Aug 28, 2019

Kereta Cepat di Zona Gempa

PERLUKAH KERETA CEPAT DI ZONA GEMPA
Oleh M. Anwar Siregar
Setelah tsunami Palu dan Selat Sunda apakah pemerintah tetap melanjutkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sedangkan Negara ini masih "belum kuat" dalam penanggulangan mitigasi tsunami. Dulu di era mantan Presiden SBY, mencetuskan pembangunan Jembatan Selat Sunda  (JSS) dengan dana mencapai 100 triliun dan menuai berbagai kritikan tajam, dianggap tidak sesuai dengan kondisi keadaan ekonomi sosial masyarakat Indonesia termasuk di era saat ini, lalu era Pemerintahan Jokowi-JK kenapa kereta cepat Jakarta-Bandung itu bisa cepat groundbreaking? Bukankah dana pembangunan yang digunakan itu termasuk besar yaitu lebih 70 triliun dengan gadaian BUMN jika gagal?
Ide pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan JSS itu jika dilihat dari berbagai aspek ilmu terutama geologi sama-sama berada di tatanan geologi gempa yang tergolong sangat kuat dan berdaya rusak tinggi dan akan memberikan efek domino bagi kawasan yang sebelumnya aman dari bencana lingkungan geologi.
Posisi pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung memang perlu kajian yang lebih komprehensif termasuk juga dalam pembangunam mitigasi gempa-tsunami yang berada di lokasi rawan gempa bumi seperti di wilayah Jawa Barat dan Banten. Perbedaan dalam pembangunan JSS dengan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) adalah telah dilakukannya groundbreaking di Kabupaten Bandung Barat langsung oleh Presiden Jokowi dan perbedaan lainnya terlalu singkat amdal yang dilakukan dan terkesan sangat terburu-buru serta dimasukkan dalam rencana strategis pembangunan nasional yang sudah diperkuat dengan peraturan undang-undang.
Semoga tidak ada gempa strategis ke lokasi patahan lokal gempa yang membelah rel KCJB.
PERLUKAH KERETA CEPAT
Yang menjadi pertanyaan kita apakah perlu Indonesia membangun KCJB jika jarak antara Jakarta-Bandung sejauh 190 km dengan kecepatan mencapai 230 km per jam,  sangat dekat dari lokasi sumber gempa berdaya rusak tinggi sedangkan kita di Indonesia tidak memiliki strategis pembangunann mitigasi yang komprehensif? Sedangkan pembangunan jalan Tol Trans Jawa sudah tersambung apakah perlu dilanjutkan? 
Jarak yang sangat dekat dengan waktu singkat seperti itu lebih baik dialihkan ke jarak yang lebih jauh misalnya antara Jakarta ke Surabaya atau kalau perlu (jika berkenan) kereta cepat Medan-Pekan Baru, lebih aman dari zona bencana tsunami dan sedikit dilewati zona patahan gempa bumi menuju dan ke Medan-Pekan Baru.
Jika dilihat dari kondisi ekonomi masyarakat juga tidak terlalu mendukung. Berapakah jumlah masyarakat kelas menangah atas yang ada di Jawa Barat yang dapat menikmati KCJB? Target estimasi penumpang yang diproyeksikan 60 ribu per hari itu berasal dari mana jika melihat kondisi ekonomi masyarakat Jawa Barat dan Indonesia secara umum maupun ekonomi global? Apalagi dengan kondisi yang terus menerus mengalami serangan bencana karena telah menimbulkan masyarakat kehilangan properties yang berharga? Jangan lupa harga tiket yang digadang sekitar Rp 200 ribuan itu akan terus naik, karena dimana di negeri ini harga-harga lebih banyak naik dibandingkan turun.
Jelas ini akan memberat kondisi keuangan BUMN plat merah untuk memenuhi target dan lebih parah lagi jika gagal, kabarnya akan diambil oleh konsorsium Tiongkok, maka untuk sekian kali Indonesia akan kehilangan lagi aset yang paling berharga setelah Indosat karena perusahaan konstruksi BUMN termasuk diantara perusahaan konstruksi terbaik milik Indonesia ikut juga tergadai.
Dari sisi ilmu geologi lingkungan, apakah KCJB ini telah memenuhi kaidah amdal? Pemerintah memang terlihat terburu-buru untuk mengejar ambisius dalam membangun KCJB ini karena membangun sebuah proyek konstruksi tingkat tinggi perlu kajian amdal yang membutuhkan lebih 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun, apakah karena China yang dianggap memiliki reputasi dalam membangun gedung tingkat tinggi itu dalam waktu singkat lantas menganggap membangun kereta cepat sama dengan membangun gedung cepat apalagi di daerah yang sudah jelas sebagai daerah rawan berplat merah patahan gempabumi tingkat tinggi? Padahal mereka belum tentu mampu mengatasi bencana gedung yang mengalami guncangan gempa dan termasuk juga dalam membangun konstruksi kereta cepat atau proyek high speed train (HST) di China dengan teknologi yang ada sekarang.
Kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bukan sebagai syarat administrasi, tetapi sebagai syarat teknis yang wajib dipenuhi untuk segala jenis pembangunan fisik yang ada di wilayah Indonesia seperti kondisi daerah yang rawan bencana gerakan tanah dan gempa bumi yang banyak mendominasi struktur topografi fisik di wilayah Jawa Barat, lihat saja longsor di Sukabumi, itu gambaran kecil tentang sebuah bencana kecil yang dapat menghancurkan segala-galanya.
PATAHAN JAWA BARAT
Pro dan kontra pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung tetap membutuhkan analisis geologi gempa yang banyak membelah tata ruang Jawa Barat, parameter apa yang di gunakan dalam analisis trase kereta cepat ini secara singkat untuk kajian amdalnya? Seperti informasi geologi tidak dibutuhkan dalam pembangunan fisik di era rezim sekarang, apakah ingin memperparah kondisi lingkungan yang sudah semakin rusak? Lihat saja bencana tsunami yang memporakporandakan bangunan dan infrastruktur fisik di Palu dan Selat Sunda, dua kejadian bencana tsunami di era Jokowi dalam rentang tiga bulan dan menelan korban jiwa jika di gabung hampir mendekati angka 8.000 jiwa,
Di Jawa Barat terdapat tiga patahan utama yang membelah Jawa Barat. Ketiga patahan tersebut antara lain Patahan Lembang yang telah banyak mengalami pergeseran dan kadang seismik yang dilepaskan terasa ke Jakarta, pergeseran 2-3 milimeter per tahun memang termasuk lambat namun diantara patahan yang membelah Bandung termasuk yang paling aktif dari ketiga patahan yang ada. Yang ini perlu di waspadai masyarakat sepanjang trase kereta cepat yang melintasi patahan Lembang karena akan memberikan antaran getaran kepada zona tanah yang lunak, sebab struktur tanah di Lembang dan Bandung merupakan endapan berusia muda, bekas danau purba yang belum terkonsolidasi sehingga dapat menimbulkan amplifikasi gelombang dan efeknya seperti bubur di mangkuk saat kita goyang, gempanya memang sudah berhenti namun guncangannya masih terus terasa walau dalam skala kecil yang membentang dari timur di kawasan sebelah utara Bandung dengan panjang mencapai 20 km yang mampu menghasilkan kekuatan gempa mencapai 7 Skala Richter dengan dampak kerusakan lebih keras dibandingkan gempa Yogyakarta karena berada di kawasan padat penduduk yaitu di kota Bandung.
Patahan ke dua adalah patahan Cimandiri yang membentang dari Pelabuhanratu hingga ke Padanglarang sepanjang 100 km dan patahan ketiga adalah Patahan Baribis yang membelah bagian timur Jawa Barat dengan melintasi Subang hingga Majelengka sepanjang 20 km. Dengan kedalaman 5 meter saja dapat memberikan getaran kuat sudah terasa di permukaan di patahan Lembang dengan membangkitkan pengulangan gempa dalam kurun 400-500 dan 700 tahun. Kejadiannya sudah berulangkali sebelum masa sekarang. Masa pengulangan gempa yang terakhir di patahan Lembang kini melewati siklus 500 tahun. Jadi getaran trase akan memberikan stimulasi pada tanah yang lunak yang melintasi 90 % wilayah patahan Lembang, jadi tidak mengherankan akan terjadi efek amplifikasi untuk membangunkan sesar yang tertidur lama untuk kemudian melepaskan energi aktif.
Adakah teknologi mitigasi gempa yang mumpuni yang lebih canggih dimiliki China? Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia belum mempunyai teknologi apapun untuk membangun kereta cepat dibandingkan dalam membangun kapal dan pesawat serta kendaraan darat tempur selain jago menghancurkan lingkungan.
M. Anwar Siregar
Enviromentalist Geologist. WM, 10 Januari 2019

No comments:

Post a Comment

Related Posts :