Sep 14, 2018

Introspeksi Tata Ruang Gempa Lombok

INTROSPEKSI TATA RUANG GEMPA LOMBOK
Oleh M. Anwar Siregar
(Harian WASPADA)
  
Gempa Lombok berulang kembali hanya dalam seminggu terjadi lagi gempa lebih besar dengan skala 7,0 SR, dan ini sebagai introspeksi bagi kota-kota di Indonesia, karena sekitar 80 persen terletak di daerah pesisir, 25 persen di wilayah rawan gempa bumi, dan 28 persen wilayah rawan tsunami, 49 persen daerah yang terpapar gerakan tanah dengan zona kerentanan sangat tinggi serta 82 persen masyarakat tinggal didaerah rawan bencana dari berbagai elemen bencana. Maka perlunya membangun kota waspada bencana merupakan sebuah keharusan seperti yang dibangun dikota-kota besar di Jepang.


Gambar : Peta Pulau Florest (sumber dari berbagai sumber)

Mengingat wilayah Indonesia khusus daratan Nusa Tenggara dan Sumatera rawan terjadi gempa lagi perlu suatu perencanaan dan budaya yang memahami lingkungan tempat beraktivitas hidup dengan membangun dan mengelola kerentanan bencana sebagai pengurangan trauma bencana dan Indonesia sekali lagi masih akan terus tercabik gempa karena memang daerah rawan bencana, perlu kapasitas dan mitigasi bencana sebagai budaya kehidupan.


GEMPA LOMBOK
 
Gempa bumi tektonik telah mengguncang Lombok, yang terasa getarannya ke Bali, Sumbawa dan Mataram pada hari minggu (29/7) dengan kekuatan mencapai 6,4 Skala Richter pada titik koordinat 8.4 LS dan 116,5 BT, berlokasi episentum darat pada jarak 47 km arah timur kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Bara pada kedalaman 10 km (sumber BMKG). Lalu gempa besar selanjutnya terjadi pada hari minggu malam dengan kekuatan mencapai 7,0 SR terasa sampai ke Jawa Timur. Perlu meningkatkan kewaspadaan dini dan introspeksi tata ruang dan infrastruktur fisikj.

Dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa gempa bumi yang terjadi di Lombok merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Naik Flores (Flores Back Arc Thrust). Gempa bumi dipicu deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (thrust fault). Gempa yang biasanya terjadi di Nusa Tenggara Barat umumnya adalah aktivitas pergerakan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia, yang menghasilkan tunjaman ke Back Arc Thrust, kawasan Lombok dan sekitar merupakan bagian dari Sesar Naik Flores menerus hingga ke Pulau Bali dan tidak mengherankan mengapa Bali merasakan getaran yang sangat kuat mencapai skala IV MMI. Gempa kedua 7,0 SR merupakan kelanjutan pergeseran lempeng Back Art Thrust di Lombok Utara.

Dikawasan pulau Nusa Tenggara dan Bali merupakan hasil pembenturan lempeng dan merupakan kawasan yang sangat rawan bencana gempa dan gunungapi, Pulau Lombok merupakan zona benturan terdepan dari kawasan Nusa Tenggara Barat, gempa Lombok merupakan gambaran gempa besar masih di kawasan tersebut di masa mendatang dan Bali merupakan kawasan yang harus meningkatkan kewaspadaannya jika melihat tingkat deformasi yang dihasilkan pada kedalaman gempa.

Gambaran kedalaman gempa akan menjadi cermin betapa tanah dan batuan didaerah harus ditelaah untuk pembangunan infrastruktur fisik, karena memang akan membuat bangunan diatasnya mudah hancur, dan semakin hancur apabila tidak dirancang berketahanan gempa, dan guncangan yang terasa mencapai sejauh 100 km ke Denpasar-Bali, dan ini sebagai peringatan sekali lagi bagi Provinsi Bali yang padat penduduk mancanegara, selain Bali, getaran seismik juga mengguncang Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, Mataram dan Lombok Tengah, Sedang di Bali terasa ke Denpasar, Kuta, Nusa Dua, Karangasem, Singaraja dan Gianyar dari tingkatan intensintas II SIG BMKG atau III-IV MMI (modified Mercalli Intensity).

INTROSPEKSI TATA RUANG
 
Pembenahan kota pascabencana gempa melalui tahap pemulihan dan pembangunan kembali fisik dan jiwa kota harus dijadikan introspeksi tata ruang sebelum membangun kota kembali sesuai dengan semangat kekhasan lokal (budaya lokal) kota-kota yang rusak dan harus jadikan introspeksi paradigma pembangunan lokal di berbagai kota di Nusantara dengan bertumpuk juga pada mitigasi tata ruang yang berbasis building code gempa agar ditemukan keserasian budaya hidup bersama gempa, agar masyarakat tidak traumatis menghadapi bencana alam.

Pengurangan risiko dapat diupayakan melalui perencanaan yang matang dengan belajar dari kesalahan pembangunan tata ruang dan introspeksi pembangunan sarana infrastruktur fisik yang berbasis building code gempa. Belajar dari gempa yang sudah sering berlangsung di tanah air setelah gempa besar di tahun 2004 hingga ke masa depa sangat penting bagi kehidupan generasi penerus, dengan menata ulang ruang yang kurang ramah bencana dan merusak lingkungan dengan membangun kota kompak.

Kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi. Kejadian di titik-titik rawan bencana gempa dianalisis dan dijadikan bahan penyusunan rencana strategis dan program kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran untuk rencana mitigasi berbagai jenis bencana alam.
Kota Lombok dan kota di Pulau Nusa Tenggara Barat yang menghadapa ancaman tsunami harus dibangun dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup atas bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem peringatan dini secara alamiah untuk mengantisipasi bencana alam yang penting bagi kota dan paling murah untuk dibangun. 

HIDUP BERSAMA GEMPA 

Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana harus segera diprogramkan dan diimplementasikan di daerah sebagai amanah dari UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jadi, bagaimana mengintegrasikan program-program pengurangan risiko bencana di daerah ke dalam pelbagai kegiatan/sektoral adalah suatu keharusan? Sehingga di sini diperlukan dana/anggaran yang memadai. Dari pada dana investasi pembangunan akan segera musnah bila terjadi bencana alam seperti sekarang ini.  

Analisis risiko bencana merupakan analisis potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harga dan bahkan gangguan terhadap kegiatan masyarakat. Apabila suatu wilayah telah melakukan analisis risiko bencana, maka dapat dibuatkan skala prioritas daerah mana yang harus diantisipasi dan dilakukan upaya mitigasi bencana, agar nilai risiko dapat diminimalisasi. 

Mengelola risiko bencana adalah mutlak, bila tak ingin anggaran pemerintah tersedot habis untuk penanggulangan bencana. Model pengelolaan konvensional yang reaktif harus segera ditinggalkan menuju pengelolaan risiko pro-aktif. Program pengurangan risiko bencana sebelum terjadi harus berbasis dan mengakar pada masyarakat dengan didukung dana memadai. Pusat riset kebencanaan di universitas/PT, Litbang Departemen serta LSM harus dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat atau melalui pendidikan kebencanaan formal maupun non-formal.

Sayang, kebanyakan budaya hidup bersama gempa di antara kita mudah melupakan suatu bencana yang terjadi di waktu lampau. Padahal secara geomorfologis-kebencanaan, bencana masa lampau akan terulang kembali pada masa mendatang. Jadi mari bersama membudaya diri hidup bersama gempa untuk meminimalisasi dampak yang akan terjadi.

Bila strategi pengurangan resiko dan menata ulang tata ruang sarana infrastruktur fisik dan menata diri masyarakat untuk selalu mengingatkan diri dalam budaya hidup harmonis di daerah rawan bencana ini dapat diterapkan oleh masyarakat dan stake holder maka saat memasuki tahap rekonstruksi akan lebih tertib dan pada saat telah tertata masyarakat korban bencana memiliki budaya baru yang lebih unggul. Pada sisi ini, kita memandang bencana sebagai peluang emas menata kembali budaya Indonesia yang sudah mulai runtuh. Re-orientasi budaya hidup selaras berasama bencana perlu menjadi pertimbangan membangun Indonesia yang lebih baik agar mampu mandiri dan bersaing sehat serta cerdas hidupya.

M. Anwar Siregar
Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara
Dipublikasi Tanggal 07 AGUSTUS 2018

No comments:

Post a Comment

Related Posts :