Urbanisasi Banjir dan Banjir Urbanisasi
URBANISASI
BANJIR DAN BANJIR URBANISASI
Oleh M. Anwar Siregar
Prof
John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment (2006)
menyebutkan, akibat kekurangpekaan para pengelola kota di negara berkembang
atas masalah lingkungan, muncul apa yang diistilahkan wounded cities alias
kota-kota yang terluka yang menyebabkan kondisi kota penuh kebencanaan dan
kecurigaan dari masyarakatnya sendiri, terlihat pada kota-kota besar di
Indonesia yang banyak mengalami musibah bencana banjir, termasuk pada banjir di
Kabupaten Garut, Banjir di Belawan, banjir di Bandung, banjir di Semarang, kekumuhan
tata ruang di sepanjang sungai yang membelah Jakarta dan Medan serta pengendalian
kepadatan penduduk di inti kota dan menjamurnya kantong-kantong kemiskinan di
sudut kota.
Bertitik
tolak kekurangpekaan pembangunan perkotaan bisa dilihat dari kajian tatanan
kebijakan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Permendagri Nomor 1 tahun 2007
tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan, dan Permen PU Nomor 5/PRT/M/2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH Kawasan Perkotaan, maka kawasan
tepian sungai pada dasarnya merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk ditata
agar dapat mendukung keberlanjutan pembangunan perkotaan. Bukan sebaliknya di
ubah menjadi kawasan tandingan dalam bentuk model jenis apapun ruang yang
terbangun agar tidak menghasilkan bencana banjir dan urbanisasi atau lebih
tepatnya Banjir Urbanisasi.
Gambar : Banjir di Medan dampak berkuramgnya ekologi hijau (Foto Penulis)
BANJIR
URBANISASI
Banjir
urbanisasi adalah salah satu faktor perusak tatanan lingkungan dalam suatu
tatanan ruang kota,
banjir urbanisasi merupakan laju kepadatan penduduk menuju ke daerah rawan
bencana banjir karena tingkat ekonomi umumnya rendah, dan kemampuan untuk mendapatkan
tempat pemukiman yang jauh dari kerentanan juga sangat rendah. Dan perlu diketahui, urbanisasi dapat terjadi karena
faktor ekonomi.
Salah satu daya perusak dari penyebab banjir adalah
dengan bermukimnya para urban ditepian daerah bencana seperti bermukim ditepian
sungai selain dengan melanggar aturan penetapan lebar garis sempadan sungai, membuka
kawasan pemukiman, merambah kawasan hutan sehingga menimbulkan efek permasalahan
yang lebih kompleks bagi penyediaan infrastruktur tata ruang hijau terbuka.
Karena ketersediaan lahan lebih terbatas di kota dan arah
fisik pembangunan umumnya dalam laju horizontal yang pada akhirnya akan
merambat dan membongkar kawasan hijau, disertai dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, maka tingkat hunian juga menjadi sangat tinggi,
mengakibatkan menurunnya kualitas struktur daya dukung lingkungan hunian,
proses erosi yang semakin melebar dan intesif, tempat pembuangan sampah sangat
terbatas, jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) serta
pencegahan pasang/banjir setempat dan pendangkalan sungai (erosi) yang
mengalami deforestasi tinggi dapat menyebabkan terjadinya bencana banjir akibat
pelaku urban yang tidak menaati aturan kebijakan pembangunan ruang hijau
sehingga investasi rehabilitasi lahan semakin terabaikan.
Mengakibatkan banyaknya kawasan-kawasan rendah yang
semula berfungsi sebagai tempat parkir air (retarding pond) dan bantaran sungai
telah berubah menjadi daerah permukiman yang dihuni penduduk asli maupun
penduduk urban akan meningkatkan volume air permukaan yang masuk ke saluran
drainase dan sungai karena semakin menyempitnya luasan lahan yang memiliki daya
serap atas air hujan yang turun. Dilain pihak jaringan drainase memiliki
kemampuan rendah untuk mengeringkan kawasan terbangun dan begitu pula rendahnya
kapasitas masyarakat menjadi kawasan langganan banjir tahunan. Contohnya Medan,
Semarang dan Bandung serta ibukota Jakarta.
Ambil contoh lainnya, jebolnya tanggul Situ
Gintung, Cirendeu di Kota Tangerang Selatan (2009) yang menimbulkan korban jiwa
tidak sedikit, sejatinya adalah cerminan perilaku masyarakat kita yang ‘rakus’
membangun kota tanpa tekontrol (over development) dengan mengabaikan lingkungan,
lemahnya mekanisme pemeliharaan fasilitas publik (dalam hal ini waduk/tanggul),
serta pelanggaran terhadap proses dan produk rencana tata ruang (dengan
membangun rumah di sekitar tanggul). begitu juga banjir yang terjadi disekitar
Belawan dan di Kabupaten Garut, banyak penduduk tinggal disekitar bantaran
bendungan sungai yang mengalami kejebolan selain tingkat kepadatan penduduk
yang semakin meningkat.
Lalu di perparah oleh kebijakan politis pemerintah,
misalnya untuk penanganan dan pengelolaan bencana yang dilakukan pemerintah
saat ini masih bersifat sektoral dan tidak mengarah pada pencarian solusi
permanen. Masyarakat korban banjir hanya diberi sumbangan, dan begitu
surut semuanya seperti kembali seperti semua, bukankah semua kota ini sering
berlangganan banjir. Dan akan terulang lagi jika sudah masuk musim hujan tahun
depan dan kondisi ini akan kembali lagi, sumbangan lagi. Hanya
berputar-putar disitu saja. Masyarakat ‘dipaksa’ pasrah dan di doktrin ini
adalah musibah. Sedangkan upaya kongkrit
untuk mengatasinya tak dilakukan.
ARUS URBANISASI BANJIR
Kota menjadi tidak
nyaman untuk kehidupan dan cenderung tidak berkelanjutan. "Urban economic
growth has been achieved at an unduly cost to the ecological environment,"
kritik Prof John Rennie Short dalam buku Urban Theory, A Critical Assessment
(2006). Seorang pakar perencana
kota dari Inggris mengatakan, kota merupakan ladang pertempuran ekonomi
(economic battleground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang
akan sangat atau amat menentukan wajah dan nasib kota, Jakarta adalah contoh
terdekat untuk bagi kita di Indonesia. Bagaimana dengan Medan? Lihat saja
bencana banjir dan masyarakat urban yang setiap hari ke Medan dalam rangka
investasi kehidupan ekonomi.
Daya tarik pusat ekonomi perkotaan itu mendorong arus
urbanisasi dari desa ke kota, kondisi ini dilihat dari latar belakang
pendidikan yang berbeda. Sebab, kota memiliki daya tarik dengan fasilitas yang
menjanjikan peningkatan standart kehidupan ekonomi yang layak bagi kehidupan
mereka. Daya tarik inilah menarik masyarakat untuk ke kota dan bermukim di
daerah rawan bencana tanpa terkendali dan diperparah tidak adanya solusi untuk
mengendalikan mereka ke kota. Coba anda lihat setiap habis hari raya lebaran
muslim, Kota Jakarta dan Medan serta kota lainnya mengalami peningkatan kedatangan
para ”turis urban”, mereka menyerbu demi perubahan status ekonomi, yang kalah
biasanya adalah tidak memiliki keterampilan dan menang menentukan laju bentuk
model pembangunan.
Dengan adanya daya tarik kota yang menjanjikan fasilitas
hidup, maka sulit untuk membendung laju urbanisasi dan berdampak pada
keterbatasan kemampuan kota untuk menyediakan prasarana kebutuhan dasar
infrastruktur karena kota memiliki keterbatasan luas areal lahan karena pada
tingkat perluasan tertentu mengalami titik terbatas lahan.
Masalah ini diperparah dengan kesadaran
masyarakat urban yang rendah terhadap risiko bencana, kepentingan ekonomi yang
mengabaikan tata ruang lingkungan, lonjakan jumlah penduduk yang pesat ke
daerah kota besar yang menyebabkan urbanisasi banjir sampai ketersediaan dana
terbatas dan buruknya manajemen tata kelola (governance) pemerintah.
Arus urbanisasi ini yang menyebabkan
banjir, jelas akan merepotkan sistim perencanaan pembangunan tata ruang hijau
maupun tata kelola sistim manajemen infrastruktur dasar karena model yang telah
ditetapkan akan ada tandingan dari para urban untuk menciptakan model tata
ruang tersendiri.
Untuk mencegah urbanisasi agar tidak
menciptakan banjir populasi yang padat dikota, perlu diupaya pembangunan di
Desa-desa berbasis lokal, inovatif dengan kemampuan dan karakter tiap desa
maupun menciptakan sistim tata ruang yang tidak dimiliki kota seperti membangun
desa berbasis investasi hijau. Solusi ini hanya sebagian kecil untuk meredam
urbanisasi dan juga mencegah Desa semakin tertinggal jauh dari kota karena
ditinggalkan para sumber daya manusianya.
M. Anwar Siregar
Komentar
Posting Komentar