Mar 10, 2020

Waspada Tsunami Bagi Kota Waterfront Tsunami Nias-Indonesia

MEMBANGUN KOTA WATERFRONT TSUNAMI
Oleh : M. ANWAR SIREGAR
 
Sudah 18 tahun berlalu bencana tsunami Nias-Sumatera Utara, namun hingga saat ini meninggalkan banyak pertanyaan, salah satunya adakah kota di Sumatera Utara yang benar-benar kota waterfront yang berbasis tsunami? Mengingat wilayah kota besar di Sumatera Utara dan Indonesia umumnya menghadap langsung ke pantai-laut atau sungai besar yang bermuara ke lautan dengan topografi rendah, merupakan sumber ideal bagi tsunami dan paradigma pembangunan tata ruang yang berbasis tsunami belum menjadi bagian kebijakan yang membumi dan seharusnya pelajaran gempa tsunami Aceh dan Nias pada tahun 2004-2005 sebagai refleksi untuk membangun tata ruang yang tangguh menghadapi tsunami.
KOTA WATERFRONT
Kota waterfront reklamasi adalah sebuah kota yang di bangun melalui proses pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berbeda dekat air atau tepi pantai atau juga berbatas dengan laut di mana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota berorientasi ke perairan. Kota pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya.
Ada perbedaan lagi antara kota reklamasi yang dibangun di atas laut, dimana laut ditimbun melalui pemadatan tanah dengan pembendungan air laut, sedang kota reklamasi yang dibangun di pinggir pantai adalah kota yang perluasan wilayahnya melalui penimbunan material tanah tidak jauh dari pinggir pantai dengan permukaan topografi hampir sama dengan permukaan air laut, ketinggian dapat mencapai minimal dua meter dan hingga lima meter.
Kota reklamasi pantai umumnya adalah kota yang areal perluasannya tidak mencapai ratusan hektar, sebaliknya kota reklamasi di tengah laut umumnya ketinggian diatas 10 meter dengan luas areal reklamasinya dapat mencapai ratusan bahkan hampir ribuan hektar. Contohnya, reklamasi teluk kota Jakarta, wilayah lautnya mengalami reklamasi lebih ratusan hektar.
Kota waterfront tanpa reklamasi adalah kota yang berbatas langsung dengan pinggiran pantai, laut, danau dan sungai besar dengan topografi rendah ke permukaan air atau bisa juga disebut kota pesisir air, misal kota Sibolga, Medan, Padang, Palu, Jakarta, Semarang, Samarinda Makassar, Manado, Palembang, Banda Aceh, dan Biak atau silahkan liha peta atlas kota di Indonesia sesuai karakteristik kota waterfront.
RESIKO KOTA WATERFRONT
Kota waterfront yang benar-benar dibangun diatas tumpukan tanah reklamasi pantai akan mengubah fungsi pengairan laut akibat kegiatan reklamasi, dapat mengakibatkan resiko peningkatan abrasi disepanjang jalan yang menghadap ke arah pantai atau diatas air yang telah ditimbun oleh tanah sebagai bahan baku reklamasi/material timbunan di daerah pantai.
Resikonya sangat besar bila terjadi gempa dari sumber-sumber pusat gempa dalam radius 200 km dalam menghadapi kecepatan rambat gelombang seismik kepermukaan karena merupakan hantaran “baik” ke bangunan, menimbulkan faktor likuifaksi, amplipikasi dan fleksure yang berakibat efek guncangan berganda.
Kota waterfront akan mudah hancur seperti yang dialami Kota Banda Aceh yang topografinya sangat rendah di permukaan air laut, sehingga memudahkan gelombang air tsunami menerjang cepat ke inti kota, begitu juga yang di alami Palu, “pembiaran” lulusnya air tsunami yang begitu cepat hingga ke inti kota tanpa ada perisai tsunami dengan pusat sumber gempa dangkal dengan radius kota ke sumber utama patahan hanya berjarak dibawah 30 km, sedangkan gelombang tsunami rata-rata ketinggian yang terjadi di Indonesia mencapai 8 meter dari maksimal 15 meter dengan kecepatan mencapai 600 km/jam.
Karakteritik ancaman kota reklamasi pantai-laut sebagai waterfront sangat berbeda, namun tingkat kehancuran sama dan bergantung pusat bencana terjadi. Sebagai contoh kota pantai yang di reklamasi dari hasil pasir timbunan umumnya lebih jauh dari pusat sesar atau sumber gempa bumi bagi kota reklamasi yang ada di timur tengah.
Sebaliknya di Indonesia, resiko bahaya bagi kota reklamasi di Indonesia sangat dekat, misalnya reklamasi teluk Jakarta yang jaraknya dari Teluk Ancol mencapai lebih 5 km dan berada di daerah ancaman patahan Jawa dan Selat Sunda, berjarak 150 km dan 200 km dengan kecepatan mencapai 300 km/jam. Sedang Sumatera Utara dekat di pantai barat sumatera berjarak 30 km sebagai pusat terdapatnya sumber gempa bumi besar.
KECEPATAN BAHAYA
Umumnya kota waterfront yang ada di Indonesia sangat dekat sumber ancaman bahaya, ada dua jenis ancaman yang dihadapi yaitu bencana alamiah dan bencana man made disaster bagi kota reklamasi pantai.
Perbedaan bahaya ancaman kota waterfront dengan reklamasi dan kota waterfront tanpa reklamasi adalah tingkat kerentanan yang akan terjadi jika ada sumber ancaman bahaya. Pertama, jika dilihat pergerakan kecepatan seismik yang menjalar cepat ke permukaan, maka kota dengan reklamasi sangat rentan dan percepatan bisa lebih 10 kali lebih cepat untuk mencapai permukaan guna menghancurkan konstruksi dan infrastruktur fisik dibandingkan kota tanpa reklamasi pantai.
Kedua tingkat suspensi material timbunan yang tidak mengakar kuat ke dasar dalam bumi karena merupakan tanah timbunan kedalamannya bervariasi dari 20 meter hingga ratusan meter, tergantung posisi ke dalam air pantai dan laut dan kota waterfront tanpa timbunan, kecepatan dan kerapatan tanah sedimen yang menyusun bentangan alam pantai dan jenis gelombang seismik transversal sangat suka tanah timbunan non sedimen. Dalam hal ini maka tingkat kehancuran fisik kota waterfront reklamasi lebih cepat hancur dan ditunjang oleh kekuatan bangunan sebagai “bonus” yang merupakan bencana man made disaster.
Sedangkan penjalaran kecepatan seismik akan bergerak empat kali lebih kencang untuk menghancurkan bangunan diatas kota tanpa reklamasi dan jika tidak dirancang berketahaan bencana tanpa “bemper” peredam seismik.
Sumber-sumber ancaman gempa bagi kota waterfront di Indonesia sudah jelas dari empat  lempeng besar, jalur patahan Semangko-hingga Patahan Ransiki di Papua, umumnya kota yang berbatas di pantai, level bahaya seismik mencapai level 6 atau sangat berbahaya sekali dari peta seismotektonik Indonesia dengan simbol warna merah, dengan kekuatan gempa rata-rata 7.7 Skala Richter, yang tertinggi tercatat dalam sejarah modern adalah tsunami Aceh mencapai 9,1 SR tahun 2004 dan Palu-Donggala 2018 mencapai 7.7 SR.
WATERFRONT TSUNAMI
Membangun kota waterfront yang berbasis tsunami perlu memperhatikan banyak elemen dan harus terintegrasi mitigasi secara komprehensif, sistem perkotaan yang berbasis kota waterfront harus mengintegrasikan sistem kota tanggap bencana tsunami karena posisi geografisnya yang berhadapan langsung dari segala jenis bencana alam seperti bencana geologis (longsor, amblesan, banjir bandang lumpur, likuifaksi, letusan gunungapi, gempa tsunami tektonik dan tsunami vulkanik, serta bencana hidrometeorologi.
Untuk membuat kota waterfront yang efesien dan tanggap bencana gempa dan tsunami ataupun likuifaksi karena timbunan harus menyusun tata ruang dengan struktur zonasi atau sub-sub kota yang saling terintegrasi secara kompak pada kawasan yang telah dipetakan berbasis kerentanan geologis dan hidrometeorologi yang mengancam juga aspek kebumian lain terutama penyusunan peta spasial.
Keberlanjutan lingkungan kota waterfront harus memperhatikan sistem keberlanjutan lingkungan dengan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil dijalur-jalur yang rawan bencana geologis dan hidrometerologi dengan menghindarkan eksploitasi sumber daya kota dan sumber daya ruang kota yang berfungsi sebagai sumber penyerap lingkungan untuk menghindari ketidakstabilitas fungsi ekosistem dan fungsi stabilitas udara agar dapat mengurangi dampak bencana.
Keberlanjutan kawasan tertentu dalam zona keberlanjutan lingkungan harus memperhitungkan daya dukung tanah untuk menjaga stabilitas bangunan, guna mengendalikan bahaya likuifaksi jika terjadi gempa kuat.
Semua kota pesisir pantai-laut di Indonesia umumnya bukan kota berbasis tsunami, sehingga bencana kerugian tetap tinggi.
M. Anwar Siregar                                                                                        
Geologist, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer (AM 2019)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :