Jan 8, 2019

Indonesia (tidak) Memiliki Fundamental Gempa

 INDONESIA (TIDAK) MEMILIKI FUNDAMENTAL GEMPA 2
Oleh : M. Anwar Siregar
FUNDAMENTAL RUANG
Fundamental tata ruang lingkungan yang berwawasan gempa bumi saat diperlukan di Indonesia untuk menguatkan masyarakat dan kota dalam menghadapi berbagai ancaman bencana dari berbagai lingkup yang mengancam lingkungan, disini peran peraturan undang-undang yang mengatur tata ruang dan bencana alam dan harus ditindak lanjuti bukan bersifat implementatif.
Sebagai kasus yang perlu dipelajari adalah pengadaan dan pemanfaatan peta rawan bencana di berbagai daerah. Didalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan rawan bencana hanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung, dari aturan ini saja berbenturan dengan UU Panas bumi 2014, yang mengizinkan penambangan di daerah kawasan lindung dan konservasi karena tidak lagi masuk ke aturan pertambangan khusus. Begitu juga aturan UU 28 tahun 2002 tentang Tata Bangunan dan Lingkungan yang ketentuan mengatur bangunan gedung yang terlanjur terbangun di daerah rawan bencana yang sampai sekarang banyak melanggar aturan yang ditentukan, maka tidak mengherankan mengapa banyak bangunan rusak didaerah yang mengalami gempa berkekuatan kecil minimal 5.5 Skala Richter seperti yang terjadi di Aceh, Lombok, Padang dan kota lainnya di Indonesia.
Pengendalian, penataan dan rehabilitasi ruang dan lingkungan masih bersifat tidak kontinu, penataannya masih skala mikro, sehingga pengurangan resiko bencana pada dasarnya belum menyentuh akar rumput untuk mereduksi jumlah korban yang berjatuhan. Salah satu penyebabnya adalah pengabaian penggunaan data Peta RBTL dan peta tata ruang lainnya yang telah disusun oleh para pakar sehingga jumlah korban jiwa yang jatuh akibat bencana gempa bumi di daerah rawan bencana tidak pernah berkurang di Indonesia.
Peta Investasi Tata Ruang Gempa sangat urgen di perlukan sebagai fundamental bencana di daerah rawan bencana alam, seperti juga peta investasi tata ruang letusan gunungapi, sebagai panduan yang sangat krusial untuk membentuk ketangguhan tata ruang gempa bumi tektonik maupun vulkanik bagi kota dan desa di Sumatera Utara dan Indonesia, penting dibudayakan ditengah masyarakat dan perencana pembangunan tata ruang dan setiap daerah wajib memiliki dan membaca peta tata ruang gempa bumi yang telah tersusun sebagai lintasan sejarah yang telah termuat di dalam peta yang diperlukan, begitu juga dalam skala yang lebih luas, peta gempa bumi sangat penting untuk menentukan kebijakan pemegang kekuasaan untuk menentukan wilayah yang perlu di evakuasi dan wilayah yang bisa dijadikan wilayah rehabilitasi, lihat kondisi tata ruang Sinabung dan Merapi, atau sekarang Lombok-Palu yang berada di pinggiran Pantai-Laut sebagai sumber pembenturan antara Lempeng bumi yang menghasilkan gempa sekitarnya, kini memerlukan rekonstruksi yang berbasis gempa.
Kurangnya jumlah peta daerah rawan bencana gempa dan pengetahuan sejarah evolusi alam adalah satu hal, tetapi masalah koordinasi itulah yang menjadi sumber manajemen yang rumit, karena menyangkut ego sektoral untuk membagi pengetahuan secara gratis.
FUNDAMENTAL GEMPA
Fundamental gempa sangat dibutuhkan dalam membangun tatanan masyarakat baru guna mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh gempa. Fundamental gempa dapat dibagi melalui pengetahuan ilmu gempa dan pengetahuan kearifan lokal, yang banyak terbangun dalam budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang masih mumpuni di era modern saat ini dan dapat disesuaikan dengan karakter Indonesia yang berbentuk negara kepulauan terbesar di dunia.
Jika perlu belajar dari negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat, membudayakan  tanggap dan waspada bencana yang berlapis-lapis melalui kebijakan yang humanis dengan manusia beserta lingkungan alamnya, mulai dari mengamandemen undang-undang terkait disektor lain yang harus selaras dalam penanggulangan bencana alam, misalnya yang menyebabkan rusaknya lingkungan seperti lingkungan air dan perubahan iklim (lingkungan hidup), penggundulan hutan dan berkurangnya lahan ketahanan pangan (kehutanan dan pertanian), pertambangan dan tata ruang yang perlu disinergitas dalam penanggulangan bencana untuk membentuk budaya lingkungan yang tangguh bencana, perlu pembenahan fundemental bagi pengambil dan pemegang kebijakan,
Belajar dari peristiwa bencana besar yang pernah terjadi dapat dilihat dari budaya masyarakat yang dapat membaca bencana dengan memadukan perkembangan ilmu pengetahuan gempa dengan kearifan lokal untuk mengendalikan hawa keserakahan dan perlakuan buruk manusia terhadap alam dalam menekan kesengsaraan manusia itu sendiri karena Tuhan tidak pernah merugikan manusia, melainkan apa yang telah diterima manusia dalam hidup sekarang hasil perbuatan manusia dalam merancang kondisi tata ruang daerahnya, pencemaran udara serta pemanasan global saat ini. (WM)
M. Anwar Siregar
Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts :