Feb 4, 2020

Karbon Sink dan Dilema Emisi Karhutla

KARBON SINK DAN DILEMA EMISI KARHUTLA
Oleh : M. Anwar Siregar

Membuat suatu wilayah atau kota yang bebas dari bencana alam adalah sesuatu yang tidak mungkin karena bencana alam berkaitan dengan proses alam yang tidak bisa dihindari. Yang dapat dilakukan adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam melalui upaya mitigasi, diantaranya adalah penyediaan sistem peringatan dini dan penataan ruang wilayah/kota yang berbasis pada informasi kerentanan geologis dan pemetaan seismotektonik dan berbasis ekologi hijau serta kerentanan terhadap bencana alam berwawasan lingkungan, wajib dikaji bagi Ibukota Baru Indonesia dengan mitigasi bencana menjadi faktor utama yang harus diterapkan di lokasi rawan gempa, tsunami, banjir dan longsor terutama bencana karhutla yang melanda Kalimantan sepanjang tahun.
Gambar : Kebakaran hutan di Riau, Perlu karbon sink (sumber antaranews.com)
Membebaskan kota dari bencana kebakaran hutan dan lahan atau karhutla dapat di lakukan jika upaya pembangunan kota memperhatikan daya dukung lingkungan hutan dan kemampuan sumber daya yang ada dengan berdasarkan informasi kemampuan sumberdaya geologi dan ekologi agar pembangunan di suatu kawasan dapat berjalan optimal dan berkelanjutan dalam menghadapi adaptasi perubahan iklim global di lapisan ozon.
Kondisi tata ruang kota yang sering mengalami bencana karhutla karena tidak ditemukan harmonisasi investasi pembangunan hutan dengan tata hunian, sehingga seringkali menimbulkan dilema emisi setiap tahun.
KARBON SINK
Penurunan kualitas dan perubahan kondisi tata ruang lingkungan saat ini yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi lebih cepat dari yang diramalkan dan lebih dahsyat korban bencana yang ditimbulkan, baik dalam skala lokal maupun global dapat meningkatkan sebaran dan intensitas ancaman (hazard) dua kali lipatsalah satunya bencana yang sering terjadi di Indonesia adalah bencana kekeringan yang menyebabkan kekurangan air bersih, begitu juga jika terjadi peningkatan intensitas panas pada suatu wilayah yang kaya sumber pembakar alamiah seperti yang terjadi diwilayah Riau dan Kalimantan dengan meningkatnya intensitas kebakaran hutan dan lahan sehingga menimbulkan bencana karhutla setiap tahun, sedangkan wilayah lain mengalami intesitas hujan tidak teratur, hal ini sudah dialami wilayah provinsi sumatera utara dan pancaran sinar matahari yang terhalang dapat berakibat pada banjir, longsor, kekeringan dan juga angin kencang serta puting beliung (destructive winds). Dampak perubahan tata ruang lingkungan umumnya terjadi karena kurangnya upaya pengendalian dampak atas perubahan fisik yang terjadi karena proses pembangunan, dan ini banyak telah terjadi di wilayah tata ruang kota di Riau, Aceh dan Kalimantan yang banyak mengalami perubahan peruntukkan dengan kerap terjadi bencana banjir dan karhutla dan memberikan efek bagi provinsi tetangganya dengan negara lainnya di Asia Tenggara.
Pembangunan yang berdasar pada keuntungan ekonomi, tanpa menghiraukan dampak ekologis terbukti menyebabkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab deviasi iklim. Konsep Low Carbon Economy (LCE) atau green growth menjadi fokus penting dalam kerangka kerja pengendalian deviasi iklim dalam suatu tata ruang kota di Indonesia demi membebaskan kota-kota di Sumatera dan Kalimantan dari sekumpulan emisi maut. Sebuah dilema Pembangunan untuk mengurangi emisi karhutla.
Konsep Karbon Sink sepertinya tidak berguna di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, malah sekarang akan diperparah lagi dengan pemindahan Ibukota ke kawasan yang justrunya rawan karhutla, akan berdampak banyak kawasan hutan akan tergerus dan di bakar demi keuntungan secepatnya sedangkan faktor karbon sink menyerap udara kotor semakin terpinggirkan. Tidaklah mengherankan mengapa Bangsa Indonesia seperti bangsa pecundang dalam mengatasi karhutla, selalu darurat karhutla.
DILEMA EMISI
Literatur menyebutkan, bahwa kawasan hutan tropik berkonstribusi terhadap emisi karbon global mencapai  20 persen, emisi deforestasi dapat mencapai 50 Gt CO dari tahun 2008-2014. Jika dilihat dari sumber penghasil emisi rumah kaca yang berasal dari Indonesia dapat di lihat dari konstribusi deforestasi hutan mencapai 60 persen di atmosfer atau setara dengan 2 ppm jika upaya mitigasi hijau untuk kesehatan di hutan bumi tidak dilakukan dengan baik akan berdampak dua kali lebih luas dari kejadian sekarang, ancaman super badai tropis, perubahan tata ruang lingkungan hutan berkontribusi terhadap perubahan iklim global yang sekarang berlangsung secara nyata, buruknya tata kelola hutan yang menyebabkan kondisi deviasi lingkungan udara di Asia Tenggara semakin buruk.
Direkomendasikan untuk melakukan sebuah gerakan global yang lebih kuat bagi kawasan kota di Indonesia, untuk mendaur ulang segala jenis kebutuhan manusia dari hutan maupun kendaraan dan bangunan gedung, berperan penting untuk perlindungan vegetasi hutan sebagai penyimpan karbon terbesar dengan cadangan 80 persen dari jumlah karbon dunia [sumber, Mukna, 1998].
Besarnya jumlah CO dan NH yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Indonesia yang mencapai 96 persen hingga di era tahun 2019 memberikan peringatan nyata terhadap kesehatan bumi dengan bukti peningkatan suhu global akibat efek rumah kaca. Terasa saat ini di kota Medan sekitarnya, suhu mencapai 37oC. Ini menimbulkan dilema bagi pemerintah yang ingin menurunkan emisi namun kebakaran hutan tiap tahun tidak berhenti, semakin parah, janji rezim pemerintah sekarang bahwa kebakaran tidak akan terulang lagi namun tetap saja terjadi.
Hal ini semakin mempertegaskan bahwa Indonesia memang penghasil emisi terbesar dan sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke tiga di dunia, belum lagi sampah-sampah emisi lainnya di luar kebakaran hutan yang dapat menghasilkan emisi seperti sampah plastik. Maka jelas Indonesia sedang menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. WWF Indonesia (1999) memperkirakan, temperatur akan meningkat antara 1.3osampai dengan 4.6oC pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.1oC–0.4oC per tahun. Selanjutnya, pemanasan global akan menaikkan muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100.
Selain kebakaran hutan dan lahan, Kota-kota di Indonesia juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca. Sumber utama emisi gas rumah kaca di kota adalah penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri, rumah tangga, dsb. Dan hal ini semakin jelas terlihat dengan buruknya kodisi udara Ibukota Jakarta dengan polusi yang semakin parah mengurung kawasan udara Ibukota Republik Indonesia. Semakin parah lagi dua kali lipat jika di tambahkan dengan emisi dari rumah tangga di Pulau Jawa, yang memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun.
Industri di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar, meningkat dari 13 juta ton pada tahun 2003 menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun 2007, penggunaan kendaraan bermotor di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton diantaranya berasal dari Provinsi DKI Jakarta. Tidaklah mengherankan mengapa kondisi udara Ibukota Jakarta sangat buruk bagi kesehatan. Udara Jakarta memang semakin runyam.
DAMPAK EMISI KARBON
Akibat dari hal-hal tersebut adalah penurunan lahan hijau produktif dan penurunan kualitas ruang yang terindikasi dari terjadinya banjir, polusi, krisis infrastruktur, dan bencana. Faktor lain tidak harmonisasinya pembangunan fisik dengan investasi hutan.
Lebih lanjut lagi, perubahan iklim di Indonesia berdampak pada terjadinya kekeringan, peningkatan jumlah hari panas, badai tropis, tingginya frekuensi curah hujan, dan kenaikan muka air laut telah meningkatkan pembakaran hutan yang mengandung bahan bakar alamiah, sehingga mendorong terjadi mobilisasi ke kawasan yang belum berkembang dan akan meningkatkan emisi karbon semakin tinggi. Jika dihubungkan dengan kondisi ibukota, apakah Ibukota perlu pindah? Dan tidakkah akan menimbulkan dampak emisi karbon terbaru lagi pada kawasan terbaru?
M. Anwar Siregar
Geologist, ANS Pemprov Sumatera Utara (AM, 2019)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :