Jul 9, 2018

Gempa kecil merusak introspeksi infrastruktur


GEMPA KECIL MERUSAK. INTROSPEKSI INFRASTRUKTUR
OLEH : M. ANWAR SIREGAR
Sifat atau penyebab bencana gempa, tidak semata-mata dilihat sebagai peristiwa yang bersifat alamiah (natural disaster) tetapi sesuatu resiko (risk) yang tidak tertangani (unmanaged) oleh manusia dalam berbagai dimensi, yang berakar dari manusianya sendiri, baik secara pribadi, sosial maupun lembaga. Yodmani (2001) menjelaskan dengan istilah yang lebih tepat bahwa bencana tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang murni natural tetapi sebagai problema pembangunan yang tidak terselesaikan (unresolved problems of development) dan banyak terjadi di tata ruang kota di Indonesia, kehancuran infrastruktur belum banyak berpedoman pada informasi fisik bumi yaitu informasi kerentanan geologis.

Hasil gambar untuk infrastruktur rusak akibat gempa
Gambar : Gempa yang merusak infrastruktur jalan raya (sumber Serambi Indonesia-Tribun Newscom )
RUANG INFRASTRUKTUR
Ruang adalah suatu sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh stake holder. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang, maka infrastruktur yang dibangun akan terjadi sesuatu yang disebut tragedy of common. Sebab ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi, bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Lihat pada kejadian kasus rumah-rumah yang tertimbun longsor di berbagai daerah di Indonesia, mengalami pergeseran lateral dan mengalami kehancuran akibat gempa walau kekuatan gempa tidak telalu kuat namun mampu menghancurkan infrastruktur fisik seperti pada kejadian bencana gempa di Aceh dan Banjarnegara.
Penyusunan tata ruang infrastruktur merupakan tugas besar dan melibatkan berbagai pihak yang dalam menjalankan tugas tidak terlepas dari data spasial. Data spasial yang dibutuhkan dalam rangka membuat suatu perkiraan kebutuhan atau pengembangan ruang jangka panjang pembangunan infrastruktur adalah bervariasi mulai dari data yang bersifat umum hingga detail.
Infrstruktur fisik perlu didukung data infrastruktur pengamatan gempa berupa jaringan pengamatan seismik dan jaringan deformasi dengan GPS pada daerah yang terlanjur terbangun pada kawasan daerah rawan gempa dan tanah bergerak, misalnya kawasan Nias, Banjarnegara dan Simeulue. Khususnya Banjanegara sudah terkenal sebagai daerah rawan gerakan tanah tinggi tiap tahun dan faktor utama longsor akibat adanya sesar aktif yang tertimbun di dalam kawasan tata ruangnya dan ini menyebabkan mengapa sering terjadi tanah bergerak, dan sekali terjadi gempa kecil baik dalam gerakan a-seismik maupun seismik akan selalu menghancurkan walau kekuatan gempa rendah di bawah 4.5 Skala Richter.
Hingga sekarang, kemampuan untuk memahami sumber gempa di beberapa kota di Indonesia sangat rendah untuk membangun infrastruktur tata ruang dan bangunan tangguh bencana, padahal potensi gempa di Indonesia sangat tinggi. Kedepan relokasi wilayah pemukiman yang sangat terancam seperti kawasan Banjarnegara dan beberapa kawasan di Sumatera Utara dan Aceh sebaiknya dilaksanakan sebelum terjadinya bencana sebagai bagian upaya mitigasi. Relokasi tidak lagi sebagai program rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana tetapi harusnya sebagai program mitigasi bencana yang terukur dengan menempatkan tata ruang untuk segala jenis infrastruktur harus berlandaskan kepada kerentanan geologis tinggi.
SOSIALISASI RAWAN INFRASTRUKTUR
Sosialisasi daerah rawan bencana dalam bentuk peta rawan bencana sangat diperlukan dalam pembangunan infrastruktur tata ruang tiap kota di Indonesia. Hal ini penting, namun sering kali mengalami kendala di lapangan disebabkan oleh beberapa hal yang secara umum antara lain, pertama, tingkat apresiasi masyarakat terhadap peta belum seperti di negara maju. Kemampuan masyarakat Indonesia dalam membaca dan mengekstrak informasi dari peta, mungkin masih jauh dari yang diharapkan.  Akibatnya, jika terjadi bencana, masyarakat tidak menggunakan peta. Itu terjadi karena masyarakat buta peta, dalam arti tidak terlalu memahami pentingnya sebuah peta pembangunan infrastruktur fisik didaerah rawan bencana dan tempat beraktivitas.
Kedua, yang lebih penting adalah sosialisasi kesiapan menghadapi bencana. Hal ini juga belum membudaya. Jika kita tahu daerah kita rawan bencana, maka diperlukan  tingkat kesadaran yang tinggi bahwa kita ”hidup di tengah bencana” harus ditanamkan ke masyarakat. Dengan nencontoh kemelekan masyarakat Jepang yang wilayahnya rawan gempa dan tsunami misalnya, semua aktivitas pembangunan infratsruktur dalam suatu tata ruang dan kehidupan di sana diarahkan dengan kesadaran akan bencana ini. Perencanaan pembangunan dan konstruksi bangunan disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya gempa tsunami serta gerakan tanah.
Ketiga, terutama pada tataran implementasi yang sungguh-sungguh. Apalagi, pembangunan infrastruktur yang sebenarnya bertujuan memberikan manfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat kota, masih saja sering menjadikan rakyat kecil sebagai pihak terakhir yang mengenyam manfaatnya, kalau pun tidak boleh disebut sebagai korban atau pun tumbal pembangunan, dan lihatlah banyak penyerobotan kawasan yang seharus menjadi kawasan keseimbangan ekologi menjadi daerah rawan bencana.
Dari sini terlihat bahwa kota-kota di Indonesia masih jauh dalam mengantisipasi pembangunan infrastruktur fisik berkelanjutan yang berketahanan bencana. Konsep ini seharusnya segera direspon dan dituangkan secara integral dan terpadu pada semacam cetak biru tata ruang kota. Begitu juga cara pandang terhadap pembangunan perkotaan dan tata ruang untuk saat ini perlu diubah sesuai dengan fenomena global.
Selain itu, parameter keberhasilan harus secara tegas ditentukan untuk mempercepat pencapaian target dan kesungguhan bertindak (political will), seperti: penurunan jumlah kendaraan pribadi dalam satuan waktu, penurunan konversi lahan hijau ke area perumahan per satuan waktu, peningkatan pembangunan rumah susun atau peningkatan peremajaan kampung per satuan waktu, dan sebagainya (dari berbagai sumber)
INTROSPEKSI INFRASTRUKTUR
Bencana gempa jangan dipandang lagi sebagai peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba yang terpisah dari kehidupan normal manusia, tetapi lebih dari itu harus dipandang sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari kehidupan normal manusia dan tidak serta merta terjadi dengan tiba-tiba (dikutip dari Blaikie et al, 1994).
Maka rakyat dan pemerintah serta stake holder sebaiknya mengintrospeksi untuk selalu berpedoman pada data kerentanan geologis Indonesia untuk membangun suatu tata ruang infrastruktur suatu kota di Indonesia agar tingkat kemasifan kerusakan infrastruktur akibat gempa walau kekuatan tenaga dalam yang dilepaskan tidak begitu kuat namun mematikan, Ada tiga bahasan introspeksi yang perlu diperhatikan dalam membangun infrastruktur dalam suatu tata ruang Kota atau Desa antara lain : Struktur lapisan batuan, kedangkalan gempa dan konstruksi bangunan.
Kedangkalan gempa dapat dilihat dari sejarah kerentanan gempa yang pernah berlangsung di daerah yang akan terbangun, memperhitungkan tingkat kedalaman pusat gempa dan kekuatan gempa yang pernah dilepaskan, berguna untuk menopang berat konstruksi dan infrastruktur berbagai bangunan.
Bila daerah tersebut belum memiliki informasi sejarah kerentanan maka sebaiknya melakukan pemetaan data spasial dan sebagai rujukan untuk membangun infrastruktur fisik kota atau desa. Kedangkalan gempa berperan utama dalam merusak sistim infrastruktur yang terbangun dan tidak boleh diabaikan.
Struktur lapisan  batuan, lapisan batuan berperan penting juga untuk kecepatan seismik ke permukaan bangunan, lapisan batuan akan mencerminkan daya tahan dan daya lentingan terhadap energi seismik gempa, batuan yang lunak tidak akan mampu meredam guncangan dan terlihat pada kasus kejadian gempa Banjarnegara
Struktur bangunan, sebagian bangunan di Indonesia baik di kota kecil maupun kota metropolitan ada yang dibangun tidak dirancang berketahanan gempa, infratruktur banyak mengalami kerusakan seperti pada kasus Tol Becakayu, underpass Manado Bitung dan berada di kawasan gempa dan kasus lainnya.
Pembangunan yang dilaksanakan saat ini seharusnya dapat juga melestarikan lingkungan hidup, masyarakat harus memiliki kepedulian besar kepada upaya yang dapat mewujudkan kelestarian alam Indonesia dan jangan menyerobot kawasan hijau, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup bagi semua makhluk yang ada di muka bumi perlu dijaga.
M. Anwar Siregar
Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Gosfer
Dipublikasi Harian : ANALISA MEDAN. 15 MEI 2018

1 comment:

  1. terimakasih infonya sangat membantu, dan jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2p9iBfW

    ReplyDelete

Related Posts :