Jan 10, 2019

Belajar dari Tsunami Palu-Donggala (2)



Belajar dari Tsunami Palu-Donggala (2)
Oleh : M. Anwar Siregar

Ada faktor menyebabkan beberapa hal yang agak sulit mera­mal­kan perubahan laut akibat gempa tsunami Palu-Donggala di era sekarang untuk gam­baran gempa di masa mendatang. Gem­pa tsunami di Sulawesi Tengah ini telah membuat bentuk dasar samudera berubah-ubah dan ikut bergeser.
Beberapa gerakan tanah di lautan telah menam­bah te­kan­an untuk menimbulkan tekanan air pasang yang me­ningkat dan gerakan lain­nya mengimbangi. Longsoran tanah di dasar laut yang tiba-tiba da­pat secara tajam menu­run­kan permukaan laut, bia­sanya 3 meter menjadi 12 me­ter dalam satu abad.
Gempa dan tsunami di Pa­lu dan Donggala dika­barkan telah mengindikasikan ada­nya perubahan tanah yang mengalami pergeseran sejauh 3 meter dan penurunan per­mukaan daratan sedalam 1, 5 meter, dipastikan batimetri pantai di kawasan Palu telah mengalami perubahan parsil panjang pantai berkurang, padahal kekuatan gempa hanya 7.7 SR, berbeda de­ngan gempa dan tsunami Aceh 2004 berkekuatan 9.1 SR sejauh lebih 12 dan per­ubahan dasar laut mencapai 6-12 meter.
Morfologi Pantai
Daerah terparah meng­alami tsunami ada­lah wilayah Pasifik yang memiliki lem­peng tipis antara 30-70 km. Ketipisan ini menyebabkan ter­jadinya longsoran dan pa­tahan pada dasar laut. Di dae­rah Pasifik terdapat lebih ba­nyak palung-palung samu­de­ra dalam. Paling sedikit di wilayah ini satu gempa ba­wah laut dapat terjadi dalam tiap tahhun sejak 1800. Tsunami di Pasifik yang paling mengerikan dapat terjadi se­tiap 10 tahun.
Indonesia termasuk salah satu negara di dunia ini dae­rah rawan tsunami sepanjang tahun, bahwa kepulauan Indonesia diapit oleh beberapa lempeng-lempeng benua dan lempeng-lempeng samudera yang sangat aktif, yaitu Lem­peng Carolina/Pasifik di se­belah barat dan Lempeng Laut Philipina di barat daya, Lempeng Eurasia di utara ser­ta Lem­peng samudera Hin­da-Australia di selatan dan Lem­peng Samudera At­lantik-Afrika di sebelah ti­mur.
Bencana gempa dan tsunami yang sering melanda In­donesia memiliki karakte­ristik selalu berhubungan dengan pergerakan sesar-se­sar geser di lautan Indonesia. Ini dapat dilihat pada benca­na tsu­nami di Flores dan Aceh-Sumut, yang mempu­nyai banyak patahan lokal-lokal disekitar Laut Flores dan Laut Timor sebagai pem­batas dari patahan regional pantai barat Sumatera.
Patahan daerah ini berhu­bungan denggan ke­dalaman fokus gempa dangkal yang dapat meng­hasilkan tsunami dahsyat serta sekarang Palu-Donggala yang bentuk pan­tai­nya menjorok ke dalam da­ratan dan dikendalikan oleh zona patahan Palu-Koro dengan fokus dangkal rata-rata 10-20 km, yang masuk se­jauh 15 km ke dalam da­ratan Pulau Sulawesi Tengah hingga menimbulkan gerak likuifaksi, yang menggeser bangunan atau tanah berjalan sejauh 10 meter sebelum hancur dan longsor ke dalam bumi.
Bentuk morfologi (ben­tang alam) pantai di Kota Pa­lu umunya berbentuk keru­cut menyempit dan men­jorok ke dalam, permukaan pulau berbentuk landai dan berle­kuk memanjang yang memu­dahkan tsunami dapat men­ca­pai pantai dalam kecepatan tinggi, kabarnya tsunami Palu-Donggala mencapai 800 km /per jam hingga mam­pu ke Ke kab. Donggala.
Menurut para ahli geo­logi kelautan, pulau-pulau ber­ben­tuk kerucut biasanya mam­pu ”menangkap” ge­lom­bang yang tetap, karena pecahan gelombang dan ge­lombang tersebut terpe­rang­kap. Ini dise­babkan panjang­nya sama dengan panjang pulau. Se­dang kecepatan tsunami antara 500-700 km/per jam.
Bahkan ada 800 Kkm/per jam, tergantung kedang­kalan pusat gempa dilautan untuk menuju daratan da­lam waktu antara 3-10 menit, dan tinggi gelombang rata-rata yang tercatat maksimum 12 meter di laut dalam dan mem­besar puluhan meter saat mendekati garis pantai.
Sedangkan tinggi tsunami di Palu dan Donggala men­ca­pai garis pantai (run up), setinggi 6 meter. Ini ditentu­kan besar kecilnya mag­nitudo gempa yang menca­pai 7,4 SR, morfologis ((bentang­alam) dasar pantai dengan ke­dalaman curam dan bentuk garis pantai dan tidak ada pe­lindung pemecah gelombang seperti terumbu karang dan tumbuhan mangurove (pohon bakau). Akibatnya tsunami de­ngan mudah mencapai da­ratan Kota Palu, seperti yang terjadi di Aceh dan Nias.
Dalam kurun 100 tahun ter­akhir ini sejak 1901-2018 tercatat 85 tsunami terjadi di Indonesia. Sebanyak 85 per­sen bencana tsunami meng­alami ben­cana maut dan sekitar 64 peristiwanya ber­langsung di wilayah Timur Indonesia.
Sehubungan dengan itu diperlukan sistem per­ingat­an dini terhadap bencana gempa dan tsunami di wilayah Indo­nesia yang menghadap Sa­mu­dera Pasifik dan Samude­ra Hindia. Memang harga per­alatan teknologi ini sangat mahal, tapi rekonstruksi dan rehabilitasi infrastruktur akan lebih mahal lagi. Pela­jaran gempa tsunami untuk sekian kali, untuk kesekian kalinya alpa lagi.
(Penulis adalah pemerhati tata ruang lingkungan dan energi gosfer)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :