Jul 3, 2019

Medan (bukan) Kota Berbasis Hijau

Medan (Bukan) Kota Berbasis Hijau

Ilustrasi
Oleh: M. Anwar Siregar
Kota Surabaya sebagai salah satu pemenang Indonesian Region Award (IRA) 2011, dapat dijadikan contoh bagi kota Medan, bagaimana lingkungan yang hijau dibentuk melalui kegiatan dengan program berbasis komunitas/masyarakat. Selain meningkatkan sendiri luas RTHnya melalui pemba­ngunan/revitalisasi taman-taman kota. Pemerintah Kota Surabaya juga sadar bahwa peningkatan kualitas ling­kungan akan lebih mudah apabila memudahkan melibatkan peran serta masya­rakat. Program seperti “urban farming”, “Sura­baya green and clean”, “Surabaya ber­warna bunga” dan mengingatkan kembali implementasi 3R (rense, redue, recyle) dalam pengolahan sampah, dilakukan dalam rangka membentuk kota hijau yang sehat.
(Bukan) Berbasis Hijau
Benarkah Medan kota yang berbasis hijau? Bila di lihat sekilas dari dalam kota Medan, sesungguhnya kota Medan bukan kota yang berbasis hijau dan hu­manis bagi kesehatan masyarakatnya dan diperparah oleh tidak jelasnya perun­tuk­kan tata ruang khususnya tata ruang hijau terbuka, dan terlihat menjamurnya berba­gai bangunan mall-mall dan gedung super­blok dengan apartemen berlantai tingkat tinggi, seper­tinya ingin menutup sinar matahari.
Jika dirunut apa penyebab Medan menjadi kota yang tidak berbasis hijau dan menimbulkan sebab utama bencana lingkungan di kota Medan yang tidak berbasis hijau adalah banyaknya pelang­garan tata ruang di daerah seharusnya se­bagai keseimbangan oksigen kota. Pemerintah Medan sepertinya hampir tidak berdaya menghadapi desakan ke­pen­­tingan bisnis, hampir ruang yang ada di Kota Medan akan terlihat lokasi ruang-ruang tanpa RTH dan berdirinya banyak bangunan mall-mall dan banyak diken­dalikan oleh kemauan bisnis. Jika tidak, mengapa Medan bisa banjir hampir tiap hujan turun.
Banyak RTH dialih fungsikan di wila­yah Kota Medan lalu direvisi untuk me­ngesahkan peruntukkan yang sudah ter­lanjur bangunan yang mendapat izin, se­lain perubahan tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan tidak ada kontrol dari masyarakat, karena me­mang sejak awal tidak dilibatkan da­lam penyusunan tata ruang.
Persoalan-persoalan banjir lingkungan dan sampah serta saluran air tersumbat yang terjadi di Kota Medan terlalu banyak untuk diuraikan, bisa di mulai dari hilir ke hulu, dari hilir dapat dilihat dari per­soalan pesisir pantai di Utara Medan yang mulai mengalami abrasi, pence­maran industri dan kapal tanker yang membuang minyak sampai dengan pelanggaran ber­bagai izin pemanfaatan sumber daya air ruang pesisir sebagai ruang publik yang kini banyak di bangun berbagai fasilitas pemukiman.
Wilayah Utara yang berbatas langsung dengan Pantai-Laut sangat rentan banjir, hilangnya kawasan penyerap air dan berbagai pohon hijau sebagai kawasan RTH, berdampak pada kualitas udara dan daya dukung lingkungan di wilayah pesi­sir mengalami penurunan dengan ba­nyaknya ditemukan air bersih yang tidak berkualitas dan selain mengalami ban­jir menerobos ke pemukiman hingga men­dekati inti kota.
Berkurangnya luas hutan mangrove akibat penjarahan menyebabkan tergang­gunya keseimbangan ekologis se­hingga di masa mendatang Medan sangat rawan erosi dan tanah longsor, selain bencana banjir, Kota Medan juga men­dapat anca­man bencana tsunami dan likuifaksi apabila terjadi gempa di Utara Pulau Su­matera melewati Selat Malaka.
Sedang di hulu yang berbatas dengan kota tetangganya, kota Medan mengalami ancaman perubahan fungsi lahan yang sangat cepat dengan hilangnya daerah ekosistem rawa, hutan tropis basah, su­ngai mengalami penyempitan dan hi­langnya berbagai kawasan hijau (pohon-pohon yang ada disebelah kiri-kanan DAS).
Kondisi ini dapat dilihat di selatan dan barat Kota Medan yang berbatas dengan Kabupaten Deli Serdang, dan Binjai serta hilangnya keseimbangan reservoir air lalu diperparah juga oleh RTH yang ada di wilayah perbatasan Medan. Ber­ku­rang­nya ekologi pohon yang menyebab­kan Kota Medan bukan kota humanis yang layak bagi generasi muda, kota yang mulai tercemar, panas dan banjir setiap tahun.
Kota Pohon
Medan tidak berbasis kota hijau bisa dilihat dari pe­rencanaan pembangunan infra­struktur jalan raya, banyak pohon mengalami penebangan berganti dengan gedung “pohon” beton. Mengapa pohon da­pat dianggap menjadikan sebuah kota se­bagai kota yang berbasis hijau? Karena pohon dapat mengolah makanannya (meta­bolisme) di siang hari, ia menyerap CO2 dari berbagai emisi, termasuk emisi trans­por­tasi di zona macet di jantung kota Medan, yang tidak berbasis energi hijau, lalu pohon akan mengeluarkan oksigen atau O2.
Dengan cara ini seharusnya pohon-pohon di kota besar seperti Kota Medan harusnya menjadi bagian dari ruang milik jalan tidak secara besar-besaran di tebang, kecuali pohon yang ditebang telah berusia “lanjut” (lapuk).
Dipastikan Medan dimasa mendatang membutuhkan ruang pembangunan infra­struktur transportasi dalam me­ngatasi kema­cetan, salah satu upaya untuk “potong kom­pas” adalah menebang pohon di ruang milik jalan (rumija) agar dapat membangun tol atau­pun fly over dalam kota, itu berarti se­makin memperparah kondisi udara di Kota Medan yang termasuk kota dengan polutan ke empat terbesar di Indonesia.
Semakin terbatasnya zona hijau ini dise­babkan dua faktor yaitu laju kepemilikan trans­portasi kendaraan pribadi dan laju po­pulasi penduduk semakin bertambah padat. Dan fak­tor tidak diimbangi oleh transportasi massal berbasis energi hijau dan tidak ditun­jang oleh pembangunan pemu­kiman kawasan hunian vertikal agar bisa dibangun banyak RTH dengan berbagai jenis pohon peneduh ruang kota.
Jadi, benarkah Kota Medan berbasis hijau? sebuah jalan panjang menjadikan Medan kota yang sehat dan humanis.
Kota Sehat
Kota hijau adalah kota yang sehat, kota yang berwawasan lingkungan, masyarakat­nya aktif mendorong tata ruang ling­kungan yang berbasis hijau, memanfaatkan semua sum­ber daya kota dengan humanis dengan lingkungan, diman­faatkan dengan bijak untuk generasi penerus, memiliki ke­lan­jutan sumber daya serta mengembangkan sarana infra­struktur dan ekonomi yang berbasis hijau.
Adakah manajemen hijau yang mewadahi pembangunan kota di Sumatera Utara khu­susnya ibukota Sumatera Utara sebagai kota metropolitan? Melihat carut marutnya trans­portasi di Medan dengan tingkat polutan yang tinggi dengan terbatasnya mitigasi oksi­gen dengan penghancuran lahan-lahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan kawasan hijau sudah seharusnya menjadi pembelajaran untuk membangun kota berba­sis hijau.
Medan di identifikasi masih membutuhkan sarana massal yang lebih banyak lagi dan itu dipastikan akan banyak pohon mengalami penebangan, berarti impian menjadikan kota yang sehat akan semakin panjang karena ti­­dak hentinya bencana datang menyapa Kota Medan.
Mengimpikan kota Medan berbasis hijau memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi bisa dilanjutkan dengan mene­gakkan konsis­tensi peraturan daerah. Membangun kota yang berbasis hijau berarti membangun kota Medan menuju pembangunan kota sehat. Kota yang jauh dari kesan tata ruang kumuh, jauh dari bahaya polusi transportasi, kota yang jauh dari kebisingan dan kota yang di­bangun dengan karakteristik ekologisnya.
(Belum) Beradaptasi Iklim
Kota yang sehat sebuah impian berbagai kota di Indonesia termasuk kota Medan, perlu perencanaan tata lingkungan yang beradap­tasi dengan perubahan iklim global secara ter­padu, karena semakin terbatasnya lahan-lahan hijau di kota dan harga tanah yang sa­ngat mahal, maka perlunya kawasan stra­tegis kota yang sehat tanpa polutan, tanpa ke­macetan dengan meningkatkan pemba­ngunan jaringan transportasi massal yang kompak, masyarakat cukup berjalan kaki (se­kalian berolahraga agar sehat), atau ber­sepeda ke stasiun transportasi menuju tempat kerja.
Pemerintah harus mengembangkan visi kota hijau yang sehat, karena saat ini Polutan Standar Indeks kota Medan sudah masuk “zona kuning”, pemerintah harus berani meng­evaluasi tata ruang kota Medan agar menjadi kota sehat, yang mengantisipasi pe­rubahan iklim dan menjauhkan dari masalah bencana alam.
Mitigasi adaptasi perubahan iklim global merupakan tantangan bagi pemerintah Pemko Medan di era sekarang untuk mengatasi banjir dalam kurun hampir 10 tahun, geologi tata lingkungan Medan perlu investasi ruang hijau yang lebih luas di masa mendatang dengan mengoptimalkan sum­ber-sumber daya ruang dan sumber daya lingkungan.***
Penulis adalah Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer (AM, 2018)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :