Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi
PENTINGNYA TATA RUANG
MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat
memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk
menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat,
dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus
melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik
diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng
Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka
gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan
“pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang
tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan
merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust
merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian
utara sumatera.
KARAKTER
GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan
gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan
paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode
pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah
diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang
mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground
acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan
dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata
ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur
building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
Gambar : Dinamika
umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap
pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning
System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah
hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS
antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).
Karakter
yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah
mekanisme pergerakan/pergeseran
lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar
vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan
lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang
menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model
gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur
gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya
wilayah tektonik tertentu.
Karakter
gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan
lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam,
merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena
pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar
laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat
gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh
disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan
kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami
sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya
karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan
subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami
daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia
lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami
perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan
karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan
dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut
penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih
kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan
Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen
Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan
gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa
a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan
wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami
investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai
investigator fracture zone [IFZ]
yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa
Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam
kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung
dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang
kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan
Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat
kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan
terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan
dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah
saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari
tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter
magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi
Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan,
menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib
mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang
wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo
dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013,
mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10
tahun.
Pemahaman
karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat
penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan,
karena hal
ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun
2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan
gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi
sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana
hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan
masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan
likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis
pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan
Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan
oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik
berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah
mengherankan terjadi
gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan
Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang
belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak
mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa
hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober
2013 merupakan salah
satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan
konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan
guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran
dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan
kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa
besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog,
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013
Komentar
Posting Komentar