May 14, 2020

Cuaca Tidak Pasti, Banjir Belum Terkendali

TAHUN 2020 BANJIR MEDAN (BELUM) TERKENDALI
Oleh : M. Anwar Siregar

Diprediksi pada tahun 2020 intensitas banjir masih tetap tinggi dan kota Medan termasuk kota yang (belum) mampu mengendalikan ancaman banjir di era sekarang, karena jakarta dan wilayah sekitar belum mampu mengatasi banjir saat ini, Sebab utamanya adalah aktivitas pembangunan infrastruktur yang tidak berbasis banjir sehingga lingkungan saat rentan mengalami disablitas oleh aktivitas manusia di muka bumi dalam ruang dan waktu, disertai kebijakan dan tindakan moral yang tidak selaras dengan ekosistim daya dukung dan daya tampung lingkungan di bumi.
Yang mengejutkan, kenapa kota besar seperti kota Medan (masih malas) belajar dari kejadian musibah melanda berulang kali? Belajar dari kejadian bencana banjir metropolitan Jabodetabek saat ini mengalami banjir saat parah diawal tahun.

MORFOLOGI BANJIR
Kota Medan kini tumbuh sebagai kota metropolitan yang cukup maju. Namun ibu kota Sumatera Utara itu ternyata juga sarat dengan potensi bencana. Dilihat dari tatanan geologis, Medan adalah daerah rawan banjir. Karena Medan itu berbentuk flat atau datar yang dikelilingi daerah morfologi terjal di Selatannya dan dikelilingi lebih enam sungai besar.
Selain Medan berbentuk flat sebagai faktor utama kendala penyebab bencana banjir, di Sumatera Utara di lintasi sungai yang besar dan telah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup tinggi, laju kerusakan telah mengakibat Sungai Deli dan Sungai Percut mengalami terus sedimentasi akhir-akhir ini akibat erosi yang kerap terjadi di bantaran sungai. Hal ini membuat sungai mendangkal dan tidak mampu menahan luapan air dalam jumlah besar.
Faktor kedua, adalah tanah Medan yang susah untuk menyerap air. Geologi Tanah Kota Medan dilapisi oleh tanah lempung yang susah menyerap air. Medan dilapisi Lempung karena dulunya adalah daerah lingkungan alluvial sungai dan daerah rawa-rawa yang berbatas dengan laut.
Medan merupakan kota dengan elevasi yang rendah yaitu rata-rata sekitar ± 0,5-27 m di atas permukaan laut rata-rata (dpl) (mean sea level). Daerah utara Kota Medan pada umumnya lebih rendah daripada daerah selatan. Rata-rata ketinggian di sebelah utara adalah ±0,5-11 dpl, sedangkan di bagian selatan adalah ± 16-27 dpl. Medan dikelilingi oleh pegunungan di Wilayah kabupaten Deli Serdang dan Tanah Karo, yang membuat Medan menjadi semacam kota sedimentasi.
Gambar : Banjir di Pintu Gerbang Masuk Kota Medan, menunjukkan morfologi dataran rendah kota Medan yang mudah mengalami banjir (Sumber gambar Kompasiana.com)
Medan memang berada di daerah rendah. Jika diperhatikan morfologinya, maka Medan Utara merupakan sebuah landaian. Bahkan terkesan mendatar. Morfologi yang datar dan tidak dikelilingi tinggian ini sering disebutkan Medan Sedimentasi dan Medan Way Fload. Batuan yang ada dibawa Medan Utara merupakan hasil tranportasi bahan rombakan dan Medan bagian Selatan tersusun sedimentasi batuan rombakan vulkanik.
Medan harus mengidentifkasi hal ini untuk pembangunan infrastruktur berat bawah tanah dalam 15 tahun ke depan, karena telah banyak mengalami perubahan kontur permukaan tanah dan akan mengakibatkan tingkat kejenuhan air semakin tinggi, dimasa mendatang Kota Medan akan semakin banyak kehilangan daerah swap yang berfungsi sebagai zona tangkapan air atau meyimpan air.
Lautan banjir (semakin) jelas menghantui beberapa kawasan di Medan sekitarnya.
HANTU MEDAN KUMULONIMBUS
Jika tata ruang tidak diperbaiki, banjir akan terus terjadi, sampah bukan penyebab banjir tapi tata kota yang tidak jelas misalnya pembangunan di lahan yang seharusnya tidak boleh dibangun, pengalihan fungsi lahan dan akhirnya terjadi banjir, namun faktor lain yang harus diperhatikan antara lain kelompok kunolonibus.
Kota Medan termasuk kota rawan perubahan iklim dengan tingkat ekstrim, dengan sering terjadi banyak berkumpul para hantu kumulonimbus diatas atmosfir kota Medan sebagai salah satu dinamika perubahan iklim.
Musim kemarau telah berlalu, namun curah hujan di wilayah Medan kembali meninggi dampak dari peningkatan curah hujan diakibatkan oleh gangguan ossilasi awan tropis dari osilasi MJO (Madden Julian Oscilation). Hal ini menyebabkan munculnya awan-awan kumulonimbus yang memicu terjadinya hujan deras disertai angin. Selain itu, faktor kelelembapan udara di wilayah Sumatera Utara masih relatif tinggi sehingga berpotensi membentuk awan hujan sebagian besar di wilayah Sumatera Utara termasuk Kota Medan, sehingga banjir yang mengancam sudah harus di persiapkan “pengendaliannya”.
Ketika memasuki bulan oktober hujan tetap tinggi, termasuk juga setelah lewat bulan November hingga di bulan Desember, Kota Medan tetap belum aman dari ancaman curah hujan tinggi, memasuki sebagian bulan Januari tahun berikut, hujan dengan intensitas ringan mendekati tinggi hingga puncaknya ke bulan Februari 2020, sebab bulan non “ember” belum bebas dari aliran massa udara basah dari osilasi MJO. MJO dianggap salah satu konstribusi yang menyebabkan cuarah tinggi hujan di wilayah Kota Medan dan sekitarnya.
MJO adalah kumpulan “hantu” awan-awan penghasil hujan lebat dari kelompok kumulonimbus (cb). Tepatnya disebut supercolouid cluster (SCCs) yang bergerak sepanjang sabuk (belt) ekuator, mulai dari lautan Hindia masuk ke kawasan barat Indonesia terus bergerak ke arah timur Sumatera sebelum akhirnya melemah dan luluh di kawasan Asia.
Tidak bergeraknya para hantu awan itu ke kawasan timur Indonesia jelas sangat berbahaya bagi kota Medan, jika tidak bergerak ke timur Indonesia berarti wilayah barat Indonesia akan mengalami terus hujan walau bukan di bulan “ember” akan menghasilkan banjir bandang, apalagi jika MJO itu memasuki fase tertentu dan pengulangan siklus, misalnya fase puncak mendadak ke level tertinggi yang seharusnya bertahap mendadak ke atas langit sumatera utara berkumpul di timur, jika dicermati melalui satelit maupun gambaran dari situs BMKG dan literatur lainnya, maka kumpulan awan SCCs itu posisi fasenya umumnya terletak di pusat lautan Hindia yang ada di sepanjang pantai barat kawasan Indonesia.
Begitu fase bulan oktober lewat, musim hujan mulai tinggi pada bulan November hingga puncak ke bulan Desember hingga Februari, hampir sama siklusnya berulang setiap tahun. Sebagai gambarannya misalnya Jakarta selalu mengalami banjir bulan Februari, periode antara bulan Desember hingga Januari tahun berikutnya, maka kota Medan harus bersiaga untuk menghadapi hujan dengan curah hujan yang tinggi.
MJO memasuki oktober, bukan berarti curah hujan akan berhenti di bulan November, tetapi memulai puncak ke Maret ke periode DJF (Desember-Januari-Februari) tahun berikutnya, ancaman banjir bandang akan melanda kota yang hutannya mulai habis.
BANJIR (BELUM) TERKENDALI
Jadi awan kumulonimbus itu akan menjadi faktor yang lain yang harus diperhatikan bagi masyarakat dan pelaku investasi bisnis untuk menekan kerugian karena kita telah mengetahui bahwa topografi kota Medan memang dari dulu kota pengendapan hasil sedimentasi dari Kabupaten Deli Serdang, sehingga akan susah mengendalikan bahaya curah hujan tinggi. Selain itu, di pesisir pantai timur Sumatera, wilayah kota Medan merupakan hasil pengendapan laut, menunjukkan bahwa Medan dahulu terisi air di rawa-rawa yang berbatas dengan lingkungan aquastrim Pantai Timur atau Selat Malaka, sehingga lapisan tanah kota Medan jenuh air dan mudah ditemukan air pada permukaan dangkal, berbahaya bagi ketinggian topografi kota Medan, ada penurunan tanah bergerak secara lambat, merupakan gambaran “kelancaran” air bah raksasa baik bahaya banjir bandang maupun tsunami jika terjadi di ujung utara Selat Malaka.
Jadi bahaya banjir (belum) terkendali, bahaya ancaman bencana baskom banjir masih menghantui kota Medan sepanjang tahun 2020, walau sungai yang telah dinormalisasi kembali mengalami sedimentasi. Akibat luas alur sungai berkurang, cenderung aliran air melambat, diperparah lagi dengan perilaku buruk masyarakat yang suka membuang sampah sembarangan, terutama dalam sungai, semakin berat sungai menanggung beban aliran air permukaan.
Gambar : Beberapa sungai di Medan sudah tidak mampu menampung debit curah hujan sehingga meluber ke pemukiman dan jalan raya dampak dari mobilitas pembangunan yang sangat tinggi dan kerentanan tanah semakin jenuh air (sumber gambar Waspada.co.id)
Maka rajin-rajinlah membaca situs BMKG yang memuat perkiraan cuaca maupun data gambaran satelit serta berbagai literatur lain agar rencana investasi diri tidak kacau.
M. Anwar Siregar
Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara (AM 2020)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :