Feb 7, 2020

CFD dan CFA, Pengendali Emisi Kota Medan

CFC DAN CFA, PENGENDALI EMISI KOTA MEDAN
Oleh : M. Anwar Siregar

Kita sudah mengetahui kondisi udara di Kota Medan, dan tidak mengherankan kenapa kota Medan tidak mendapat piala Adipura Kencana bagi Kategori Kota Metropolitan, dan parahnya bisa di sebut begitu karena Medan di masukan sebagai yang terbaik dalam peringkat pertama kota metropolitan terkotor di Indonesia, tidak tahu bagaimana reaksi para pemimpin kota Medan dan warga Medan mungkin ada yang tidak peduli atau peduli, termasuk saya yang prihatin melihat kota terbesar ke tiga di Indonesia, semakin ketinggalan dari kota-kota yang ada di Sumatera dan Sulawesi, dibutuhkan kemauan bersama untuk membangun visi dan misi untuk menciptakan kota Medan, kota sehat dan jauh dari kesan kotor serta tercemar berikut berkurangnya kawasan-kawasan kumuh dan kawasan-kawasan “pengumpul” emisi di berbagai sudut di Kota Medan.
CFC
Car free day (CFC), memang bukan tujuan tetapi sarana untuk menginspirasi warga kota Medan maupun kota lainnya di Sumatera Utara, untuk merubah pola berkendaraan dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum, kendaraan bersama atau non motorized transport seperti sepeda dan berjalan kaki, mengendalikan buruknya pencemaran udara di kota Medan.
Buruknya pencemaran udara di kota-kota besar termasuk Medan, mencerminkan adanya salah perencanaan transportasi maupun pengendalian pembangunan kawasan hijau, sehingga banyak kota besar di Indonesia dapat dikategori kota kotor udara, dan Medan merupakan salah satu kota terkotor kategori kota metropolitan dalam versi adipura kencana, akibat tercemar dan gagal dalam mewujudkan masyarakat yang bertransportasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (enviromentally sustainable transport atau EST).
Minimnya transportasi publik di kota Medan sehingga mendorong masyarakat kota Medan memilih naik kendaraan pribadi sehingga tidak terkendalinya pertumbuhan kendaraan pribadi dari tahun ke tahun menjadikan kota Medan sebagai kota tercemar ketiga di Indonesia dan terkotor pertama di Indonesia kategori kota besar metropolitan dengan meningkatnya tingkat pencemaran emisi semakin tinggi. Kadar pencemaran mencapai 36 kali lipat dari standart WHO yaitu level 12.
MITIGASI CFA
Car free day, ditujukkan untuk menata transportasi ramah lingkungan, car free day memang belum mampu mengatasi kemacetan lalu lintas namun sekali lagi dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat, pentingnya menjaga tingkat pencemaran atau pembuangan emisi kendaraan.
Berbeda dengan CFA (car free area) atau daerah bebas kendaraan bermotor yang diadopsi di pusat-pusat kota di Negara-negara maju yang diberlakukan secara permanen.
Gambar : Perlu pengaturan kendaraan dalam kota untuk mengendalikan emisi di kota Medan (sumber : antaranews.com)
Dalam CFA, hanya pejalan kaki dan bis kota yang boleh melintasi di jalur CFA, CFA dimaksudkan agar pengunjung pusat kota tidak menggunakan kendaraan pribadi. Kebijakan ini belum ada di Indonesia secara permanen termasuk di kota Medan, dibutuhkan visi dan misi dari pemimpin dan warga kota Medan untuk membuat kebijakan CFA dengan peningkatan transportasi massal yang melintasi pusat-pusat kota di kota Medan.
Kebijakan CFA alangkah baiknya diterapkan di kota Medan, dengan tingkat mobilisasi kendaraan pribadi yang semakin tinggi berbanding juga dengan tingkat kemacetannya semakin parah, bertujuan untuk menghindari tingkat pembuangan emisi atau pencemaran udara di pusat kota Medan, misalnya di sekitar kawasan Kesawan, Setia Budi-Ring Road-Gatot Subroto, Zainul Arifin-Putri Hijau-Sambu. Kawasan jalanan tersebut merupakan penghasil emisi tertinggi di Medan dan juga membuat kondisi di sekitarnya berudara sangat panas dengan terbatasnya ruang hijau terbuka (RTH), coba lihat kondisi kota Sambu hingga ke Lapangan Merdeka, jalur padat dengan ruang parkir terbatas. Bayangkanlah gambaran emisi yang melintas di udara jika dianologi dalam bentuk gambar karikatur.
Selain itu, CFA juga berfungsi untuk mengatasi keterbatasan lahan parkir dan menghindari penyerobotan ruang pedestarian serta mencegah penghancuran RTH, sehingga lahan yang ada dapat dioptimalkan fungsinya sebagai ruang terbuka hijau.
CFA juga memiliki peranan sangat penting untuk mencegah kerusakan lingkungan terutama pengendalian ruang-ruang hijau di sempadan DAS, penyempitan ruang terbuka rumah-rumah penduduk. Kebijakan CFA seharusnya merupakan inovasi yang baik untuk pengendalian emisi bagi kota-kota besar di Indonesia, mengurangi tingkat konsumsi energi dan peningkatan perawatan infrastruktur jalanan.
Kebijakan CFA memang belum popular dibandingkan CFC, padahal Negara-negara maju dan Singapura serta Malaysia ada membuat kebijakan CFA, dalam mengendalikan kerusakan lingkungan terutama mencegah banjir akibat penyerobotan lahan RTH, menekan tingkat kemacetan untuk segala waktu bagi kota-kota metropolitan yang sibuk 24 jam seperti kota Medan dan Jakarta sehingga emisi akan terus menerus terkumpul diatmosfir kota, sedangkan ruang penyerap oksigen yang berupa pohon dan RTH semakin terbatas di perkotaan.
Di Medan, fungsi RTH sangat terbatas, apalagi ke depan, Medan masih membutuhkan pembangunan fisik infrastruktur jalan dan itu berarti lahan hijau yang berada di ruang hijau milik jalan akan terbabat gundul, memberikan tekanan udara di kota Medan semakin panas dan tercemar, kotor dan kurang sehat, lahan untuk RTH semakin di bawah “passing grade” UU TR, yang harus mengalokasikan ruang seluas 30 persen, RTH di Medan sendiri dibawah 12 persen, dan ini bukan saja di alami kota Medan melainkan juga kota metropolitan di Indonesia yang masih berkisar RTH seluas 12-18 persen, jumlah yang sangat jauh untuk mengatasi pencemaran udara, kebisingan dan bencana banjir
VISI EMISI
CFD perlu jiga dibuat aturan kebijakan untuk mengurangi ruang-ruang kendaraan yang lewat selama satu hari penuh, agar CFD dapat memiliki sumbangan untuk mengatasi kemacetan dan kumpulan cerobong polutan. CFD harus diubah perilaku bertranspotasi non energi agar memberikan ruang ”jeda ” bagi bumi untuk melakukan daur ulang hasil “kekotoran” manusia dalam aktivitas bertransportasi dalam 24 jam.
Pentingnya kebijakan CFC dan CFA bagi kota Medan, harus segera diimplementasikan untuk berpihak kepada bumi agar menjadi kota yang berbudaya hidup sehari-hari sekaligus sebagai pembelajaran mitigasi emisi.
CFC dan CFA akan mendorong masyarakat berbudaya transportasi massal dan menjaga marwah/identitas kota yang terjaga dari pembangunan beton-beton kaku yang menyeramkan, memberikan ruang tanah/bumi untuk meningkatkan kemampuan relaksasi sehingga selalu ditemukan keseimbangan alam.
Sebuah misi yang tidak mudah namun dapat diimplementasi jika mau berkerja sama, untuk membangun kawasan khusus CFA, perlu komitmen bagi semua untuk sadar dalam mengurangi tingkat kebisingan di Kota Medan, mendorong mengikuti aturan berlalu lintas, memanfaatkan kondisi kendaraan sesuai aturan hukum yang berlaku bagi penggunaan transportasi di Indonesia.
Pentingnya visi emisi, untuk membantu pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim global yang terdampak dari tingginya penggunaan transportasi yang tidak berbasis energi hijau. Dan Medan harus sebagai kota pioneer di Indonesia untuk membangun kawasan khusus CFA dan memperbanyak ruang-ruang khsusu CFC, memberikan sejenak bagi masyarakat untuk merasakan kota tanpa bising, kota tanpa emisi.
Pertanyaan, bisakah para pemimpin dan warga kota Medan untuk membuktikan bahwa Medan bukan kota terkotor, tercemar atau kota “berlangganan” banjir?
M. Anwar Siregar
Enviroment geologist, ANS, bekerja di Lingkungan Pemprov Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts :