21 Mar 2013

Introspeksi Etika Pembangunan : Geologi Lingkungan

BENCANA BANJIR : INTROSPEKSI ETIKA PEMBANGUNAN
Oleh M. Anwar Siregar

Bencana banjir di Indonesia kini merupakan pemandangan setiap hari yang disuguhkan oleh “sarapan” berbagai media di tanah air, lokasi kejadian ada kalanya di tempat yang sama seperti yang kita lihat di Jakarta, Medan dan Padang setiap tahun, bahwa hilangnya keseimbangan alam dapat terjadi dan dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga menimbulkan bencana alam banjir. Contoh yang paling jelas dan sudah banyak diketahui tetapi masih berulangkali dilakukan yaitu penebangan hutan yang semena-mena dengan menganggap hutan sebagai sumber daya tidak terbatas.
Hutan di Indonesia kini semakin terbatas serta memasuki “sakratul maut”, dan ruang banjir kini semakin meluas ke kawasan pemukiman elite, gambaran banjir tersebut dapat dilihat di kota besar Jakarta, Medan dan Makassar akibat kemajuan pembangunan fisik non ruang hijau terbuka atau RTH.
RUANG BANJIR
Terkait dengan proses-proses yang menyebabkan banjir, tidak terlepas akibat dari gangguan tata ruang siklus geohidrologi, yang ditimbulkan dari berbagai aktivitas pembangunan fisik terutama oleh intervensi dari manusia dapat menyebabkan bencana banjir. Banjir merupakan bencana alam sering terjadi di Medan dan Jakarta, merupakan suatu peristiwa di mana air meluap ke daratan lebih rendah hingga mendekati daratan yang tinggi dengan batas tertentu, dapat menyebabkan dan menimbulkan kerugian fisik dan berdampak pada bidang sosial dan ekonomi.
Ruang-ruang yang menyebabkan terjadinya banjir di kota besar antara lain beralih fungsinya DAS menjadi kawasan hunian kumuh, yaitu sebagai wilayah fungsi peresapan dan wilayah pengatusan [dranaise], sehingga menimbulkan banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah rumah tangga, galian-galian pipa di sekitar bantaran sungai yang tidak kunjung selesai oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya
Beralih fungsinya kawasan resapan air di hulu hutan oleh berbagai peruntukkan, yang berperan penting dalam siklus hidrologi di suatu DAS, ketika terjadi hujan maka banjir merata di semua tempat dengan intensitas yang tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi mampu mengendalikan aliran permukaan dan di dukung geologi topografi terjal di daerah hulu yang berubah menjadi datar di daerah hilir sehingga menjadi sangat responsibilitas dalam mengalirkan aliran permukaan, menyebabkan banjir dan meluap menggenangi daerah sekitarnya.
Peningkatan pertumbuhan penduduk adalah salah satu faktor perusak sistim tatanan aliran sungai dengan beralih fungsinya tata guna lahan pada lereng hutan yang terjal sebagai kawasan resapan, sebagai contoh daerah hutan pada morfologi agak terjal biasanya di tanam oleh tanaman keras berubah menjadi areal persawahan oleh tanaman musiman. Maka akhir dari perilaku ini adalah terjadinya penderasan air menuju ke daratan rendah, tak terbendung dan menimbulkan bencana banjir bandang tiap tahun
EGOSENTRIS ETIKA
Yang membuat semakin rawan kondisi suatu kota bukan saja faktor alam, melainkan juga egois dan etika manusia yang mendiami suatu lingkungan. Esensi kritis diri dalam penegakkan aturan perencanaan serta perundang-undangan hukum tata ruang dan lingkungan serta egosentris dalam pemanfaatan tata ruang yang menyebabkan banjir dikondisikan oleh sosial budaya masyarakat yang serakah akibat dorongan libido ekonomi manusia Indonesia dalam memanfaatkan kondisi alam dan tidak mampu menjaga hubungan harmonisasi dengan alam akibat rasionalitas ekonomi politik yang membudaya dalam bentuk kehidupan konsumtif pembangunan.
Contoh kasus bencana banjir di kawasan Puncak [Jawa Barat] dan kawasan inti kota besar dan kecil berkembang di Medan, Padang serta Semarang berubah menjadi kawasan heritage-kuliner, disebabkan ketidakmampuan manusia Indonesia menyiapkan pembangunan suatu tata ruang yang ideal bagi sebuah kota yang aman, menata kelestarian ruang ekologi banjir, membangun sumber daya geo-biodiversity serta menegakan aturan zonasi fisik yang bersifat efek memaksa, hanya ‘indah diatas kertas”. Pengorbanan daerah hijau yang sepantasnya sebagai keseimbangan alam berakhir pada kemauan komoditas (fetisisme].
Keadaan ini masih diperparah dengan rendahnya etika kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian RTH oleh berbagai latar belakang pendidikan yang tinggi dan mereka pasti paham arti pentingnya sistim ekologi hijau sebagai pengendali banjir, yang justrunya menunjukkan ego kepentingan penyebab utama kerusakan lingkungan, tingkat laku dapat diperlihatkan oleh pembangunan vila-vila mewah di kawasan Puncak menghancurkan perkebunan teh, di daerah kawasan pantai dengan menghancurkan hutan mangrove berfungsi sebagai pemecah gelombang tsunami, namun dianggap “angin” dengan prinsip keuntungan bisnis lebih dulu dan kerugian alam urusan belakangan di pikirkan sehingga kita melihat berbagai “danau baru” di lingkungan kehidupan kita.
Egosentris masih dapat dilihat dari kondisi sosial ekonomi kehidupan masyarakat dalam perencanaan tata ruang kota yang tidak berorientasi kepada kemampuan pertumbuhan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik horizontal karena wujud kota hanya ditekankan kepada kemampuan masyarakat yang telah mapan sehingga tidak akan terpengaruhi perubahan. Dimana sistim penunjang hanya berorientasi kepada kalangan masyarakat ekonomi mampu sehingga menjadikan kota sangat egois, kurang manusiawi dan menimbulkan kecemburuan sosial, tingkat keamanan berkurang. Dampak ini, mendorong masyarakat kecil semakin termarginal dan membentuk pola tata ruang kumuh, dapat menimbulkan ancaman bencana, didorong ketidakmampuan mendapatkan sumber kehidupan layak dengan bertempat di kawasan dan bantaran ruang banjir seperti di kawasan hutan dan bantaran daerah aliran sungai [DAS].
INTROSPEKSI PEMBANGUNAN
Ada beberapa introspeksi agar menjadikan wujud etika yang baik dalam membangun tata ruang banjir antara lain : pertama, mempertahankan dan meningkatkan lahan pertanian subur menjadi lahan pertanian abadi sebagai kawasan RTH yang banyak terdapat di jalur-jalur transportasi antar wilayah.
Kedua, izin pembangunan yang harus dipatuhi oleh segenap stake holder, pemerintah dan masyarakat agar terjadi keserasian peraturan daerah yang telah ditetapkan bila suatu peruntukan lahan telah ditetapkan sebagai zona kawasan terbuka hijau sebagai zona sanggahan bencana dan begitu juga sebaliknya sebagai daerah yang diijinkan untuk kawasan pemukiman.
Ketiga, kebijakan penegakan hukum yang harus tegas dan adil bagi semua di mata hukum, bukan indah diatas kertas. Keempat, peningkatan pengetahuan masyarakat yang kurang sadar akan bahaya banjir lingkungan terus ditingkatkan serta kelima, pemerataan pembangunan untuk semua rakyat harus menjadi introspeksi bagi pemerintah agar tidak terjadi berbagai konflik rakyat dengan pemerintah.
introspeksi ini perlu dibudayakanh agar efek bencana banjir dapat dikendalikan dan peran pemerintah agar dapat menekan egosentris etika agar ditemukan keselarasan, tetapi itu yang terjadi dan berlangsung sampai sekarang, banjir tiada surut tanpa tahun terlewat, kerugian dan kemiskinan terus bertambah. Adakah anda telah sedia payung sebelum hujan? 
M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Tulisan ini sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN, Tgl 10 Maret 2013

Menuju Medan Kota Bebas Banjir : Geologi Lingkungan

MENUJU MEDAN KOTA BEBAS BANJIR
Oleh M. Anwar Siregar

Masalah lingkungan yang sangat ini kita hadapi adalah merupakan masalah ekologi lingkungan manusia yang timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan. Masalah lingkungan terutama pemanasan global, akibat efek energi terhadap lingkungan, dapat juga disebabkan oleh penataan ruang hijau terbuka yang berkurang dan kini menjadi “PR” bagi kota-kota besar di Indonesia, salah satunya kota Medan, harus merefleksikan keadaan tersebut agar menjadi kota yang layak dihuni, humanis dengan lingkungan bagi 10 juta penduduknya.
BERBASIS EKOLOGI BIOPORI
Pembangunan ekologi hijau di kota Medan memerlukan perencanaan berkelanjutan agar kota ini menjadi kota yang layak di huni, harmonisasi dengan ekologi hijau terbuka yaitu pembangunan ruang hijau terbuka sebagai upaya solusi mitigasi dini, dikonsentrasikan sebagai kota berbasis bencana ekologi biopori.
Solusi tersebut, untuk mengatasi banjir dengan menata kawasan hijau dipinggiran sungai menuju ke inti kota. Tata ruang hijau dapat difungsikan di kawasan pintu gerbang perbatasan Medan sekitarnya, untuk mencegah berkurangnya daerah rawa-rawa, serta mengidentifikasi wilayah itu apakah daerah rawan zona lintasan banjir, banjir rob, banjir raksasa (tsunamis) ataukah zona wilayah rawan jangkauan erupsi banjir lava-lahar hujan gunungapi Sibayak dan Sinabung ke wilayah Kota Medan dalam rangka mereduksi dampak bencana fisik dan alamiah kepada penduduk yang datang secara berkala.
Selain menata tata ruang hijau untuk kawasan banjir maka Medan harus menjadi negeri biopori terbanyak di Indonesia, yang terbukti salah satu dapat mencegah dan mengurangi dampak banjir akibat keterbatasan lahan hijau, biopori dapat digunakan untuk mencegah rembesan air dan mengurangi kekeringan air akibat tingkat keakaran pohon hijau mengalami kondisi distabilitas oleh konstruksi beton. Fungsi biopori dapat memberikan berbagai keuntungan bagi kelanjutan tata ruang air dan siklus air bersih berkelanjutan, geohidrologi air akan berjalan lancar, memberikan efek sampingan yaitu terjadi keseimbangan dan kekuatan tanah tetap stabil, sehingga bangunan diatasnya tidak mengalami gejala fleksure dan gerakan tanah.
Namun saat ini, RTH di Medan tersedia seluas 10 persen dari yang diamanahkan UU tahun 2006 minimal 30 persen atau sekitar 3.000 ha, kawasan RTH dapat difungsikan sebagai kawasan biopori, karena Medan memiliki tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga memerlukan rongga-rongga tanah yang terbuka, sebagai alternatif terbaik dari pembuatan drainase yang sering mengalami penyumbatan penyebab genangan air dan banjir serta tingkat kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan masih rendah.
KOTA BERBASIS AIR
Potensi bencana banjir masih mengancam Medan di masa mendatang, strategis ancaman banjir kiriman dan kemajuan pembangunan fisik akibat laju peningkatan prasarana khususnya dibidang Jalan, maka pemkot Medan harus memperbanyak ruang-ruang kanal banjir agar terkenal menjadi kota berbasis air, selain kota berbasis ekologi biopori, dengan memadukan sistim zonasi sanggahan RTH agar layak sebagai kota peraih Adipura.
Salah satu solusi kota berbasis air dengan melakukan studi banding di kota-kota yang memiliki karakteristik geologi banjir. Sebab, tata ruang topografi kota Medan memiliki ketinggian sekitar 25 meter di atas permukaan air laut (dpl), Medan diidentifikasi memiliki 90 titik rawan genangan air mencapai lebih 1.570 ha dan memiliki tiga jalur banjir bandang, terbentang dari utara hingga ke inti kota yang diperlihatkan oleh Sungai Belawan dan dari selatan ke inti kota melalui bagian baratdaya oleh Sungai Deli dan terus berputar-putar ke sungai Percut di bagian timur menuju ke inti kota bagaikan tsunami. Dan kanal banjir yang dibangun di kawasan Selatan Medan tidak akan mampu menampung hujan apalagi kiriman banjir lewat Sungai Deli, Sungai Babura dan Sungai Kwala yang membelah inti kota Medan.
Untuk menjadi kota berbasis air, atau kota dengan kemampuan menampung debit air yang tinggi maka kota harus dirancang dengan pembangunan fisik dengan sebutan “kota seratus kanal” ataupun “kota berbasis sejuta ekologis rawa”. Dengan mempertimbangkan kondisi DAS yang membelah kota Medan dengan menimalisasi eskalasi urbanisasi yang sering membentuk kawasan “tata ruang kumuh”.
Kajian dan pengelolaan kerentanan fisik banjir harus dilakukan Pemko Medan secara menyeluruh melalui survey investigation design dan perencanaan yang dilengkapi dengan detail engineering design yang sesuai dengan kondisi geologi bawah permukaan maupun geologi permukaan setempat secara terukur serta diperlukan menata ulang tata ruang berupa pengadaan master plan baru di kawasan kumuh di sekitar dan bantaran DAS atau bisa dijadikan “land recovery” dalam bentuk tatanan lingkungan ekologi rawa-rawa.
Untuk mencegah kehilangan daerah rawa di perbatasan wilayah, pemko Medan dapat saja melakukan pembelian dan menjadikan fungsi ekologis air, fungsi perluasan taman dan areal perkebunan produktif serta pertanian melalui instansi terkait agar dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan mitigasi resiko bencana untuk mereduksi bahkan meniadakan dampak yang ditimbulkan ke dalam tata ruang akibat banjir.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer, Artikel ono sudah diterbitkan di HARIAN "ANALISA" MEDAN Januari 2013

25 Feb 2013

Efek CO2 Indonesia : Geologi Lingkungan


EFEK GLOBAL CO2 BAGI TATA RUANG INDONESIA 
Oleh M. Anwar Siregar 

Berabad-abad manusia telah melakukan penyalagunaan ekosistim yang ada dengan meningkatnya pencemaran polutan dalam bentuk pembakaran bahan bakar fosil, menghancurkan hutan dan tanah, pencairan lapisan es serta menginjeksikan panas penguraian pada batuan silikat sehingga terjadi perubahan iklim dratis, dengan adanya istilah-istilah modern sebagai upaya pembenaran terhadap penghancuran Bumi berupa eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber daya pertambangan di bumi, berdampak luas pada gangguan ekosistim lingkungan Bumi. 
EFEK EMISI GLOBAL 
Kadar CO2 diatmosfer mulai naik sejak abad ke 19 dengan adanya revolusi industri. Peningkatan pemakaian konsumsi BBM mulai tercatat dari tahun 1950 dalam bentuk CO2 dilepaskan ke atmosfer sebanyak 1,6 milyar ton meningkat menjadi 5,14 milyar ton pada tahun 1970, pada tahun 1980 telah mengemisikan CO2 sebanyak 51 milyar selanjutnya pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 130 milyar metrik ton yang dihasilkan dari pemakaian 24 juta barrel per hari minyak bumi oleh berbagai lini kehidupan manusia. 
Dalam hal peningkatan laju emisi CO2 ke udara menimbulkan fenomena pemanasan global maka industri pertambangan Batubara terbesar peringkat ke satu, menghasilkan sekitar 940 gr CO2 untuk digunakan sebagai pembangkit energi, sedangkan BBM dalam menginjeksi efek rumah kaca dalam bentuk energi sekitar 581 sampai dengan 798gr CO2. 
Sedangkan pengemisi terbesar adalah industri dan transportasi, peningkatan pemakaian energi berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yaitu permintaan energi untuk transportasi dan di Indonesia banyak belum menggunakan energi alternatif ramah lingkungan dalam produksi massal. Berkaitan dengan pemanasan global dengan isu perubahan iklim dengan gejala meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer maka Benua Amerika sebagai penghasil efek rumah kaca terbesar, sedangkan Indonesia bukan penghasil efek rumah kaca namun penerima terbesar efek rumah kaca. 
Negara konstributor utama penyumbang CO2 berasal dari pemakaian bahan bakar fosil batu bara terbesar di dunia dan penyebab Indonesia dan Pasifik mengalami iklim dan cuaca ekstrim adalah Cina mengkonsumsikan efek emisi satu milyar ton, lalu Rusia sebanyak 910 juta ton emisi polutan, Amerika Serikat 902 juta ton, Jerman 150 juta ton dan Jepang 130 juta ton setiap tahun. Dengan tingkat konsumsi emisi bahan bakar fosil saat ini mencapai 29,65 persen per tahun, maka jumlah efek rumah kaca ke atmosfer terus meningkat dengan laju 3,5 persen setiap tahun maka kadar CO2 terendapkan menjadi 30 persen memicu suhu bumi sebesar 3oC dikawasan Indonesia dan Pasifik dengan penurunan panjang luas daratan akibat kenaikan volume air laut bertambah, sedangkan kawasan lain akan mengalami kenaikan 4-6oC dengan berkurangnya panjang pantai. 
Kelompok emisi yang menyebabkan anomali kerentanan bagi efek pemanasan global dari pembakaran bahan bakar fosil antara lain Oksida carbon yang terdiri dari atas carbon monoksida [CO] dan karbon dioksida [CO], dan Oksida sulfur yang terdiri atas sulfur dioksida S dan sulfur trioksida SO serta Oksida nitrogen yang terdiri atas nitrogen oksida NO, nitrogen dioksida NO dan dinitrogen oksida N2O. Sedangkan kelompok gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan suhu bumi antara lain Karbon dioksida CO2, Metana CH4, Dinitro Oksida N4O, Hidrofluorocarbon HFC, Perfluorocarbon PFC dan Sulfur Heksafluororida SF6. 
DAMPAK BAGI INDONESIA 
Efek-efek peningkatan CO2 dari energi ke laut dan efek perubahan iklim geosfer yang paling menakutkan bagi Indonesia, yaitu ancaman naiknya permukaan air laut karena pemuaian air samudera dan pelelehan gletser es di kedua kutub bumi. Gletser dan gunung es yang selama ini membeku akan mencair dan menggelontorkan airnya ke lautan yang berakibat pada bertambahnya volume air laut. Contoh perubahan pemuaian daerah lapisan es yaitu di lapisan es di Kutub Utara, begitu juga tekanan suhu es berubah mencair di lapisan beberapa gunung es di Kilimanjaro, Pegunungan Jayawijaya di Indonesia dan Himalaya di Nepal.
Dampak bagi tata ruang Indonesia antara lain : Perubahan tata ruang laut, pertama terdapat 17.453 Pulau, akan ada kehilangan pulau. Sebab, diantaranya terdapat 600 Pulau memiliki ketinggian topografi dengan diameter 10 meter dan tinggi 7-10 meter, mengalami pengancaman penenggelaman dalam 15 tahun mendatang jika laju kenaikan air permukaan laut 0,5 cm per tahun serta garis pantai akan mundur sejauh 60 cm ke arah darat, luas perairan antar pulau ada yang bertambah dan berkurang luasnya. 
Kedua, perubahan peta kelautan, antara lain : perubahan peta-peta zonasi lintasan bahaya di lautan dan daratan, perubahan peta jalur kelautan, akan ada klaim dan pencaplokan laut teritorial, perubahan ketinggian batimetri pantai, dan zona ekonomi eksekutif bagi perubahan peta sumber daya geologi kelautan. Ketiga, posisi geopolitik kelautan Indonesia sebagai negara Kepulauan, sehingga akan “mengundang” negara lain melakukan konfrontasi. 
Keempat, bencana universal terus mengancam tata ruang Indonesia. Kelima, membutuhkan pemikiran dan dana yang luar biasa dengan kualitas sumber daya manusia yang terbatas seperti kejadian bencana megathrust gempa Aceh-Nias yang membutuhkan dana rekonstruksi dan rehabilitasi melebihi dana 125 triliun rupiah. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.Diterbitkan Harian "MEDAN BISNIS" Tgl Februari 2012

Prediksi Bencana 2013 : Geologi Lingkungan :


PREDIKSI BENCANA ALAM DI SUMUT 2013 
Oleh M. Anwar Siregar 

Potensi bencana geologi dan klimatologi di tahun 2013 semakin mengancam kondisi tata lingkungan geologi Sumut semakin intensif, sebab di wilayah Sumut terbagi dua jenis bencana yang selalu hadir setiap tahun yaitu bencana geologi dan bencana klimatologi. Potensi bencana tersebut selalu memberikan pukulan psikologis bagi bangsa setiap tahun. Titik awal bencana telah dimulai dari kejadian bencana klimatologis lebih mendominasi kejadian bencana pada tahun 2012 masih akan berlanjut ke tahun 2013. Fenomena cuaca dan iklim ektrim sudah terasa sekali dengan terjadinya musim kemarau dibeberapa daerah yang sebelumnya jarang dianggap kategori daerah musim kemarau menjadi daerah musim hujan, dua kejadian banjir besar di Sumatera Utara merupakan gambaran di tahun 2013. 
POTENSI BENCANA SUMUT 
Sumatera Utara termasuk daerah paling rawan dalam menghadapi berbagai bencana, kapasitas dan kemampuan dalam mengelola kejadian bencana masih terbatas dan potensi sumber daya yang terlatih masih banyak diabaikan dan terbatas. Hal ini sangat memerlukan penangganan untuk mengantispasi kejadian bencana di masa tahun 2013 maupun di tahun-tahun mendatang. 
Sebabnya, tatanan kondisi geologi Sumut berada dalam wilayah kompleksitas pergerakan relaksasi gempa bumi. Banyak terjadi anomali kerentanan di permukaan bumi sehingga selama pergerakan itu, maka dinamika kerak bumi berdenyut kuat, untuk memasuki daerah yang lebih rapuh dengan cara menekan atau bergerak, gerakannya dapat disertai adanya penerobosan material baru dari dalam bumi dan ada pergeseran lempengan. Contohnya letusan gunung api Sinabung. Bangunan yang berada diatasnya ikut bergeser oleh tekanan dan regangan, berakhir pada kehancuran bangunan karena berada di daerah rawan bencana terutama 85 persen tata ruang kota di Sumut diidentifikasi berada di daerah rawan bencana gunungapi, tsunamis, gerakan tanah, gempa, banjir, banjir bandang serta angin puting beliung. 
Kondisi anomali gempa ini dapat membahayakan kehidupan masyarakat di Sumatera Utara yang harus diperhitungkan pada tahun ke depan. Pergeseran terekam dari gambar-gambar satelit yang menunjukkan, bahwa telah terjadi pergeseran lempengan-lempengan bumi di dasar laut di bagian utara Sumatera Utara terutama di patahan gempa Nias dan Simeulue sehingga pola letak daratan juga ikut bergeser, sehingga akan ada perubahan kondisi dinamika geoteksnis stratigrafi tanah dan kerak batuan yang menyebabkan gerakan tanah dan perubahan tata ruang air tanah. Yang perlu diingat oleh masyarakat Sumut adalah bahwa posisi lempengan samudera saat ini dalam kondisi menekan kuat pada patahan Sumatera Utara dari hari ke hari sampai melampaui kekuatan batuan yang merekatkan bumi di barat dan timur jalur patahan ini. 
Pada saat itulah terjadi gempa besar dimana akumulasi tekanan akan dilepaskan tiba-tiba menyebabkan bumi di bagian barat bergerak tiba-tiba ke arah utara ke sebagian wilayah Tapanuli serta ke baratdaya Nias dan di bagian timur bergerak ke arah selatan dan timurlaut menuju daratan Tanah Melayu di sepanjang daratan Bukit Barisan. 
JENIS ANCAMAN 
Sebab utama sebagai negeri bencana adalah bahwa wilayah tata ruang kota di Sumut dapat dikatakan pada kondisi yang sangat rentan bencana geologi dan klimatologi karena memang sudah tinggi, ditambah persentase kawasan terbangun dengan laju yang sangat pesat berbanding dengan keterbatasan perencanaan lahan. Kepadatan bangunan tidak bersinergi dengan kemampunan daya dukung ekologi tanah lingkungan maupun tingkat kerentanan sosial dengan kepadatan penduduk yang padat dengan laju peningkatan yang sangat tinggi. 
Potensi ancaman gempa bumi dan tsunami yang mengancam Sumatera Utara antara lain Gempa Mentawai, patahan gempa Nias, patahan gempa Simeulue, patahan gempa Nikobar-Andaman, gempa patahan daratan Tanah Karo, Tapsel, Madina, Langkat, Dairi, Humbahas dan Simalungun. Akibat dari perubahan dan pergeseran posisi lempengan akan menimbulkan gerakan tanah lambat yang mematikan berada di wilayah Tabagsel dan gerakan tanah cepat oleh aktivitas manusia dapat menyebabkan gerakan tanah atau longsoran, baik diposisi sepanjang jalinsum maupun diareal pertambangan di sekitar pemukiman memiliki potensi gerakan tanah menahun banyak ditemukan dibeberapa kota di Tapanuli dan Nias, serta gerakan tanah oleh kombinasi antara akitivitas gempa vulkanik dan non alam atau juga buatan manusia disekitar kawah daerah Kawasan Rawan Bencana gunungapi di Bukit Barisan Daratan Karo, Madina, Taput, Palas, Paluta dan Tapsel. Selain itu, Sumut masih menghadapi ancaman bencana gunung api yang sewaktu-waktu meletus dan mungkin juga akan ada gunung api naik “kelas” setelah lama berstatus “malas bekerja”. Gunungapi di Sumut antara lain Sinabung, Sibuali-buali, Sibayak, Hella Toba, ataupun Lubuk Raya. 
Sedangkan potensi ancaman banjir dapat dilihat dari fenomena pemanasan global dan bukan lagi menjadi isu, tetapi dampak dari hal tersebut sudah dirasakan secara langsung sehingga telah banyak upaya dilakukan untuk mengurangi dampak pemanasan global, salah satunya adalah menanam satu pohon satu orang pada hari lingkungan yang lalu. Salah satu dampak penyebab fenomena pemanasan global adalah emisi kendaraan dan emisi polutan sumber-sumber energi yang banyak ditemukan di Sumut. Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim serta perubahan jumlah dan pola presitipasi (curahan air hujan, es atau salju), dapat memberikan dampak bagi wilayah kepulauan di Sumatera Utara memiliki potensi ancaman bencana klimatologi. Daerah dalam ancaman ini adalah Kota Medan, Sibolga, Gunung Sitoli, kota-kota di Nias dan diwilayah pesisir pantai timur Sumut. 
TIDAK BOLEH DIABAIKAN 
Menyusul banyaknya gempa dalam satu dasawarsa serta peningkatan kenaikan suhu bumi, Sumut membutuhkan banyak upaya dalam mengendalikan kerusakan berbagai sarana infrastruktur salah satu adalah mengupayakan tata ruang dan bangunan tahan gempa. Hal ini penting untuk mengurangi jumlah korban. Untuk daerah gempa, penataan tempat dan kepadatan permukiman serta konstruksi bangunan yang aman menjadi faktor prioritas utama. 
Pengetahuan masyarakat soal ini perlu disosialisasikan terus menerus, ada beberapa hal sepele masih dianggap tidak penting bagi perilaku masyarakat dan menjadi budaya di beberapa daerah rawan gempa misalnya tempat penyimpanan barang, yang berat kadang ditempatkan disekitar rumah tempah keluarga berkumpul. Ini hanyalah satu yang memerlukan penagganan mitigasi yang profesional. 
Selain itu, sosioalisasi bencana salah satu upaya yang belum merupakan budaya kehidupan sehingga bencana di Sumatera Utara dan Indonesia tergolong besar dibandingkan negara lain yang lebih maju dalam mitigasi bencana. Yang tidak boleh lagi diabaikan setelah faktor tersebut diatas adalah mitigasi bagi sumber daya manusia dalam memperkecil resiko bencana, sebab Sumatera Utara memiliki wilayah yang sangat luas dan memerlukan penangganan bencana yang sangat beragam, tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga-tenaga yang terlatih yang bisa menjadi “alat” dalam mengurangi resiko dari dampak bencana. Tanpa sumber daya manusia yang terlatih maka akan percuma segala sistim peringatan dini yang sudah tersedia. 
Strategi yang dapat mengurangi resiko bagi daerah yang rawan bencana dengan kondisi peralatan yang masih minim adalah memberikan pelatihan dan pengetahuan peralatan dan survival SDM bagi Tim SAR daerah secara berkala dalam tiap tahun, pelatihan sosialisasi dan penyuluhan bagi guru dalam menyebarkan pengetahuan dan informasi daerah rawan bencana dilokasi bertugas selama dua semester dalam setahun, pelatihan sistim manajemen dan komunikasi bagi kalangan SDM profesional dan aparatur dalam menata tata sistim komunikasi dilakukan empat triwulan dalam setahun sehingga tidak ditemukan kerancuan informasi seperti yang kita lihat pada sejarah kebencanaan di Sumatera Utara yang telah lewat lalu wajib dipraktekan setiap dua bulan sekali sehingga masyarakat Sumut akan seperti masyarakat Jepang yang terbiasa berlatih dan tangguh menghadapi bencana universal. 


M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati masalah lingkungan dan geosfer. Diterbitkan pada Harian "ANALISA" MEDAN, Tgl 29 Desember 2012

Nias Buat RTRW Gempa : Geologi Mitigasi

NIAS HARUS BUAT RTRW GEMPA 
Oleh : M. Anwar Siregar


Gambar :  Peta pusat gempabumi merusak Pulau Sumatra (Sumber : Supartoyo dkk., 2014).
Pengalaman gempa tsunami Aceh 2004, Nias 2005 dan Jepang 2011 harus dijadikan sumber kesadaran dalam membangun sistim kesatuan mitigasi RTRW antar wilayah yang berketahanan bencana di Nias. Sebab, Kepulauan Nias hingga ke detik ini masih terus mengalami gempa, termasuk pada bulan Oktober 2012, selain itu Nias adalah penghasil megathrust gempa keempat di pantai barat sumatera. Dengan sistim kesatuan mitigasi akan memudahkan penyelamatan jiwa banyak orang di Kepulauan Nias. 
INVESTASI BENCANA 
Kawasan yang berpotensi menghasilkan “investasi bencana” adalah kawasan di pesisir pantai sepanjang jalan lintas Kepulauan Nias, baik yang menghadap langsung ke titik pertemuan antar lempeng di Samudera disebelah barat maupun dalam jalur tumbukan vulkanik diseluruh Kepulauan Nias di Selat Nias, morfologi dari beberapa garis pantai maju ke arah laut serta masih bisa diterobos langsung oleh terjangan ombak, belum lagi jika terjadi tsunami, bentuk morfologi pantai umumnya menjorok ke daratan akibat fenomena naiknya daratan setinggi 2–4 meter telah mengakibatkan bertambah luasnya wilayah daratan, contoh kasus adalah pelabuhan Sirombu yang mengalami pengangkatan 3 meter sehingga tidak bisa digunakan. 
Topografi Kep. Nias yang rendah dikontrol langsung oleh 6 zona patahan yang ada di Nias, tebing perbukitan mudah mengalami gerakan tanah berupa runtuhan dan longsoran batuan, serta sebagian besar merupakan batuan yang mengalami kerapuhan. Dapat dilihat dari Pantai Sorake di bagian selatan, Sirombu di bagian tengah, Lahewa di bagian utara, Gunungsitoli Idaho di tengah ke arah selatan, Pulau-pulau Tello-pulau Batu, Pulau Tanahmasa, Pulau Tanahbala, Pulau Sigata dan Pulau Pini dan merupakan gambaran investasi bahaya [menanam modal bahaya dalam tata ruang] yang mengancam kehidupan masyarakat Nias yang belum memiliki sistim kesatuan bencana yang komprehensif. 
Pulau-pulau ini sering mengalami pengangkatan dan penurunan topografi darat dan pantai serta harus disusun suatu RTRW gempa yang baru. 
PERTUMBUHAN INVESTASI 
Bentuk-bentuk perisai bencana RTRW di Nias dapat diadopsi melalui penguatan sistim peringatan dini, sistim analisis kontur perubahan topografi dan batimetri GPS, sistim batas/zonasi daratan pantai yang belum dan telah mengalami pengangkatan, sistim infrastruktur, semua gambaran investasi bencana harus melalui pemetaan mikrozonasi kegempaan lokal dan kajian tata ruang kota berdasarkan tingkat zonasi geohazard dan georisk, akan menghasilkan berbagai jenis peta, tata ruang lingkungan binaan dan rehabilitasi, serta pengembangan investasi bagi tata ruang masa depan, yang merupakan suatu geo-strategi kawasan yang dapat mengoptimalkan potensi dan kondisi obyektif kawasan jika telah mengalami kejadian bencana.
Umumnya kawasan pengembangan dan pertumbuhan investasi (pusat penanaman modal, sarana perdagangan dan bisnis) berada dikawasan pesisir pantai bagian Barat dan Timur serta Tengah Nias sebagai pusat pertumbuhan kota besar dan bagian pesisir (kota tumbuh kecil seperti kota Tello, umumnya berada ditepi air dan pendalaman pulau-pulau kecil) merupakan pusat pertumbuhan skala lebih kecil berada di seberang Pulau Besar Nias, maka diperlukan suatu pola RTRW yang dapat menekan kerentanan akibat laju pertumbuhan penduduk Nias justrunya lebih pesat di wilayah pesisir, sedang wilayah tengah pesisir sebaiknya dikonsentrasikan sebagai daerah konservasi air dan zona sanggahan, mengingat daerah tersebut sangat rentan bencana gempa. Sampai sekarang, data ini belum disiapkan dan belum dikaji disemua pola perencanaan RTRW atau RTRD antar kota yang ada di wilayah Kep. Nias dengan Propinsi Sumut. TANGGUH INVESTASI BENCANA 
Untuk meredam investasi bencana, maka Pemerintah di Nias perlu menyediakan dengan memanfaatkan suatu zona dalam suatu Rencana Tata Binaan Lingkungan diwilayah kota dengan memperbanyakan pembangunan kawasan lahan terbuka khusus (RTH) seluas setengah hektar pada tiap koridor jalan dan pemukiman. Dikawasan pesisir pantai yang telah mengalami pengangkatan garis pantai dan berubah menjadi daratan lebih baik difungsikan sebagai zona rehabilitasi RTH. Kawasan RTH minimal 25-30 persen dari wilayah pesisir pulau besar dan kecil dalam kecamatan sebagai zona sanggahan bencana atau buffer zone, dapat dimultifungsi sebagai taman binaan lingkungan, taman ekologis, taman evakuasi serta daerah resapan air tawar yang menghadap ke pantai pada kota yang sedang berkembang.



Gambar 24 : Peta zona pecah kejadian gempabumi tanggal 28-3-2005 berdasarkan data gempabumi susulan. Nias harus membuat peta gempa bumi untuk mengantisipasi pzona pecahan gempa yang luas untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dari kejadian gempa tahun 2005 di masa mendatang. (Sumber: Internet USGS.
 
Pembangunan daerah buffer zone di daerah kawasan padat pelabuhan sudah saat mendesak mengingat multi jenis bencana mudah “terinduksi” akibat interaksi sosial yang sangat tinggi dengan kawasan pertumbuhan industri pelabuhan ke inti kota serta membuat jalur evakuasi dalam sarana fisik infrstruktur berupa jalan yang tangguh bencana. Taman evakuasi masih jarang di masukan ke dalam peta RTRK atau RTRW kota di Sumatera Utara khususnya di Nias, dipastikan banyak tidak memasukan model taman evakuasi bencana, selain itu koridor jalan raya kota kebanyakan dalam simbol-simbol tanpa ada jalur lintasan yang jelas. Semua hal ini dapat dimasukan dalam bentuk model Lintasan Evakuasi Bencana Gempa. 
Perbedaan Taman Evakuasi dengan Jalur Lintasan Evakuasi dalam RTRWK harus lebih jelas, hal ini penting mengingat kota-kota sedang-besar di Sumut umumnya terletak di bibir maut tsunami dan tektonik, sekitar 85 % kota di Sumut berada dalam radius ancaman gempa tsunami tanpa ada perisai Taman Evakuasi dan Jalur Lintasan Evakuasi yang jelas, maka pemkab di Nias harus memperhatikan situasi tata ruang ini, sehingga masyarakat Nias dapat mengartikulasi atau memahami pentingnya ruang tersebut. 
Khususnya Taman Evakuasi dapat dimasukan ke dalam ruang terbuka hijau RTRW, tetapi harus lebih spesifik yaitu membedakan sebagai sarana sangat penting berbasis tahan gempa yang ditempatkan pada koridor kontruksi yang jauh dari zona patahan gempa, memiliki akses ke berbagai jalur lintasan evakuasi dan masyarakat dapat bergerak dan tidak perlu panik, tidak menimbulkan kemacetan bila terjadi tsunami, dikembangkan sesuai dengan kebutuhan untuk antisipasi bencana dimasa mendatang. 
SISTIM PERINGATAN DINI 
Nias belum memiliki sistim peringatan dini yang tangguh pada setiap tata ruang antar pulau kecil-besar dan antar kepulauan dan daratan induk (Sumut), dalam menghadapi kebencanaan tata ruang meliputi pemantauan gempa, pasang surut air laut, sistim manajemen pengumpulan dan pengolahan data serta penyebaran informasi dan kesiapsiagaan, harus ditempatkan pada daerah “kering gempa” agar miskomunikasi informasi tidak mengalami kendala di lapangan. 
Sebagai Kepulauan di Sumatera Utara, Pemerintah Nias seharusnya melengkapi dan berkewajiban memperbanyak sistim jaringan pertahanan bencana dalam pemantauan seismik pada setiap RTRW pesisir kotanya dengan sistim peringatan dini berlapis, mulai dari lepas pantai, ke zona sangaghan pantai dengan inti luar kota hingga kedalam inti kota dan luar lingkar dalam kota (perbukitan/pegunungan) dalam interval 10-15 km yaitu sistim deteksi secara rapat dalam kesatuan tata ruang antar darat-kepulauan secara berkesinambungan, interkoneksi broadband, jaringan pemantauan seismograf setiap kecamatannya dan interkoneksi sistim pengaturan dan pemetaan dini melalui satelit GPS yang rapat antar Propinsi serta mempersiapakan model-model pelabuhan laut yang lengkap sebagai pemantauan perubahan kondisi anomali kelautan dengan mengintegrasi seperangkap teknologi peringatan dini dan memanfaatkan hasil data base eksplorasi kelautan dan harus dimasukan kedalam RTRW keseluruhan antar darat-laut serta memperbaiki sistim pemrosesan data yang masih overlapping dengan menggunakan sistim digital evaluation mode (DEM) sehingga bisa diterima secara real time dan terintegrasi secara multi regeional.



Gambar : Gambaran dari Tsunami dari gempa 26 Desember 2004 di Sirombu Nias yang rusak parah, B. Setelah dihantam tsunami Pelabuhan Sirombu ini terangkat hampir 3m ketika gempa Maret 2005, C. Pantai di timurlaut Pulau Nias yang terangkat sekitar 1m, D. Survei dengan RTK GPS untuk mengukur besar pengangkatan terumbu karang di Pulau Hinako, barat Nias.
Nias perlu membuat RTRW yang berbasis ketangguhan bencana tsunami. (Sumber : Geomagz edisi Desenber 2011).
Secara keseluruhan RTRW di Nias belum tangguh dalam menghadapi bencana geologi, bahwa bayang-bayang gempa megathrust masih ada, hanya menunggu waktu. Maka prasarana infrastruktur fisik dan non fisik sudah harus diperbaharui secara berkala yaitu 15 tahun sesuai kondisi karakteristik lingkungan geologi Kepulauan Nias yang selalu berubah dalam rentang antar 5-10 tahun akibat gaya-gaya geologi deformasi bergerak cepat, tercermin dari perubahan siklus energi gempa yang tidak beraturan lagi, buktinya rentang gempa sejak tahun 2005 ke 2012. 

M. Anwar Siregar Geologist,
Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan dan Energi-Geosfer.
Diterbitkan di Harian "ANALISA" MEDAN Tanggal 18 Desember 2012

2 Jan 2013

Pertambangan Hijau berkelanjutan : Geologi Recources

PERTAMBANGAN HIJAU BERKELANJUTAN 
Oleh M. Anwar Siregar 
Kecenderungan dunia pertambangan, perminyakan dan energi di Indonesia saat ini mengarah ke persaingan global dan mementingkan dominasi bisnis, sehingga tidak luput dari berbagai persoalan konflik, mengabaikan berbagai kondisi fisik lingkungan dan semakin terpinggir dalam era kompetisi global.
MENGABAIKAN KONDISI 
Mengapa begitu banyak perusahaan pertambangan di Indonesia mengalami perlawanan dengan masyarakat tempat keberadaan usaha pertambangan itu diberikan izin? Dengan kata lainnya di benci? Bukan benci tapi rindu seperti lirik lagu Diana Nasution? Sehingga banyak perusahaan dicabut izinnya, pembakaran dan gulung tikar. Faktor utama adalah visi dan misi dari bisnis perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi beberapa elemen penyebab, menjadi akar kebencian antara lain : Pertama, laporan amdal yang tidak akurat dan tidak berbasis tambang hijau. Contohnya, harus memperhatikan isi dan kalimat dari laporan seperti “Kata Tidak” jika menyangkut pembuang limbah ke laut dan ke sungai, faktor ini mengabaikan budaya dan kearifan lokal bahwa masyarakat mampu bertahan hidup dengan sumber kehidupan tersebut, dengan kata lainnya perusahaan harus melihat fakta kehidupan masyarakat di masa lalu dan masa sekarang yang memanfaatkan sungai sebagai bagian dari kehidupan sebelum kehadiran perusahaan, ada 3 kasus kejadian ini ditemukan dilokasi tambang Tabagsel. 
Kedua, ekonomi bisnis yang tidak berpihak kepada budaya dan adat masyarakat setempat yang tidak berbasis masyarakat lokal, misalnya pengembangan peningkatan kualitas sumber daya lokal yang tidak berbasis genius lokal untuk memberikan sumbangan pikiran, penelitian dan penciptaan pengelolaan limbah dan berbagai masalah yang diakibatkan oleh perusahaan pertambangan dan energi di Sumut. Jikapun ada, bantuan CD atau community development dengan dana yang sangat kecil. Kasus ini bisa di lihat pada perusahaan tambang besar yang tersebar di Kalimantan, Papua, Aceh, Sumut dan Riau. Selama perusahaan pertambangan-migas masih berorientasi pada bisnis mereka tetap mengabaikan hak-hak dan adat budaya masyarakat setempat akan menimbulkan suatu “gap” antara masyarakat, lingkungan dan stake holder. 
Akar permasalahan lainnya adalah posisi dan kondisi keterdapatan sumber daya geologi tambang di zona patahan geologi, faktor ini banyak belum diketahui oleh masyarakat, bahwa bencana gerakan tanah di daerah pertambangan merupakan akumulasi dari zona lemah bumi yang memberikan respon “seismik” berupa hantaran listrik dalam zona batuan yang tidak homogen melalui alat-alat berat pertambangan yang tertancap kedalam bumi sehingga morfologi mengalami perubahan kekuatan material, gelombang-gelombang seismik itu saling memberikan pukulan berupa sengatan listrik dan melalui proses waktu akan terjadi gerakan tanah. Kejadian ini pernah berlangsung di zona patahan Renun-Toru-Angkola dimana banyak ditemukan bahan tambang emas, perak dan lain-lain. Akar permasalahan terakhir yang menyebabkan terjadinya konflik di Batang Toru dan Mandailing Natal adalah teknologi limbah. 
TEKNOLOGI LIMBAH 
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas, terlihat mengapa salah satu pertambangan besar yang ada di Sumut mengalami perlawanan keras sehingga terjadi konflik, amuk massa dan pembakaran sarana umum, bermuara dalam satu kondisi yaitu menyangkut protes kondisi lingkungan pembuangan limbah sisa pengelolaan tambang emas di sungai Batang Toru. 
Bahwa kendala sisa pembuangan air limbah berbagai pengelolaan bahan tambang yang tidak terpakaikan merupakan faktor sensitif bagi kehidupan masyarakat yang telah lama memanfaatkan keberadaan sungai ataupun laut sebagai sumber kehidupan. Bahwa belum ada satupun perusahaan tambang dan migas serta energi memiliki teknologi instalasi pengelolaan limbah terbaik dimuka bumi, yang ada hanya mampu mengurangi tingkah bahaya dari unsur-unsur zat beracun dalam kandungan pengelolaan emas, dan bahan tambang lainnya. 
Jika memang ada teknologi yang mampu menjadikan air sungai layak diminum tanpa terkontaminasi zat beracun seperti air minum bersih alamiah maka adalah suatu keajaiban, maka kehebatan teknologi Nuklir tidak berarti sama sekali? Kenapa? Sudah pasti suatu pertanyaan akan timbul, karena siapapun tahu, bahwa teknologi pengelolaan limbah zat radioaktifitas nuklir sangat rumit dan sampai saat ini belum ada satu negara adidaya mampu mengatasi bahaya radiasi ke lingkungan, mengurangi apalagi menghilangkan jejak-jejak di lingkungan darat, udara, laut dan bawah permukaan bumi. 
EKONOMI 
Industri pertambangan di Indonesia wajib memahami kondisi lingkungan, budaya dan sumber daya masyarakat setempat sebagai upaya menekan konflik, bisa dilakukan melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau, yaitu memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk menyediakan bibit-bibit tumbuhan untuk rehabilitasi dan reklamasi tambang yang akan berkonstribusi sebagai penggerak ekonomi yang rendah karbon serta memberikan pelatihan tentang proses daur ulang berbagai bahan yang tidak terpakaikan yang diperlukan bagi perusahaan pertambangan dalam usaha menekan biaya operasional karyawan perusahaan dalam pekerjaan sehari-hari, tidak secara langsung telah meningkatkan kecerdasan masyarakat lokal, yang mungkin suatu kelak dapat menciptakan teknologi limbah yang lebih baik dari yang ada sekarang. 

M. Anwar Siregar Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Geosfer, Kerja di Tapsel. Tulisan ini Sudah dimuat pada Harian MEDAN BISNIS, Tgl 7 Desember 2012

Populer

Laut Indonesia darurat sampah

  LAUT INDONESIA DARURAT SAMPAH Oleh M. Anwar Siregar   Laut Indonesia banyak menyediakan banyak hal, bagi manusia terutama makanan ...