Feb 27, 2020

Waspada Musim Banjir di Langkat, Okupasi Sungai Pegunungan

BANJIR  LANGKAT, OKUPASI SUNGAI PEGUNUNGAN
Oleh M. Anwar Siregar
Derasnya pembangunan dan peningkatan ekonomi telah memacu perkembangan pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dalam kota di Sumatera Utara dan jauh dari konsep pembangunan hijau yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah seperti rawa dan danau yang semula berfungsi sebagai tempat penampungan air serta bantaran sungai yang berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi lingkungan.

Dan banjir yang melanda Medan, Binjai dan Langkat bagai tercarabutnya ruang terbuka hijau sekitar sungai pegunungan dan mengalir ke sungai daratan sedimen. Di tiga kota ini, tata ruang hijau terbuka sudah sangat sedikit dibandingkan dengan ruang peruntukan untuk industri dan pemukiman, daerah resapan sangat terbatas, sedang posisi Medan dan Binjai adalah daerah nyaris topografi datar dan Kabupaten Langkat adalah daerah hulu yang seharusnya berfungsi sebagai daerah ketahanan air atau daerah sumber utama penyimpan air terbesar bagi kawasan Pantai Timur Sumatera, apalagi di daerah ini pernah mengalami banjir bandang Bahorok.
OKUPASI GEOLOGI
Secara geoilogi bentang alam pegunungan di Langkat bisa berupa wilayah pegunungan hasil endapan sedimen volkanik di masa lalu dan pegunungan yang tersusun oleh batuan sedimen yang berusia muda. Bentang alam pegunungan seperti ini dicirikan oleh tingkat curah hujan yang sangat tinggi. Tidak boleh ada pengokupasi di daerah tebing pegunungan dalam bentuk apapun karena akan memudahkan laju air hujan ke daratan yang berbentuk flat atau datar seperti wilayah Binjai yang berdekan dengan kabupaten Langkat, karena pegunungan di wilayah Kabupaten Langkat mempunyai potensi kuantitas sumber daya air yang besar. Sebagai perbandingan, air sungai yang ada di permukaan di kaki pegunungan sangat bergantung pada porositas (jumlah ruang dalam butiran batuan) dan permeabilitas (kemampuan batuan meloloskan air) yang telah mengalami penghancuran akibat penambangan bahan galian dan serta komposisi vegetasi dan batuan yang melingkupi areal pegunungan yang mengalami penghancuran dan penggundulan di hulu yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan. Okupasi bentangalam geologi ini jelas akan mempercepat kecepatan geologis air ke daerah rendah dan neraca sungai tak mampu menampung debit air hujan apabila terjadi hujan yang sangat deras.
Seiring derasnya arus investasi pembangunan ke daerah terutama ke Kabupaten Langkat dan perkembangan ekonomi yang meningkat, perubahan tata ruang ke arah lereng hulu pegunungan pun mulai terjadi, sehingga terjadi pembersihan lahan berakibat terjadinya kerusakan tata ruang air, mengalami penurunan muka air tanah terus berlangsung hingga puncaknya terjadi banjir kiriman. Banjir kiriman terjadi oleh dua sebab, yaitu okupasi sungai di sekitarnya hulu pegunungan dan okupasi RTH di segala zonasi lingkungan.
OKUPASI SUNGAI
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di berbagai kawasan di Sumatera Utara tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik seperti curah hujan yang tinggi dan bentuk topografi lahan, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi dan politik serta penghancuran kondisi tata ruang yang berhubungan dengan geologi.
Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan penggunaan dan penutupan lahan oleh berbagai pembangunan fisik konstruksi seperti pengembangan pemukiman baru yang menyebabkan fungsi peresapan air oleh keterbatasan zonasi ekologi hijau pada daerah hulu pegunungan dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi secara optimal akibat telah mengalami gangguan perambatan lahan hijau sehingga aliran permukaan semakin deras melaju tanpa hambatan, dan hal ini telah terilihat dan berulangkali terjadi di Kabupaten Langkat setelah era banjir bandang Bahorok.
Daerah aliran sungai di beberapa wilayah di Langkat dan Binjai kini telah banyak mengalami disfungsi, dan diperlukan upaya untuk menekan dan merehabilitasi keadaan DAS dan bantaran sungai ke sedia kala agar fungsi utama dalam peresapan tetap normal dan optimal dalam menjaga keseimbangan tata ruang siklus air. Perencanaan pembangunan kawasan ekologi di DAS merupakan rencana tindak lanjut jangka panjang mengingat sebaran masyarakat yang mendiami  dan menggunakan lahan yang seharusnya merupakan wilayah konservasi telah berubah fungsi menjadi basis produktivitas ekonomi yang banyak terlihat di kota-kota berkembang di Sumatera Utara di era sekarang.
Gambaran yang paling jelas dapat di lihat pada kasus kejadian banjir di Medan dan Binjai, tata ruang wilayahnyanya di apit dan dibelah oleh tiga sungai besar dengan beberapa cabang anak sungai. Kondisi fisik bantaran sungai khususnya di kota Medan telah mengalami perubahan fungsi hutan dan merupakan gambaran banjir tahunan dengan laju kepadatan bangunan dan urbanisasi penduduk cukup tinggi.
Coba perhatikan, ada bangunan nekat di bangun di sekitar bantaran sungai tanpa ada dukungan zona ekologi sebagai zona sanggahan banjir atau sebagai fungsi zona hutan, dan pembangunan super blok pun kadang minta jatah sedikit untuk perluasan areal bangunan. Karakter hutan di sekitar sungai telah hilang dan berganti menjadi dinding beton yang tidak akan pernah mampu mendukung fungsi utama dari karakteristik ekologi hutan, yaitu menyerap air, mengendalikan keterbuangan air.
Akar permasalahan lain yang menyebab banjir tahunan adalah aktivitas produksi manusia berupa penambangan bahan galian C yang menyebabkan okupasi tata ruang geologi di areal pegunungan dan sungai yang mengakibatkan erosi sehingga terjadi bencana banjir dan longsor. Jadi tidak selamanya banjir berlangsung diwilayah resapan air di hulu sungai pegunungan melainkan juga di wilayah DAS yang berkorelasi dengan tatanan geologi atau tatanan dudukan sungai yang lalu mengarah ke hilir sehingga luas sungai bergeser dan mengalami penyempitan DAS, dikarenakan semakin meluasnya wilayah pemukiman dan pembangunan gedung perhotelan di pinggiran sungai dan juga perubahan fungsi tanah yang telah mengalami pengurugan tanah dasar bagi suatu lahan pertanian.
OKUPASI LAHAN HIJAU
Dari yang telah dikemukan di depan, tergambar suatu dilema dalam pengembangan penataan ruang kota Medan, Binjai dan Langkat bagi persoalan pengendalian kerusakan ruang terbuka hijau, pengendalian kerusakan Daerah Aliran Sungai sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan.
Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbanisasi berjalan cepat, dan terjadi proses transformasi sosial yang mengubah morfologi fisik perkotaan oleh beberapa faktor, yaitu aksesbilitas dari peningkatan pembangunan infrastruktur fisik bagi akses ekonomi masyarakat urban menuju ke kota seperti pembangunan pelabuhan dan jalan darat. Aksesbilitas aliran investasi yang mendorong peningkatan produktivitas kota seperti penanaman saham swasta dalam pembangunan mall, dan pusat-pusat kegiatan yang mendorong laju kerusakan/okupasi ruang terbuka hijau dan akses terbuka dalam sistim pemerintahan otonomi sehingga mendorong masyarakat terkonsentrasikan ke pusat-pusat kota di Ibukota Provinsi, mendorong pengalih fungsikan ruang perkotaan yang menimbulkan dilematis bagi pelestariannya.
Secara tegas, pelarangan okupasi terhadap ruang terbuka hijau dan hutan bantaran DAS di berbagai wilayah kota telah diatur dalam peraturan perundangan, baik UU pengairan, UU Tata Ruang, UU kehutanan, dan UU Pertambangan dan Geologi serta UU Lingkungan, yang inti dari aturan tersebut hampir seragam dan bermuara dalam satu kesatuan penyelamatan sumber daya hijau, bahwa pelarangan, pelanggaran, perusakan dan penghancuran kawasan hijau di kanan-kiri suatu sungai, hutan lindung, penentuan koefisien zona bangunan dan zonasi sanggahan bencana harus tersedia suatu ”ruang hijau” dengan meminimalisir interior bangunan fisik, jarak ruang hijau harus tersedia minimal 50 meter dari suatu DAS, atau 100 meter untuk zona sanggahan bencana pertambangan dari segala aktivitas pembangunan fisik dan kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat oleh kegiatan apapun.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer

No comments:

Post a Comment

Related Posts :