Aug 5, 2020

(Masih Musim Hujan) Kompleksitas Banjir Medan Metropolitan

KOMPLEKSITAS BANJIR MEDAN METROPOLITAN
Oleh M. Anwar Siregar
 
Bukti ilmiah mengindikasi bahwa aktivitas manusia menurunkan sistim daya dukung fundemental lingkungan di Medan Metropolitan sekitarnya, kerusakan yang terjadi bukan saja di biosfer atau daratan bumi tetapi juga telah melewati atmosfer dan hidrosfer. Kerusakan ini telah menimbulkan kompleksitas bencana banjir dan longsor dalam suatu tata ruang lingkungan di kota-kota yang ada di Sumatera Utara termasuk juga imbasnya ke Medan dengan banjir lagi bersama kota Binjai dan Langkat.
Gejala kerusakan daya dukung lingkungan hutan di Sumatera Utara sebenarnya sudah sangat mengkhwatirkan dengan hilangnya daya resap yang terbesar yaitu hilanganya berbagai macam keanekaragaman hayati akibat perusakan oleh manusia dengan aktivitas pembangunan infrastruktur fisik berat seperti pembangunan jalan tol dan kawasan industri yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan terutama perubahan iklim global, sehingga memberikan efek domino bagi perkembangan iklim dunia.
KOMPLEKSITAS BANJIR
Pertumbuhan populasi manusia yang cepat diwilayah Medan Metropolitan sekitarnya atau wilayah Mebidang (Medan, Binjai dan Deli Serdang) menyebabkan kebutuhan akan sumber-sumber pangan, bahan baja, tempat pemukiman dan lain kebutuhan hidup semakin meningkat sangat tajamDan diiringi pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan perubahan besar bagi kompleksitas tata ruang kota di wilayah Medan Metropolitan sekitarnya menyebabkan perubahan peningkatan laju kerusakan lingkungan hidup dengan timbulnya krisis lingkungan.
Kegiatan ekonomi yang berpusat di kota menjadi pengungkit pertambahan penduduk di kawasan perkotaan di wilayah Mebidang sekaligus menjadi tantangan untuk mewujudkan kompleksitas penataan kota Medan Metropolitan yang lebih komprehensif dari berbagai sektor dalam mengendalikan bencana ekologi berupa bencana banjir yang telah menyebar di seluruh wilayah kecamatan dalam yang ada di kota Medan sekitarnya dan Sumatera Utara secara umum agar dapat memberi rasa aman bagi masyarakat.
Dalam berbagai bencana ekologi yang ada, termasuk banjir, sudah jelas masyarakat yang menanggung akibatnya. Sementara faktor utama penyebab kompleksitas banjir sesungguhnya adalah kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan hidup, tidaklah pernah disentuh, coba buka mata dan lihat langsung apa penyebab rutinitas banjir kerap terjadi di wilayah Medan Utara, Medan Selayang, Medan SunggalMedan Maimun, Medan Timur dan Medan Kota. Bencana banjir tidak hanya mengganggu kenyamanan, banjir juga telah merugikan banyak hal di masyarakat. Kerugian secara ekonomi akibat perabotan rumah tangga yang rusak, anak sekolah harus diliburkan, terhambatnya arus lalu lintas di jalan, dan berbagai kerugian lainnya harus ditanggung masyarakat.
Gamabar : Banjir Medan, tidak pernah berhenti, sebuah kompleksitas tata ruang (Sumber gambar : waspada.co.id)
Kecamatan di wilayah Medan Metropolitan sampai saat ini belum mampu memenuhi amanah UU Tata Ruang sebesar 30 persen bagi tata ruang terbuka hijau, salah satu faktor kedua kompleksitas penyebab banjir dengan minimnya ruang tata hijau (RTH), alih fungsi rawa secara massif,
Kompleksitas ketiga berikutanya yang menyebabkan bencana banjir di wilayah Mebidang adalah faktor infrastruktur jalan yang tidak berbasis banjir atau geologis air dan tidak efektifnya keberadaan drainase termasuk kolam retensi dan sampah menjadi pemicu banjir permanen, jika tidak segera diatasi. Belum lagi berbagai kegiatan usaha seperti hotel, mall, rumah sakit, perkantoran, perumahan dan lainnya dipastikan hampir seluruhnya tidak memperhatikan faktor infrastruktur yang berbasis banjir sehinga keberadaan lingkungan hidup akan menimbul berbagai bencana alam secara sistimastis di era global sekarang.
BANJIR BUKAN KUTUKAN
Kompleksitas banjir ke empat adalah faktor geomorfologi atau topografi Medan Metropolitan yang di mulai di daerah tangkapan air diwilayah hulu dialih fungsikan dari hutan menjadi hutan tanaman, perkebunan sawit dan pertambangan. Akibatnya daya dukung lingkungan menjadi sangat rendah sehingga bencana cepat datang. Dan wilayah geomorfologi Medan sekitarnya berbentuk miring landai dengan ketinggian rendah, yang tidak lagi mampu menampung neraca air hujan dan sungai banyak telah mengalami kerusakan yang sangat tinggi.
Letak geografis dekat laut menjadikan Medan rentan banjir dengan ketinggian 2,5-37 meter di atas permukaan laut serta geomotfologi yang datar, merupakan kemiringan ideal bagi kiriman banjir dari berbagai daerah sekitarnya.
Daerah hulu di pegunungan telah di ”bersihkan”, sehingga kemampuan tanah untuk menyerap air hujan menjadi air tanah telah menjadi hilang. Akibatnya, semua air hujan menjadi aliran permukaan yang kemudian masuk ke sungai-sungai. Ini menyebabkan sungai tidak mampu menampung semua air  hujan sehingga meluap. Kondisi ini diperburuk dengan tingginya sedimentasi di alur sungai Deli dan Babura atau Sikambing yang terbawa dari kawasan hutan yang sudah digunduli diwilayah Deli Serdang dan Tanah Karo.
Selain perubahan di daerah tangkapan air, Kempleksitas ke lima adalah kebanyakan tata ruang di Medan Sekitarnya maupun kota-kota tetangganya memang telah di “desain” untuk rentan terhadap bencana. Meski dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mengharuskan untuk menyisakan kawasan hutan minimal 30 persen dari tiap Daerah Aliran Sungai, guna keseimbangan ekosistem. Namun hal ini  tidak diindahkan dan terabaikan.  Sejauh ini pemerintah berdalih ada hutan 30 persen, tetapi perlu dilihat apakah hutan itu “berhutan”?  Ini yang penting, kadang pemerintah berdalih tetapi pertanyaannya, pohonnya ada semua atau tidak?
Uniknya meski sudah dalam lima tahun terakhir selalu di dera banjir di musim hujan,  penghancuran hutan di hulu masih terus terjadi di wilayah Sumatera Utara secara umum dengan melakukan land clearing untuk pembangunan perumahan dan infrastruktur jalan. Tidak mengherankan mengapa Medan Metropolitan mengalami banjir lagi.
Kondisi ini menyebabkan kota Medan Metropolitan menjadi semakin rawan bencana. Hujan sedikit langsung banjir dan kemarau langsung kekeringan. Pada akhirnya masyarakat yang paling menderita akibat sistem pengelolaan sumber daya alam yang sudah berlangsung.
Sangat mendesak saat ini, dengan menekan kepada pemerintah kota-kabupaten di wilayah Medan Metropolitan sekitanya agar segera mencari solusi untuk mengantisipasi banjir di wilayah ini dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan di perkotaan, seperti, perluasan RTH, konservasi rawa yang tersisa, memperbaiki sistem drainase, membangun pengelolaan sampah berbasis komunitas, serta dengan tegas menindak atau mencabut izin usaha yang tidak memperhatikan lingkungan
Faktor terakhir kompleksitas banjir Medan Metropolitan adalah cara penanganan dan pengelolaan bencana yang dilakukan pemerintah saat ini masih bersifat sektoral dan tidak mengarah pada pencarian solusi permanen. Masyarakat korban banjir hanya diberi sumbangan, dan begitu surut semuanya seperti kembali seperti semula. Nanti  musim  hujan tahun depan kondisi ini akan kembali lagi, sumbangan lagi. Hanya berputar-putar disitu saja. Masyarakat ‘dipaksa’ pasrah dan di doktrin ini adalah musibah. Sedangkan upaya kongkrit untuk mengatasinya banjir tak dilakukan.
M. Anwar Siregar
Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts :