Apr 29, 2020

Bangsa (Masih) Terkaget Bencana Seperti Tidak Siap Hadapi Corona

BANGSA (MASIH) TERKAGET BECANA
Oleh : M. Anwar Siregar

”Duh, ah...” kaget aku, tahu kau! bentak yang dikagetkan, yang dibentak malah nyengir kuda. “bah..! begitu saja kau sudah mau marah..”
Jika diumpamakan seorang manusia dikagetkan secara mendadak oleh kawannya tentu saja akan membuat jantungan, dan membuat kesal, namun jika ini dianologikan bagi bangsa yang rawan bencana alam, tentu lain persoalannya namun subtansinya hampir sama, yaitu masyarakatnya akan kaget jika mendadak ada “goyangan liga lindu” bermunculan. Jelas akan membuat kepanikan, masyarakat pasti ada yang terserang penyakit jantungan.

Coba perhatikan, jika ada gempa, mendadak semua kaget ketakutan, tidak siap lalu panik serta lari berhamburan tanpa peduli keselamatan yang lain, menunjukkan betapa bangsa ini memang belum siap menghadapi kemungkinan datangnya bencana secara mendadak. Belum lagi isu hoaz akan menambah kekagetan dan kepanitan, akibatnya masyarakat semakin tidak percaya dengan kemampuan dan kapasitas siaga mitigasi.
Indonesia memang belum mampu membudaya hidup bersama ”lindu” (gempa) apalagi bencana harian seperti bencana banjir. Dalam medan tertentu, bencana di Indonesia kerap terjadi bersamaan dan ini akan membuat masyarakat semakin ”kaget” misalnya bencana banjir dan longsor, merupakan ‘bencana kembar’ yang kerap datang secara bersamaan dibeberapa wilayah di Indonesia. Bencana banjir dan longsor di berbagai daerah di tanah air sejak awal Januari 2019 telah membuktikan bagaimana kekejaman “dwi tunggal” itu yang tidak hanya menelan kerugian materi tapi juga menyebabkan banyaknya korban jiwa melayang karena masyarakat tidak siap menghadapi serangan ”kagetan” sehingga tidak mengherankan kenapa mudah sekali bangsa ini menjadi bangsa yang terkaget-keget menghadapi bencana.
PENGETAHUAN LOKAL
Local knowledge atau pengetahuan lokal sangat dibutuhkan masyarakat untuk memahami tempat mereka beraktivitas dengan kapasitas tidak sepenuhnya seragam dalam menyikapi bencana. Itu telah terlihat di beberapa daerah yang mengalami serangan kagetan bencana banjir dan longsor. Coba lihat dan renungkan ketika terjadi gempa Banten yang mencapai kekuatan gempa 6.9 Skala Richter yang terjadi pada kedalama 20 km di bawah laut. Banyak masyarakat yang terlihat secara visual oleh media elektronik justru tidak menunjukan bangsa yang terlatih menghadapi bencana. Banyak diantaranya panik dengan menggunakan kendaraan dan ini dapat menimbulkan ancaman bahaya semakin tinggi.
Apalagi dinamika bencana yang tidak teratur datang menyapa negara ini yang telah merdeka 74 tahun belum disertai kemampuan budaya mitigasi bencana dan (jika) disertai kondisi cuaca yang begitu fluktuatif. Disini akan semakin menunjukkan bangsa ini memang belum memiliki fundemental dalam menghadapi bencana yang seharusnya dalam umur 74 tahun sudah syarat pengalaman dalam menghadapi bermacam ancaman bencana.
Maka pentingnya pengetahuan lokal yang di miliki oleh masayarakat Indonesia dalam menghadapi bermacam-macam ancaman bencana alam terutama bencana banjir dan longsor kini mulai lebih banyak terjadi di kawasan Kalimantan dan Sulawesi selain karhutla tidak pernah berhenti sepanjang tahun.
Daerah yang dulu mereka anggap aman seperti di kawasan kota Samarinda dan Kendari atau Morowali, belum tentu saat ini bebas dari terjangan banjir, karena beberapa faktor yang menyebabkan kawasan dua pulau besar di Indonesia ini akan mengalami bencana banjir bulanan.
Begitu juga, sebab ada batasan-batasan pembukaan lahan atau hutan yang saat ini (jangan-jangan) hanya mematok pada standar “asumsi” saja, perlu digeser dengan memadukan expert knowledge yang saat ini  perlu terus dikembangkan di berbagai daerah sehingga masyarakat bisa melek tentang pengetahuan bencana alam dan tata ruang lingkungan untuk meminimalisasi tingkat kerawanan bencana yang (mungkin) terjadi secara mendadak sehingga mengurangi atau tidak terjadi kekagetan alias kepanikan menghadapi serangan bencana.
PASAR KAGET BENCANA
Pasar tumpah hampir ada di beberapa kota di Indonesia, itu sudah pemandangan biasa bagi masyarakat Indonesia, menunjukkan dinamika ekonomi yang berjalan baik, namun bila terjadi bencana di Indonesia seperti pada kejadian bencana gempa Banten dan Maluku, terlihat masyarakat langsung “tumpah” riuh rendahnya mereka dalam menghadapi guncangan yang “bikin” panik. Baru tahu kalau tempat tinggal mereka merupakan “lokasi pasar kaget bencana” atau menurut istilah kepala BNPB Indonesia adalah “Supermarket Bencana”.
Anda pasti tahu itu supermarket kan? Semua tahu itu, di supermarket itu tempat berbagai jenis barang dan bahan kebutuhan manusia di jual, jika anologi atau dipindahkan istilah itu dalam kondisi tempat kita beraktivitas, maka tempat tinggal kita memang banyak berbagai jenis “barang bencana” yang akan menimbulkan pasar kaget karena masyarakat akan tumpah ruah di berbagai jalan sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas dan diperparah dengan jenis kendaraan karena ada isu tsunami, cermin semakin jelas bahwa bangsa ini memang bangsa yang mudah terkaget-kaget dalam menghadapi serangan fajar bencana.
Dalam usia 74 tahun merdeka, seharus Indonesia telah memiliki pondasi kuat dalam menghadapi serangan kaget bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
KAGET MALUKU
“diharapkan masyarakat bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi besaran pengungsi, Pengungsi terlalu besar ini sudah menjadi beban pemerintah baik pusat maupun daerah” kata Wiranto, jelas sebuah statemen dari pejabat pemerintah yang tidak mencerminkan ketangguhan pemerintah dalam memberikan pendidikan mitigasi dan cermin buruknya pemerintah untuk membangun mitigasi agar bangsa ini terutama masyarakat tidak terkaget-kaget menghadapi bencana.
Tidak bisa dipungkiri bahwa otoritas politik merupakan penentu akhir bagaimana sebuah manajemen bencana yang harus dibangun di Indonesia dan dilaksanakan di segala lini kehidupan rakyat Indonesia, dan hal ini sangat penting bagi bangsa Indonesia agar rakyatnya siap dalam menghadapi serangan fajar bencana, dan disinilah pentingnya posisi ilmu pengetahuan terhadap bencana alam ditentukan pada akhirnya.
Dari fakta pernyataan dari Menko Polhukam, juga sebagai gambaran bagaimana kondisi tata ruang kota di Indonesia dalam menghadapi bencana belum efektif dan adalah sangat penting bahwa ilmu pengetahuan tentang kebencanaan alam dan tata ruang lingkungan belum sepenuhnya digunakan dalam penyusunan manajemen bencana alam. Tindakan reaktif lebih kentara terlihat pada saat bencana tersebut muncul. Dan lihatlah pernyataan seorang pejabat pemerintah di Indonesia, dari karhutla hingga gempa Maluku.
AGAR TIDAK KAGET
Bencana alam banjir, longsor gempa dan karhutla saat ini merupakan cermin sebuah pelajaran bagi Indonesia agar selalu senantiasa mempersiapkan rekonstruksi dan rehabilitasi tata ruang yang berketahanan gempa, banjir dan longsor dan harus diiringi dengan kemauan politik yang kuat dalam mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai pondasi penyusunan manajemen bencana alam geologi dan hidrometerologi, mengingat posisi Indonesia daerah rawan gempa, longsor, gunungapi dan banjir bandang, maka pemerintah perlu secara konsisten mendukung berbagai aktivitas riset terkait dari berbagai riset kebencanaan geologi gempa di universitas/PT, Litbang Departemen serta LSM harus dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat atau melalui pendidikan kebencanaan formal maupun non-formal, termasuk melengkapi dan merevitalisasi segala instrumen yang dibutuhkan di dalamnya yang harus berbasis dan mengakar pada masyarakat.
Bertujuan untuk mencegah “Bangsa dari terkaget-keget bencana”, padahal umur bangsa ini tidak muda lagi, sudah kaya pengetahuan bencana sehingga perlu memadukan semua edukasi bencana secara menyeluruh, biar tidak kaget dan jangan ditambah kaget lagi dengan hoax apalagi statemen dari pejabat. Terkaget-kaget aku.
M. Anwar Siregar
Geologist, Kerja di Medan (AM 2019)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :