuatan
dan keparahan tata ruang serta memiliki tata ruang lahan untuk rehabilitasi
sebagai investasi jangka tertentu, sehingga dapat bergerak cepat, efektif serta
tepat efisien untuk kembali membangun kota jika mengalami dampak bencana gempa
maupun perubahan iklim global seperti ancaman bencana banjir daratan dan banjir
dari lautan serta harus menjadi prioritas utama dalam membangun kota dengan
memperhitungkan posisi zona patahan, sejarah bencana alam masa lalu kota, kaidah
building code untuk rancang bangunan, amdal yang profesional serta pemetaan seismotektonik
yang berbasis bencana geologi gempa dan dinamika budaya siaga bencana sebagai
mitigasi untuk membentuk masyarakat dan kota yang melek bencana.
M. Anwar Siregar
Enviromentalist
Geologist, bekerja sebagai ASNTulisan ini sudah di publikasi di HARIAN WASPADA Medan, Tanggal17 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar