Jan 27, 2014

Pentingnya Tata Ruang Megathrust Gempa Aceh : Geologi Mitigasi

PENTINGNYA TATA RUANG MEGATHRUST GEMPA ACEH
Oleh : M. Anwar Siregar
Semakin terbukti, Aceh sangat memerlukan standar building code segala jenis pembangunan fisik untuk menyesuaikan kondisi percepatan puncak batuan atau PGA. Gempa Aceh tidak akan berhenti walau sesaat, dan menunjukkan bahwa seismitas energi dikawasan ini masih akan terus melepaskan energi akibat ketidakseimbangnya zona-zona energi penyerapan seismik diperbatasan lempeng, yang menyusun kerak bumi di tepi kontinen lempeng Eurasia, dan diketahui bahwa selama belum ditemukan keseimbangan isotatis maka gerak dinamis lempeng bumi akan selalu memacarkan suatu pendesakan dan “pengumpulan tenaga dalam gempa” yang akan berdenyut seperti nadi darah yang tersumbat untuk kemudian meletus atau dilepaskan secara tiba-tiba, dan merupakan gambaran ke gempa megathrust yang lebih besar lagi kekuatan dapat mencapai lebih 8,5 SR, megathrust merupakan karakter gempa yang selama ini menjadi identik zona gempa di bagian utara sumatera.
KARAKTER GEMPA NAD
Blok gempa di Aceh-Simeulue ataupun daratan gempa Singkil-Meulaboh-Pidie-Kutacane-Sabang merupakan wilayah kegempaan paling teraktif di kawasan pantai barat maupun daratan Sumatera dengan periode pelepasan energi sangat singkat dengan zona penyerapan energi paling rendah diantara tiga zona subduksi megathrust yang ada di Pantai Barat Sumatera yang mengalami pengoyakan yang lebih mendalam dengan tingkat PGA [peak ground acceleration] atau tingkat goncangan tanah suatu tempat karena pengaruh batuan dasar diatas 7 Mw. Nilai PGA ini seharusnya digunakan dalam penentuan tata ruang gempa melalui pemetaan mikrozonasi gempa untuk kekuatan infrastruktur building code di suatu kawasan rawan gempa di Aceh dan Indonesia secara umum.
 


Gambar : Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kepulauan Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System). Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukkan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari Bock, 2003).

Karakter yang biasanya membentuk mekanisme gempa besar di wilayah Aceh-Simeulue adalah mekanisme pergerakan/pergeseran lempeng akibat tumbukan lempeng besar yang menghasilkan deformasi sesar vertikal (thrust fault). Sesar vertikal dikarakterkan oleh pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan dan membentuk zona subduksi yang menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, efek dari model gerak sesar vertikal ini membentuk pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempa bumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu.
Karakter gempa lainnya yang terdapat di kawasan Aceh-Simeulue adalah banyak ditemukan lembah-lembah maut berhadapan langsung dengan palung-palung laut dalam, merupakan gambaran umum gempa-gempa besar di masa mendatang karena pantai-pantai yang berhadapan langsung dengan pembenturan antar lempeng didasar laut. Hasil penelitian ilmuwan membuktikan hal tersebut, menemukan bahwa akibat gempa Aceh sejak tahun 2004 banyak ditemukan lembah-lembah maut di Laut Aceh disekitar zona subduksi Aceh menuju Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar dengan kedalaman bervariasi antara 40-60 km, menyebabkan tsunami sering terjadi dengan karakter tunjaman mencapai dibawah 10 derajat kelandaian.
Penyebabnya karena lantai samudera di Pulau Sumatera lebih muda termasuk di kawasan subduksi Aceh-Andaman-Nias-Simeulue, terbentuk terpadatan dan sering mengalami daur ulang kerak bumi sekitar 55 juta tahun daripada Pulau Jawa, sedangkan usia lantai samudera di bawah Pulau Jawa sekitar 100 juta tahun dan jarang mengalami perubahan dan pergeseran kerak bumi yang menghasilkan gempa megathrust.
Dengan karakter usia muda, maka daya apungnya masih tinggi, densitasnya lebih ringan dan lantainya lebih landai serta aktif lebih bergerak dan menyusup dengan sudut penunjaman yang lebih landai sehingga akan menimbulkan gaya gesekan yang lebih kuat dengan skala gempa rata-rata mencapai diatas 7 SR.
Lanjutan bahaya gempa dizona subduksi konvergensi masih menerus menekan daratan Aceh di tiga titik patahan sumatera yaitu Segmen Tripa, Segmen Aceh dan Segmen Seulimeum, gempa Bener Meriah berpusat di daratan di segmen tripa dan merupakan gempa sesar geser, tetapi juga terjadi sekarang disekitar kawasan gempa a-seismik, gempa-gempa yang masih sering terjadi di Aceh di daratan merupakan wilayah dari gempa a-seismik akibat dari fracture atau kawasan mengalami investigasi gempa kuat dalam zone terdekat zona gempa terdahulu dikenal sebagai investigator fracture zone [IFZ] yang menimbulkan gempa akibat tekanan sesar geser dampak dari deformasi gempa Aceh 2004 yang memicunya menjadi aktif. Gempa sekarang dalam kurung empat bulan merupakan indikasi adanya INF di daratan yang bersambung dengan zona INF subduksi.
Coba perhatikan kondisi tata ruang kota-kota yang berada dalam lingkungan geomorfologi di dataran patahan Tripa-Seumelium, lembah tektonik Gayo, di daratan pegunungan ini akan terlihat kondisi tanah yang mudah terbelah dan terkoyak, dan daerah ini di perkirakan terdapat gempa a-seismik yang telah melakukan penguncian lebih 50 tahun dan dapat menghasilkan kondisi peretakan kulit bumi yang dikenal dengan istilah saat ini yaitu investigator fracture zone (IFZ), kemunculan berdampak dari tekanan pecahan gempa megatrush 2004.
TATA RUANG
Dengan melihat gambaran karakter magathrust Aceh-Simeulue, dan adanya indikasi IFZ tertekan menuju ke zona subduksi Simeulue oleh gerak sesar geser atas yang dapat menimbulkan tsunami ke daratan, menekan beberapa segmen patahan Aceh, maka perencana tata ruang wajib mencermati hal ini, dan menyesesuaikan geomorfologi fisik bagi tata ruang kota yang wilayahnya bersentuhan dan terbelah serta berada di kawasan tinggi Alas, Gayo dan Leuser dalam pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi gempa tahun 2013, mengingat gempa tahun 2004 itu kini memasuki priode ulang gempa diatas 10 tahun.
Pemahaman karakteristik tata ruang megathrust gempa Aceh-Simeulue sangat penting dalam pembangunan tata ruang di Propinsi NAD untuk mengurangi bencana, jika bisa dimulai tahun depan, karena hal ini tidak terlihat pada rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh akibat gempa tahun 2004 lalu, belum menunjukkan suatu perencanaan tata ruang yang berketahanan gempa yang tangguh, masih ada ruang atau lahan yang telah diidentifikasi sebagai daerah rawan tsunami masih tetap ditempati dengan membangun prasarana hotel menjorok ke pantai, begitu juga standar fisik infrastruktur jalan dan jembatan masih mudah mengalami efek gempa yaitu efek goncangan berganda, fleixsure dan likuafaksi akibat pembangunan yang tidak sesuai prosedur tetap standar teknis pembangunan jembatan. Masih terlihat beberapa kawasan pantai di Aceh dan Kabupaten di Aceh seperti Simeulue, Pidie dan Bener Meriah belum terbentengkan oleh prasarana bangunan tahan gempa dan sarana pertahanan struktural fisik berupa pemecah gelombang tsunami.
Tidaklah mengherankan terjadi gempa lagi, masih akan ada korban dalam jumlah besar. Siapkah Rakyat Aceh dan Indonesia menghadapi megathrust berikutnya jika perilaku pembangunan tata ruang belum juga mencerminkan karakter tata ruang yang humanis dengan bencana, tidak mencerminkan pelajaran sejarah kebencanaan geologi gempa di masa lalu? Nestapa hanya menunggu waktu. Jadi, gempa Aceh bulan Oktober 2013 merupakan salah satu gempa yang memberikan contoh, bahwa bagaimana pentingnya tata ruang dan konstruksi bangunan tahan gempa dalam mengurangi dampak bahaya, dengan guncangan kekuatan gempa 5,6 SR saja sudah banyak rumah mengalami kehancuran dan sarana jalan terbelah sepanjang lima meter.
Dengan kata lainnya, Rekonstruksi NAD 2004 lalu belum tangguh menghadapi gempa besar berikutnya.
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat di HARIAN ANALISA MEDAN, 2013

No comments:

Post a Comment

Related Posts :