Aug 26, 2019

Warna-warni Bencana Alam Mengancam Sumut

WARNA-WARNI BENCANA ALAM MENGANCAM SUMUT 2019
Oleh : M. Anwar Siregar
 
Permasalahan lingkungan yang dihadapi umat manusia di Sumatera Utara pada hakikatnya adalah masalah tata ruang ekologi lingkungan yang menyebabkan perubahan cuaca dan iklim iklim. Masalah ini timbul karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan umat manusia dibeberapa wilayah Sumatera Utara (Sumut). Masalah lingkungan yang fundemental yang paling utama berkaitan erat dengan polutan udara misalnya pemanasan global, lubang ozon dan hujan asam menjadi isu global.
Warna-warni bencana alam atau baca beragam jenis bencana di Sumut masih mengancam kehidupan masyarakat di tahun 2019, dan perlu terus menguatkan kapasitas sumber daya manusia dalam mengantisipasi beragam bencana alam datang di era global.
BANJIR MEREPOTKAN
Anda pernah merasakan bencana banjir? Datang menghampiri ke rumah dengan masuk tanpa permisi, sehingga sibuk mengangkat barang, membersihkan sampah lumpur dan duduk sambil menahan kedinginan di malam hari, yang seharusnya kita istirahat tidur pulas? Anda pasti tahu apa penyebabnya? Semua disebabkan oleh aturan yang tidak dipatuhi.
Kebijakan perlindungan garis sempadan sungai banyak di langgar di kota besar di Sumatera Utara dan paling terbanyak dan menjadi contoh yang paling dekat ada di Kota Medan, yang mestinya diterapkan dalam penataan ruang yang justrunya diabaikan. Pemerintah kota di Sumut tidak pernah melahirkan kebijakan soal sistem drainase pada kawasan-kawasan resapan, begitupun juga yang mengatur soal ketinggian lahan bangunan pada daerah-daerah di dataran rendah yang mudah mengalami banjir dan sebagai daerah restading pound bagi luncuran air. Dan ini terbanyak di daratan Pantai Timur.
Tidak mengherankan mengapa masyarakat Medan dan Tebing Tinggi sering mengalami kerepotan akibat banjir, karena sejak awal dalam menyusun rencana tata ruang kota di Sumut yang sering mengalami banjir tidak sering memperhatikan aspek topografi ekologi, aspek kesatuan ruang hulu hilir yang di mulai dari DAS hingga ke teluk atau laut, seharusnya menjadi basis dalam menyusun tata ruang banjir di kota, dan harus melibatkan masyarakat untuk penyusunan peraturan tata ruang kota.
Ancaman banjir masih akan terus berlanjut di berbagai kota di Sumut bagi yang tidak memperhatikan aspek RTRW kota dan ini akan berdampak pada kehancuran hutan lalu disertai juga pembakaran kawasan hutan untuk menghasilkan kabut asap.
BATUK ASAP
Bencana kabut asap sepertinya kini mulai berpindah ke Utara Sumatera dengan sering terjadinya kabut asap di Aceh dan sebagian Jambi dan sebelumnya Riau adalah raja polutan asap, Sumatera Utara tidak akan bebas kabut asap, cermin buruknya pengelolaan kawasan hutan di Sumatera Utara, hutan Danau Toba adalah salah satu buktinya, menambah variasi warna musibah setelah banjir, menimbulkan banyak kerugian dan sebagai sumber kebodohan SDM karena banyak menikmati “panen libur”, dampak kebakaran hutan yang menghasilkan kabut asap telah membuat Indonesia jadi “gunjingan”masyarakat internasional.
Kebakaran hutan di Sumatera Utara harus di waspadai karena di perkirakan pada tahun 2019 masih akan ada tingkat pemanasan udara semakin tinggi, dan faktor utama penyebabnya adalah faktor ekonomi dengan menekan kawasan hijau sehingga menimbulkan pendesakan tata ruang yang seharusnya dipatuhi akan berdampak pada perusakan lingkungan dengan  melalaui pembakaran lahan (ingat sekali lagi kebakaran hutan Danau Toba) untuk pembukaan pemukiman dan terutama lahan perkebunan sehingga akan mengubah kondisi mobilisasi udara atmosfer di Sumut menjadi kawasan yang rentang pancaroba dan harus meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kebakaran hutan dan lahan setiap saat bisa terjadi.
Dan merupakan pekerjaan rumah yang terus menerus harus dipecahkan. Sekaligus sebagai gambaran fundemental masyarakat dan tata ruang kota di Sumatera Utara yang belum tangguh menghadapi bencana kabut asap serta merupakan tantangan bagi pemikir perencanaan pembangunan dalam menghadapi tantangan bencana kebakaran hutan.
WASPADA LONGSOR
Akibat dari berbagai bencana ini, akan berulang kembali gerakan tanah, bukan disebabkan oleh curah hujan tinggi, melainkan mengalami bencana ekologi banjir yang terjadi di beberapa daerah seperti di Madina, Tapsel, Humbahas, dan Tanah Karo diakibatkan oleh kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan tata ruang ekologi kehidupan hutan, negara tidak pernah hadir untuk melindungi masyarakat sehingga masyarakat menanggung akibatnya. Curah hujan tinggi hanya sebagai pelumas untuk menguji ketahanan tata ruang akibat kebijakan perizinan.
Bencana longsor sebagai peringatan pada sejumlah wilayah rawan bencana gerakan tanah sepanjang tahun ini di wilayah Sumatera Utara seperti gerakan tanah menahun di Batu Jomba Tapsel setelah era Aek Latong, sejumlah wilayah yang berpotensi terjadi gerakan tanah bisa menimbulkan bencana longsor adalah di Tapanuli Selatan melalui jalan “Neraka Legendaris” Aek Latong dan Batu Jomba serta di Tanah Karo di Jalinsum Brastagi dan Kaban Jahe ke Kutacane dan jalan maut di Humbahas.
Bahaya gerakan tanah longsor akan menambah variasi warna yang pahit bagi kehidupan masyarakat di daerah Sumatera Utara yang tata ruang hutannya telah mengalami pembotakan hingga akan mendapat bonus tambahan bencana yaitu banjir bandang dan longsor lumpur dan berbagai penyakit serta ongkos biaya hidup semakin “mencekik leher”.
Setelah pelajaran bencana Sikon Cempaka yang mengharu birukan Pacitan-Jawa Timur sebagai pembelajaran berharga dan di prediksi Indonesia masih akan hadir siklon baru dan menambah tekanan kondisi geofer di Sumatera Utara semakin ekstrim karena gunung-gunung terus mengeluarkan erupsi tiada hentinya, menambah buruk kondisi dinamika atmosfer menuju kegelapan.
LETUSAN KEGELAPAN
Dan Sumatera Utara tidak luput dari ancaman tersebut, harus mewaspadai setiap saat munculnya siklon maut karena afmosfir Indonesia masih mengalami tekanan ekstrim karena gunung-gunung terus mengeluarkan erupsi tiada hentinya dan hal ini akan menambah buruk kondisi dinamika atmosfer menuju kegelapan di Sumatera Utara.
Kita sudah mengetahui, erupsi gunungapi Sinabung belum juga menghasilkan jeda sehingga akan menimbulkan risiko merusak dan mematikan tidak hanya bagi masyarakat yang bermukim disekitarnya tetapi juga menyebabkan bencana bagi masyarakat luas karena kolom udara atmosfer mengalami perubahan kondisi ekstrim seperti yang dilakukan gunungapi Tambora dan Krakatau di era lalu, sehingga masyarakat mengalami banyak kegagalan panen. Abu vulkanik dan sulfur dioksida yang ia lontarkan ke atmosfer, memberikan dinamika tambahan jenis bencana.
Bencana letusan gunungapi Sinabung telah memberikan warna bencana tersendiri di Sumatera Utara khususnya di Tanah Karo, karena letusan gunungapi dapat diminimalisasikan, namun korban jiwa dan kehancuran sarana dan prasarana tetap memberikan sebuah pukulan telak bagi keberlanjutan sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi serta sumber daya ruang. Jenis aktivitas ini punya efek luas, dan tidak hanya penduduk dekat kawasan gunungapi yang meletus tetapi masyarakat luas juga akan merasakan dampaknya bagi ketahanan pangan di daerah gunungapi penghasil pertanian dan perkebunan, dan hal ini sudah terbukti.
ENERGI DALAM
Energi Alam
Belum selesai masyarakat tenang dalam menghadapi per­soalan ekonomi kehidup­an mendadak ekonomi go­yang karena terlanda lindu alias gempa, karena kota ti­dak dirancang berketahanan energi dalam gempa, dan se­jumlah gempa belakangan ini terjadi di berbagai kota di In­donesia dan Sumatera Utara telah membuktikan kota mereka berada di kerentanan ring of fire, seharusnya dapat menekan kemiskinan ekono­mi dampak dari kehancuran kota dengan merancang kota berketahanan gempa.
Kesimpulan, gempa dan ban­jir, dua bencana alam ini akan menjadi sebuah “prima­dona bencana kemiskinan” sebab, tata ruang kota di Su­matera Utara dan Indonesia memang dirancang untuk “ben­cana kemiskinan”. Ber­siap menghadapi serangan warna warni bencana ling­kung­an di kota masing-ma­sing sepanjang tahun 2019.M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, AM, 17 Feb 2019

No comments:

Post a Comment

Related Posts :