Jul 1, 2020

(Hati-hati) Asap Lintas Batas Berulang, (jangan buat) Malu Awak

ASAP LINTAS BATAS, MALU AWAK
Oleh : M. Anwar Siregar

(Saat ini, Indonesia sedang mengalami pandemi Corona, ada satu persoalan yang akan memperparah situasi corona dengan jumlah korban jiwa bertambah jika upaya Pemerintah Indonesia tidak berjalan, yaitu salah satunya serangan kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan dari negeri atau raja penghasil kabut asap yaitu Provinsi Riau dan Kalimantan).
Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi corona juga harus meningkat daya tahan menghadapi serangan kabut asap dan upaya-upaya yan harus dilakukan oleh berbagai elemen untuk mengatasi karhutla pada musim asap tahun 2020 agar tidak lebih parah dan melintas antar batas negara, jelas agar menimbulkan rasa malu lagi.
Bencana kebakaran yang menimbulkan kabut asap di Indonesia telah berperan meningkatkan keasaman di geosfer dengan menimbulkan efek gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembakaran hutan dan lahan antara lain karbon dioksida, metan, nitrous oksida dan florin semakin membesar dan memastikan iklim semakin susah diprediksi. Dan gas-gas emisi inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit terhadap manusia dan berefek kepada sumber daya manusia Indonesia mengalami kemunduran akibat tidak adanya pembatasan dan penekanan serta pengendalian perizinan konsesi lahan perkebunan dan pertambangan yang tidak berbasis pembangunan ekologi hijau.
Terlihat semakin banyak jenjang pendidikan meliburkan para siswanya di berbagai kota di Indonesia, maka visi SDM unggul yang menjadi slogan rezim Jokowi hanya menunggu waktu menjadi ”pepesan kosong” akibat dampak hangusan arang dari hutan-hutan Indonesia.
ANAKKU TIDAK SEHAT
Anda para pejabat pemerintah pusat yang menganggap bahwa asap karhutla di Riau belum parah silahkan datang langsung dan merasakan dampak tersebut, penulis sendiri baru saja beberapa lalu ke sana merasakan bagaimana nuansa atmosfir daerah Kecamatan Panam-Pekanbaru sangat pekat hingga pandangan hanya beberapa puluh meter, lebih pekat dibandingkan bakar sate di pinggir jalan, jika tidak mengapa ada anak balita bisa meninggal karena sesak napas?
Tingkat bahaya Indeks Standar Polutan (PSI) telah melebihi angka 300 dalam 24 jam belakangan, tidaklah mengherankan mengapa beberapa sekolah di Riau dan Kalimantan serta dua Negara jiran mempertimbangkan untuk menutup sekolah jika perkiraan kualitas udara pada hari berikutnya mencapai tingkat sangat berbahaya, sekalian belajar dari pengalaman yang sudah-sudah pada bencana karhutla yang lalu menimbulkan korban jiwa seperti pada bencana karhutla tahun 2013 dan 2015.

Gambar : Asap pembunuh tak langsung bagi bayi dan pembodohan bagi generasi (dari berbagai sumber)
BUAT (BODOH) SDM
Itu baru di Pekanbaru dan Batam, lintas batas asap kini menerpa juga Negara jiran seperti Singapura dan Malaysia, menurut informasi dari MOE (Kementerian pendidikan Siangapura), bahwa semua ruang kelas sudah dilengkapi dengan alat penjernih udara untuk menjamin kesehatan siswa di tengah kondisi tak menentu akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
“Guru-guru juga akan terus memantau siswa yang tidak sehat atau memiliki masalah jantung. Karena siswa merespons asap dengan berbeda-beda, orang tua harus memastikan anaknya memiliki obat-obatan, seperti alat bantu pernapasan untuk asma,” tulis MOE.
Dari gambaran ini saja kita sudah membayangkan bagaimana perasaan mereka tentang kita sebagai warga Indonesia, malu. Pemerintah dianggap tidak becus mengurus pembangunan hutan yang tidak berbasis hijau, kapitalisme liberal hutan lebih mendominasi ekonomi pembangunan coklat sehingga menimbulkan lagi lintas batas asap antara Negara nyaris sepanjang tahun tanpa berlibur, namun anehnya bin ajaib, anak-anak justrunya lebih banyak sekarang dibuat berlibur untuk menghindari anakkku kurang sehat atau maaf meninggal, membuatnya juga bodoh.
Gejala akan meningkat ke tingkat unjuk rasa tidak puas atas kinerja rezim Jokowi-Kalla dalam mengendalikan kerusakan hutan sejak bubarnya REED, dan protes itu sudah dimulai karena warga dari kedua negara pun ikut memprotes akibat kiriman kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan dari Indonesia. Mereka mengeluhkan, dampak kabut asap sudah mengakibatkan sesak napas dan kerap membuat kebanyakan dari masyarakat frustasi dan menggugat Pemerintah Indonesia sebesar RM1 karena merugikan aktivitas mereka.
Jumlah gugatan sebesar RM1 itu tidak besar namun sudah cukup membuat malu Negara ini, sebagai gambaran tidak beres dalam mengurus harmonisasi investasi pembangunan hutan dengan laju kemajuan fisik infrastruktur dan ekonomi. Dan ini bisa menimbulkan tingkat perselisihan antara Negara, semakin parah rasa malu yang akan ditanggung Indonesia dampak karhutla.
Kabut asap yang paling parah menimpa Malaysia dan Singapura terjadi pada Juni 2013. Hal itu, sampai membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada Pemerintah Singapura. Beberapa usaha sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi kondisi hutan dan lahan gambut yang kritis. Salah satunya Inpres No .10/2011 yang berisi mengenai penundaan proses perizinan baru selama dua tahun terhadap hutan primer dan lahan gambut.
Namun kenyataan, kita lihat belum mumpuni untuk memberi efek jera kepada korporasi perusahaan besar, termasuk dari perusahaan negara jiran itu sendiri.
SATWA TAK BERDAYA
Semakin pekatnya kabut asap telah menimbulkan korban bukan saja manusia tetapi melainkan juga binatang langka, coba anda lihat dibeberapa media social dan elektronik yang mengabarkan penderitaan para satwa langka yang ada di bumi Kalimantan dan Sumatera, telah banyak orang utan yang dievakuasi dibawa ke pusat rehabilitasi, namun ketika hutan terbakar tak ada habitat kembali bagi orang utan. Maka korban yang terbanyak ke “dunia lain” adalah berbagai jenis ular.
Ini baru orang utan dan ular, belum lagi beberapa satwa yang dilindungi yang ada di taman Tesso Nelo Riau seperti gajah liar yang kabarnya mulai “stress seperti manusia”, menyerang pemukiman manusia. Sangat penting untuk melindungi setiap habitat binatang itu agar dapat dijaga, Karena bencana karhutla ini lebih parah dalam dua tahun terakhir di zaman rezim Jokowi-Kalla. Perlu penyelamatan spesies langka agar dunia tidak mengecam Indonesia dan tidak menambah malu bangsa ini karena dianggap bangsa pecundang hanya sebuah perkara karhutla. Binatang langka itu semakin tidak berdaya karena efek dan dampak kebakaran ini termasuk menghilangkan habitat mereka, semua vegetasi di sana terus hilang, misalnya konteksnya vegetasi pakan gajah dimana mau tidak mau dia akan lari dimana pakan itu masih ada, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan satwa langka dari kepunahan ialah harus menyelamatkan hutan yang merupakan habitat bagi para satwa.
Jika Binatang ini pandai bicara, maka dia seperti tetangga Negara ini, ikut berteriak lantang “bikin malu saja, kau Indonesia”.
(BUAT) MALU AWAK
Berulang kembali kebiasaan lama, kabut asap lintas batas Negara kumat lagi, kiriman kabut asap akibat karhutla dari sumatera dan Kalimantan masih berlanjut, dan ini dapat menimbulkan rasa malu, ingat dulu ketika zaman SBY harus minta maaf, karena ini kembali memicu protes dari kedua negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
Apa kata tetangga tentang kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan , beberapa media menulis tentang karhutla antara lain ”Asap lintas negara telah mengganggu wilayah kami selama puluhan tahun. Sehingga, perlu adanya aksi efektif dan nyata secapatnya di sumber terjadinya api, termasuk pencegahan, investigasi, dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti bertanggung jawab atas kabut asap” tulis Media MEWR dari Singapura.
Kabut Asap Karhutla Ganggu Jarak Pandang Jalan Nasional Banda Aceh-Medan -  kbr.id
Gambar : Asap dari Riau Jangan Membuat Malu Lagi
Media sosial di Indonesia ada menulis (penulis ringkaskan) ”Bagaimana mau meningkatkan kualitas SDM unggulan jika Sumatera dan Kalimantan sering mengalami kebakaran kabut asap, setiap ada kejadian asap lintas batas negara maupun antara provinsi di Indonesia akan selalu ada SDM terpapar malah ada yang meninggal dampak dari kondisi udara yang sangat berbahaya”.
Beberapa Media cetak juga menulis ”jika melihat kondisi sekarang, maka memang tidak becus dalam mengurus hutan maka akan ada SDM yang bodoh, karena sekolah akan dilibur asap, itu sudah berulangkali, dilain pihak pemerintah ingin kualitas SDM harus lebih baik lagi, jika melihat cara pemerintah menggunakan kapitalisme asap maka akan ada penurunan indesk kualitas SDM di daerah yang terdampak kabut asap setiap tahun”. Inikan bisa kualitas semakin memalukan apalagi di negeri awak yang memang masih negeri ”berkembang”.
Itu adalah gambaran bagaimana parahnya kabut asap yang berlangsung setiap tahun di Asia Tenggara, dengan ditemukan sejumlah titik panas yang mengganas di Utara Kalimantan dan Sumatera dan belum lagi kebakaran hutan di gunung-gunung di Jawa dan Papua dipastikan akan terekspor emisi gelap itu ke Pasifik sehingga menghasilkan efek bencana kebodohan dan yang terparah sudah pasti Indonesia yang paling rugi.
Tidak mengherankan kenapa bencana kabut asap berulang terus dan ulah manusianya yang sebagai actor utama perusak iklim global.
M. Anwar Siregar
Geologist, ANS, bekerja di Lingkungan Pemprov Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts :