Feb 14, 2019

Hantu Karhutla Datang Lagi

Hantu Karhutla Datang Lagi

Oleh: M. Anwar Siregar. 

Belum sebulan gempa Lombok berlalu, bayang-bayang kabut asap kini mulai menampakan diri. Pelan tapi pasti, dia ibarat hantu. Da­tang tidak kentara dan men­jelma bertahap-tahap menja­di hitam menyeramkan di siang bolong. Apalagi jika sudah masuk sore atau ma­lam, suasana bumi pertiwi di angkasa raya semakin seram.
Kenapa titik panas (hot spot) mulai ber­munculan? Kenapa bisa terjadi? Bukan­kah pemerintah sudah ber­janji tidak akan berulang ka­but asap lagi?

Darurat kabut asap kini ter­jadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Se­latan. Kabut asap kalimantan dampak pem­­bakaran dan meninggi­nya titik hot spot. Sedang di Pulau Sumatera, geja­la kabut asap mulai tampak dari se­baran titik panas di Riau le­bih 121 hot spot, Jambi 24 ti­tik panas, Sumsel (16), Aceh ter­dapat (7) panas. Be­narkah sebentar lagi “Hantu Karhutla” datang?

 
 
 ANTISIPASI: Pengendara motor melintasi jalan berkabut asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut di Dumai Barat, Dumai, Riau, Pemerintah harus memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Hal ini harus segera diantisipasi agar tidak menimbulkan hal yang memalukan.(Ant, Aswaddi Hamid)

Pemerintah harus mem­per­juangkan lingku­ngan hi­dup yang bersih dari kebakar­an hutan dan lahan (Karhut­la). Hal ini harus segera di­antisipasi agar tidak menim­bulkan hal yang mema­lukan.
Ironi Emisi
Belum pulih duka gempa Lombok dengan kekuatan magnitudo 7,0 yang menim­bulkan 460 korban jiwa, ribuan korban luka-luka dan 7 tri­liun rupiah kerugian fi­sik, kini kita dihantui oleh Kar­hutla.
Ribuan titik api di bebera­pa wilayah Su­matera, Kali­man­tan Barat dan Kali­man­tan Selatan kini bermun­cul­an. Ka­barnya Kalimantan su­dah darurat asap akibat keba­karan hutan dan lahan. Su­matera dikhawatirkan meng­ikuti jejak kalimantan, karena beberapa wilayah telah mu­sim kemarau.
Sedangkan upaya yang di­lakukan ma­sih sebatas meng­atasi kebakaran la­han, bukan mengatasi langsung ke sum­ber utama sebagai “pelumas” yang me­n­imbulkan penye­bar­an, yaitu lokasi la­han yang mengandung bahan tam­bang seperti gambut dan batubara.
Indonesia kini berusaha me­ngejar target emisi, de­ngan menanam 100 juta po­hon di kawasan perkebunan, lalu me­ningkat jadi 1 milyar pohon dalam setahun.
Kita seharusnya mam­pu menja­ga hutan dari hak yang menghasilkan "carbon-trade dollar" untuk ne­ga­ra-negara yang memiliki tegakan hutan. Namun sayang, banyak po­hon ditebang dan dibakar se­hingga target emisi sebesar 25 persen sebelum tahun 2030, seper­tinya susah dipe­nuhi. Mungkin akan gagal dalam perdagangan emisi.
Pemerintah kini memiliki agen­da atau target menjadi­kan Indonesia seba­gai negara penghasil sawit terbesar di du­­nia. Mungkin ini sebabnya kita kurang fokus menjaga hutan.
Hutan di kawasan yang memiliki kan­­dungan gambut dan batubara men­jadi kawa­san perkebun­an. Kedua ba­han tambang yang memiliki unsur emisi karbon dan nitrogen ini merupakan ba­han utama yang menghasil­kan polutan asap.
Lalu muncul cerita dan perta­nya­an, di samping pu­nya target lain, bagaima­na pe­me­rintah mengejar ke­untung­an setoran perda­gang­an emi­si karbon jika hutan-hutan­nya habis terbakar?
Bagaimana memenuhi target emisi jika peme­rintah si­buk terus mem­berikan izin perluasan dan perubahan un­­dang-undang pertambangan yang me­mungkinkan masuk ke hutan. Lalu ba­gaimana me­nekan balik bagi per­usaha­an yang bandal jika ber­ulang­kali melakukan pemba­karan?
Tidak mungkin menekan target emisi sebesar 26 persen itu, karena ke­nya­taannya Indonesia menghasilkan emi­si dunia mencapai 12 persen per ta­hun akibat kerusakan hutan, lingkungan gambut dan batubara.
Apakah target ini tidak meng­hasilkan sumber benca­na baru seperti kebodohan sumber daya manusia? Se­buah ironi yang tidak lucu. Kabut asap setiap saat mun­cul seperti gempa yang da­tang tiba-tiba.
“Hantu Karhutla”
Kini “Hantu Karhut­la” mun­cul lagi di Sumatera (Aceh, Riau, Jambi dan Sum­sel). Bahkan di Kalimantan me­nim­bulkan darurat asap. Jika melihat sum­ber yang menghasilkan titik panas, kita melihat, target tidak bisa dipenuhi ka­rena 65 persen lahan perkebunan yang ter­ba­kar berada di atas lahan de­ngan kandungan gambut dan batubara. Selain itu, hu­tan-hutan yang masih segar ikut tertebang. Sungguh tra­gedi hilangnya daerah penye­rap karbon.
Kabut asap di Sumatera akibat ulah manusia sebagai pelakon kebakaran hutan dan lahan yang tidak menjaga keseimbangan alam.
Mereka mene­bang, meng­gunduli dan memba­kar sem­ba­rangan, sehingga mengha­silkan benca­na dan kebodoh­an SDM. Kabut asap dapat me­nye­babkan penurunan indeks prestasi belajar, kare­na dipastikan akan ada ”libur asap panjang”.
Hasil pembakaran hutan hanya dinikmati segelintir orang. Sedang Sebagian ma­syara­kat kecil masih ada yang mau men­jadi bemper kepan­jang­an ta­ngan oknum untuk me­laku­kan pembakaran hu­tan.
Kri­minalisasi terhadap war­ga kecil lebih menjadi prio­ritas utama dibanding para pelaku dari ka­langan pengusaha. Ini me­nim­­bulkan dampak ling­kung­an semakin parah. Makanya “libur asap” ter­jadi se­tiap tahun.
Upaya pen­cegahan dan pene­gakan hukum belum begitu tegas.
Pe­mahaman antara peme­rintah, pe­negak hukum dan masyara­kat dalam mena­ngani kasus kebakaran hutan, penggun­dul­an, pencemaran dan illegal logging belum ter­bangun dengan baik. Antara satu pihak dengan pihak lain berjalan de­ngan pemahaman masing-masing.
Lebih parah lagi. berbagai kasus konversi lahan masih banyak terjadi di beberapa pro­vinsi belum dianggap tin­dakan pidana sehingga me­nimbulkan protes warga. Iro­ninya banyak agenda hukum pencegahan dan penagakan hukum lingkungan tidak ada upaya penyelesaian yang signifikan seperti kasus pem­bakaran hutan yang lalu, di mana sudah ditetapkan ter­sangka pembakaran dan dibebaskan oleh pengadilan, bukti bahwa hukum ling­kungan di Indonesia belum berjalan.
Darurat bencana kabut asap berulang kembali meru­pakan salah satu contoh pe­ngelolaan lingku­ngan hidup yang tidak tepat. Tidak ter­bentuk­nya kemitraan yang baik antara pemerintah, pe­negakan hukum dan masya­ra­kat penyebab utama ber­ulangnya kembali kabut asap.
Ini terjadi justru ketika Indonesia seba­gai tuan rumah Asian Games. Selain itu baru saja terjadi gempa kuat di Lom­bok pada 29 Juli dan 5 Agustus 2018, dan berlanjut lagi 19 Agustus 2018.
Pemerintah Indonesia ha­rus belajar dari pe­ngalaman atau cara yang digunakan Korea Selat­an, di mana 80 persen dari kebutuhan kayu dalam negeri mereka saat ini adalah diimpor dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dengan menekan kebijak­an zero logging ataupun zero asap alias jerabu, pemerintah Indonesia dapat menjadikan kebutuhan hutan-hutan ha­nya untuk sumber keseim­bangan lingkungan dengan pembatasan penggunaan jasa serta menjadikan sebagai ka­wasan hutan abadi.
Pemerintah wajib proaktif menekan pihak swasta yang berinvestasi ke Indonesia wa­jib memiliki pengembangan hutan tanaman industri se­besar 10 persen tiap konsesi proyek mereka.
Hutan industri untuk me­ne­kan penebangan hutan men­jadi nol, guna menekan biaya pengeluaran penghi­jau­an bagi lahan kritis dan pembangunan tegakan hutan di Indonesia.
(Penulis adalah pemer­ha­ti tata ruang lingkungan dan energi gosfer, AM 2018)

No comments:

Post a Comment

Related Posts :