Aug 30, 2019

Investasi Lahan Banjir Kota Medan

INVENTASI LAHAN BANJIR KOTA MEDAN
Oleh M. Anwar Siregar
Kota besar di Indonesia saat ini sepertinya sedang menuju kota mati, karena sering mengalami berbagai musibah bencana, namun bukan alam yang penyebabnya, dan kota kota besar di Indonesia seperti Medan sangat membutuhkan lebih banyak ruang hijau untuk mencegah bencana banjir tahunan yang tidak ada “jeda” ekspose banjir sepanjang tahun.

Banjir yang terjadi sekarang bukan saja dampak perubahan cuaca ekstrem namun juga disebabkan oleh dampak kebijakan pembangunan kawasan hijau, dibeberapa kecamatan yang ada di Medan jika diamati luapan banjir disebabkan oleh dua faktor utama yaitu ruang hijau dan kepadatan bangunan yang menyisakan semakin sedikit lahan hijau. 

Hasil gambar untuk opini investasi lahan banjir di kota medan
Gambar : Banjir Medan yang tidak pernah surut, sumber Sindo News
Dan banjir beberapa hari lalu di kota Medan semakin membuktikan bahwa Medan sangat membutuhkan lahan hijau, dan tidak cukup memperdalam dan memperlebar drainage air, karena hal ini membutuhkan kedisiplinan dalam merawat infrastruktur drainage jalan sehingga Medan membutuhkan investasi lahan banjir yang lebih luas di tiap kecamatan untuk mengendalikan bencana banjir di masa kini dan masa mendatang.
BELUM AMAN
Sebagai contoh bencana banjir di Medan Selayang dan sebagian Medan Sunggal dari pengamatan penulis yang selalu melintas di daerah ini disebabkan oleh faktor tersebut dan ditiap pemukiman baik dalam pemukiman gang dan hunian kompleks perumahan maupun kompleks perkantoran jarang ditemukan daerah biopori, sumur resapan maupun persil kantong parkir air dan diperparah sistem drainase kota sudah rusak, usang dan tidak terawat maupun drainage kadang tidak tepat ketika dibangun dengan infrastruktur jalan.
Selain faktor tersebut diatas, eskalasi urbanisasi yang cepat ke kota besar telah menyebabkan perubahan besar daerah tangkapan air menjadi kompleks perkantoran dan perumahan, meninggalkan kota dengan sedikit atau tidak ada ruang untuk menyerap air pada saat hujan lebat, banyak telah terjadi di kota yang berlangganan banjir. Dan faktor ini mempercepat laju bencana banjir di Medan tidak pernah berhenti, bahwa Kota Medan tidak memiliki daerah resapan yang cukup untuk menyerap air pada saat hujan lebat.Medan belum aman dari ancaman bencana banjir.
Pemerintah kota perlu untuk memulihkan beberapa daerah yang telah dikembangkan ke fungsi aslinya sebagai ruang terbuka hijau dan tidak mengeluarkan izin bangunan untuk daerah tangkapan air.
INVESTASI LAHAN BANJIR
Semua kejadian banjir di Medan, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bandung, Semarang, kota di Jawa Timur dan beberapa kota di Kalmantan Selatan terjadi di zona rentan bencana. Seharusnya berpedoman pada Peta Kerawanan Bencana, yang harus dijadikan modal investasi membangun kota dan sudah  seharusnya didistribusikan ke daerah sejak lama, tetapi hal initidak dijadikan dasar pembangunan untuk menekan dan memulihkan lahan sebagai sumber daya berkelanjutan bagi pemulihan tata ruang kota, akibatnya kita sering mendengar dan merasakan langsung dari dampak bencana banjir yang terjadi.
Peraturan perizinan sangat mudah keluar tanpa kajian amdal dan pemetaan lokal berbasis bencana lingkungan, sehingga pemulihan lahan sebagai agunan investasi jangka panjang mengalami kendala. Itu terlihat jika kita mengamati surat izin bangunan mudah keluar, seharusnya dilengkapi dengan kewajiban bagi pemohon untuk memiliki rencana pengelolaan air atau menyediakan daerah penyerapan air pada saat hujan deras. Kita tidak harus selalu bergantung pada sistem drainase. Karena kesalahan terbesar terletak pada pola perencanaan tata ruang yang banyak telah gagal dan beralih fungsi untuk menunjuk kawasan hijau terbuka secara cukup, semuanya telah berubah demi komersialisasi dan pengembangan dan terlihat beberapa kawasan dibeberapa kota besar di Indonesia, maupun kota sedang berkembang .
Mengingat keberadaan wilayah kecamatan di Medan terletak sekitar 80 persen di wilayah morfologi rendah sehingga mmungkinkan masuk sebagai wilayah penampungan air dari hulu dan sekitar 20 persen memiliki kemampuan mengalirkan air ke laut. dan terdapat 5 sungai besar yanbg membelah kota Medan yang memiliki kemampuan terbatas dalam menampung neraca air hujan, saat ini kondisi sudah hampir jenuh sehingga laju menahan air juga semakin terbatas dan akan memberikan sebuah kewaspadaan bagi warga kota Medan, yang memiliki lahan investasi RTH di bawah 12 persen. Sebuah ironi banjir yang akan terus mengancam warga Medan
INVESTASI IDEAL RTH
Seharus tiap kota di Indonesia khususnya di Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara harusnya memiliki standar pembangunan ideal untuk RTH dan amanah UU Tata Ruang mewajibkan semua pemerintahan di Indonesia untuh mematuhi, agar sedikitnya 30% dari wilayah kota harus ditujukan untuk daerah hijau, bukan 9,8% seperti yang ada, untuk menyerap limpahan air. Dan pemerintah kota harus mampu memulihkannya untuk mencapai persentase yang ideal untuk keberlanjutan sumber daya tata ruang RTH sebagai salah satu pengendali bencana banjir tahunan dan longsor yang mendampinginya dengan menekan aspek tandingan tata ruang dalam tata ruang yang dikenal sebagai pemukiman kumuh di sepanjang bantaran sungai dan harus di relokasi dalam upaya untuk mengembalikan lebar permukaan sungai seperti sebelum ada pemukiman dan untuk menjamin kelancaran arus air sungai yang selama ini telah mengalami penyempitan alur sehingga meluber ke permukaan jalan dan pemukiman.
Jika direncanakan dengan benar, hujan deras dapat menjadi kesempatan untuk menyerap dan menyimpan air tanah jika terjadi kekurangan air tawar selama musim kemarau, dan bukan menjadi bencana alam. "Sistem drainase harus dibangun untuk mengalirkan air hujan ke daerah resapan hijau sebanyak mungkin, bukan membuangnya ke laut. Ini juga untuk mengantisipasi krisis air tawar," kata Nirwono, pengamat tata ruang Ibukota.
Ini juga berlaku bagi kota di Sumatera Utara, sistem drainagenya sangat buruk dalam membuang air ke laut dan tidak memiliki standar sistem pengendali lahan hijau dan banjir yang ideal dalam tiap tata ruang kota di Sumatera Utara. Finalnya, bencana banjir selalu datang tanpa permisi.
TABUNGAN INVESTASI BANJIR
Idealnya, memang setiap daerah resapan adalah 30 persen berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Kota. Alhasil, beberapa kota memiliki “tabungan investasi banjir” untuk masa mendatang karena daerah resapan curah hujan di Medan tidak terserap dan berakibat banjir, karena daerah tabunngan yang berbentuk Deposito RTH” sangat rendah. Ditambah lagi, 5 sungai yang melewati wilayah atau membelah kota Medan hanya memiliki kemampuan mengalirkan 20 persen air, misalnya sungai Deli, dimana bagian hulu kanal banjir terletak pada sungai Deli sedangkan bagian hilir terletak pada sungai Percut hanya mempunyai kemampuan mengalirkan 20% karena penyempitan serta pendangkalan sungai. Begitu pula dengan sungai Babura 37%, Kwala Bekala 21%. Sementara itu, aliran permukaan dari bagian tengah dan hulu sungai yang masuk ke Medan mengalami peningkatan sekitar 50% dalam 15 tahun. Makanya kenapa Medan mudah banjir.
Lintasan kanal banjir yang memiliki panjang mencapai 3.8 km di kota Medan berada di wilayah Kecamatan Medan Johor, Delitua dan kecamatan Marendal belum mampu secara ideal menekan tabungan banjir untuk jangka menengah perlu pengelolaan sistem banjir antar kota secara terpadu merupakan bagian dari perencanaan dan pengembangan wilayah dengan melihat banjir berdasarkan batas hidrologis dan batas administrasi dengan mensinergikan antara batas hidrologis-hidrografis dengan batas administrasi yang sedang tumbuh berkembang selanjutnya akan meningkatkan pengembangan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat di sekitar kanal banjir serta memacu pertumbuhan ekonomi untuk lokasi-lokasi dan tempat pemukiman masyarakat yang selama ini sering terkena banjir.

M. Anwar Siregar
Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara (WM, 20 September 2018)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :