May 4, 2017

Hari Pemimpin Berjanji

HARI PILKADA, HARI PEMIMPIN “BERJANJI”
Oleh : M. Anwar Siregar

Masyarakat Indonesia memiliki kadar kemajemukan dan resolusi konflik yang tinggi, memiliki potensi pembenturan antara elemen cukup besar, diperlukan kebijakan dan kearifan dari para pemimpin bangsa untuk mengakomodasikan aspirasi rakyat dalam meredam berbagai konflik sosial kultural, menghilangkan diskriminasi sosial, mempersempit atau menghilangkan disintegrasi pendidikan, meredam kesenjangan kemiskinan, memadukan semangat interaksi lingkungan dan sosial kultural.
Kemerdekaan berpendapat di Indonesia sudah cukup baik, namun dalam pelaksanaan atau implementasinya di lapangan masih banyak terdapat friksi-friksi tajam yang harus dihilangkan agar demokrasi yang sudah berjalan 18 tahun di era reformasi ini harus dapat menumbuhkembangkan semangat demokrasi yang eganliter dalam usaha meredam gejolak sosial budaya yang ditimbulkan akibat euforia demokrasi, dengan memahami kaidah-kaidah kekerakyatan yang bertumpuk pada azas semangat kebersamaan untuk menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik.
BUDAYA DEMOKRASI PILKADA
Resolusi konflik sosial kultural dalam budaya demokrasi pilkada di Indonesia sangat rentan budaya identitas sosial kultural seperti di Kalimantan Timur, Sumatera Utara, NTT, Papua dan Papua Barat, bahwa masyarakat Indonesia mengandung unsur-unsur primordial, yaitu terbagi dalam beberapa kelompok menurut sifat-sifat suku bangsa dan agama. Dengan jumlah penduduk sekitar 215 juta jiwa dan lebih 400 kelompok etnis yang mendiami Nusantara dalam berbagai identitas sosial kulutral dengan aneka kesenjangan dan keterbelakangan yang kompleks penanganannya, memerlukan perhatian yang tinggi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan dalam meredam pertentangan kepentingan sesaat yang dapat menimbulkan eksistensi politik kultural yang berlebihan.
Primordialisme yang berlebihan dan penghilangan kemurnian kultural bangsa dari ragam budaya etnis akibat arus globalisasi budaya demokrasi yang tidak berazas budaya bangsa dapat mengakibatkan terjadinya konflik horizontal etnis yang tinggi, dan eskalasi suhu politik serta unjuk kekuasaan dapat membawa pengaruh budaya negatif dalam berdemokrasi di Indonesia pada akhirnya dapat meruntuhkan integrasi nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diminta kearifan para elite yang maju ke “pertandingan” pemilihan kepala daerah untuk memahami benar-benar budaya demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia dengan tidak membawa unsur-unsur primordialisme serta euforia ambisius yang dapat membahayakan pelaksanaan pembelajaran demokrasi yang santun di Indonesia.
Pada Tahun 2017 ada 231 daerah di tanah air melaksanakan pilkada dengan menyerap dana lebih dari 200 milyar rupiah dan belum lagi dana kampanye dari para calon kepala daerah yang mungkin lebih besar dari dana pilkada KPU Daerah. Rentan konflik horizontal, rentan provokasi dan tindakan anarkis yang dapat membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat serta mengganggu pergerakan perekonomian nasional.
Budaya kampanye yang wajib dipahami bagi calon kepala daerah dalam mengendalikan “chaos demokrasi” pilkada adalah memberikan keteladanan etika diantara elit politikus sebagai cermin yang baik bagi masyarakat sekitarnya, memahami budaya politik yang baik, yaitu memberikan pemahaman pembelajaran politik kepada pendukungnya untuk memberikan pengajaran budi pekerti politik selama kampanye jalanan agar tidak terjadi budaya kekerasan dan anarkis dan memahami segala kekurangan yang ada pada tim sukses agar mampu menjaga kondusifitas iklim demokrasi dengan semangat demokrasi persatuan untuk menjaga intergritas bangsa, dengan menyelaraskan semua komponen bangsa. Memahami arti kemenangan dan kekalahan dari “pertandingan” demokrasi pilkada, bahwa segalanya ada yang menentukan siapa pemenang yang terbaik untuk memimpin rakyat menuju ke masa depan yang lebih baik.
HARI BERJANJI
Pelaksanaan kegiatan demokrasi di Indonesia lebih banyak dimanfaatkan pemimpin di negeri ini sebagai wadah “pembualan janji”. Realisasi dari hari berjanji itu belum mampu mengubah kondisi kehidupan kesejahteraan rakyat Indonesia secara signifikan. Setiap menyambut hari demokrasi pilkada di Indonesia selalu berakhir dengan tindakan anarkis, perusakan-perusakan sarana umum ketika terjadi unjuk rasa, lihat saja kejadian unjuk rasa masalah Bank Century, 100 hari kinerja dan realisasi janji Presiden.
Selama pelaksanaan kampanye jalanan, para calon pemimpin kepala daerah tidak perlu mengumbar-umbarkan janji, janji yang diucapkan tidak seharusnya terdengar bombastis. Rakyat sudah jenuh mendengar janji gombal. Rakyat saat ini sudah semakin kritis dalam membedakan “dagangan politik” para pemimpin di era demokrasi pemilihan langsung kepala daerah, karena rakyat saat ini tidak mau lagi dijadikan komoditas politik.
Sebelum “turun gunung”, calon pemimpin kepala daerah dituntut untuk mengenali dan menggali kemampuan sumber daya daerah dan rakyatnya, untuk menyelaraskan visi dan misi agar tidak terjadi kontraproduktif dalam pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan selama lima tahun ke depan terutama faktor internal dari kondisi geologi recources. Faktor dagangan politik internal saat ini yang diperhitungkan rakyat di suatu daerah yang rawan bencana karena menyangkut keberlanjutan pembangunan. Faktor paling banyak menghambat pelaksanaan pembangunan sehingga program yang telah disusun oleh calon pemimpin kepala daerah ketika terpilih kelak mengalami kendala internal yaitu berupa ketidak sinkronisasi keputusan dari pihak legislatif karena ada perubahan kondisi ekonomi oleh kejadian alam luar biasa, yang telah menyerap dana pembangunan yang cukup besar dari kemampuan pendanaan keuangan pembangunan daerah serta ada peningkatan jumlah penduduk mengalami kemiskinan akibat bencana finansial yang menyebabkan daerah dimasukkan sebagai daerah miskin.
Faktor eksternal juga berperanan penting untuk penyelarasan program selama lima tahun pembangunan yang berhubungan dengan pembangunan lingkungan berkelanjutan bagian dari dinamika geopolitik dalam suatu hubungan Negara, hal ini penting dan memiliki efek dimensi yang sangat luas karena berkaitan dengan kemajuan daerah yaitu peningkatan efek kesejahteraan dengan adanya kepercayaan dari pihak luar yang memperhitungkan kemampuan lingkungan dalam rangka pembangunan sumber-sumber daya manusia dan penataan pembangunan ruang infrastruktur daerah, serta sebagai gambaran kekuatan diri untuk menggerakkan jalannya pemerintahan.
PEMIMPIN HUNAFA  
Dengan terpilihnya seorang pemimpin di daerah dalam demokasi pilkada, rakyat mengharapkan kepemimpinan yang jujur dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan daerah dengan menjalankan amanah rakyat.
Diperlukan pemimpin daerah yang bersikap Hunafa, yaitu orang-orang yang lurus sebagaimana manusia biasa, tidak perlu sempurna, kadang pernah membuat kesalahan, yang mampu memahami kemaslahatan bangsanya dan menyadari arti amanah kekuasaan.
Bahwa amanah kekuasaan adalah milik Allah (QS.3 : 26) dan guna mengatur bumi ini, kekuasaan di bumi ini adalah kekuasaan yang bertanggung jawab kepada Allah secara keagamaan.
Pemimpin yang terpilih langsung dalam pemilihan kepala daerah diharapkan benar-benar menjalankan tanggung jawab kekuasaan dan tidak bersifat ghuur (membanggakan diri sendiri), apalagi setelah dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi tetap bijak mendengarkan suara rakyat, mematuhi peraturan perundang-undangan dan senantiasa hadir dan menjiwai dalam kehidupan serta berpengalaman untuk memahami masalah, berani serta tegas dengan iman yang kuat untuk menyampaikan suatu kebenaran yaitu memberi keadilan dalam melakukan pemerataan pembangunan.
Maka bekerjalah dengan rahmat Allah untuk merealisasikan visi dan misi serta program pembangunan agar dapat terlaksana dengan baik dan seimbang.

M. Anwar Siregar

Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts :