Jan 25, 2018

SUMUT Menghadapai Cuaca Ekstrem Global 2018

SUMUT MENGHADAPI CUACA EKSTREM GLOBAL 2018
Oleh : M. Anwar Siregar
Berbagai studi dan percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa akibat berlipat duanya konsentarsi karbon dioksida diatmosfir, suhu bumi dapat naik antara 1.5-4.5oC dan proses penghangatan ini akan membahayakan cuaca dan iklim di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018, telah terasa di daerah pantai barat sumatera selama musim dingin, yang telah berlangsung di kutub daripada dilintang khatulistiwa. Naiknya suhu sebesar angka tersebut akan meningkatkan permukaan laut 25-140 cm, pemanasan global di samudera menciptakan penguapan air laut yang bergerak vertikal dan berskala luas yang dikenal sebagai Mesoscale Convention System (MCS). Fenomena ini dapat mengancam sirkulasi panas di khatulistiwa termasuk wilayah sumatera utara.
FENOMENA EKSTREM
Pemanasan global di samudera akan menciptakan penguapan air laut yang bergerak vertikal dan berskala luas  (MCS). Fenomena ini sering terjadi juga di Samudera Hindia di kawasan pantai barat Sumatera bagian Utara. Pemanasan air laut ini menciptakan gugus awan yang mengandung uap air dan di bawa arus angin ke samudera, termasuk ke wilayah sumatera bagian utara meliputi pantai barat sumatera antara sumatera utara dan aceh hingga mendekat ke selat malaka.
Gugusan awan inilah yang menyebabkan sering terjadi fenomena cuaca ekstrim global diatas sumatera utara. Karena gugusan awan itu membentarkan kawasan Bukit Barisan dan menimbulkan hujan orografis berupa hujan badai yang tinggi yang menyebabkan banyak banjir di wilayah propinsi Sumatera Utara seperti yang telah dialami kabupaten Madina, Tapsel, Batubara, Tebing Tinggi dan Langkat serta Medan. dan di Aceh yang terjadi banjir di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Barat dan Aceh Singkil, selain dampak yang disebabkan oleh penghancuran hutan dan kebakaran hutan dan lahan yang memberikan efek anomali di atmosfer akibat injeksi CO2 dan emisi lainnya sehingga menimbulkan fenomena perubahan cuaca ekstrim dalam sepekan ini.
Hujan badai dengan curah hujan yang tinggi mencapai 155.5 mm selama 2-3 jam dan menyebabkan banjir dan longsor dibeberapa kawasan di Sumatera Utara dan Aceh serta mengandung energi knetik yang sangat besar dan menggerakan mobilitas gugusan awan akan menimbulkan turbelensi serta akan sering muncul petir dan hujan yang sangat deras. Bahaya yang harus diantisipasi para pemerintahan di berbagai kota di Sumatera Utara agar siap dalam menghadapi segala kemungkinan datangnya bancana banjir bandang.
Beberapa penyebab ekstrim global bisa saja terjadi di udara Provinsi Sumatera Utara antara lain : pertama, bertambah tebalnya secara vertikal ruang pembentuk awan dilapisan tratosfera diwilayah laut china selatan dari wilayah Indonesia, yang bertambah 4 kilometer. Yang biasanya tebal ruang pembentukan awan berada pada kisaran 13 km lalu bertambah menjadi 17 km, semakin tebal pula awan yang terbentuk dan menyebabkan curah hujan tinggi.
Kedua, meningkatnya temperatur air laut, panas laut mendorong pembentukan awan dilapisan tratosfera, cuaca berubah terjadi di Sumatera Utara jika temperatur air laut antara 0.5-1oC. Dalam kondisi seperti ini seluruh wilayah Indonesia termasuk Sumatera Utara dari pantai barat dan pantai timur sumatera akan terdampak, terutama daerah dengan geomorfologi terjal atau daerah pegunungan terjal karena membutuhkan pembentukan mata air dan ini sangat berbahaya karena tingkat curah hujan di atas 3 jam akan menghasilkan luapan air ke hilir.
Luapan banjir di Madina yang merendam 10 desa dan beberapa kecamatan di Batubara, Labuhan Batu dan Langkat merupakan akumulasi kenaikan temperatur suhu laut akibat pemanasan global di Samudera Hindia dengan munculnya osilasi MJO (Madden Julian Oscilation) yang mempunyai konstribusi cukup besar terjadinya peningkatan curah hujan ekstrim di beberapa kawasan barat Indonesia walau telah memasuki bulan September-Oktober dan November hingga Desember, bukan berarti tidak adan pembentukan awan-awan yang ditinggalkannya, namun sepertinya dia tertahan lalu meledak di bulan ”ember” karena bertemu dengan kelompok kumulonimbus.
Selain itu efek dari pemanasan global yang terpantul panas dari bumi sumatera terutama dari Riau dan Aceh akibat karbon dioksida yang tinggi sehingga permukaan bumi pulau sumatera semakin lebih panas, atau efek rumah kaca dan penyebab terjadinya kenaikan suhu udara yang sudah terasa sekali di Medan ketika belum memasuki bulan September lalu atau dampak pemanasan global.
Selain itu, dapat juga disebabkan oleh dampak pembakaran energi yang menghasilkan perubahan cuaca ekstrim global di Sumatera Utara yang tidak menentu, sehingga Sumatera Utara mengalami dampak cuaca ekstrim global, munculnya banjir, longsor dan angin kencang silih berganti hingga menjelang tahun 2018.
ANCAMAN BADAI 2018
Ketiga, badai-badai tropis dan La Nina adalah fenomena alam berupa mendinginnya suhu permukaan laut di bawah rata-rata yang terjadi di Pasifik. Saat La Nina muncul, bagian barat Pasifik mengalami peningkatan curah hujan, samudera bagian timur pasifik mengalami pengurangan curah hujan. Dampak La Nina paling awal di alami wilayah Sumatera termasuk Propinsi Sumatera Utara seperti pada tahun lalu dan paling belakang di kawasan timur Indonesia.
Data BMKG menyebutkan bibit siklon tropis yang ketiga terpantau lahir di Laut Andaman, sebelah utara Aceh dengan kecepatan maksimun 56 kilometer perjam, dampak ini sudah terasa di Sumatera Utara dengan banyaknya banjir, efek bibit dari siklon yang lahir di Andaman itu telah meningkatkan hujan dengan intensitas sedang-lebat di wilayah Aceh bagian utara serta angin kevang hingga lebih 37 kilometer per jam di Aceh dan Selat Malaka bagian utara, gelombang air laut hingga ke Nias setinggi 2.5-4 meter
Selain faktor cuaca ekstrim, banjir yang melanda beberapa kota di Sumatera Utara, juga disebabkan berkurangnya sabuk hijau dan kawasan resapan yang dapat menyerap air permukaan dan terbatasnya RTH untuk kantong parkir air akibat tergerus pembangunan fisik yang tidak menggunakan bahan yang ramah lingkungan di berbagai kota di Sumatera Utara.
Gambar : Kondisi iklim ekstrem di kota besar dengan hujan deras dan kepastian cuaca yang tidak pasti telah banyak melanda kota besar di Sumatera Utara (sumber gambar : Poskota News)
Ancaman badai siklon di Indonesia masih diperkirakan akan berlanjut di tahun 2018, sebab traposfer di atas Sumatera utara secara konvektif tidak stabil untuk segala musim sehingga awan-awan konventif lebih dominan di sumatera utara dan Indonesia secara luas dan pengaruh global fenomena El Nino / Indian Ocean Dipole/IOD ( + ) adalah penurunan jumlah curah hujan tahunan dan musiman terutama Juni-Juli-Agustus (JJA) dan september-oktober-november (SON) baik untuk tipe hujan monsunal maupun tipe hujan ekuatorial. Sebaliknya La Nina dan IOD ( - ) menyebabkan kenaikan jumlah curah hujan yang tinggi di sumatera utara yang juga di pengaruhi oleh perbedaan tekanan yang tidak merata di permukaan wilayah Indonesia, selain juga di pengaruhi perubahan suhu permukaan dari utara Aceh hingga Nias yang menyebabkan terbentuknya siklon.
Dengan melihat luas garis panjang pantai Indonesia yang mencapai 80.791 km yang diapit oleh samudera Pasifik dan Hindia. Indonesia termasuk sumatera utara berada pada daerah atmosfer ekuatorial yang tidak stabil secara konvektif untuk segala musim, maka daerah di pantai barat sumatera utara termasuk daerah yang rawan menghadapi ancaman siklon yang secara berkala terbentuk atau lahir siklon baru di Indonesia pada bulan November hingga Januari, tetapi kadang juga terjadi pada bulan Februari. Pada bulan inilah musim banjir akan mengancam beberapa kota di Sumatera Utara dan Indonesia, selanjunya rotasi sumbu bumi bergerak ke arah Filipina antara bulan Maret hingga September akan terbentuk siklon baru, bukan berarti Indonesia dan terutama sumatera utara dan aceh aman, karena faktor efek Madden Julian oscilation yang akan mengumpulkan awan Kulonimbus untuk di ledakan di bulan tertentu. Jadi cuaca ekstrim masih menggila pada tahun 2018 dan merupakan tantangan untuk menghadapi segala kemungkinan bahaya.
Pemerintah Sumatera Utara harus mempesiapkan sosialisasi dalam menghadapi bencana dan sebagai peringatan untuk meningkatkan kewaspadaan dini, dan tulisan ini bukan menyebarkan hoax yang sedang menjamur di musim hujan dan sekali lagi tingkatkan kewaspadaan dini.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer
Dipublikasi Harian ANALI SA MEDAN, Tgl 18 Januari 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :